Suatu
sore di 2016, tepatnya hari ketiga di bulan Januari. Seorang perempuan tengah
berdiri sambil memegang selembar kertas yang terlihat kusut seperti habis
diremukkan dalam kepalan tangan yang kuat. Perlahan ia membaca kembali kalimat
terakhir dari tulisan diatas kertas tersebut. Lalu perlahan air matanya mulai
menetes, menciptakan bercak bening diantara huruf-huruf yang berjejer rapi.
Beberapa katanya terlihat agak buram, tak lain karena sebuah tangisan yang
berulangkali membasahinya.
Sekelilingnya
nampak lengang, tak ada sepasang mata pun yang melihatnya. Ia merasa
bahwa di kampus ini, tak ada tempat yang paling tepat untuk mengasingkan diri
selain sudut lantai lima-tempat paling sepi di waktu sore. Masih dengan posisi
yang sama, ketika hening di sekitarnya terasa pas dan membuatnya nyaman untuk
melahap sedih sendirian. Kertas yang ia pegang dengan tangan sedikit bergetar
malah beradu bersama tangisnya yang semakin kencang. Entah sudah berapa kali ia
membaca kertas tersebut namun sama saja, huruf demi huruf juga kalimat-kalimat
yang tertulis diatasnya, sampai kapan pun tidak akan pernah berubah. Terasa
sesak seperti sembilu yang menyayat hati.
Tiba-tiba
saja seseorang sudah berdiri disampingnya, menyentuh bahunya dengan lembut
sambil memulai percakapan yang memecah sunyi diantara mereka. “Afraa, sampai
kapan mau disini? Yuk kita pulang, nangisnya nanti dilanjutin di rumah aja”.
Kata ulfa dengan senyum penuh pengertian, namun tersirat raut sedih bercampur
khawatir melihat sahabatnya yang masih tertegun dengan selembar kertas kusut
ditangannya. Ulfa tahu betul isi tulisan diatas kertas itu, bahkan mungkin ia
sudah hafal kalimat terakhir yang membuat sahabatnya selalu menangis tiap kali
membacanya.
Afraa
hanya membalas dengan anggukan kecil sambil tersenyum. Ia kemudian mengusap air
mata yang mulai mereda bersamaan dengan semburat jingga yang menandakan, sang
senja sudah mengambil posisi di arah matahari terbenam. Mereka lalu memilih
pulang berhubung jam kuliah sudah berakhir dan juga, waktu magrib segera tiba.
Disepanjang jalan, keduanya hanya terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bersambung…