Thursday, 8 January 2015

Cerpen Pertamaku


Kabut Hitam


  Langit biru menaungi hamparan sawah, matahari memancarkan sinar hangatnya, siap mengawali pagi di desa kabut. Seorang wanita berlari tanpa alas kaki di pematang sawah, menyentuh pucuk padi yang basah karena embun, ada rasa bahagia yang tergambar dari raut wajahnya,
       “Ibu!” Teriaknya kepada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di rumah-rumah sawah.
       “Ngapain ke sawah pagi-pagi begini?” Tanya Ibu heran melihat sesuatu yang jarang dilakukan Anaknya.
       “Ibu lupa ya! Inikan hari terakhir Reva di desa, jadi Reva ingin nemanin Ibu seharian di sawah” Jelasnya.
       “Kamu benar-benar nekat, pergi tanpa izin nenekmu?”
       “Reva akan coba lagi Bu.. bisa jadi-kan nenek berubah pikiran” Katanya mantap.
       “Ya udah sekarang kamuu pergi ke rumah nenek mumpung masih pagi” Usul Ibu.
       “Baiklah, kalau begitu Reva pergi dulu ya bu..”
       Setelah berpamitan, kembali Ia berlari di antara hamparan sawah dengan senyum penuh harap.
                                                       ########

       “Nenek cuman tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Jakarta bahaya!” Kata nenek menasehati Reva.
       “Tapi Reva udah besar nek, Reva udah bisa jaga diri” balas Reva dengan nada memohon.
       Detik berikutnya, muncul hening di antara mereka, hingga akhirnya nenek menoleh, melihat wajah kusut Reva, ada rasa kasihan yang membuatnya kembali bersuara.
       “Baiklah kalau begitu nenek mengizikanmu” Katanya dengan suara parau, ada rasa sedih yang terselip disana.
       “Makasih nek.” Kata Reva sambil mencium tangannya, nenek-pun memeluk Reva sambil menangis, melihat air yang mencuat di mata neneknya, membuat Reva ikut menangis, sedih tapi juga bahagia.

                                                        ########

       “Sudah jam 5 Reva, entar lagi lagi pak Dadang datang, ayo pamit dulu sama nenekmu” Pinta Ibu.
       Semenit kemudian Reva telah berdiri di depan rumah nenek.
       Tok…to…tok… Reva mencoba  mengetuk pintu, namun tak ada sahutan ,
       “Nek.. Reva cumin ingin pamit udah mau berangkat..” Jelas Reva pelan.
       “Jangan lupa jaga dirimu baik-baik..” Akhirnya terdengar suara nenek, namun entah mengapa Ia tidak membuka pintu untuk Reva.
       “Apa nenek marah?” Batin Reva pedih, Ia masih ingin tinggal lebih lama lagi disana, menunggu nenek keluar, melihat wajahnya sebelum pergi, mencium tangannya sebagai tanda pamit, tapi terikan mamanya sudah menggema di antara keheningan suara, dan keraguan hatinya,
       “Reva buruan pak Dadang sudah datang”
       Dengan pelan Reva melangkah menuju mobil yang akan membawanya ke Jakarta, membawanya pergi dari tempat masa kecilnya, membawanya pergi dari hamparan sawah yang sudah menjadi temannya selama bertahun-tahun, Jakarta teman baru dan masa depan baru untuknya, dia harus menjadi insinyur besar untuk merubah desa yang akan ditinggalkannya ini.

                                                   ########
      
       Mobil melaju kencang menyusuri jalan yang sudah menjadi taman bermain Reva semasa kecil, Ia masih berusaha memantapkan hatinya agar tidak ragu dengan keputusan yang telah di ambilnya, nenek tidak akan lama marah kepadanya, dia sudah sangat hapal sifat neneknya, tapi entah mengapa bayangan keraguan masih meliputi hatinya,
       “Apakah keputusan yang kuambil ini adalah yang terbaik?” Batinnya dalam Tanya.
       “Tidakkah aku terlalu egois?” Monolog Tanya dalam hatinya masih berlanjut.
        kini di pikirannya melintas potongan-potongan bayangan saat ibunya berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKW meninggalkannya sendiri, dan nenek datang menghapus air mata dan mengelus kepalanya, “Ibumu hanya pergi ke pasar” Katanya saat itu, yang setelah Reva besar baru disadarinya, nenek hanya berbohong untuk membuatnya berhenti menangis, pernah juga sekali ketika Ia minta dibelikan sepeda karena iri melihat anak tetangga yang berangkat ke sekolah menggunakan sepeda, ia ngambek tidak  pulang sampai malam hingga neneknya berjanji membelikan benda beroda itu, tiga hari kemudian sepeda itu memang sudah terparkir manis di depan rumah, mengkilap dengan warna pink-nya, yang setelah besar baru juga Reva sadari jam dinding antik yang selama ini sangat disayangi nenek karena itu peninggalan kakek sudah berpindah ke dinding rumah tetangga sebelah, karena sepeda itu.
       Reva menutup mata perlahan dan menghapus air yang merebak di matanya, mencoba meresapi hatinya, sedetik kemudian ia bisa mendengar sendiri suaranya bergema di antara desingan ban mobil,
       “Pak tolong saya ingin kembali ke kampung.”

                                                      #########

       Tidak lama kemudian, terlihat kabut yang meliputi desa, perasaan Reva mulai tenang, ia sudah kembali ke desanya, tapi selang beberapa detik ia baru menyadari kabut yang biasanya jernih kini berubah menjadi hitam, dahinya mulai mengernyit,
       “Pak.. kok kabutnya warna hitam?” Tanya Reva masih terus memandang dari kaca mobil.
       Pak dadang mengikuti arah pandang Reva dan juga berakhir dengan kernyitan,
       “Ia yah.. kok warna hitam… mungkin ada pembakaran sampah besar-besaran lagi..” Pak dadang ber-spekulasi, Reva hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
       Tapi, setelah mobil masuk ke desa lebih dalam, kernyitan di kening Reva kembali, saat menyadari kabut hitam itu hanya berasal dari satu arah, dan itu rumah neneknya.
       Detik setelah Reva mengetahui apa yang terjadi, baru Ia sesali mengapa tadi Ia tidak menunggu neneknya keluar untuk menyalami tangannya, bahkan berlutut untuk meminta maaf, sekarang saat hanya tangisan yang terdengar, Ia berharap kabut bisa sampai ke langit membawa permintaan maaf dan terima kasihnya kepada nenek. 

                                                          ########

*Cerpen pertama yang ditulis 13 oktober 2010, sebuah tugas dari ekskul menulis. Lalu ditulis kembali 7 Januari 2015 untuk arsip blog (tentu saja setelah beberapa perbaikan)