Tuesday 30 August 2022

Day #30 I heal Myself

Ternyata, pulang kepada-Nya adalah cara terbaik yang bisa aku lakukan untuk menyembuhkan luka.

Pulang berarti kembali tersambung dengan-Nya, Tuhan yang maha segala. Dia yang sudah menulis skenario hidup manusia yang seringkali disalah artikan.     

Pulang kepada-Nya adalah kembali, mendekat sedekat-dekatnya, mengakui segala kelemahan dan kekhilafan diri yang takkan sanggup kembali berdiri tanpa kekuatan-Nya. Berdoa dengan penuh harap agar dititipi kesabaran terhadap takdir yang lalu ataupun yang masih tanda tanya, semoga selalu diberi kebijaksanaan mengambil pelajaran dari setiap ujian yang hadir. 

Karena pada akhirnya, healing terbaik adalah pulang kepada-Nya, mengadukan seluruh luka sembari memohon diberi kelapangan untuk ikhlas menerima semuanya. Karena hati manusia dalam genggaman-Nya, setiap rasa sakit yang pernah memenuhinya tidak akan hilang tanpa kehendak-Nya.

Day #29 Terbanglah Resah

Doa-doa panjangku agar Dia membantuku melewati hari-hari dan melepas keresahan itu.

Aku yang ketika dipenuhi kesedihan seringkali meragukan-Mu, kumohon Engkau yakinkan kembali. Bahwa janji-Mu adalah pasti.

Aku yang sering tersungkur jatuh semoga selalu kau beri kekuatan untuk kembali berdiri dan melanjutkan langkah. 

Aku yang kadang takut menghadapi esok, semoga Kau beri keberanian tuk menghadapi setiap ketakutanku, agar aku mampu untuk selalu hidup dengan perasaan yang lebih lega. 

Aku yang tanpa sadar terlalu mengandalkan diri sendiri, semoga selalu kau ingatkan dengan cara-cara paling lembut. 

Aku yang tiap kali tersesat, semoga selalu Kau beri petunjuk untuk kembali.
Aku, dengan segala resah yang kadang memberatkan hari-hari, semoga Kau titipkan syukur yang dalam agar ketenangan selalu datang mengisi hati. 

Allahu Rabbi … jangan biarkan sejengkal pun langkah kakiku tanpa bimbingan-Mu. Biarkan aku menjadikan Kau satu-satunya tempat bersandar, sepanjang usia yang sungguh sangat sebentar.

Day #28 Maaf Untuk Ayah dan Ibu

Meski aku pernah terluka oleh mereka, kini aku ingin memaafkan sebab ternyata itulah yang diinginkan-Nya.

Tidak ada orang tua yang sempurna, tapi setiap orang tua tentu ingin mengusahakan yang terbaik untuk anaknya. Sebab cinta dan kasih sayang seorang ayah dan ibu seringkali tidak sesuai dengan bayangan sang anak. Selalu saja ada hal-hal yang mungkin berseberangan, kesalahpahaman yang malah melukai kedua pihak. 

Sebuah hubungan memang bisa menjadi sangat kompleks—seperti di antara kita, ma, pak. Aku tidak akan mengungkit masa lalu mana pun. Aku hanya ingin memaafkan. 

Ma, Pak, aku ingin memaafkan semuanya. Aku yang pernah menangis karena merasa terluka oleh kata-kata atau apa pun yang kunggap tidak seharusnya. Meski pernah ada kemarahan dan kecewa yang kusimpan sekian lama, kini aku hanya ingin memaafkan semuanya. Aku tidak ingin merawat luka terlalu lama. Aku yakin, memaafkan adalah salah satu cara untuk menerima dan ikhlas.

Day #27 Kegagalan Terbaik Dalam Hidupku

Kegagalan yang pernah atau sedang dialami, yang mungkin menyisakan luka, tetapi ternyata memberikan pembelajaran berharga.

Aku gagal menyelesaikan kuliah tepat waktu. Bagian terburuknya adalah, kegagalan ini tidak hanya tentang diriku sendiri, tapi ada orang lain yang terpaksa harus menerima konsekuensinya. Kalian pasti mengerti maksudku. 

Dari sudut pandang orang banyak, aku tahu betul bagaimana mereka memandang sinis, menganggap kegagalan ini sebagai bentuk ketidakbecusanku dalam memikul tanggung jawab. Aku mafhum, memang mereka tidak sepenuhnya salah. Bagaimanapun, aku sudah kenyang dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang dilontarkan tanpa empati ataupun asumsi pribadi yang sangat menyudutkan. Memang, semua kuterima dengan sakit hati awalnya, namun perlahan, seiring bertambahnya usia yang ternyata turut menambah perspektifku dalam memandang sesuatu yang membuatku tidak lagi ingin memusingkan semuanya. Terlalu menguras energi. Tanpa kusadari, aku menjadi lebih tidak mudah menghakimi karena dalam melihat peristiwa aku tidak puas jika hanya fokus ke satu titik saja tanpa berusaha menyimak dari sudut pandang lain. 

Lalu semua menjadi biasa saja. Sekarang bahkan aku bisa menertawakan kegagalan ini. Bahwa ternyata, aku memang selemah dan setidakberdaya itu tanpa-Nya. Aku yang selalu merasa bisa mengandalkan diri sendiri hanyalah manusia biasa yang akan runtuh ditimpa kegagalan, patah oleh harapan yang salah bersandar, terluka sebab terlalu percaya pada kemampuan sendiri. 

Bertemu kegagalan sudah pasti meyakitkan, tapi begitulah hidup, tidak selamanya baik-baik saja. Bagaimana pun, kegagalan bisa menjadi titik balik hidup—yang membuat siapa pun menyadari kebebalan diri untuk segera berefleksi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin menyebabkan kegagalan itu. 

3:12 am

Day #26 Ketika Semua Berubah

Hal yang aku takutkan dari perubahan dan bagaimana cara terbaik yang akan aku lakukan untuk menghadapinya.

Jujur saja, aku tidak tahu harus menulis apa. 

Karena perubahan adalah kepastian, kurasa aku tidak akan takut menghadapinya. Apa aku terlalu optimis dan percaya diri dengan segala perubahan yang menunggu di depan sana? Entahlah. Yang pasti, aku tidak akan menolak perubahan. Aku belajar menerima perubahan, bagaimana pun bentuknya. 

Perubahan justru menyadarkanku bahwa tidak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Semua hal memang akan berubah. Seperti dunia tahun 90-an yang tentu saja menjadi sangat berbeda dengan dunia tahun 2022 saat ini. Teknologi yang semakin canggih membuat siapa pun harus beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan. Anak-anak begitu akrab dengan gadget, berbagai macam permainan masa lalu perlahan ditinggalkan. Tidak perlu jauh-jauh, aku sendiri menyaksikannya langsung di sekitarku; anak-anak yang lebih suka fokusnya tersita depan layar daripada bermain di luar rumah. 

Perubahan bisa jadi baik, atau malah sebaliknya. Tergantung bagaimana kita meresponsnya. 

Dulu aku takut menjadi tua, kehilangan kekuatan, memori melemah, penuh keriput, pelupa, kondisi kesehatan menurun, atau yang paling parah kembali menjadi seperti anak kecil. Dari sekian hal yang pasti akan berubah, entah mengapa aku malah menghawatirkan perubahan fisik. Mungkin karena ini adalah perubahan paling nyata yang akan dihadapi siapa pun yang berumur panjang. Lalu jika ini bisa dibilang hal yang paling kutakutkan dari perubahan, maka cara terbaik untuk mensiasatinya adalah dengan memperhatikan kesehatan sebaik mungkin sejak saat ini. Bukan hanya karena kesehatan adalah aset penting dan sangat berharga, tapi tubuh kita sejatinya amanah yang harus dipelihara, dijaga sebaik mungkin.

Menjadi tua dengan kondisi yang masih prima tentu menjadi harapan semua orang, sebuah ikhtiar yang layak diperjuangan, setidakpasti apa pun masa depan yang menanti.

Day #25 Aku Berharga

Aku merasa sangat berharga ketika ….

Dibutuhkan. Sesederhana ketika seorang teman mengirimi pesan, ingin didengarkan. Karena baginya, aku adalah teman yang aman untuk menyimpan ceritanya. Rahasia yang tidak ingin dibagi ke siapa pun selain dengan seseorang yang dipercayainya. Denganku ia merasa didengarkan, dipahami dan tidak dihakimi, bagaimana pun kisahnya. 

Walaupun hanya menyediakan waktu dan telinga untuk mendengar curhatannya, setidaknya aku bisa merasa jika kehadiranku di dunia ini memang tidak sia-sia. Aku merasa berharga ketika tahu, masih ada yang membutuhkanku. Masih ada orang yang di saat-saat terburuknya hanya ingin menghubungiku, menemuiku jika bisa. 

Hal ini membuatku tersadar, bahwa manusia memang selalu butuh orang lain. Semandiri apa pun atau se-andal bagaimana pun ia mengatasi kesendirian dan selalu tampak bisa melakukan segalanya sendirian. Karena ternyata, kebermaknaan kadang bisa diperoleh hanya jika kita terlibat dengan orang lain

Wednesday 24 August 2022

Day #24 Maaf Terbaik

Hal yang membuatku merasa sulit memaafkan diriku sendiri dan bagaimana caraku untuk bisa menerima diriku dengan kesalahan ini.

Kadang, aku tak betul-betul belajar dari kesalah. Jika melihat ke belakang, ternyata ada beberapa kekeliruan yang kulakukan berulang. Aku menyesali sesuatu untuk kemudian kembali dengan penyesalan yang sama. 

