Thursday, 24 August 2017

Teruntuk Perempuan



Dear perempuan...
Sesukar bagaimanakah menahan diri dan meredam gejolak rasa?
Betapa sulitkah mendamaikan perasaan yang terlanjur sesak oleh harapan?
Tak lelahkah hatimu digores kecewa?
Cobalah mengambil jeda, walau sebentar saja. Mari kita berbicara dengan penuh kejujuran perkaraahati, milik kita yang selalu saja di barisan belakang, perihal melawan ego dan logika.
Resapi diri yang seringkali berkawan nafsu, kepada rasa yang sempat menistakan fitrah. Terangkanah... Renungkanlah.
Perempuan. Adalah kita, kata yang selalu bersanding dengan kelembutan, penyayang, dan juga "makhluk perasaan." Kurasa Adam mana pun akan sepakat tentang kita yang teramat mudah dikendalikan perasaan. Dari zaman kenabian pun, Aisyah sudah membuktikan bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang teramat perasa. Terlalu mudah terbawa perasaan hingga cemburunya terhadap Khadijah tak mampu ia sembunyikan di hadapan Rasulullah. Itu selevel perempuan mulia istri Rasulullah, lalu bagaimana dengan kita, yang notabenenya bukan istri Rasul, atau perempuan-perempuan mulia setara Maryam, Asiyah ataupun Fatimah?

Karena kita mustahil menjadi seorang Aisyah, tapi tak lantas hal tersebut menjadikan posisi kita se rendah-rendahnya berada di bawah perempuan seperti beliau ataupun perempuan tangguh lainnya. Sebab kita selalu berpeluang untuk bisa mencontohi barisan perempuan hebat yang pernah mencicipi manisnya menjadi seorang perempuan tanpa perlu merasakan sesak, baper, atau apa pun bahasa kekiniannya. Yah, bukankah hidup adalah rangkaian percobaan? Termasuk dalam hal membentuk karakter kita, sebagai perempuan baja atau malah perempuan lemah dan rapuh. Ada banyak perempuan yang bisa kita jadikan referensi untuk menjadi perempuan tangguh di zaman emansipasi wanita ramai digaungkan dan banyaknya kasus yang menempatkan perempuan sebagai korban.

Aku menulis ini tidak bermaksud merasa lebih tahu atau sok paham perkara perempuan. Aku sengaja menulis ini, sebagai refleksi untuk diri sendiri sekaligus menuangkan beberapa hal yang cukup meresahkan sebagai perempuan di era milenia ini. Bukannya sok dewasa atau menggurui, tapi aku hanya ingin berbagi lewat tulisan bahwa menjadi perempuan memang tak pernah mudah. Katakanlah, kita sudah dilabeli sebagai penghuni neraka yang lebih mendominasi dibanding laki-laki, maka, tak takutkah kita? Aku sendiri merasa merinding jika mengulang kata-kata itu. Sungguh, perempuan memang layak disematkan sebagai penghuni neraka terbanyak jika ia tak mampu membimbing dirinya menjaga diri dari setiap peluang yang akan menggelincirkan dirinya dalam kubangan nafsu. Aku, kalian yang membaca ini, semoga tak menjadi bagian dari mereka yang tergerus arus dunia hingga lupa jati diri dan perannya sebagai perempuan.

Duhai perempuan, pahami dirimu sebelum berusaha mengerti kaum Adam. Sebab, saat kau sudah sampai pada titik mengerti dirimu dengan utuh, maka takkan sulit lagi menempatkan diri dalam banyak kondisi, mulai dari hal yang mungkin dianggap receh hingga dalam keadaan paling pelik sekalipun. Sadari sejak awal peran dan tanggung jawab bawaan dan kodrat kita sebagai perempuan. Bahwa perempuan memang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Dipaksa lurus malah akan mematahkannya, maka hanya dengan kelembutanlah ia bisa dibimmbing menjadi sebaik-baik perhiasan dunia.

Tak bisa dinafikkan bahwa kita perempuan memang makhluk yang kompleks. Sosok yang katanya sulit dipahami dalam definisi yang kurasa masih ambigu. Kukatakan ambigu sebab relatif saja jika seorang laki-laki mau menganggap susahnya kami dimengerti di wilayah mana, sebab kami tetaplah kami: makhluk Tuhan yang lebih mudah berisyarat atau bahasa kerennya melempar kode. Kenapa? Karena kami dilindungi oleh rasa malu juga ego, bahwa mengutarakan secara gamblang isi hati bisa jadi malah merendahkan diri atau melukai harga diri kami. Sungguh sebuah pernyataan yang tak harus di-iyakan seutuhnya, bukankah Khadijah yang lebih dulu menyampaikan niat ingin menikahi Rasulullah?  Hmm... Silakan menginterpretasikan sendiri. Terlepas dari persepsi tersebut, aku slalu setuju kalimat karena wanita ingin dimengerti. Seperti itulah faktanya, dan terlalu banyak laki-laki yang enggan memahami atau menerima dengan dalih laki-laki pun punya perasaan dan butuh dimengerti. Entahlah...

