Aku dan ingatanku tentang menantangnya fase beranjak dewasa
Masih tentang kedewasaan, yang kali ini cukup menantang karena mau tidak mau
aku harus me-rewind ingatanku, beberapa tahun ke belakang. Bahwa di sana ada
banyak kenangan yang tidak selalu menyenangkan; kegagalan, kehilangan,
frustrasi, dan berbagai kisah di balik “beranjak dewasa”. Kadang tidak mudah
mengingat kembali saat kita merasa bahwa sebenarnya kita masih berada di fase
itu. Kita masih sedang berjalan di medan juang yang dua tiga tahun lalu kita
mulai.
Masih basah dalam ingatan, saat-saat sulit ketika aku mulai menyadari sedang
berada dalam fase kedewasaan. Rasanya ada banyak sekali emosi dan air mata
yang mengisi hari-hariku. Lalu, mari memutar mundur jarum sejarahku sendiri: ada masa
ketika perjalananku terasa tidak pantas lagi diteruskan, aku bukan hanya
kelelahan, tapi juga kehilangan alasan-alasan kenapa harus berjuang sekeras
itu? Aku merasa keputusan hidupku bukan di tanganku, aku menghabiskan umur
tidak dengan pilihanku, takdirku seakan berada dalam palu hakim orang
lain.
Lalu ketika aku ingin berhenti, ternyata masalah tidak sesederhana itu sebab
aku tak punya cukup keberanian. Aku terlalu pengecut dan takut akan sebuah
risiko. Aku terpuruk dan menganggap hidupku seperti benang kusut yang takkan terurai, dan aku ingin mengakhirinya sebelum semua semakin memburuk.
Aku menengok lebih jauh ke belakang, kulihat banyak kegagalan, kesempatan yang pada akhirnya hanya menjadi kenangan menyedihkan. Hidup
terlihat tak memperlakukanku sebaik orang lain; ia hanya menyodorkan peluang
menjanjikan di awal sebelum menjadi alat penghancur paling sadis akhirnya. Aku
berpikir bahwa semua yang kulakukan tidak ada artinya, keberuntungan seakan
tak sudi mendekat. Aku tiba-tiba menjadi begitu insecure, gemar membandingkan hidupku dengan orang lain, mereka
yang tampak bersinar dan dilimpahi kemudahan. Semua membuatku merasa pantas tuk mensumpahserapahi
kehidupan.
Lewat kacamata buramku, kulihat bahwa mengalami kegagalan berarti
pengalaman terburuk dari takdir terburuk. Masa depan tiba-tiba menjadi arena
pertarungan yang tak ingin kuhadapi. Aku memilih mati berdiri saat ini juga,
menyerah sebelum berjuang.
Aku pernah se-chaos itu ternyata.
Perasaan kalah, stagnan, patah, dilema, semua kulalui juga karena memang tak
ada cara terbaik untuk menolak. Tentu, dengan banyak tangis, tulisan-tulisan
sampah emosi dan doa yang kadang kuragukan kemampuannya. Aku diuji
habis-habisan, di semua sisi. Seperti dibombardir dengan segala masalah. Fase
dewasa yang menuntutku lebih bijaksana menyikapi kehidupan yang memang tak
selalu mudah. Tantangan-tantangan itu beragam; ada pertemanan
toxic yang harus kulepas, ada sahabat yang terpaksa kubiarkan pergi,
ada patah hati yang harus kuikhlaskan, ada luka-luka batin karena masalah
internal yang mesti kusembuhkan, pun tidak ketinggalan tuntutan
society yang kadang begitu menekan ditambah covid yang waktu itu
memukul habis diriku.
Semuanya adalah pengalaman yang membuat jatuh bangun, momen-momen pahit yang
pada akhirnya mendatangkan pencerahan. Bahwa ada hikmah yang teramat mahal
harganya. Kadang, kita tidak akan bisa memaknai semuanya sebelum berefleksi
habis-habisan, menderita sendiri dalam kontemplasi dan kesadaran yang—mematikan sekaligus mengembalikan hidup.
Fase beranjak dewasa memang berjuta rasanya.
—Makassar, pagi sendu selepas malam yang hujan | 6:50 am