Aku membuat pilihan salah berkali kali. Aku membuat orang lain terluka dengan cara yang sama. Aku mengutuk diriku yang begitu payah menyikapi kesalahan dengan lebih baik. Semuanya membuatku cenderung tidak bisa menghargai diriku sendiri. 

Aku sadar, aku salah—tapi memaafkan diriku bukan hal mudah ternyata. Aku masih belajar, lebih sayang kepada diri sendiri dengan menerima bahwa seluruh kekurangan itu manusiawi, tidak ada orang yang bisa benar-benar sempurna dalam segala hal. 

Merasa sangat buruk adalah bentuk lain penghancuran dan tidak menghargai diri sendiri.

Maka aku akan berusaha untuk belajar lebih terbuka dan jujur dengan diri sendiri; tentang seluruh khilaf yang butuh dimaafkan. Jika memaafkan orang lain tidak sulit, mengapa aku harus mati-matian memaafkan diriku sendiri? 

Maros, 9:38 pm

Tuesday 23 August 2022

Day #23 Tumbuh dari Luka


Beberapa takdir memang datang tanpa pertanda—ia memasuki hidup begitu saja. Seperti perangkap. Ketika kau sudah di dalam, tidak ada lagi cara untuk selamat. 

Memori itu masih utuh, bahkan setelah satu dekade berlalu. Masa lalu, bagaimanapun jauhnya tetap terkenang. 

Tentang luka lama. Air mata, mimpi yang gugur dan kematian pertama.

Tiba-tiba saja semua sudah selesai. Tanpa ucapan sampai jumpa dan selamat tinggal. Hanya ada pelukan, penanda perpisahan—sebuah perpisahan dengan tujuan yang tak lagi tertempuh.

Takut mengepung. Malam betul-betul muram. Membayangkan esok adalah resah. Mengintip masa depan seperti berada dalam mimpi buruk tanpa akhir. Lalu semua hanya gelap.

Kau kehilangan, patah oleh pengharapan. Kenyataan menyudutkanmu, merebut setengah jalan yang sudah kau lalui susah payah—kau kembali ke titik nol. 

Kau memang masih berdiri. Di tempat di mana kau tak lagi memiliki langkah.

Akan bagaimana selanjutnya? Kau kehilangan kunci jawaban.

Putus asa itu panjang dan melelahkan. Belajar menerima berkali-kali sama saja dengan tenggelam tapi tak pernah mati.

—Maros, 9:49 pm

Monday 22 August 2022

Day #22 Menjadi Nyata di Antara Maya

Lelahnya jiwaku karena sosial media dan bagaimana aku akan menjadikannya sebagai sumber semangat.

Scroll Instagram sampai bosan, lalu pindah ke Twitter, lanjut membuka Facebook, kembali ke WhatsApp (repeat). Terlalu banyak stimulus, banjir informasi, takut ketinggalan berita, ikut trending, antusias dengan segala yang viral di linimasa. Hiruk pikuk dunia virtual yang menjebak. Lupa, ada dunia nyata yang mesti dihadapi. 

Melihat jauh ke belakang, saat begitu aktif di berbagai sosmed; Facebook hingga instagram. Berselancar di sosial media begitu menyenangkan, bikin kecanduan dan tak jarang malah membuat lupa waktu. Sebuah kebiasaan buruk yang perlahan kutinggalkan. Tidak mudah memang, tapi seiring bertambahnya usia dan banyaknya pemahaman baik, aku tersadarkan—terlalu lama berada di rumah maya betul sangat melelahkan dan bisa menjadi berbahaya.

Setelah berefleksi dan membuat komitmen dengan diri sendiri untuk secara berkala melakukan detox sosmed, Alhamdulillah dunia maya tidak lagi memberi efek negatif seperti dulu; sampai kecanduan—sekarang justru menjadi sumber banyak kebaikan.

Ada semangat untuk memanfaatkan sosial media sebaik-baiknya, tahu batasan dan tujuan setiap kali membuka beranda Maya. Sebab sosial media hanya alat—sesutu yang sebenarnya netral. Penggunanya memiliki kendali penuh; terbawa arus dan kelelahan, atau tetap tenang karena tahu betul, jika aktivitasnya di sosial media adalah sesuatu yang membawa manfaat untuk dirinya. Karena baginya, rumah maya adalah tempat yang nyaman, menjadi sumber ilmu, penuh inspirasi dan energi positif.

9:12 pm

Sunday 21 August 2022

Day #21 Simple Things, Big Happiness

21 hal sederhana yang bisa membuatku merasa bahagia dan menyadari betapa bahagia itu sederhana.

1. Menunggu subuh bersama secangkir kopi
2. Matahari pagi
3. Membaca buku
4. Bersih-bersih—decluttering
5. Membuat daftar
6. Menulis
7. Ke toko ATK, membeli pulpen warna warni, bookmark, dll
8. Membungkus buku
9. Reunian dengan teman lama
10. Ke majelis ilmu/kajian
11. Tidur setelah seprai baru diganti
12. Memberi ucapan di hari spesial teman/saudara
13. Membantu orang lain
14. Membuat challenge untuk diri sendiri
15. Detox social media
16. Me time dengan nonton 
17. Berenang
18. Rihla bareng keluarga 
19. Jalan pagi
20. Mendengar hujan
21. Mengabadikan momen lewat foto

Bahagia memang sederhana.

2:10 pm

Saturday 20 August 2022

Day #20 Hidupku Berharga

Tiga hal penting yang paling berharga dalam hidupku yang mambuat aku merasa sangat bersyukur.

1. Iman. Meski keimanan dalam diriku masih di level rendahan—harus kuakui, entah bagaimana hidupku tanpa-Nya. Mungkin sudah tutup buku, atau hancur berantakan dan tidak pernah memiliki tujuan. Sepenting dan seberharga itulah iman.

Aku teringat lirik nasyid dari Raihan "Iman Mutiara" yang merepsentasikan iman dengan begitu indah—

"Tanpamu iman bagaimanalah
Merasa diri hamba pada-Nya
Tanpa iman bagaimanalah
Menjadi hamba Allah yang bertaqwa."

2. Cinta. Yang tidak pernah ada habisnya dibahas. Karena memang, sepenting itulah cinta. Yang kupercaya sebagai bahan bakar untuk menjalani komitmen, melakukan banyak kebaikan, selalu menuntut pengakuan dan bukti. Sebuah rasa yang melahirkan energi besar yang bahkan sanggup membuat manusia melewati batas-batasnya.

Menjalani hidup tanpa cinta, kira-kira bagaimana? 

3. Orang-orang baik di sekitarku—entah sahabat, teman, keluarga. Mereka yang selalu ada, membantuku dalam banyak hal, menawarkan telinga mendengar ceritaku, menjadi bagian dari masa bertumbuhku. Membuatku belajar menjadi manusia. Mereka, yang kehadirannya membawa makna dengan beragam cara, dengan warnanya masing-masing. Orang-orang baik yang membuatku lebih mensyukuri kehidupan.

8:53 pm — ruang tengah

Friday 19 August 2022

Day #19 Dear, Me

Jika aku berkesempatan untuk bertemu dengan aku di masa kecilku saat berusia 10 tahun, apa yang akan aku katakan padanya?

Hai, diriku yang masih lugu dan penuh rasa ingin tahu ....

Terima kasih sudah tumbuh menjadi anak baik—yang suka membaca cerita, rajin kerja pr, ke sekolah dan TPA tepat waktu, tidak melewatkan hafalan surah-surah pendek, senang belajar dan membuat bangga keluarga.

Tidak apa-apa menangis, marah, ngambek; semuanya wajar—kamu tetap anak baik kok. Setiap anak unik, pun kamu. Emosi-emosimu itu bukan sesuatu yang keliru, hanya saja, orang-orang di sekitarmu yang mungkin memang tidak bisa sepenuhnya memahamimu. Kau pasti kesulitan saat penuh amarah dan tidak ada yang menenangkan, menawarkan pelukan apalagi—it's okay, orang dewasa kadang memang begitu, kurang empati dengan anak kecil. Hidup mungkin sudah terlalu susah dan kau tidak diizinkan menambah beban dengan emosimu yang meledak itu.

Nikmati masa kanakmu, kelak kau akan sangat merindukannya. Ciptakan sebanyak mungkin momen-momen menyenangkan bersama teman, sahabat, kakak—karena nanti, mereka akan pergi satu per satu. Kelak kau akan sangat merindukan kesempatan bercengkrama dengan mereka. 

Bermainlah dengan suka cita, jangan takut mencoba hal baru yang terlihat menarik, lakukan apa pun yang kau sukai—selama itu tidak merugikan orang lain.

Terakhir, teruslah jadi anak baik, untuk dirimu sendiri.

7:01 pm

Thursday 18 August 2022

Day #18 Jangan Sakiti Aku

Setiap kata-kata, atau perlakuan orang lain terhadapku yang tidak aku sukai dan rencana reaksi terbaik yang akan aku lakukan jika aku mendapatkannya.

"Orang beriman tidak stres" kata seseorang ketika aku mengeluhkan banyak hal, merasa stres. Kata-katanya berhasil membungkamku, membuatku merasa "iya, aku memang belum seberiman itu, aku masih stres karena urusan-urusan dunia"—lalu aku merasa perlu mempertanyakan ulang segala hal yang selama ini kulakukan sebagai hamba, apa tidak ada nilainya sedikit pun di mata-Nya? 

