Sunday, 29 August 2021

Menghadapi Kecewa

Day 6

A life lesson I have learned

Tahun sebelumnya, 2020 bisa dibilang tahun yang paling banyak membuat saya menangis sekaligus belajar banyak hal. 

Dua ribu dua puluh; ketika pandemi tidak menunjukkan tanda-tanda selesai, saya merasa betul-betul di titik terendah. Suatu keadaan ketika saya merasa bahwa semua orang di sekitar saya seolah serempak melukai, membuat saya kehilangan kepercayaan, bahkan harapan. Di satu titik saat saya tak lagi sanggup bersuara, tidak mampu membuat keputusan apa-apa hingga berujung pergi dari rumah, memutuskan diri dari semua orang. Saya mengambil jarak dari manusia-manusia yang sudah terlalu banyak mengecewakan.

Sekitar seminggu yang betul-betul hanya sendirian, tanpa distraksi internet, saya mencoba mencari diri saya, mencoba menyelamatkan hidup, dan mimpi-mimpi yang patah.

Kala itu, di waktu-waktu paling sunyi, ketika saya selalu terbangun sebelum pukul tiga subuh, saya melewatkan waktu selepas salat dengan menangis sejadi-jadinya, bercerita tentang seluruh yang menyesaki hati pada satu-satunya Mahamendengar yang tak pernah tidur. Bisa dibilang, dalam kondisi ketika sangat hancur itulah, saya justru menemukan keadaan spritual yang paling tinggi, yang membuat saya belajar tuk lebih menjaga hubungan baik dengan-Nya.

Saya berusaha menyerap pelajaran terbaik yang ditawarkan takdir, hal-hal yang mustahil diubah. Saya kemudian membaca tentang "ilmu maklum" dari buku Pemulihan Jiwa yang membuat saya sedikit demi sedikit merengkuh ikhlas dari setiap peristiwa tidak mengenakkan yang sempat terjadi.

Bahwa kecewa memang manusiawi, dan tidak ada yang sebenarnya membuat kita kecewa selain diri kita sendiri. Kita kecewa karena harapan dan kenyataan berbeda, kita berani berharap tapi tak cukup mahir meletakkan harapan di ruang penerimaan ketika akhirnya tak sesuai realita. Kita dilukai oleh ekspektasi kepada seseorang, lupa, bahwa manusia tidak ada yang sempurna.

Setiap manusia berpotensi melukai dan mengecewakan kita walaupun tidak berniat demikian. Tugas kita belajar menerima, bersabar dengan sikap atau ucapan seseorang yang menyakiti perasaan, mencoba memakluminya (belajar ilmu maklum). Karena siapa pun bisa berbuat salah, sengaja atau tidak. Demi ketenangan hati dan kebaikan diri sendiri, kita lebih memilih memaafkan. Sebab kecewa hanya salah satu wujud dari begitu banyak cobaan-cobaan kehidupan, tempat belajar sekaligus menguji ketangguhan diri.