Saturday, 16 April 2016

Perempuan Bunglon dan Laki-laki kopi



“Kamu tau tidak, dulu aku selalu menganggap kamu apa?" Katamu pada suatu pagi—tepatnya, di tahun kedua setelah kau dan aku sah menjadi kita.


“Apaan?" Tanyaku dengan wajah antusias. Penasaran seperti apa aku di matamu sebelum menggenapiku.

“Perempuan bunglon." Jawabmu sambil menatap kedua bola mataku. Aku terdiam sebentar. Kau terlihat serius dengan jawaban yang justru terdengar lucu menurutku. Di kepalaku kini terbayang rupa bunglon dalam buku sains di sekolah dasar .

“Maksudmu aku kayak bunglon yang bisa berubah-ubah warna?" Tanyaku kembali, masih berusaha mencerna jawabanmu barusan. 


“Iya, kamu tuh persis kayak bunglon. Selalu berubah-ubah, seolah memiliki beberapa kepribadian.” Jawabmu. Kali ini dengan senyum khas yang selalu ingin kunikmati. Aku kembali terdiam memberimu kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut.


“Pertemuan kita yang pertama membuat aku berpikir kalo kamu itu perempuan paling cuek yang pernah aku kenal. Tapi setelah beberapa bulan mengenalmu aku sedikit tahu tentangmu. Kamu itu bisa sangat perhatian meski kadang jadi orang paling cuek, bahkan terkesan sangat egois. Lalu di satu sisi kamu selalu terlihat sangat cerdas, sangat pandai membuat orang terkesima dengan ide-idemu yang cemerlang. Tapi di sisi lain ternyata kamu juga bisa terlihat bodoh saat menanggapi sesuatu dan tak tahu harus berbuat apa. Kamu tidak sadar aku selalu memperhatikan gerak-gerikmu sejak pertama kali kamu berhasil mencuri perhatianku.” katamu panjang lebar membuatku refleks menggali memori semasa kuliah, saat bergabung di sebuah organisasi yang akhirnya membuka jalan untuk kita saling mengenal.

Lalu kamu pun terdiam beberapa saat. Kini giliranku angkat suara. 

“Kalo aku seperti bunglon kamu mau tau tidak, kamu itu kayak apa? tanyaku yang kemudian membuat tanda tanya di wajahmu. Kamu bergumam sebentar lalu balik bertanya. “apaan?"

“Kopi” kataku membalas tatapan penasaranmu. 

“Berarti aku ada pahit-pahitnya gitu." Katamu dengan wajah kurang setuju dengan analogiku. 


“Iya, emang kamu pahit kalo lagi marah. Yang gak salah pun sering kena imbasnya. Nyebelin …” jawabku jujur. 

“Hmm, pahit-pahit kayak kopi, tapi kamu jatuh cinta juga, kan." katamu kemu spontan membuatku membalas. “Iya, aku jatuh cinta denganmu, laki-laki yang keberadaannya menagih, seperti kopi." balasku sekaligus mengakhirnya  pembicaraan pagi itu. 

Kamu lalu menggenggam tanganku sambil mengunci pandanganku dengan tatapan penuh cinta.