Kemudian di waktu yang lain, seseorang mengomentari hobiku membaca buku, menyuruhku berhenti, bahkan menyindir dengan kalimat "beli buku terus ...." (seolah membeli buku adalah sesuatu yang tidak layak jika dilakukan terlalu sering)

Seseorang yang lain, dengan kata-katanya yang sinis dan nada meremehkan berujar;

"Tulisan-tulisan apa itu?" Ia membuat hobiku seperti tidak ada artinya, tidak penting, dan tidak pantas mendapat waktu yang lebih daripada kegiatan lain. Padahal, aku menulis agar kepalaku tidak meledak. Menulis adalah caraku agar tetap waras dan sedikit merasa baik-baik saja. Ia tidak tahu, sepenting apa menulis untukku.

Lalu dalam sebuah curhat—ia yang mungkin merasa paling benar berujar:

"Kamu egois. Jangan merasa paling menderita." Kalimat yang singkat tapi sangat membekas hingga hari ini. Memikirkannya membuatku merasa sebagai makhluk paling egois. Perasaanku tidak diterima dan aku terpaksa mengakui jika barangkali aku memang demikian. Egois dan selalu merasa sebagai pihak yang paling dilukai. Aku betul-betul merasa buruk dengan perkataan seperti itu.

Karena sudah mengalaminya dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali (entah dari siapa), maka aku memilih tidak akan bereaksi apa-apa selain diam. Cukup maklum, siapa pun bisa salah kata, dan aku tidak perlu meresponsnya berlebihan. Aku sadar, aku tidak bisa mengendalikan apa kata orang, apa asumsi mereka karena satu-satunya yang berada dalam kendaliku adalah bagaimana aku bersikap. Aku tidak akan menangis diam-diam seperti dulu dan lebih memilih menganggapnya angin lalu—jangan sampai membuatku hancur dan merasa dilukai. 

—Makassar, sehabis Isya di ruang tengah

26 hal yang kutulis dari siang sampai sore hari ini

1. Jangan terlalu sering mengunjungi masa lalu. Tidak apa-apa sesekali menengok ke belakang untuk berefleksi, tapi jangan lama-lama, berbahaya. Lebih baik fokus melihat ke depan. Susun rencana, hati-hati melangkah. Masih banyak hal yang bisa diusahakan, masih ada bagian-bagian yang perlu dibenahi, masih banyak kesempatan yang layak diperjuangan. Masa depan itu masih suci, jaga ia sebaik-baiknya. 

2. Biasakan untuk lebih sering bilang Alhamdulillah—bersyukur setiap saat, untuk hal-hal kecil sekali pun. 

3. Jangan berhenti belajar. Ilmu-Nya begitu luas, takkan cukup usia untuk mencicipi semuanya. Belajar setiap hari, dari mana pun, dari siapa pun. 

4. Mulai sekarang juga—apa pun itu yang ingin kau kerjakan. Bergegaslah, jangan menunda. Jika tidak bergerak, kau tidak akan ke mana-mana.

5. Daripada berusaha mengesankan orang-orang lebih baik mulailah melakukan apa saja yang akan membuatmu terkesan dan bangga dengan diri sendiri. 

6. Tulis semuanya di atas kertas (jika tidak memungkinkan, bisa di hp) semua to do list, rencana, hingga daftar prioritasmu. Beri ceklis/tanda jika selesai. Ini akan memberi kepuasaan dan untuk hidup yang lebih terorganisir.

7. Ingat mati setiap hari. Sadar, ke mana hidup ini akan berakhir. Semoga ini membantu untuk selalu memotivasi diri menyiapkan bekal kepulangan.

8. Selalu periksa niatmu. Jujur dengan diri sendiri, mengapa kau melakukan sesuatu itu? Karena niat akan selalu menjadi pengingat sekaligus penguat langkah.

9. Adab, ilmu, amal. Jangan beramal tanpa ilmu, jangan cuman koleksi ilmu tapi tanpa pengamalan, jangan berilmu dan beramal tanpa adab. Jadilah seseorang yang setiap tutur kata dan perilakunya dihiasi adab, seseorang yang di kepalanya ada ilmu yang mewujud amalan setiap harinya.

10. Membaca buku adalah kebiasaan baik yang harus dijaga. Bacalah buku-buku yang tidak hanya menghibur, tapi juga memberi pelajaran, menawarkan petualangan, bahkan kesadaran. Kau tidak pernah tahu, di lembaran buku mana akan bertemu momen-momen ketika kau 'merasa tercerahkan'.

11. Teruslah terkoneksi dengan Pencipta—kalo ada apa-apa, mengadu ke Allah dulu. Dia yang menciptakan manusia, maka Dia yang paling maha tahu keadaan hambanya.

12. Tidurlah lebih cepat, niatkan bangun lebih awal. Kalo insomnia, cukup pejamkan mata, jangan sampai mendistraksi diri dengan hp (scroll social media)—lebih baik merenung, kontemplasi, self talk, whatever you named it.

13. Jangan pernah berhenti berdoa. Semuak apa pun kamu sama keadaan atau merasa doa-doamu tidak didengar—tetaplah berdoa. Ingat, doa adalah jembatan yang akan menghubungkanmu dengan kemungkinan-kemungkinan baik. Percayalah jika belum mampu yakin sepenuhnya.

14. Don't make permanent decisions on temporary emotions. Jangan buat keputusan saat marah atau ketika moodmu sedang tidak baik-baik saja. Menepi dulu, perbaiki perasaan, jangan biarkan tindakan atau kata-katamu berdasarkan emosi karena biasanya hanya akan berujung sesal. 

15. Milikilah prinsip, value, idealisme—sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, terlebih untuk pilihan jangka panjang.

16. Berhentilah membandingkan dirimu dengan orang lain karena ini sangat melelahkan. Apa yang ditampakkan orang hanya sepotong kecil dari hidupnya. Kau tidak tahu cerita seperti apa di baliknya atau perjuangan apa yang dihadapinya. Karena manusia cenderung hanya ingin menampakkan apa-apa yang baik atau setidaknya—yang menurut standar society layak tuk dibagikan.

17. Jangan kecanduan sosmed. Tidak apa-apa scrolling lama, asal itu membuatmu lebih produktif (tentu, jika yang kau lihat adalah konten yang bermanfaat, yang memang kaubutuhkan). 

18. Jangan terlalu penasaran dengan hidup orang lain. Jauhi lingkaran/teman-teman yang senang mengobrolkan aib orang lain, bergosip, ghibah dst.

19. Temukan lingkungan/circle yang bisa membuatmu bertumbuh. Tidak apa-apa jika kau terlihat yang paling bodoh di antara mereka asal kau siap belajar—itu selangkah lebih menjanjikan dibandingkan hanya stuck di ekosistem yang tidak membuatmu merasa lebih baik.

20. Tidak apa-apa kehilangan pertemanan demi prinsip. Yang namanya teman memang begitu, datang dan pergi. Betul, setiap teman ada masanya, setiap masa ada temannya. 

21. Kenali dirimu—tahu kekurangan dan kelebihanmu. Dari mengenal diri sendiri kau akan tahu apa tujuanmu, apa yang betul-betul kau inginkan. Sediakan ruang untuk lebih memahami dirimu (ini lebih baik daripada menuntut orang-orang memahamimu).

22. Hidup selalu menyuguhkan banyak kesempatan sepaket dengan risikonya, jadi miiliki keberanian untuk mengambil risiko. Karena terkadang, kita memilih menjalani sesuatu hanya karena itu terlihat lebih mudah dan tidak perlu mengambil risiko besar. 

23. Turunkan ekspektasi kepada orang lain—siapa pun itu agar kau tidak terlalu kecewa.

24. Belajarlah memaafkan dan jangan gengsi minta maaf lebih dulu. Tidak ada manusia sempurna, semua punya potensi menjadi orang yang menyebalkan atau yang membuatmu terluka begitu dalam. Jika merasa bersalah, minta maaflah segera demi kedamaian hatimu.

25. Luangkan waktu untuk berbicara dengan orang-orang penting dalam hidupmu; orangtua, saudara, sahabat, teman—siapa pun yang jika ia pergi lebih dulu, kau mungkin akan sangat menyesal jika tidak pernah ada waktu untuk mereka.

26. Salah satu cara menikmati hidup adalah dengan berbagai—tentu saja tidak harus sesuatu yang dalam bentuk materi. Kita bisa berbagi apa saja yang kita punya; entah barang, tenaga, atau ilmu yang kita punya. Karena hidup bukan tentang diri sendiri, ada hak orang lain yang mesti kita penuhi.

Sekian. Daftar panjang pengingat diri yang semoga selalu melahirkan dan merawat perbuatan-perbuatan baik. 

Thank you for reading!

Wednesday 17 August 2022

Day #17 Ingin Mengulangnya, Sekali Lagi

Salah satu momen terbaik dalam hidupku. 

Jalan sama Fayant. Dari Maros ke Makassar demi berburu diskon buku di Pelangi Ilmu, nyasar sampai ke Kata Kerja saat mencari alamat Dialektika, menonton berdua, hingga menangis depan Mtos sambil curhat—semua ingin kuulang, jika bisa.

Karena menghabiskan waktu berdua Fayant memang seasyik itu. Kami sahabatan sejak SD—dari zaman idola kami Sasuke dan Kakashi, hingga selera bacaan kami bergeser; tidak lagi berputar di novel-novel roman picisan.

Momen berdua kami rasanya menjadi sesuatu yang kini begitu jauh—sejak Fayant menikah, kami tak lagi memiliki quality time seperti dulu. Tapi, mungkin memang demikian, jika sahabatmu menikah, maka hubungan kalian tidak pernah sama lagi seperti sebelumnya.

