“pukul
delapan pagi. teriakan penjual kematian tiba. lebih siang dari hari-hari
sebelumnya. kupesan dua bungkus untuk kau & aku di esok hari. sedangkan
kita-kematian yang tidak datang-datang.” (selamat pagi puisi)
“Kemana kata-kata sedang melipur diri? aku
menebaknya: ia sedang mencari kolam, tempat ia menenggelamkan kekalutan yang
tidak tahu berenang. atau mungkin sedang-ke toko buku, mencari saudaranya.” (4
pertanyaan ini akan membuatmu berlibur)
Dua kutipan puisi pembuka yang cukup mewakili
banyak puisi yang saya sukai. Puisi-puisinya penuh warna, menghadirkan beragam
perasaan sepanjang membacanya. Kadang, spontan saya dibuat tertawa, ingin
memaki dan seringkali malah merasa jika satu puisi sedang menyentil kesadaran
saya.
Dalam ketidakpahaman dan kebingungan yang saya
rasakan sejak pertamakali memilih pintu masuk, saya bisa menemukan ruang bebas
untuk menikmati tiap puisi-dengan interpretasi sendiri, alias suka-suka saya.
Karena puisi selalu menawarkan banyak kemungkinan, keambiguitas dan
keganjilannya ternyata juga bisa membuat saya hanya mampu mengernyit tanda tak
paham dan tak tahu cara agar segera paham. Tapi puisi tetap bisa dinikmati bagi
siapa pun yang bersedia memasuki dunianya, menelusuri setiap kata yang kadang
terasa rumit, namun ternyata menyenangkan. Pun demikian dengan saya, setiap
puisi setidaknya bisa saya nikmati dengan pintu saya sendiri.
Meski sejujurnya saya lebih sering bingung atau
merasa tersesat di satu puisi, toh tetap saja saya ingin berputar lama-lama,
menikmati dengan pelan; apa saja yang bisa saya rasakan di setiap puisi yang
menawarkan maknanya masing-masing.
Saya menyukai metafora yang dipakai dalam
puisi-puisinya, seperti banyak kalimat awal yang kemudian malah disangkal
kalimat berikutnya (kontardiktif) dan yah! Selamat, sejumlah puisi di sini
berhasil membuat saya jatuh cinta dengan cara-cara sesederhana itu.
Puisi-puisi di buku ini terasa begitu lepas,
bebas dan penuh misteri. Tidak ada alamat kepada siapa ditujukan, yang pasti
pembaca berhak untuk mengumpat, merasa tersindir atau mungkin termangu dalam
ketidakmengertian. Demikian, banyak hal ditawarkan dalam semesta puisi dan kita
sebagai pembaca bebas memilih pintu masuk yang ingin dilalui dalam sebuah rumah
(puisi). Sekali lagi, karena puisi menawarkan kenikmatan untuk pemaknaan bebas.
Tak ada yang pasti benar, kita hanya menerka-nerka atau menarik kesimpulan dari
kacamata kita sebagai pembaca (yang ini mungkin bagian yang dimaksud “kita bisa
memilih sendiri pintu masuk dan keluar”…)
Saya merasa puisi dalam sini cukup related
dengan hal-hal di sekitar kita. Seperti dalam puisi “tentang kota” atau “hai
orang-orang” yang berseru-seru lantang tentang hal yang cukup krusial. Di lain
puisi pun ada tentang cinta yang tak ada habisnya dibahas dan masih banyak lagi
tentang hal lain yang cukup absurd atau tabu mungkin (jika saya tidak keliru
menangkap).
Meski sama-sama dibangun dari kata-kata membaca
buku puisi tentu berbeda dengan membaca novel/cerpen atau bacaan lain. Bagi
saya, puisi dengan segala kerumitan dan ketidakterusterangannya selalu
membutuhkan waktu lama untuk bisa menamatkannya-meski pun bukunya tipis. Yap…
saya membaca buku ini sampai seminggu.
—
Banyak tanda baca yang sedikit mengurangi
kenyamanan. Seperti spasi yang dibuat berlebihan di antara baitnya belum bisa
saya pahami, (untuk apa? Menarik napas lebih panjang, mungkin) sama halnya seperti
huruf yang sering diketik dalam tulisan miring. Kemudian saya pun paham
setelah menanyakannya langsung.
Sebelumnya saya hanya membaca puisi Alvian di
medium dan memang saya rasa bagus, jadi tidak ragu saya memesan dua. Kemudian
saya tidak menyesal untuk buku yang covernya menawan dan membuat saya
jatuh cinta sejak pandangan pertama ini, hehe.. Saya merasa keputusan yang
tepat sudah berhasil mengoleksinya.
**(tulisan
ini disalin dari tumblr)