Wednesday, 7 November 2018

Patah Hati di Tanah Suci



Lalu, Allah menurunkan hujan pada akhir ritus ini. Bagaimana aku tak membacanya sebagai sebuah tanda? Sedangkan Allah menyuruh manusia sejak ayat Al-Quran pertama turun dengan perintah “Bacalah!” Aku menggeleng, berteriak, tertawa, menangis, bertakbir, dan gila... pada waktu yang sama. Aku menengadah, membiarkan air hujan masuk ke tenggerokan. Jika setiap dini hari aku datang ke Masjid Nabawi dengan memeluk buku Lelaki Penggenggam Hujan dan merasa sedang melapor kepada Rasulullah “Ya Rasulullah ... aku tak punya amalan yang pantas diutarakan, kecuali bahwa aku menulis buku tentangmu dengan air mata cinta.” Dalam tawaf itu, aku mendapatkan jawabannya. (Hal.290)

Salah satu bagian yang membuat air mata saya jebol, seperti ikut serta merasakan teduhnya hujan di tanah suci. Saya betul-betul ikut patah hati, tidak menyangka akan terseret ke dalam perjalanan ini dengan emosi yang begitu rupa.

Buku ini adalah surat panjang Tasaro kepada bapaknya. Ia menuliskan cerita perjalanannya ke Tanah Suci, tempat yang paling ingin didatangi bapak sepanjang hidupnya. Sebuah perjalanan spiritual yang pada akhirnya menciptakan “patah hati” sebab meninggalkan batas Tanah Haram betul-betul membuatnya merasa sangat kehilangan.

“Perasaanku tak mudah aku jelaskan. Ketika itu aku masih mencari istilah yang mendekati kebatinanku. Kosong. Semacam jatuh ke dalam lubang dalam yang tak berbentang akar untuk diraih sebagai pegangan. Seperti mencintai bayangan. Semacam matahari merindukan bulan. Aku benar-benar patah hati. Ada rindu yang amat berbeda. Rindu yang membuatku patah hati. Rindu kepada kota yang sesungguhnya baru sesaat aku merasakan hidup di dalamnya. (Hal.295)

Selama membaca buku ini saya seperti ikut serta bersama penulis, mengunjungi sudut-sudut tanah suci, merasakan suasananya, meresapi udaranya sembari menyaksikan fragmen-fragmen yang menyuguhkan begitu banyak hikmah. Lalu, di dua bab terakhirnya betul-betul menjadi ending yang mengharukan. Seperti klimaks dalam sebuah novel, puncak dari rentetan peristiwa yang penuh makna selama berada di Tanah Suci. Saya mengakui kepiawaian penulis bercerita dengan diksinya yang begitu fasih membuat pembaca akan ikut merasakan betapa menggetarkannya moment perjalanan yang berhasil membuat penulis patah hati.

Seperti beberapa karya sebelunya, lagi-lagi saya jatuh cinta dengan tulisan Abah (panggilan kami di keluarga T(j)inta; red). Novel tetralogi Muhammad Saw saban hari membuat perasaan saya begitu melankolis, beribu lembar saya baca, sesekali harus dijeda dengan air mata, kemudian di buku Sewindu pun lagi-lagi saya dibuat haru dengan kisah delapan tahun perjalanan hidup Abah, seluruhnya ditulis dengan begitu indah.

Ah, saya hampir lupa, buku ini dipersembahkan untuk keluarga T(j)inta ... di lembaran pertama Abah menulis: “Urat nadi bernama keluarga bukan sekadar peta menuju pulang, melainkan matahari yang padanya setiap anak Adam menambang keajaiban.” Manis sekali Bah!

Dan selepas membaca buku ini saya dikepung rindu dan doa-doa panjang yang saya yakini sebagai kaki-tangan yang begitu kuat, yang suatu saat akan memampukan sebuah perjalanan impian paling ingin saya segerakan: mengunjungi dua kota haram.