Sunday, 1 August 2021

Agustus dan Rencana-rencana yang Tertinggal

Agustus kembali—bulan yang akan selalu mengingatkanku dengan usia yang segera beranjak, berganti umur baru. Seperti angka yang tanggal pada almanak tahun, usia yang pergi tak akan pernah kembali, menyisakan setumpuk kenangan, penyesalan dan rencana-rencana yang tertinggal di belakang.

Sungguh, waktu terus berjalan, pandemi masih bertahan dan entah sampai kapan. Tiga tahun terakhir yang berat bagiku, saat-saat yang tidak membawaku pada harapan apa pun, tanpa sesuatu yang terasa berarti—atau aku yang belum cukup dalam menggali sebuah makna. Pergantian tahun tak lebih dari fase yang semestinya berlalu, tidak peduli bagaimana isinya sebab bertahan saja mungkin sudah menjadi satu-satunya tujuan di hadapan segala keterbatasan dan ketidakpastian keadaan.

Bisa tetap waras, masih diberi kesehatan dan sedikit kesadaran rasanya sudah sangat bersyukur, lebih dari cukup tuk merasa keberuntungan hidup tidak pernah pergi. Melewati sekian waktu yang penuh dengan emosi terpendam tidaklah mudah, terlebih ketika kata-kata seolah tak lagi bersedia mewakilkan segala yang tak pernah sanggup dikatakan. Perasaan paling gelap yang tak dipahami siapa-siapa menjadi beban tak tertangguhkan, yang tidak sekadar memutus langkah tapi kadang malah meniup padam nyala harapan. Perjalanan seketika gelap, tak ada yang bisa dibaca selain rencana-rencana yang menunggu waktu.

Aku semakin jarang menulis, lebih jarang lagi membagikan tulisan seperti biasanya. Entah bagaimana, aku seakan tak sanggup lagi membagikan kata-kata yang semakin hari hanya semakin getir, bertambah fasih mengeja kesedihan dan rasanya semakin jauh dari kebahagiaan. Tulisan-tulisan muram seolah menuntutku tuk berhenti dan melupakan keinginan menjadi seorang penulis.

Tidak menyangka akan melalui badai sehebat tahun-tahun yang kulalui belakangan ini. Aku seperti terseret ke pulau antah berantah, tanpa bantuan siapa-siapa dan dipaksa mencari jalan keluar, namun yang terjadi justru ketakutan membuatku diam, tak ingin menghadapi jalan buntu, tinggal hingga tergulung gelombang. Berakhir dalam ketidakberdayaan panjang.

Di lembaran Agustus pertama ini, aku berdoa; semoga luka segera pulih, badai berlalu dan masih ada waktu tuk kembali menghidupi harapan-harapan, meneruskan rencana dan melanjutkan tujuan. Hingga semua terselesaikan dengan sebaik-baiknya. 

-Maros, di penghujung siang yang mendung