Sedang rindu masa lalu sama Fayant. Kenangan yang tidak mungkin terulang kembali. 

—Makassar, 6:52 pm

Day # 16 Tantangan Itu Biasa, Menyelesaikan Itu Istimewa

Satu hal atau keputusan paling menantang dalam hidupku, bagaimana aku menyelesaikannya, dan hikmah terbaik yang aku dapatkan karenanya.

April 2019. Seorang teman mengirimiku pesan berisi tawaran untuk ikut bersamanya menjadi seorang muhafizhah dalam program Karantina Tahfizh Nasional (KTN) selama sebulan. Awalnya ragu, apa aku sanggup? Terlebih karena saat itu adalah masa-masa di mana aku seharusnya fokus mengurus skripsi. Aku sempat dilema sebelum akhinya meminta izin kepada mama. Aku ingat betul, jawaban mama waktu itu yang akhirnya meyakinkanku untuk menerima tawaran tersebut. 

Kalo untuk kebaikan, kenapa tidak? Begitu jawaban mama yang berarti lampu hijau untukku. Sejujurnya, aku menganggap pilihan itu sebagai cara terbaik untuk sejenak menjeda diri dari urusan kampus yang terakhir kali betul-betul menguras emosi. Namun, siapa sangka, keputusanku waktu itu mengubah banyak hal kemudian.

Singkat cerita, dengan persiapan seadanya aku pun tiba di lokasi dan langsung menceburkan diri dalam rutinitas baru yang mengubah hari-hariku 180 derajat. Hanya meletakkan koper, berbicara sedikit terkait urusan teknis lalu tiba-tiba aku pun sudah berada di antara mereka, para peserta yang sudah dibagi per-khalaqah (kelompok). Setiap muhafizhah memegang satu khalaqah yang berisi enam hingga tujuh orang yang akan menyetorkan hafalannya. Aku yang masih pertama kali alias newbie betul-betul tertantang dengan ekosistem baru yang sungguh penuh ketidakpastian, tapi bismillah … aku siap menjalaninya. 

Satu pekan pertama adalah waktu yang sangat berat bagiku yang baru mulai beradaptasi. Banyak hal yang mengharuskanku sepenuhnya belajar dari nol dan tentu saja lebih banyak bersabar. Aku tak menyangka, tantangan-tantangan yang kuhadapi ternyata tidak semudah perkiraan. Sekali lagi, aku belajar beradaptasi dengan keras, mulai dari jam tidur yang terpangkas, ritme hidup yang serba cepat sesuai dengan jadwal harian, hingga interaksi antara peserta yang kadang harus dihadapi dengan kepala dingin. 

Seberat apa pun, toh semuanya kulalui juga akhirnya. Karena aku tidak sendiri, ada teman-teman seperjuangan, tempat berbagi cerita dan kadang keluhan di akhir hari—karena kami semua merasakan atmosfer perjuangan yang sama melelahkannya. Tak jarang kami hanya bisa tertawa di hadapan masalah yang penuh warna. Bahwa di balik suka duka, terselip humor yang bisa membuat rileks, seolah tanggungjawab yang kita pikul sama sekali tidak berat. Namun, tetap saja ada saat-saat ketika kami berharap waktu merangkak lebih cepat karena sudah tak sabar menyelesaikan tugas kami. Aku bahkan sempat memikirkan dan mempertanyakan kembali, apakah keputusanku sudah tepat? Karena pada kenyataannya aku masih sering menggerutu, seperti tidak ikhlas menjalani pilihanku sendiri. 

Tapi, setelah kusimak baik-baik, kusaksikan satu per satu mereka yang berhasil dan kurasakan berbagai emosi, ada suara dari kedalaman hati yang jernih, tentang seberapa berharga keputusan yang sudah kuambil. Sebuah kesempatan yang telah memberiku banyak sekali pelajaran, hikmah yang berserakan sepanjang perjalanannya. 

Aku tersadar justru di akhir-akhir waktu ketika kebersamaan kami semakin mendekati habis. Memang, sebuah pesan butuh waktu untuk sampai. Di momen perpisahan, aku menangis haru. Ada sesal, mengapa aku tidak menjalani pilihanku dengan lebih menikmati setiap prosesnya, dengan hati yang lebih lapang? Sebab momen berharga itu hanya sementara sebelum kami semua harus berpisah—entah apakah akan bertemu kembali. 

Ada kesedihan yang menusuk, tapi semuanya betul-betul bermakna. Aku belajar, menambang pengalaman dari orang-orang yang baru kutemui, cerita-cerita yang takkan kulupakan. Sebulan yang akan kukenang seumur hidupku. 

—Makassar, 8:33 pm

Day #15 Alhamdulillah, For Everything

Lima hal yang aku syukuri hari ini.

1. Alhamdulillah, aku masih bangun tepat waktu, dalam keadaan sehat dan sudah memiliki rencana—akan melakukan apa seharian.

2. Alhamdulillah, aku masih bisa puasa sunnah Senin, salah satu habit zaman santri yang kembali kuusahakan.

3. Alhamdulillah, aku masih memiliki teman-teman baik yang peduli—salah seseorang tiba-tiba mengirimiku pesan menanyakan kabar setelah kemarin aku absen dari majelis tarbiyah.

4. Alhamdulillah, masih diberi kemudahan untuk akses belajar: dari nonton di YouTube, membaca newsletter dari penulis-penulis luar, hingga membaca buku-buku self improvement.  

5. Alhamdulillah, aku masih bisa melakukan hal-hal yang kusenangi: membaca buku, menulis diary dan melanjutkan writing for healing ini, yang ternyata sudah hari ke lima belas. 

Bersyukur memang melegakan dan lebih membantu kita untuk menghayati nikmat-Nya. Bahwa ada hal-hal yang bagi kita, mungkin mudah saja diperoleh hingga cenderung membuat kita lupa bersyukur dalam-dalam. Seperti nikmat kesehatan, nafas yang tiap hari kita hirup, keamanan yang kita rasa, dan mungkin kemudahan akses informasi yang paling kita nikmati dan butuhkan. Semuanya harus disyukuri, tentu agar nikmat-Nya ditambah. 

—Makassar, 7:10 pm

Day #14 Lelahku Hari Ini

Lelah yang aku rasakan atas peran sehari-hariku, yang mungkin tidak orang lain ketahui.  

(Warning! tulisan kali ini hanya akan berisi curhat sepenuhnya)

Jujur, aku lelah menjadi diriku yang sekarang—saat ini. Aku lelah dengan hari-hari yang kuhadapi. Selalu ada masalah yang harus diselesaikan, to-do list harian yang membuatku merasa bersalah jika tidak kukerjakan—membuat keinginan menonton pun selalu kutahan karena rasanya tidak pantas. Konon, anak INFJ (16 kepribadian MBTI) memang yang paling keras ke diri sendiri, tipe yang menuntut segala sesuatunya mesti berjalan sesuai idealismenya. Jika tidak, reaksinya bisa berlebihan: perasan bersalah ke diri sendiri yang membuat lupa untuk mengapresiasi usahanya sendiri. Kurang lebih seperti aku saat ini.

Hari ini aku merasa tidak melakukan apa-apa yang berarti, tapi lelahnya luar biasa. Mungkin karena faktor overthinking yang kembali. Sudah beberapa malam ini aku menghabiskan 30 menit hingga satu jam pertama saat bangun dengan menatap kosong kegelapan kamar, menunggu alarm berbunyi. Sadar, aku kelelahan secara mental, bukan fisik. Jadi orang highly sensitive person (HSP) memang berat, sangat-sangat bikin capek. Tapi untungkah, ada Me time dan self-talk sebagai solusi untuk memulihkan diri, me-recharge ulang energi sebelum kembali berjuang. 

Tunggu dulu, memangnya apa sih peran yang sedang kujalani hingga merasa secapek ini? Sebenarnya tidak ada. Sekarang aku hanya berstatus tawanan rumah setelah menyelesaikan satu tanggungjawab dan melepas beberapa amanah lalu memilih hanya sibuk dengan diri sendiri. Katanya mau healing dulu, sambil masih menyusun strategi dan rencana ke depan. Selain itu tentu saja menjadi hamba yang berusaha memperbaiki ibadah-ibadahnya, menjadi anak, saudara, teman, dan sahabat yang baik. 

Azan magrib mulai terdengar, sudah waktunya menyelesaikan ini. Dan tiba-tiba saja aku teringat tulisan murabbiyah di story WhatsApp; istirahatnya orang beriman itu capek. Oke, tidak apa-apa untuk lelah, tapi semoga lillah.

—Makassar, 6:17 pm

Saturday 13 August 2022

Day #13 Bahasa Cinta

Saat aku sedang sedih, marah, atau kecewa, aku ingin orang lain melakukan ini kepadaku ….

Sejujurnya aku tidak tahu harus menulis apa untuk melanjutkan kalimat di atas—karena setiap merasakan emosi-emosi di atas, sudah pasti aku memilih menjauhi semua orang. Aku sadar, berada di antara orang-orang saat moodku kacau selalu berakhir tidak baik. Aku yang tidak suka bicara di saat marah ataupun sedih seringkali membuat orang tersinggung karena aku merespons ucapannya dengan judes, irit kata, dsb. 

Diamku sudah terlalu sering disalahartikan, dianggap annoying, padahal aku hanya sedang berjuang melawan diriku sendiri. Aku menahan agar amarah ataupun air mataku tidak keluar. Karena aku tahu, saat marah dan tidak diam, aku mungkin hanya akan melukai orang dengan kata-kataku yang nanti akan kusesali selamanya. Dan jika sudah terlanjur menangis akan sangat sulit untuk berhenti. Begitulah aku, fakta yang sangat tidak dipahami siapa-siapa. 

