Tulisan
kali ini bukan pengalaman paling berkesan di pertigaan lampu merah.
Di pertigaan lampu merah, tidak lain hanya salah satu dari banyak hal yang
ingin kutuliskan saat dalam perjalanan. Entah kenapa, setiap berada dalam perjalanan
selalu saja ada hal yang kupikirkan. Terkadang, karena terlalu sibuk
dengan pikiranku, aku malah tidak sadar jika sudah tiba di tujuan.
Aku selalu memikirkan banyak hal lewat apa
saja yang disuguhi jalan sepanjang mata memandang. Dan tak jarang apa yang
kupikirkan akan menjadi buah ide untuk sebuah tulisan termasuk saat di suatu
siang menuju kota kelahiranku. Sebuah perjalanan Maros—Makassar, tepatnya di
pertigaan lampu merah, asal mula gagasan tentang tulisan kali ini.
Saat itu lampu merah di pertigaan jalan membuat
setiap kendaraan kompak berhenti, patuh pada salah satu rambu-rambu lalu lintas.
Fokus mataku menangkap objek yang seketika membuatku tertegun beberapa saat. Seorang
anak perempuan yang jika dilihat dari postur tubuhnya, ia kisaran enam-tujuh tahun.
Dengan semangat ia menjajakan beberapa bungkus tissu dari mobil ke mobil
ataupun dari motor ke motor di sekitaran lampu merah. Debu jalan dan terik
matahari siang tak dihiraukannya. Dengan raut wajah penuh harap, sesekali ia
mengusap peluh yang bercucuran sambil terus menawarkan tissu dagangannya.
Menyaksikan adegan tersebut mengundang
rasa iba yang menelusup tiba-tiba. Kasihan sekali melihat anak yang masih kecil tapi sudah
harus mencari uang untuk menyambung hidup. “Ah, betapa tidak bersyukurnya
aku yang mengeluhkan panasnya cuaca siang ini.” batiku. Padahal aku jelas-jelas
hanya sebentar saja merasakan panas siang ini. Cukup hanya sepanjang
jalan menuju tujuan, sementara bocah tadi harus merasakan sengatan matahari sepanjang
siang demi menjual bungkus demi bungkus tissu. Tiba-tiba aku merasa malu
pada diri sendiri.
Kadang, untuk bersyukur kita memang harus
melihat ke bawah. Merenungkan kehidupan orang-orang yang untuk memperoleh makan
pun sangat sulit. Mungkin ada begitu bnyak orang yang ingin berada di posisi
kita saat ini sebab mereka tak seberuntung kita.
“Fabiayyi alaa irabbikuma
tukazziban?” Akupun teringat ayat
ini. Sebuah ayat yang berulang kali disebutkan dalam surah Ar-rahman, yang tidak
lain agar kita selalu bersyukur.
Bahwa begitu pentingnya kita bersyukur
atas tiap nikmat yang kita rasakan. Seketika aku tersadar, betapa sering aku
mengeluh. Tentang tugas kuliah yang menumpuk, tentang ini dan itu juga banyak
lagi hal remeh yang seringkali mengundang keluhan. Manusia memang diciptakan penuh keluh
kesah namun, hati yang lapang dan selalu bersyukur akan menjadi penawar. Maka,
sediakan selalu ruang dalam hati untuk selalu bersyukur juga bersabar dalam menyikapi
setiap problem kehidupan.
Bersyukurlah untuk tiap desahan nafas yang masih
berhembus. Bersyukurlah atas nikmat penglihatan, pendengaran, juga hati yang
masih bisa merasakan. Bersyukurlah untuk kaki yang masih sanggup berjalan,
tangan yang bisa kita gerakkan dan setiap inci anggota tubuh yang masih menjalankan
fungsinya dengan baik.
"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?"
Berhenti Mengeluh dan Bersyukurlah!
--One Day One Post