Lalu, Allah menurunkan
hujan pada akhir ritus ini. Bagaimana aku
tak membacanya sebagai sebuah tanda? Sedangkan Allah menyuruh manusia sejak
ayat Al-Quran pertama turun dengan perintah “Bacalah!” Aku menggeleng, berteriak, tertawa, menangis,
bertakbir, dan gila... pada waktu yang sama. Aku menengadah, membiarkan air
hujan masuk ke tenggerokan. Jika setiap dini hari aku datang ke Masjid Nabawi
dengan memeluk buku Lelaki Penggenggam
Hujan dan merasa sedang melapor kepada Rasulullah “Ya Rasulullah ... aku tak punya amalan yang pantas diutarakan, kecuali
bahwa aku menulis buku tentangmu dengan air mata cinta.” Dalam tawaf itu,
aku mendapatkan jawabannya. (Hal.290)
Salah satu bagian yang
membuat air mata saya jebol, seperti ikut serta merasakan teduhnya hujan di
tanah suci. Saya betul-betul ikut patah hati, tidak menyangka akan terseret ke
dalam perjalanan ini dengan emosi yang begitu rupa.
Buku ini adalah surat
panjang Tasaro kepada bapaknya. Ia menuliskan cerita perjalanannya ke Tanah
Suci, tempat yang paling ingin didatangi bapak sepanjang hidupnya. Sebuah
perjalanan spiritual yang pada akhirnya menciptakan “patah hati” sebab meninggalkan
batas Tanah Haram betul-betul membuatnya merasa sangat kehilangan.
“Perasaanku
tak mudah aku jelaskan. Ketika itu aku masih mencari istilah yang mendekati
kebatinanku. Kosong. Semacam jatuh ke dalam lubang dalam yang tak berbentang
akar untuk diraih sebagai pegangan. Seperti mencintai bayangan. Semacam
matahari merindukan bulan. Aku benar-benar patah hati. Ada rindu yang amat
berbeda. Rindu yang membuatku patah hati. Rindu kepada kota yang sesungguhnya
baru sesaat aku merasakan hidup di dalamnya. (Hal.295)
Selama membaca buku ini
saya seperti ikut serta bersama penulis, mengunjungi sudut-sudut tanah suci,
merasakan suasananya, meresapi udaranya sembari menyaksikan fragmen-fragmen
yang menyuguhkan begitu banyak hikmah. Lalu, di dua bab terakhirnya betul-betul
menjadi ending yang mengharukan.
Seperti klimaks dalam sebuah novel, puncak dari rentetan peristiwa yang penuh
makna selama berada di Tanah Suci. Saya mengakui kepiawaian penulis bercerita
dengan diksinya yang begitu fasih membuat pembaca akan ikut merasakan betapa menggetarkannya moment perjalanan yang berhasil membuat penulis patah hati.
Seperti beberapa karya
sebelunya, lagi-lagi saya jatuh cinta dengan tulisan Abah (panggilan kami di keluarga T(j)inta; red). Novel tetralogi
Muhammad Saw saban hari membuat perasaan saya begitu melankolis, beribu lembar
saya baca, sesekali harus dijeda dengan air mata, kemudian di buku Sewindu pun lagi-lagi saya dibuat haru
dengan kisah delapan tahun perjalanan hidup Abah, seluruhnya ditulis dengan
begitu indah.
Ah, saya hampir lupa,
buku ini dipersembahkan untuk keluarga T(j)inta ... di lembaran pertama Abah
menulis: “Urat nadi bernama keluarga
bukan sekadar peta menuju pulang, melainkan matahari yang padanya setiap anak
Adam menambang keajaiban.” Manis sekali Bah!
Dan selepas membaca
buku ini saya dikepung rindu dan doa-doa panjang yang saya yakini sebagai
kaki-tangan yang begitu kuat, yang suatu saat akan memampukan sebuah perjalanan
impian paling ingin saya segerakan: mengunjungi
dua kota haram.