Ada waktu-waktu tertentu aku memilih menghilang. Tidak betul-betul hilang. Hanya sedang menepi dari riuhnya dunia lalu mulai menapaki jalan kesunyian. Rute yang tak ditempuh kebanyakan orang. Sebuah jalan yang membuatku melangkah dengan begitu hening.
Jalan kesunyian, saat aku merasa tak perlu lagi mengabarkan segala
hal yang sedang terjadi. Tentang diri sendiri atau apa pun itu, memang tak
semuanya harus dibagi, dipublikasikan, diketahui banyak orang. Ada kalanya,
kabar bahagia, kesedihan, segala lelah dan beragam ikhtiar memperjuangkan
sesuatu akan lebih baik kita bisukan. Tidak perlu diceritakan, kecuali kepada orang terdekat, yang tulus dan bisa dipercaya.
Jalan kesunyian, saat aku betul-betul menikmati kesunyian, meresapi
detak dan mulai melihat orang-orang baik yang mencari keberadaanku. Tenyata, jumlah mereka memang sangat sedikit.
Tidak masalah, sebab sedikit orang namun betul-betul tulus lebih berharga
dibanding ribuan yang kita sebut kawan tapi malah membuat kita merasa seperti
tidak memiliki seorang pun yang peduli.
Terima kasih, kalian yang selalu merasai ketidakhadiranku. Kalian
yang ketika berhari-hari atau sekian lama tak kusapa akan datang memulai
percakapan sederhana yang membuat haru. Bagaimana
kabar (ta’) kak? Aira, rindu (ka)’! How’ur days? Are you okay? Sehat (jki)’? Di
mana(ki)’? Etc. Sekali lagi, terimakasih!
We don’t need to be accepted or loved by everyone. Just few good people.
Yeah... I always appreciate the one who
choose to be my side when no one else did.
--Makassar, lembaran pertama November