Tapi, jika bisa berharap (tapi aku sudah berhenti dari mengharapkan manusia) bahwa saat aku sedang sedih, marah, atau kecewa, aku ingin orang lain melakukan ini kepadaku ….

Pertama: aku ingin orang lain tidak melakukan apa pun. Tidak usah bertanya apa pun, tidak perlu mengajak bicara apalagi sampai memintaku melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku seseorang yang sulit dihadapi, maka cara terbaik saat mendapatiku terlihat marah atau bad mood adalah menyingkir saja dari pandanganku. Jika sedang berada di suatu tempat atau keramaian umum, tolong, lebih baik ajak aku pulang atau biarkan saja aku diam selama yang kubutuhkan. 

Kedua: berikan kalimat positif karena love language alias bahasa kasihku adalah words of affirmation. Coba katakan dengan pelan dan penuh empati: it’s okay to be not okay, I feel you, kamu pasti marah dan ingin pulang, tapi … dst. Apa pun, selama itu kalimat positif yang bisa membuatku tenang. Harap maklum, aku tidak ingin diganggu saat-saat emosi tidak stabil itu karena aku merasa tidak pernah dipahami, orang-orang cenderung membuat keadaanku memburuk daripada membaik.

Ketiga: tawarkan sesuatu yang kusukai. Ngajak ngopi, sodorin green tea, atau, buku yang mungkin cocok untuk kubaca, misalnya. 

Sekian, tiga hal yang rasanya too good to be true, hahah. 

—Makassar yang mulai gerimis | 7:50 am

Friday 12 August 2022

Day #12 Syukurku kepada-Mu

Aku sangat bersyukur atas kesempatan hidup yang telah Allah berikan untukku, maka sebagai bentuk syukurku aku akan ….

Aku akan lebih rajin bilang Alhamdulillah. Seperti kata ustaz Khalid di salah satu ceramahnya, hamdalah: Alhamdulillah adalah sebagai bentuk syukur yang harus dibiasakan. Tidak hanya sehabis makan saja, tapi setiap saat. Karena di setiap hembusan nafas kita ada nikmat-Nya yang tak terhitung, yang selalu luput dari kesyukuran.  

Aku sangat bersyukur atas kesempatan hidup yang telah Allah berikan untukku, maka sebagai bentuk syukurku aku akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Dengan berusaha memaksimalkan ibadah-ibadah harian seperti yang kembali mulai kulakukan di bulan ini: menyusun daftar daily habits dari bangun tidur hingga terlelap yang akan kuberi ceklis jika kukerjakan. Aku ingin berkomitmen dengan diriku sendiri untuk menjaga beberapa ibadah sunnah sebagai amalan andalan. Dan aku sadar, tidak akan terlalu sulit untukku karena memang sudah biasa dengan hal seperti ini, tugas selanjutnya yang perlu kulakukan sisa meninjau kembali kualitasnya dan menambah beberap habit baru, termasuk setiap malam eveluasi. Tidak sukar tapi tidak mudah juga. Sebuah tantangan sekaligus usaha untuk mensyukuri kehidupan.

Alhamdulillah, aku merasa sangat beruntung karena tidak semua orang akan mudah melakukan apa yang kuupayakan. Aku benar-benar bersyukur untuk kemudahan dalam menjalaninya. Barangkali ini tidak lepas dari privilege-ku, memiliki keluarga yang sangat islami yang sejak kecil diberi pemahaman, agar segala hal orientasinya untuk akhirat. Sesuatu yang baru kurasakan betapa berharganya memiliki lingkungan baik selepas hampir sewindu hidup di Makassar, tenggelam dalam lingkungan yang tidak lagi sekondusif tempatku dulu bertumbuh. Betul-betul nikmat-Nya bermacam-macam, rezekinya teramat luas untuk pandangan manusia yang sempit.

Sebagai bentuk syukurku yang lain, (untuk sekian nikmat yang kadang lupa kusyukuri karena terlalu banyak keluhan) aku membuat gratitude jar yang berisi hal-hal baik yang terjadi ataupun momen-momen tertentu yang membuatku terharu, teringat kembali akan kasih sayang-Nya. Jika sedang tidak baik-baik saja aku akan membacanya. Semacam obat penawar juga pengingatku, bahwa masih ada banyak sekali kebaikan yang Dia berikan, syukuri semua itu, jangan sampai kufur! 

—Makassar, 5:59 pm

Thursday 11 August 2022

Day #11 Beranjak Dewasa

Aku dan ingatanku tentang menantangnya fase beranjak dewasa 

Masih tentang kedewasaan, yang kali ini cukup menantang karena mau tidak mau aku harus me-rewind ingatanku, beberapa tahun ke belakang. Bahwa di sana ada banyak kenangan yang tidak selalu menyenangkan; kegagalan, kehilangan, frustrasi, dan berbagai kisah di balik “beranjak dewasa”. Kadang tidak mudah mengingat kembali saat kita merasa bahwa sebenarnya kita masih berada di fase itu. Kita masih sedang berjalan di medan juang yang dua tiga tahun lalu kita mulai.

Masih basah dalam ingatan, saat-saat sulit ketika aku mulai menyadari sedang berada dalam fase kedewasaan. Rasanya ada banyak sekali emosi dan air mata yang mengisi hari-hariku. Lalu, mari memutar mundur jarum sejarahku sendiri: ada masa ketika perjalananku terasa tidak pantas lagi diteruskan, aku bukan hanya kelelahan, tapi juga kehilangan alasan-alasan kenapa harus berjuang sekeras itu? Aku merasa keputusan hidupku bukan di tanganku, aku menghabiskan umur tidak dengan pilihanku, takdirku seakan berada dalam palu hakim orang lain. 

Lalu ketika aku ingin berhenti, ternyata masalah tidak sesederhana itu sebab aku tak punya cukup keberanian. Aku terlalu pengecut dan takut akan sebuah risiko. Aku terpuruk dan menganggap hidupku seperti benang kusut yang takkan   terurai, dan aku ingin mengakhirinya sebelum semua semakin memburuk.

Aku menengok lebih jauh ke belakang, kulihat banyak kegagalan, kesempatan yang pada akhirnya hanya menjadi kenangan menyedihkan. Hidup terlihat tak memperlakukanku sebaik orang lain; ia hanya menyodorkan peluang menjanjikan di awal sebelum menjadi alat penghancur paling sadis akhirnya. Aku berpikir bahwa semua yang kulakukan tidak ada artinya, keberuntungan seakan tak sudi mendekat. Aku tiba-tiba menjadi begitu insecure, gemar membandingkan hidupku dengan orang lain, mereka yang tampak bersinar dan dilimpahi kemudahan. Semua membuatku merasa pantas tuk mensumpahserapahi kehidupan.

Lewat kacamata buramku, kulihat bahwa mengalami kegagalan berarti pengalaman terburuk dari takdir terburuk. Masa depan tiba-tiba menjadi arena pertarungan yang tak ingin kuhadapi. Aku memilih mati berdiri saat ini juga, menyerah sebelum berjuang. 

Aku pernah se-chaos itu ternyata. 

Perasaan kalah, stagnan, patah, dilema, semua kulalui juga karena memang tak ada cara terbaik untuk menolak. Tentu, dengan banyak tangis, tulisan-tulisan sampah emosi dan doa yang kadang kuragukan kemampuannya. Aku diuji habis-habisan, di semua sisi. Seperti dibombardir dengan segala masalah. Fase dewasa yang menuntutku lebih bijaksana menyikapi kehidupan yang memang tak selalu mudah. Tantangan-tantangan itu beragam; ada pertemanan toxic yang harus kulepas, ada sahabat yang terpaksa kubiarkan pergi, ada patah hati yang harus kuikhlaskan, ada luka-luka batin karena masalah internal yang mesti kusembuhkan, pun tidak ketinggalan tuntutan society yang kadang begitu menekan ditambah covid yang waktu itu memukul habis diriku. 

Semuanya adalah pengalaman yang membuat jatuh bangun, momen-momen pahit yang pada akhirnya mendatangkan pencerahan. Bahwa ada hikmah yang teramat mahal harganya. Kadang, kita tidak akan bisa memaknai semuanya sebelum berefleksi habis-habisan, menderita sendiri dalam kontemplasi dan kesadaran yang—mematikan sekaligus mengembalikan hidup.

Fase beranjak dewasa memang berjuta rasanya.

—Makassar, pagi sendu selepas malam yang hujan | 6:50 am

Wednesday 10 August 2022

Day #10 Kepada Masa Depan

Kekhawatiranku akan masa depan: jodoh, karier, keluarga, kematian, dan kehidupan akhirat. Bagaimana aku harus menyikapi kekhawatiran-kekhawatiran itu?


Jadi manusia dewasa itu sulit, ada banyak kekhawatiran yang harus dihadapi. Memang, dewasa bukan soal usia dan angka, tapi mindset. Sebab semakin bertambah umur seseorang, tak selalu sejalan dengan berkembangnya perspektif. Dari sini sudah kelihatan urgensinya belajar, membaca buku-buku dan yang juga tak kalah penting; sadar kebutuhan akan ilmu. Kadang, saya miris sendiri ketika berbicara dengan seseorang yang berpendidikan (sudah sarjana, bahkan lebih), tapi sayang sekali karena pola pikir ataupun perilakunya sangat tidak menggambarkan seorang yang terdidik (tidak ada maksud men-judge atau menggeneralisir pihak mana pun, tapi ini ironi dalam pengalaman pribadiku). Singkatnya, banyak orang di usia dewasa tapi masih tidak dewasa.

