Namanya Yudha. Lelaki yang tengah asyik menyaksikan setiap kesibukan malam melalui dinding
kaca kantornya. Sudah menjadi rutinitas yang tak pernah terlewatkan, setiap habis
jam kerja ia akan berdiri sambil menikmati keramaian kota dari lantai 40 ruang
kerjanya.
Raut wajahnya datar namun tetap menunjukkan
ciri karismatik seseorang dengan pembawaan yang tenang juga berwibawa. Di balik
ekspresi dan ciri khasnya itu, ternyata ia
sangat pandai menyembunyikan sisi paling misterius dalam dirinya. Tak
seorangpun tahu, bahwa setiap malam Yudha bisa berdiri berjam-jam dengan
tatapan yang hanya bisa disaksikan oleh setiap benda mati di sekitarnya.
Andai
sebuah kursi ataupun meja bisa berbicara, mereka akan menceritakan tentang tuannya
yang hebat dan selalu dipuji seluruh staf kerja juga para karyawan tak lebih hanya
seorang laki-laki kesepian. Setiap malam Yudha terpekur lama dengan pandangan
kosong. Ia tidak pernah tahu kepada siapa bisa bercerita. Karena sudah terbiasa
dengan kesendirian dan merasa nyaman terpenjara dalam jeruji sepi, ia tak tahu lagi
bagaimana cara membebaskan diri.
Mungkin Ia terlalu mencintai kesendirian
hingga tak pernah sekalipun merasa dekat dengan siapapun sejak hari itu. Suatu
hari yang kemudian mengubahnya menjadi laki-laki sunyi. Di tengah hiruk pikuk
keramaian dunia perasaanya selalu sama. Sepi.
Yudha kembali mengenang sebuah peristiwa
yang tak pernah bisa terlepas dari ingatannya. Seperti matahari yang terbit dan
terbenam setiap hari atau bumi yang tak pernah lelah berotasi. Seharipun ia
tidaK bisa menolak hadirnya memenuhi kepala. Mencipta rasa sakit yang akan
membuat matanya seketika menjadi sembab.
Perasaan sunyi kembali melemparnya ke masa
lalu. Di sebuah tempat, di mana ia pernah menitip harapan kepada seseorang yang
sampai saat ini tetap saja ia sebut "cinta". Lima tahun sebelum malam ini, di suatu pagi yang mendung. Seorang perempuan sekaligus
manusia paling dicintainya memutuskan mengakhiri cerita mereka.
“Yudha, Maafkan aku…” kata seorang perempuan
kepada laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya. Ekspresinya biasa saja namun
terkesan dipaksakan. ia kemudan melanjutkan kata-katanya.
“Sepertinya
aku sudah tidak bisa bersamamu lagi.” ucapnya pelan sambil menundukkan pandangan.
Detik itu juga ia betul-betul tak punya nyali menatap mata lawan bicaranya.
“Maksudmu apa?” Balas Yudha dengan tatapan
bingung menuntut sebuah penjelasan. Ia tak habis pikir, kenapa perempuan yang sudah
setahun lebih bersamanya tiba-tiba mengatakan sesuatu yang paling tidak
diinginkannya. Perempuan itu sendiri yang pernah berjanji bahwa Ia tak ingin
setia selain pada dirinya.
Karena tak mendapat jawaban apapun, Yudha
kembali bertanya. “Kenapa?” katanya dengan suara sedikit bergetar disusul
dengan tanya yang lain. “Apa yang membuatmu tidak bisa bersamaku lagi? “Apa
karena aku yatim piatu?" Tanyanya sedikit frustasi. Bukannya menjawab, perempuan
yang baru saja ia tanya malah menggeleng lemah. Matanya memerah mencoba menahan
tangis.
“Apa karena masa laluku yang begitu kelam?" Lanjut
Yudha kali ini dengan suara yang terdengar parau. Pertanyaan itu berhasil
membuat kedua matanya mulai berair. Itu adalah air mata pertama untuk seseorang.
Seingatnya, ia tak pernah menangis hanya karena siapapun termasuk saat kehilangan
sosok yang akrab dipanggil ayah-ibu
Kini perempuan di hadapannya hanya membisu.
Tak melontarkan sepatah kata pun. Sebuah diam sudah cukup sebagai jawaban bahwa
ia membenarkan pertanyaan tersebut.
Hening beberapa saat sampai Yudha kembali
bersuara. “Kau tahu, aku menceritakan masa laluku karena aku percaya kau akan
menerimanya sekelam apapun itu.” Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan
kata-katanya.
“Tapi ternyata aku salah. Kau malah menghianati kata-katamu sendiri. Kata-kata
yang berhasil mengusir keraguan, juga ketakutanku selama ini” lanjutnya, kini
dengan intonasi yang lebih tenang. Ada kekecewaan mendalam saat semua yang
sudah dikatakannya sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada
perempuan yang masih menolak menatap matanya.
“Bahwa ada seseorang yang mampu mencintaimu
lengkap dengan seluruh kehidupanmu. Kau bersedia mencintaiku beserta setiap
kekuranganku juga termasuk masa laluku. Bagaimanapun bentuknya.” itu kalimat
yang pernah kau katakan beberapa waktu lalu. Aku percaya kamu mencintaiku, tapi
sepertinya tidak dengan seluruh hidupku.” Kali ini, kata-katanya hanya mempu
terdengar oleh rasa sakit dalam hatinya.
Yudha lalu berbalik. Sekuat tenaga mencoba
mengabaikan separuh hatinya yang tak ingin pergi tapi menginginkan sebuah
penjelasan. Rasa sakit yang lebih besar dari keinginan tersebut berhasil
membuatnya melangkahkan kaki, menjauhi perempuan yang membuatnya harus mencintai sekaligus
terluka di waktu yang sama.
***
Yudha pun memutuskan pergi sejauh
mungkin dari kota penuh kenangan tempat ia merasakan jatuh cinta untuk yang
pertamakali. Tak pernah terbersit sekalipun di kepalanya jika perempuan itu telah
menawarkan cinta dan kebahagiaan yang ternyata hanya semu. Kini ia terjebak
dalam kondisi yang memojokkannya. Mau tidak mau harus dilalui. Tidak ada opsi
lain selain memaksakan diri untuk tetap melanjutkan hidup. Mengumpulkan kembali
stok ketegaran yang nyaris habis.
Jam menunjukkan pukul dua saat mengenang seluruh perasaan juga cerita
menyakitkan itu berakhir. Setelah begitu banyak malam yang terlewati, Yudha lalu memilih bijaksana menerima semuanya.
Sambil tersenyum lega, ia merasa bersyukur karena sepertinya, waktu betul-betul
berbaik hati mengobati kesedihannya.
Tiba-tiba Yudha merasa merindukan sosok
yang pernah menorehkan luka begitu dalam. Perempuan dengan pemahaman hidup yang
sungguh menakjubkan. Ia yang selalu membuat orang-orang merasa beruntung
mengenalnya. Namun entah alasan apa hingga ia begitu tega mengambil keputusan
yang jelas bertolak belakang dengan cara pikirannya selama ini.
Bagaimanapun juga, Yudha percaya bahwa
kehadiran perempuan itu tidak lain sebagai pengalaman, juga pelajaran berharga-tentang
berdamai dengan rasa sakit lalu kembali melanjutkan hidup.
Dan
malam-malam berikutnya tak ada lagi lelaki sunyi.
--One Day One Post