Day 1
Something beautiful I saw today
Seperti biasa ketika terbangun, hal yang saya lakukan selepas meminum air putih adalah membuka jendela dan membiarkan udara segar masuk. Menghirup udara sebelum subuh sudah menjadi bagian dari rutinitas. Rasanya nyaman sekali. Awal menyenangkan tuk memulai hari.
Usai membuka jendela kamar saya tertegun sebentar. Takzim memandang keluar, di langit yang masih gelap purnama tengah bersinar cantik. Memandangnya terasa menenangkan, membuat saya terpikirkan beberapa hal; tulisan seseorang yang semalam kubaca, novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan kisah Nabi Ibrahim. Semuanya belkelindan membentuk serangkaian perenungan singkat namun dalam.
Tulisan yang saya baca sebelum tidur berasal dari seorang dokter di Tumblr. Ia menulis tentang pengalamannya semasa koas ketika berhadapan dengan pasien yang depresi karena kehilangan penglihatannya alias buta. Kurang lebih ia menyampaikan cerita tersebut dari kacamata syukur, ... sejenak menghadirkan berbagai tanya. Bagaimana jika kau yang harus dicabut nikmat penglihatannya? Siapkah kau bertanggungjawab terhadap segala hal yang sudah disimak kedua mata semasa hidup? Bukankah titipan-Nya bernama mata akan bersaksi, sementara mulut akan terkunci. Tidak ada pembelaan apalagi protes. Perhitungan-Nya adalah paling adil. Sudah bersyukurkah dengan nikmat yang satu ini? Ah, tidak perlu dijawab, diinsafi saja sudah cukup.
Lalu novel Tere Liye, Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Novel yang saya baca dua kali ini seperti judulnya, benang merah dari rangkaian peristiwa dalam cerita berujung (tentang keterkaitan judul novel dan kisah di dalamnya) "rembulan" yang ditulis secara sederhana namun menjadi poin penting keseluruhan novel.
Ada apa dengan rembulan? Singkatnya, Ray tokoh utama selalu memiliki kebersamaan khusus dengan rembulan yang tanpa sepengetahuannya ternyata membuatnya mendapat kesempatan tuk mengajukan 5 pertanyaan besar dalam hidupnya. Saya menangkap salah satu pesan yang ingin disampaikan penulis tentang hal kecil yang sering diabaikan keberadaannya namun ternyata mampu memancing perenungan.
Seperti halnya Nabi Ibrahim yang melihat semesta, memperhatikan benda-benda langit lantas bertanya kritis tentang siapakah di balik penciptaannya? Ray dengan cara yang berbeda, menikmati rembulan sedikit banyak menyelamatkan hidupnya, membuatnya mendapat penjelasan dari ketidakpahaman akan takdirnya. Saya tentu tidak mencoba menyamakan kisah Nabi Ibrahim dengan tokoh fiksi dalam novel, saya hanya mengambil bagian penting dari keduanya: tentang kebesaran-Nya. Bahwa ke mana pun kita memandang, di penjuru semesta ini, kekuasaan-Nya menjejak di setiap jengkal bumi.
Rembulan hanya salah satu dari sekian banyak yang bisa kita saksikan. Kau takkan sanggup menuliskan seluruhnya.
Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?
-Maros, 23 Agustus 2021 | 10:01 pm