Sejujurnya aku selalu kesusahan membuat kalimat pertama—karena itu, kubuka tulisan ini dengan salah satu kutipan yang pernah kubaca di sebuah blog:
“The
best love is when you find someone who makes your Imaan rise, who makes you
more pious, and who helps you here in the dunya. Because that person wants to
meet you again in Jannah.”
Siapa sangka, Mim. Untukmu—inilah waktunya,
bertemu dengan seseorang yang insyaallah akan membersamai hingga ke syurga;
seorang pasangan yang semoga adalah sosok dewasa dalam membimbing dan
mengayomi. Semoga dia mampu menjadi qowwam yang penuh kasih sayang, seorang
suami dan calon ayah yang berdedikasi dan penuh tanggungjawab. Mim, musim
penantianmu—yang sudah cukup lama kini berakhir; hikmah ending, dengan
seluruh pemahaman baiknya. Setelah sekian hari yang penuh
ujian perasaan dan jebakan prasangka yang seringkali menggoyahkan keyakinan
terhadap takdir-Nya, finally … Allah tunjukkan momen paling tepat versi-Nya.
Barangkali memang begitulah cara terbaik Dia menulis skenario
ceritamu; terlihat berliku tak berujung, penuh ketidakpastian yang menguji iman
hingga begitu banyak luka yang dibiarkan menjejak terlebih dahulu—seluruhnya
adalah bagian dari perjalanan perasaan yang pada waktunya akan membuatmu lebih
bersyukur sudah berhasil melaluinya. Allah ingin lebih menguatkan seorang hamba
dengan kesabaran paripurna, dengan kesyukuran yang mendalam—bahkan terhadap
hal-hal di luar harapan, dan mungkin juga sekadar mengingatkan
dengan lembut; bahwa yang terjadi adalah terbaik, seburuk apa pun manusia
mencurigai takdir-Nya.
Mim, ingat tidak? rasanya baru kemarin—padahal sudah lima tahun—ketika kita membicarakan soal kekhawatiran ataupun ketakutan terhadap pernikahan. Tentang cerita-cerita tidak bahagia seseorang yang sudah menikah dan menyesal hingga membuat kita cukup overthinking. Lalu, setelah tahun-tahun berlalu dan pembicaraan kita tentang sebuah pernikahan sudah semakin dewasa dan tidak semengkhawatirkan dahulu, saat itu (entah bagaimana) aku yakin, mungkin memang tidak lama lagi—tepatnya, firasatku bilang; Mima akan segera bertemu jodohnya.
Meskipun ternyata Nisha lebih dulu, aku tidak menyangka hanya berjarak sebulan, Mima pun menyusul hari ini. Barakkalah fiik, Mim. Maaf karena belum bisa membalas chat—tapi percayalah, barisan doaku cukup bising beberapa malam ini. Anggap saja, begitulah caraku merayakan dari jarak jauh, dengan doa-doa yang selalu kuyakini lebih mendekatkan. Dan walaupun diam-diam dan masih tak ada percakapan di hari bahagiamu—tetap ada aku. Selalu. Sebagai kawan yang akan terus mendoakanmu, tidak hanya hari ini.
"Barakallahu
lakuma wa Baraka alaykuma, wa jama’ah bayna kuma fii khair … selamat menikah,
Mim."
Semoga menjadi pasangan yang penuh saling dalam mengarungi bahtera rumah
tangga; Mima’ dan suami yang saling mencintai. Saling
memperjuangkan. Saling mendukung. Saling memaafkan. Saling yang tidak berhenti
pada saling menyayangi saja. Saling yang terus-menerus. Sebab itu yang Allah
ajarkan—saling mengingatkan dalam kebaikan. Saling menasihati dalam kebenaran.
Maka semoga Allah berkahi pernikahan kalian dan memberi sakinah mawadda wa
rahma dalam rumah tangga kalian. Selamat bertumbuh bersama, selamat menjadi
rumah bagi satu sama lain—langgeng terus, yaa sampai maut memisahkan. Hingga
syurga menjadi pemberhentian terakhir. Allahumma Amiin.
Ada
begitu banyak doa terbaik dari orang-orang untuk kalian hari ini, semoga
semuanya mendapat pengabulan terbaik-Nya.
Mim, semoga lebih bahagia dari yang sudah-sudah—meskipun nanti—seperti
bagaimana hidup ini berjalan—akan ada saatnya bertemu bagian tidak
menyenangkan, tapi setidaknya, jika waktu itu tiba, rasanya cukup melegakan
karena Mima sudah tidak sendiri. Bukan lagi seperti dulu yang hanya ada sajadah
untuk bersujud dan mengadu—sekarang sudah ada pundak untuk bersandar. Yap, kini ada dia yang akan menemani Mima melewati ups and down moments… Masyaallah.
Karena sudah sejam lebih, kuselesaikan tulisan ini dengan: Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan—sama seperti membuat pembuka tulisan, ternyata aku juga susah mengakhirinya, haha.…
—Makassar
yang mendung dan masih sendu.
Dari kak Iramu yang bahagia tapi juga sedih sekaligus terharu.