Baiklah, agar tulisan ini tidak melenceng ke mana-mana, biar kuutarakan beberapa hal yang menjadi poin penting sebagai perempuan: Pertama. Jadi perempuan haruslah memiliki prinsip atau pegangan hidup, sebagai pijakan dalam mengambil keputusan atupun pilihan. Milikilah ia sebagai benteng atau filter yang akan mencegah terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Pegang teguh prinsipmu dan jangan sampai melanggarnya sebab itu sama halnya mencederai dirimu sendiri. Dan sebaik-baik pegangan tentu harus sejalan dengan apa yang kita imani dan tak keluar dari koridor islam itu sendiri. Semoga kalian paham maksudku.

Kedua. Jadilah perempuan yang pandai bersikap juga memposisikan dirinya di mana pun ia berada. Jangan terlalu banyak mengumbar perasaan, pun jangan mau terlihat murahan, baper hanya karena disuguhi kata-kata manis yang sejatinya pahit sebab statusnya hanya gombalan. Sadarlah, lelaki kadang menjadi makhluk kejam yang amat tega melukai perempuan dengan tajamnya kata-kata ataupun pengharapan. Bukan bermaksud menyalahkan laki-laki, sebab perempuan juga selalu menjadi pihak yang kurang pandai memposisikan diri dalam wilayah perasaan; dengan mudahnya ia memekarkan bunga-bunga harapan, disirami angan kosong juga anda-andai dan berbagai kemungkinan yang tak disadarinya malah menjadi bibit kecewa suatu hari nanti. Dan selalu saja ada tangis jika ekspektasinya bertabrakan dengan fakta, hal yang paling tidak diinginkannya. 

Terakhir. Jadilah perempuan luar biasa yang meneladani para wanita hebat terdahulu. Belajarlah kebijaksanaan dan pemurahnya Khadijah. Cerdaslah seperti Aisyah dan tangguhlah menjaga kesucian fitrah seperti Maryam. Dan masih banyak lagi perempuan yang amat pantas kita contohi perilakunya jika betul-betul ingin menjadi perempuan yang tepat tuk dijadikan pilihan atau calon ibu bagi generasi kita kelak. Ah, bukankah kita harus mendidik anak jauh hari sebelum ia lahir, lewat diri kita sendiri? Ya, maka perbaiki diri dari sekarang. Berbenahlah, ajal takkan menunggu kita menjadi perempuan baik dahulu baru ia akan datang bertamu.
Kata-kata penutup. Kepada setiap perempuan...
Merdekalah dengan definisi kebebasanmu sendiri. Dan untukku, sebagai perempuan banyak hal yang mesti dimerdekakan. Sebab kita adalah makhluk perasa yang lihai menjajah diri sendiri dalam ketidaksadaran karena terlampau sulit menomorsatukan logika.
Maka, merdekalah dari jebakan rasa yang mengarati hati. Oleh dendam yang tertanam. Atas perasaan benci, iri hati juga setiap noktah hitam yang mengotori kecantikan barang berharga di dalam sana. Tuan dari raga, yang kadang sulit ditundukkan.
Merdekalah perempuan. Dari apa pun yang membuat kepercayaan diri runtuh ataupun alasan-alasan lain yang menahan langkah kaki tuk menggenggam mimpi. Bebaskan dirimu dari seluruh kerumitan yang kadang kau ciptakan oleh spekulasi-spekulasi baik yang hanya menjadi pendukung harapan, awal mula dari lahirnya bencana bernama kekecewaan. 
Merdekalah. Jadilah cantik dengan apa saja yang kau anggap paling nyaman untukmu (asal tak melanggar nilai-nilai agama). Tidak usah terlihat kekinian jika itu sedikitpun tak menyuguhimu kedamaina hati. Ingat, kebahagian adalah tanggungjawab masing-masing. Jangan menitip harap jika tak siap menampung pedihnya kenyataan yang bertabrakan dengan ekspektasi. 
Merdeka atau tidak adalah hak mutlak untukmu, wahai perempuan pemangku masa depan. Pantaskanlah dirimu untuk menjadi rahim yang akan melahirkan generasi penerus bangsa. Pembenah nasib ibu pertiwi yang penuh luka.
--Makassar, 24 Agustus 2017. Dari perempuan kepada perempuan. (Sebuah catatan singkat dari status 17 agustus yang kemudian menjadi sepanjang ini)