Membahas kedewasaan tentu akan sangat panjang dan bukan di sini sekmennya. Aku hanya mencoba menulis apa pun hasil pikiranku setelah mengulik sederet kakhawatiran tentang masa depan yang pernah kurasa selama di fase dewasa ini. Masih nyambung dengan tema kemarin, namun tulisan kali ini tentang kekhawatiran yang paling umum; soal karier, jodoh, keluarga, kematian sampai akhirat (karena kemarin terasa terlalu khusus, sangat personal, dan memang pure kekhawatiran pribadi di momen terbaik tuk meng-explore nilai spiritual).

Usia 20-an memang masa-masa mengkhawatirkan berbagai macam hal, siapa jodohku nantinya (untuk yang single), apakah akan bertemu cinta sejati seperti di novel-novel, dan bagaimana jika tidak? Bagaimana karirku ke depannya; apa harus sesuai passion-ku, atau apa yang benar-benar kuinginkan sebenarnya? Dan masih banyak daftarnya jika dituliskan dalam sederet pertanyaan khas quarter life crisis. Aku pun pernah mempertanyakan semuanya, mencari-cari jawaban untuk meredakan segala cemas yang meresahkan.

Menyikapi ini kadang tidak mudah, terlebih jika kita masih tidak mengenal diri sendiri dengan baik. Seperti yang pernah kubaca entah di buku mana, bahwa salah satu penyebab kecemasan dan kekhawatiran adalah karena kita takut terhadap ketidakpastian; masa depan. Ketakutan lahir karena kita memiliki banyak kemungkinan gagal dan tanpa sadar, mungkin kita hanya fokus melihat ke dalam area buram itu; ketidakjelasan masa depan dengan segala kekhawatirannya.

Karena semua kekhawatiran itu berasal dari ketakutan akan segala ketidakpastian, maka aku memilih menyikapinya dengan belajar. Mulai dari belajar lebih mengenal diri sendiri, apa yang sebenarnya  kucita-citakan lalu mencari tahu jalan-jalan apa yang mungkin bisa dan akan kutempuh. Aku mengikuti banyak webinar terutama yang menyangkut semua kekhawatiran tadi: membangun personal branding untuk karier, financial planning, self love, hingga healing before wedding. Apa pun, topik-topik yang kuanggap penting untuk menghadapi masa depan. 

Karena dengan ilmu hidup kita akan sangat terbantu; untuk meminimalisir sedikit mungkin langkah yang keliru dan mengantisipasi segala kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di masa depan. Dan yang tak kalah pentingnya lagi adalah memperbaiki self awareness. Ini pun bagian dari mengenal diri sendiri, sesederhana tahu value kita apa, untuk menjaga setiap tindakan dan keputusan kita tetap memiliki pijakan dan tak hilang arah.

Terakhir, jangan lupa untuk terus melatih kecerdasan spiritual, karena jika kecerdasan spiritual seseorang betul-betul bagus, bisa dipastikan kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnya juga oke. Yang ini saya comot dari salah satu ngaji filsafat Dr. Fahruddin Faiz di Youtube.  

—Makassar, di penghujung hari yang tenang

Tuesday 9 August 2022

Day #9 Ketakutan Terbesarku

Satu hal yang sangat aku takuti dan bagaimana aku bisa menghadapi ketakutan itu.

Salah satu topik yang menarik dalam self talk-ku belakangan; what your biggest fear? Dan jawaban yang kudapat beragam, terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran yang datang silih berganti. Hari ini aku mungkin memiliki satu ketakutan dan kegelisahan akan satu hal yang esoknya akan berubah, berganti ke hal lain. Namun, untuk tema kali ini, aku ingin menengok satu momen pada April lalu. 

Flashback ….

Satu malam di pertengahan Ramadan, saat-saat paling sunyi ketika waktu berjalan menuju pukul satu, aku sempat bertanya kepada diri sendiri “apa sih yang kau takutkan?” Tanya yang muncul begitu saja setelah menyadari satu fakta, bahwa ada saja hal-hal yang normal dan biasa menurutku tapi menjadi satu ketakutan bagi orang lain. Contoh paling real-nya ini, saat aku hanya sendirian, tengah malam, terduduk di tengah masjid yang separuh lampunya sudah padam dengan pintu-pintu dan jendela yang semuanya dari kaca transparan ditambah suasana sekitar yang begitu hening, sesekali terdengar lolongan anjing. Suasana malam yang terkesan horror membuat beberapa orang takut jadi menganggapku si pemberani. Padahal, aku biasa saja, sama sekali tidak merasa takut ataupun pemberani. 

Malam itu, dengan berani kuputuskan untuk menemukan ketakutanku. Ternyata ada ketakutan-ketakutan yang lebih penting yang harus diwaspadai daripada mencemaskan kenyataan di sekelilingku: pikiranku. Yah, kadang aku takut dengan isi kepalaku sendiri. Karena perasaan-perasaan selalu bermula dari sana, aku memikirkan dan menelaah banyak hal lalu lahir satu kekhawatiran yang kadang begitu sulit ditenangkan. Aku takut dengan pikiranku, terutama di jam-jam rawan seperti tengah malam insomnia yang seringkali mengundang pikiran buruk. 

Kembali ke pertnyaan awal, apa ketakutan terbesarku? Ada banyak jawaban (termasuk pikiranku tadi), tapi aku ingin menjawab dari sisi paling spiritual, sebagian dari diriku yang kadang begitu mencemaskan keimananku sendiri. Aku takut jika hari ini adalah hari terakhirku. Aku takut karena niatku seringkali tidak lurus dan ibadah yang kuupayakan tidak memenuhi kualifikasi untuk diterima—ini sama saja dengan amalan yang tertolak. Singkatnya, aku takut mati dalam kondisi bekal untuk akhiratku belum memadai, aku takut membayangkan hidup selepas di dunia. Sebab ada tanggungajawab panjang yang harus dihadapi.

Memikirkan ketakutan ini di saat-saat paling jernih meruntuhkan semua keangkuhanku di hadapan dunia dan segala ambisinya. Saat semua terlihat hanya bias-bias dunia yang fana, di situlah momentum yang menyentak sadar; perihal tujuan sejati penciptaan manusia, mengapa aku diciptakan dan kenapa pula aku harus takut. Aku tiba-tiba mengingat materi tentang ibadah, yang semestinya berlandaskan tiga hal; ada takut, cinta, dan harapan (correct me if I wrong). Jika kembali ke tiga hal ini, rasanya, semua akan kembali pada pemahaman yang utuh. Singkatnya, ada ketakutan bersama dengan solusi bagaimana menghadapinya.

Ketakutan terbesar semacam yang kumiliki sangat bisa dihadapi, dengan cinta dan pengharapan. Bahwa rasa takut tak boleh sampai membuat putus asa sebab Dia mahamencintai. Sebanyak apa pun dosa, ampunan-Nya selalu tersedia, tapi kita juga tidak boleh berharap pada-Nya hingga merasa aman, sepemahamanku—intinya menyeimbangkan keduanya. 

Akhirul qalam, tema kali ini cukup sulit untukku tapi aku mencoba tetap menuliskannya, sebagai pengingat untuk diri sendiri. Semoga saja tulisan ini tidak terkesan sok menggurui, apalagi tampak (meminjam istilah teman) sebagai sosok yang sangat beriman, atau terlalu ustazah … yah, karena imanku pun masih timbul tenggelam. 

—Makassar, 9 Agustus 2022

Day #8 Penyelamatan Terbaik

Aku merasa Allah menyelamatkan Hidupku Ketika … aku nyaris saja menyerah.

Berkali-kali dihadapkan pada kegagalan, dibenturkan dengan realita menyakitkan, babak belur oleh luka-luka, semua pengalaman menyakitkan itu membuatku sadar; aku dengan ketidakberdayaanku seharusnya tidak salah menyandarkan harapan.

Aku pernah berada di titik terendah hidup; ketika nafas terasa semakin pendek, sekujur tubuh dipenuhi rasa sakit, kepala hanya disesaki keraguan dan putus asa, lalu kupikir … karena sudah di tubir jurang, sekalian saja terjun ke dasar dan segalanya pasti akan berarkhir. Sebab aku teramat lemah tuk kembali melanjutkan langkah, terlalu takut tuk semakin hancur dan tak pernah kembali pulih.

Dalam sempit dan sesaknya sudut pandangku, ternyata Dia masih bersedia menyelamatkanku, menyelamatkan hidup yang kusangka sudah harus diselesaikan.

Aku menangis terhadap pikiran-pikiran buruk yang sempat menguasaiku. Aku runtuh dalam penyesalan, terisak bersama kesadaran yang mencerahkan. Bahwa hanya di tangan-Nya, takdir manusia bergantung. Ujian yang didatangkan oleh-Nya hanya bisa disambut dengan baik jika aku terhubung dengan-Nya. Sebab Dia yang menciptakanku dengan segala kelemahan dan keterbatasan yang tak bisa apa-apa tanpa pertolongan dari-Nya.

Ketika perjalanan seakan buntu, Dia menunjukkan arah. Ketika tujuan di depan sana tampak gulita, Dia yang memberi secercah cahaya-Nya. Ketika kedua kaki tak sanggup lagi melangkah, Dia menguatkan, menggerakkan, dengan kekuatan tak terbatas. 

