Saturday, 10 October 2020

Belajar Menjadi Minimalis Dengan Buku-Buku Ini


Selama Pandemi saya cukup banyak membaca buku bertema self-improvement dibanding novel yang sejujurnya a cup of my tea. Salah satunya Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay yang saya masukkan dalam daftar “sedikit buku yang memberi banyak pengaruh dalam hidupku."

Awalnya saya mengetahui buku Seni Hidup Minimalis dari seorang bookstagram yang berhasil menarik perhatian saya lewat sampulnya yang simpel ditambah hasil foto yang apik. Sejujurnya, saya tidak membaca semua review buku yang lewat di beranda IG, terlalu banyak dan memang saya lumayan selektif memilih bacaan (walau pun hanya caption saya sadar; semuanya akan memakan waktu tentu saja, so jangan ragu skip tulisan yang not worth it) sebab saya punya batas waktu tersendiri berada di ruang maya yang silau itu.


Setelah membaca ulasannya saya melipir ke goodreads, memasukkannya ke rak want to read, lalu saya melupakannya karena tertarik buku lain. Kemudian ketika corona virus merebak dan psbb berlaku saya mulai rajin ke Ipusnas demi memperoleh bacaan gratis karena saya sudah tidak mungkin lagi ke perpustakaan kota dan tempat membaca offline lainnya. Di Ipusnas ternyata banyak sekali buku yang sudah lama saya cari, jadilah saya berkutat di aplikasi pemerintah yang sangat menguntungkan itu. Si perempuan yang kehausan bacaan tiba-tiba jadi pengunjung setia Ipusnas. Meskipun sejujurnya saya tak begitu nyaman dengan e-book, masa Pandemi mau tak mau membuat saya beradaptasi dengan sangat keras di awal. Maklum, mata saya tidak tahan berlama-lama membaca di layar hp. Tapi ternyata betul; ala bisa karena biasa juga akhirnya.

Pertama kali membaca buku Seni Hidup Minimalis pun sebenarnya di Ipusnas (kemudian saya membelinya karena antrian panjang haha), sejak pertengahan Maret jika saya tak salah ingat. Waktu itu saya tak membaca sampai habis, bukunya lumayan tebal dengan lay out yang padat. Ditambah efeknya lumayan berat: tiba-tiba saya ingin mempraktikkannya sebelum tamat. Sedikit demi sedikit hingga buku ini menjadi salah satu buku terlama yang saya selesaikan.

Dalam salah satu kelas literasi yang sempat saya ikuti semasa Pandemi, siapa sangka buku Seni Hidup Minimalis ikut dibahas ketika mengobrolkan buku berbenah Marie Kondo yang best seller itu. Kata sang pemantik diskusi, buku berbenah ala KonMari yang sangat popular ini sangat recommended, terutama yang memiliki masalah soal kelebihan barang dan kesulitan merapikannya. Setelah membaca buku Marie Kondo boleh dilanjutkan dengan buku Goodbye, Things karya Fumio Sasaki, tergeraklah saya membaca buku Marie Kondo, dilanjut dengan buku lain yang juga direkomendasikan teman-teman kala diskusi waktu itu.

Jadilah saya mengurutkan membaca buku-buku untuk belajar menjadi minimalis dengan daftar seperti ini:

Seni Hidup Minimalist—The Life-Changing Magic of Tidying up—Goodbye things—Beli Karena Butuh dan Menjadi Minimalis.

Seni Hidup Minimalis, di urutan no. 1 karena saya membacanya paling pertama meski tak selesai, namun buku ini, khususnya di bab awal akan memberimu pengertian "mengapa harus hidup minimalis" berikut dengan dasar pemikiran yang digunakan miss minimalist Francine Jay. Di sinilah saya mendapat kesadaran tentang pentingnya sebuah ruang yang lapang, auto menggerakkan saya untuk menyingkirkan tempat tidur besar di kamar sebagai langkah awal sekaligus wujud keseriusan saya mengamalkan apa yang baru saja saya baca.


The Life-Changing Magic of Tidying up karya Marie Kondo. Saya senang sekali bisa membaca buku ini. Marie kondo menekankan metode berbenah dengan memilih barang yang akan disimpan alih-alih dibuang. Memilihnya pun dengan menanyakan pada diri; apakah barang ini membuat kita senang? Dan aturan sederhana lain semisal barang sentimen adalah urutan terakhir yang harus dibereskan. Sepenuhnya saya sepakat. Buku ini mengingatkan saya semasa SD yang sejak memiliki kamar sendiri jadi super rapi dan teratur, kadang sampai uring-uringan ketika ada yang datang dan meletakkan barang sembarangan. Ternyata sudah dari kecil saya gemar merapikan dan saya lumayan perfeksionis dalam urusan mengatur barang.

Kemudian Goodbye things karya Fumio Sasaki yang baru saja saya tamatkan. Saya akan mereviewnya jadi tidak usah saya tuliskan garis besar apa isinya, yang pasti: buku ini sangat harus dibaca untuk mendalami minimalis.


Lalu buku Beli karena Butuh. Ini khusus untuk muslimah, seperti yang disarankan teman tadi. Saya membaca cepat buku ini sejujurnya hanya untuk membuktikan review teman, apa memang sebagus itu buku ini? Well, kuakui bagus. Namun, karena sudah menemukan buku yang lebih cocok untuk saya, buku ini tidak terlalu relate, tapi sangat cocok buat siapa pun yang merasa suka belanja, gampang membeli sesuatu karena terpikat diskon padahal sebenarnya bukan kebutuhan.

Terakhir, e-book MNMLST. 


Ini paling asik sebenarnya, terlebih jika kamu merasa tak cukup memiliki waktu untuk membaca semua buku yang sebelumnya saya sebutkan. E-book ini dibuat dengan sangat minimalis, isinya pun sudah didesain sedemikian rupa; sederhana tapi elegan. Bahasanya yang santai, sederhana membuat saya membacanya sekali waktu (jam 11—12 malam entah lewat berapa). Buku ini tidak tebal, sangat praktis untuk kamu yang memang ingin belajar minimalis dengan bacaan yang cukup ringkas namun tetap efektif. Makasih banyak Kak Ryan yang sudah membagikan e-book ini, gratis tis tis, hehe. Dari buku inilah saya pun tahu sebenarnya saya masuk kategori minimalis mana. Fyi, ada beberapa tipe minimalis yang disebutkan di sini. Keunggulan lain buku ini karena mengambil banyak referensi, tidak hanya dari buku saja, dan semuanya betul-betul bikin open minded. (Tulisan singkat ini hanya pendapat subjektif saya sebagai pembaca yang sangat menikmati buku MNMLST)

Oke sekian. Saya tidak ingin membuat kalimat penutup yang panjang, menulis ini pun sejujurnya cukup melelahkan (efek begitu lama tak menulis panjang di sini). Terima kasih, jika kamu membaca sampai akhir. Salam dari manusia yang terlambat belajar menjadi minimalis.