Ketika jatuh, hanya dia yang mampu membuatku kembali bangkit. Tenyata, dia menyelamatkanku lebih sering dari yang kusangka. Dia sudah menyelamatkan hidupku berkali-kali. 

—Makassar, 8 Agustus 2022

Day #7 Aliran Rasa

Sesuatu yang mendominasi perasaanku selama sepekan ke belakang. 

Mungkin ini yang disebut JOMO, joy of missing out, kebalikan dari FOMO (fear of missing out) sesuatu yang membuat orang-orang begitu kecanduan dengan sosial media. Kuakui, aku pun pernah di masa itu, lalu ketika menengok jejak sekian tahun lalu aku hanya bisa tersenyum kecut. Sebab tersadar, betapa tidak pantas rasanya saya julid (walaupun hanya sebatas ngedumel dalam hati) kepada orang-orang yang dalam pandanganku—yang sangat sempit ini—begitu asyik menghabiskan waktunya hanya scroll sosial media. Bahkan pernah, dengan sinisnya aku berujar “bukan sayang kuota, tapi waktu, kuota kalo habis masih bisa dibeli, kan” ketika suatu hari aku membantu kakak mencari pengaturan untuk membatasi pemakaian tiap aplikasi, digital wellbeing/app timer di smart phone-nya. Karena aku menggunakan fitur ini sebagai cara membatasi diri dengan dunia maya, (meminjam istilah dari Atomic Habits) alat menjaga komitmen.

Memang, tidak terasa, sudah dua minggu sejak aku memutuskan meng-uninstall dua aplikasi sosial media yang paling sering kumainkan: Twitter dan Instagram, lalu mulai melakukan decluttering digital. Singkatnya, aku diet digital besar-besaran. 

Rasanya begitu melegakan; waktu berhadapan dengan WhatsApp tidak sampai sejam sehari, tidak merasa perlu membagikan momen tertentu hingga tak ada lagi saat-saat aku merasa harus menonton story orang-orang, yang kebanyakan daily life, yang kadang malah membuatku menyesal sendiri (melihat sesuatu yang jelas-jelas tidak kuperlukan itu). Semua ini terasa menyenangkan. Aku bahkan memutuskan untuk melepas satu amanah yang selama ini membuatku harus mengecek wa tiap beberapa jam.

Waktu-waktu yang biasanya habis di depan layar hp kini kualokasikan untuk menulis (termasuk writing for healing ini) dan melanjutkan membaca buku-buku baru dan lama. 

Selama Agustus ini perasaan yang mendominasi hanya tenang, dan jauh dari resah. Aku betul-betul merasa hadir dalam hidupku, sepenuhnya. Aku makan tanpa menonton YouYube atau Disney+ seperti biasanya. Aku jadi lebih rajin makan dan lebih teratur. Aku pun lebih menghargai masakan yang kubuat dengan menu yang itu-itu saja dan rasa yang biasa saja, tapi cukup untuk membuatku makin tidak tega jika harus membuang makanan sisa seperti yang sering terjadi,  makanan yang tak sanggup kuhabiskan berakhir di tempat sampah.

Aku sangat menikmati kesunyian tanpa distraksi apa pun, meski di beberapa momen aku pun masih menangis dengan alasan yang sulit dibahasakan, atau kadang malah dikeroyok perasaan sangat sepi dan teramat ingin pulang ke masa lalu; ketika duniaku penuh riuh dan dikelilingi orang-orang terkasih. Memang, ada saja kenangan tak terduga yang menerobos ruang ingatan pada saat-saat tak terprediksi. Namun, semelankoli bagaimana pun situasi yang kuhadapi, aku selalu mampu kembali menenangkan diri, mengumpulkan remah-remah ketegaran yang tercerabut memori lama. 

Dalam diam aku selalu melatih diri tuk mengucapkan "Laa haulaa wala quwwata illa billah" ... berharap ketenteraman batin segera memenuhiku, mencukupi hidupku.  

—Makassar, 7 Agustus 2022

Day #6 Hari Terakhirku

Jika ini adalah hari terakhirku hidup di dunia, satu hal penting yang ingin aku lakukan adalah ….

Menghubungi satu per satu orang-orang penting dalam hidupku. Mereka yang selama ini memberikan kontribusi berarti, orang-orang baik yang sudah dihadirkan Tuhan sebagai perantara untukku memahami banyak hal. 

Urutan pertama tentu saja keluarga, unit terkecil dari kelompok sosialku yang paling memberi dampak besar selama masa awal pertumbuhanku. Aku akan mengatakan kepada mereka, betapa aku sangat menyayangi kalian, aku sangat beruntung memiliki keluarga ini, aku teramat bersyukur bisa hadir di tengah orang-orang baik yang tak henti mengalirkan kebaikan padaku—tidak peduli seburuk apa pun aku. Karena pada akhirnya, aku sadar, keluarga adalah akar, tempat aku tumbuh pertama kali, belajar menjadi manusia dan menjadi bagian dari sebuah hubungan. 

Akan kusampaikan kepada mereka, satu per satu; kak, terima kasih karena … aku akan menyebutkan setiap kebaikan-kebaikan kecil yang masih hangat dalam ingatan, entah yang sudah sangat lama berlalu hingga yang baru saja. Akan kukatakan semua yang sanggup kukenang dalam memori: aku pernah dipukul karena hujan-hujanan dan aku mengenangnya seumur hidup, aku pernah diantar ke sekolah di hari pertamaku dan aku takkan lupa karena aku terlalu takut menghadapi orang-orang asing tanpa genggaman tangan seorang kakak, aku pernah ditolong mengerjakan pr matematika yang nyaris membuatku menangis, aku pernah begitu bahagia mendapat tas baru yang kuidam-idamkan sekian lama, dan banyak lagi kebaikan yang abadi sebagai kenangan manis. 

Aku memang terlalu pengingat dan aku merasa beruntung sebab ada banyak detail kecil yang masih terarsip di bank ingatanku. Lalu setelah ucapan terima kasih aku akan meminta maaf dengan cara yang sama: kusebutkan semua kesalahanku yang pernah membuatku tersiksa karena rasa bersalah dan ketidaksanggupanku meminta maaf. 

Bahwa ada begitu banyak hal keliru yang kuyakini sudah melukai hati mereka dan aku ingin mereka memaafkannya. Akan kuakui satu hal yang sekian lama tak pernah sanggup kukatakan dengan terus terang; aku bukan tidak peka, aku hanya terlalu egois dan gengsi tuk meminta maaf. Aku tahu aku salah dan perasaan bersalah kubiarkan menjadi luka yang tak pernah tertangani. Aku selalui dilanda perasaan tak pantas, tak berharga, tak pernah layak tiap kali kuselami semua kesalahan itu. Rasa bersalah yang menumpuk sekian lama merantai langkahku, membuatku menjadi seseorang yang penuh emosi, tidak stabil. Di luar mungkin aku tampak baik-baik saja, tapi di dalam tidak. Dalam diam aku hancur oleh rasa bersalah. 

Kemudian kepada teman-teman dekatku, sahabat, dan guru-guru kehidupan yang sangat berjasa memberiku begitu banyak pengalaman dan pelajaran berharga. Kusampaikan dengan tulus ucapan terima kasih dan juga maafku. Bahwa aku sangat berterima kasih karena mereka sudah hadir. Keberadaan mereka sungguh merupakan sesuatu yang bermakna dan meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Dan maaf, untuk segala salah yang sengaja ataupun tidak.

Lewat kata-kata, aku ingin memberi kesan terakhir yang semoga menyenangkan. Bahwa di hari terakhirku aku hanya ingin merasa dicintai dan mencintai. 

—Makassar, 6 Agustus 2022

Day #5 Surat Untukku di Masa Depan

Jika aku berkesempatan untuk bertemu dengan diriku yang berasal dari masa depan, apa yang akan aku katakan padanya?

Just get the insight, keep moving and growing. Jangan terlalu sering menengok ke belakang. Tidak apa-apa jika tak menjadi seperti yang pernah begitu kau impikan. Cukup ambil pelajaran berharganya. Sebab ada begitu banyak jalan untuk menjadi bermakna dan hidup akan selalu menyuguhkan pilihan dengan bermacam-macam kemungkinan. Fokus saja pada hal-hal yang masih berada dalam kendalimu.  

Belajar berdamai dengan kesalahan yang lalu. Jangan pernah merasa gagal menjadi manusia hanya karena kau tidak berhasil dalam beberapa hal. Tidak apa-apa merasa sedih, tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja, toh setiap perasaan akan berlalu. Kau tetap berharga, sebanyak apa pun kekeliruan yang pernah kau sesali. Biarkan semuanya membuatmu bertumbuh, menjadi dewasa dan lebih mahir menghadapi situasi-situasi terburuk yang selalu datang tiba-tiba. Mengikhlaskan masa lalu (tidak peduli seterpuruk bagaimana pun dulu kau) adalah pilihan bijak untuk tetap melanjutkan langkah. 

Masih ada banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang layak kau rasa. masih ada begitu banyak kebahagiaan yang menunggu. Selalu ada mimpi, harapan, dan cinta. Tiga hal yang harus selalu ada dalam hidupmu. Jangan lupakan juga tiga hal yang selamanya akan menjadi pijakan hidupmu, sumber kekuatan dan kebahagiaan yang tak boleh lepas: iman, sabar, dan syukur. 

Thanks for being alive, Raa. I am so proud of you.  

—Makassar, 5 Agustus 2022

Day #4 Untukmu yang Menyakiti

Ucapan terima kasih dariku kepada yang pernah menyakitiku, karena kesakitan itu membuatku bertumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh.

Tulisan yang didedikasikan kepada mereka yang pernah meninggalkan luka mendalam.

Terima kasih, kalian. Teman-teman yang pernah kuanggap sahabat baik selama beberapa tahun kebersamaan kita. Kalian membuatku lebih memahami arti sebuah pertemanan. Tentang betapa pentingnya ketulusan dan kepercayaan dari sebuah hubungan, perihal apa saja yang mesti ada dalam pertemanan yang sehat, hingga bagaimana kita harus menyudahi jalinan jika sudah sampai red flag. Terima kasih sudah menyakiti dengan ketidakjujuran dan hilangnya ketulusan. Dari kalian aku belajar tuk lebih gigih lagi mempertahankan nilai-nilai yang kuyakini. 

Terima kasih, kau yang pernah datang membuat berantakan hati. Kau membuatku sadar, seberapa penting sebuah batasan dalam interaksi agar tak perlu ada perkenalan lebih jauh yang melibatkan perasaan terlalu dalam. Kau mengajarkanku tuk lebih mengenal diri sendiri, lebih aware lagi dengan hati yang begitu rentan. Kau membuatku pulang kepada diriku sendiri. Kembali memijak pada prinsip sebelum terbang lebih jauh. Terima kasih untuk semua ingatan baik dan buruknya. Tidak ada yang sia-sia dari keduanya. Semuanya datang membawa pesan.

Terima kasih, kalian. Keluarga terbaik yang sudah menumbuhkanku, tidak peduli walau lewat cinta sepaket luka-lukanya. Kalian membuatku merasa berharga sekaligus bersyukur sudah dilahirkan dan tumbuh di tengah orang-orang baik; kakak-kakak yang sabar dan orang tua berlimpah kasih. Dari kalian aku selalu belajar bagaimana cara menjaga hubungan, bagaimana saling memahami satu sama lain, bagaimana menjalankan peran masing-masing, hingga bagaimana memaklumi banyak hal di luar kendaliku. 

Katanya, orang yang paling kita sayangi dan paling mencintai kitalah yang paling berpotensi melukai, aku sepakat tapi dengan tanda kutip “bahwa melukai dan dilukai adalah hal biasa dari hubungan. Seterluka bagaimana pun, cinta dan kasih masih lebih besar tuk menerima dan memaafkan. Kita tak lantas berhenti dari perasaan cinta hanya karena luka. Sebab berpotensi melukai juga berarti ada potensi yang sama untuk membahagiakan." Kasih sayang dalam persaudaraan adalah salah satu keajaiban Tuhan dalam sebuah keluarga.   

—Makassar, 4 Agustus 2022
 

Day #3 Sudah, Aku Memaafkanmu

Seseorang yang ingin aku maafkan, sebab menjadi sebaik-baik hamba-Nya berarti meninggalkan dendam dan permusuhan. 

Disclaimer: tulisan ini hanya residu dari perasaan yang pernah tinggal, yang kini sudah sepenuhnya tanggal. 

Dulu, aku menganggap pertemuanku dengannya sebagai hal istimewa—sesuatu yang tak pernah kusangka akan berakhir dengan penyesalan yang mengarati hati sekian lama. Ini bukan perihal dendam ataupun permusahan. Sebab aku tak sedikit pun menaruh dendam, apalagi ingin membangun permusuhan. Aku tak punya cukup energi untuk keduanya sebab yang kuperjuangkan sekian lama hanya ikhlas. 

Ikhlas yang dalam perjalanannya kadang begitu sukar. Selalu saja ada kenangan yang menyandung langkah hingga aku harus jatuh berkali-kali sebelum tiba di ruang penerimaan yang teramat lapang dan menenangkan. 

Bahwa terhadap kesalahan orang lain, kita tak boleh hanya berhenti di proses memaafkan karena setelahnya, kita pun harus menerima lalu mengambil sebuah pelajaran. Sebab pemahaman baik kadang memang begitu mahal harganya. Kita harus mendapatkannya lewat pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan. Melalui seseorang yang pernah menggoreskan luka, misalnya. 

Tidak ada manusia yang tak pernah salah, pun demikian dengannya. Aku sadar jika ia yang pernah hadir tidak lebih dari tamu yang datang membawa pesan. Sebuah pesan singkat dari perkenalan yang tak bisa disebut singkat—bahwa memaafkan berarti menerima dengan ikhlas. 

Sebesar apa pun kesalahan itu di matamu, sebanyak apa pun tangis yang pernah mengalir karena pedihnya luka, tak peduli semarah dan sekecewa bagaimanapun dirimu kala itu. Toh, kau juga tak betul-betul bebas dari kekeliruan, bukan? Barangkali, tak jauh berbeda; kau pun pernah meninggalkan luka yang menganga dalam hidupnya.

—Makassar, 3 Agustus 2022

Day #2 Selepas Kau Pergi

Rasanya ditinggalkan oleh orang tersayang dan pembelajaran berharga yang kudapatkan karenanya.

Perpisahan itu begitu tak terduga. Tiba-tiba saja aku sudah berada dalam kamar dengan suara tangisan memenuhi seisi ruangan. Bapak masih berbaring dengan selang infus yang masih sama dengan beberapa hari lalu—bedanya, saat itu sudah tak ada lagi kehidupan di sana. Tubuh itu tak lagi bernafas, mata itu, selamanya akan terpejam. Jasadnya sisa seonggok badan dengan kenangan panjang dalam ingatan kami.

Jika ditanya bagaimana rasanya, aku tidak tahu pasti selain hanya 'kesedihan' karena ditinggal. Sedih karena statusku kini menjadi yatim, seseorang yang ditinggal mati oleh sosok ayah. Saat itu aku belum terlalu paham kehilangan. Aku masih duduk di bangku SD, anak sepuluh tahun yang masih terlalu dini tuk menafsir perpisahan bersama seluruh perasaan yang hadir. Yang kutahu pasti, bapak meninggal yang berarti ia akan dikubur dan kami pun berpisah selamanya. Ia, selamanya.
 
Aku menangis banyak sekali hari itu. Bagaimana tidak, untuk pertama kali aku menyaksikan mama dan dua orang kakak laki-lakiku terisak begitu keras. Mereka menangis lebih kencang dibanding siapa pun hari itu. Dua orang kakak laki-laki yang kupikir tidak pernah menangis ternyata bisa sedahsyat itu dihantam kehilangan.

Orang-orang datang silih berganti. Aku tidak mengerti mengapa tiap kali mereka melihatku, mata-mata itu seolah menaruh perhatian lebih—yang kini kutahu, tentu saja itu karena melihatku, si anak bungsu paling kecil yang masih tidak tahu apa-apa. Ada tatapan iba yang kubaca ketika melihat orang-orang yang menaruh prihatin itu pamit undur diri. Beberapa mengelus bahuku, bahkan sampai memelukku. Sekali lagi, aku masih terlalu kecil tuk paham arti kehilangan.
 
Pelajaran berharga di balik kehilangan, khususnya orang tua membuatku sadar, bagaimana jika kelak aku pun harus menjadi pihak yang meninggalkan? Sepatah hati apa orang-orang yang kusayang jika aku pergi? Bagaimana aku akan diingat? 

Banyak hal yang semestinya tidak perlu menjadi kekhawatiran jika aku selalu bersiap, mengupayakan akhir yang terbaik. Sebab tak ada yang paling pasti selain mati. Kepergiaan yang akan dialami siapa pun. Dan apa yang bisa ditinggalkan setelah kehidupan ini usai, apa yang paling dibutuhkan jika sudah berpisah hanya doa. Pun, bapak tidak butuh puisi atau surat cinta, ia hanya butuh doa. Doa-doa dari anak shalih, sebuah cita-cita semasa hidup. 

—Makassar, 2 Agustus 2022

Day #1 Aku dan Diriku

Persepsi positifku tentang diriku sendiri.

Aku senang dengan diriku yang selalu menuntut perbaikan, yang seringkali gelisah saat misi-misi kebaikan yang kurencanakan tidak berjalan seperti yang kuharapkan. 

Aku paling mencintai diriku yang selalu tahu bagaimana kembali memeluk diri sendiri, melakukan banyak hal sebagai upaya self love. Karena bagaimanapun, aku sadar bahwa tak seorang pun akan mampu memahami diriku sebaik yang kulakukan. 

Aku menyayangi diriku yang meskipun banyak melakukan kekeliruan tapi tetap meluangkan waktu untuk bermuhasabah, mengevaluasi dan mengoreksi kesalahan serta kebaikan apa yang patut diteruskan. Sabab bagiku, sebuah refleksi/self talk akan selalu bisa memukul kesadaran, tentu saat kita bersedia mengambil jeda dari riuh dunia untuk duduk bersama diri sendiri. 

Tidak apa-apa menghakimi setumpuk kealpaan yang membuat diri merasa buruk untuk kemudian berjanji akan melakukan perbaikan, berusaha semaksimal kemampuan tidak akan lagi mengulangi hal-hal tidak baik yang kelak akan disesali. 

Aku mensyukuri diriku yang sudah terbiasa berkontemplasi saat-saat hening sebagai komitmen pada diri sendiri tuk terus meng-upgrade kualitas diri, menjadi versi terbaik diriku.

Tidak ada manusia yang sempurna, yang ada adalah orang-orang yang memilih berjuang; di medan mana pun yang dipilih, belajar melejitkan potensinya, terus menjadikan dirinya pembelajar yang tak pernah merasa pandai. Sebab hidup menuntut tanggung jawab, sebagai hamba, sebagai manusia yang berusaha menjalankan setiap peran sebaik-baiknya. 

—Makassar, 1 Agustus 2022