Sunday 6 March 2022

[Review Book] "Di Mana Wajah Tuhan yang Maha Penyayang?

Untuk meningkatkan kepedulian ataupun kepekaan sosial, tentu saja seseorang mesti menjadi pembaca, yang tidak sekadar menyimak sekilas tapi juga bersedia tuk menyesaki kepalanya dengan segala macam respons terhadap apa saja yang ditemukan di sekelilingnya. Dari pengalaman saya membaca “Di Mana Wajah Tuhan yang Maha Penyayang” rasanya cukup tuk menyimpulkan jika penulis tentu termasuk seseorang yang peka, kritis, dan peduli terhadap isu-isu sosial yang sedang ramai diperbincangkan khalayak.

Sejujurnya saya bukanlah pembaca opini ataupun esai, namun sejak pandemi saya mulai memprioritaskan buku non fiksi yang memang sangat dibutuhkan kepala saya, (yang sungguh bebal tersebab bertahun-tahun kelewatan menikmati genre roman fiksi yang menciptakan halu dan cukup membuat daya nalar saya mengap-mengap) namun karena buku ini jelas-jelas bukan fiksi, saya memiliki kegembiraan tersendiri bisa menjadi bagian/pembaca buku solo Mus, penulis yang sempat saya kira akan menerbitkan buku puisi. Ternyata buku kumpulan esai ini cukup mengesankan saya.

Bagaimana, bagaimana bisa? Oke, here, we go!

Buku ini seperti yang digambarkan pada bagian pengantar, memang berisi kumpulan tulisan yang dibuat sejak 2018 hingga 2021. Berbagai topik dibahas, dari yang viral, hingga hal-hal yang mungkin memang bersifat lebih ke “pengalaman/perenungan khusus” penulis yang akhirnya menjadi ide tulisan.  Terus terang saja, saya sangat suka dengan keragaman tema yang diambil. Refleks saja saya merasa mendapatkan gagasan yang lebih berwarna dan tentu sangat berpotensi tuk membuka ruang diskusi-diskusi menyenangkan ke depannya, atau menjadi bahan tulisan. Tentang apa saja: kebijakan-kebijakan pemerintah, segala fenomena politik (kebetulan saya pun alumnus fakultas yang ada “politik” nya) atau sekadar menelaah sebuah film, sebaris kutiapan dari buku atau satu ayat dalam Al-Qur'an sebagaimana yang sering menjadi referensi tulisan dalam buku ini.

Lewat serangkaian judul dalam buku pertamanya ini, Mus memberi pemahaman yang gamblang bahwa penulis opini tentulah seseorang yang kritis, berkacamata jernih dalam melihat sekitar, menganalisis peristiwa, merenunginya, dan (terkadang mungkin harus) memunculkan kritik bertubi-tubi yang syukurlah, dalam bentuk tulisan tetaplah dibuat santun, alih-alih memilki tendensi menghakimi atau menyudutkan pihak-pihak tertentu. Hal ini jelas sedikit banyak sudah mencerminkan kepribadian penulis, bagaimana ia memandang sesuatu dan, lewat kata-katanya, pembaca seperti saya bisa menangkap, kira-kira bagaimana perasaan penulis ketika asyik bergumul dengan opininya, respons atas masalah-masalah sosial yang masih tak jelas penanganannya, keprihatinan akan kondisi lingkungan, agama yang seharusnya meneduhkan malah menjadi bahan bakar perdebatan yang panas, kepada banyak hal lain yang sungguh menarik jika dipikirkan, terlepas dari rasa geram, sinis, atau marah yang turut mewarnainya.

Penulis bisa dibilang berhasil membawakan materinya, sesuai bidangnya a.k.a latar pendidikannya yang memang sangat relevan dengan esai-esainya.


 

Saya suka gaya menulis Mus yang kadang blak-blakan, sesekali bernada sarkastis dan lebih sering apa adanya. Sasarannya jelas, bisa menjangkau sebanyak mungkin pembaca, karena buku ini memang dituturkan dengan bahasa sederhana. Sebagai pembaca yang tak begitu andal saya mudah saja menangkap, apa kiranya yang ingin disampaikan Mus lewat tulisan-tulisanya. 

Memang, saya butuh waktu panjang tuk menamatkan buku ini, tapi pengalaman membacanya, seperti yang saya sebutkan sebelumnya; cukup mengesankan. (curcol zone) Bisa dibilang buku ini adalah tipe bacaan yang saya harus sedikit memaksa diri menghabiskannya, berhubung karena saya sedang di masa super hectic sehingga tulisan-tulisan dalam sini bisa dibilang (paling) banyak menyinggahi tempat, dalam banyak kesempatan, pada banyak situasi menunggu yang beragam: saat menunggu seseorang, menunggu matahari pagi, menunggu kantuk, menunggu subuh, menunggu pesanan kopi, hingga akhirnya tamat di salah satu kursi bank karena tengah menunggu antrian cukup panjang. 

Syukurlah, buku-buku selalu menjadi teman duduk yang tak pernah memaksamu menyelesaikannya segera, jadi, yah ... saya membaca pelan, sangat pelan, sembari tersenyum sesekali, kadang berhenti sejenak ketika apa yang saya baca mengingatkan saya pada momen tertentu, refleks jadi pemberhentian tuk mengorek ingatan karena sempat disinggung dalam tulisan: "Maudy Ayunda" membuat saya nostalgia ketika membaca Dear Tomorrow di pinggir pantai sendirian, "Anak Muda dan Terorisme" yang seketika me-rewind momen nonton Hotel Mumbai di deretan kursi terakhir bioskop yang lagi-lagi sendiri dan, di tulisan lainnya saya jadi tersenyum karena sempat menonton 3 Idiots pada suatu pagi yang sunyi. Rasanya menyenangkan jika membaca hal-hal yang sejatinya pernah ikut menjadi bagian diskusi kecil dalam dirimu. Saya yakin, penulis paham betul maksud saya.

Karena sudah lumayan panjang, saya akhiri tulisan ini dengan mengutip halaman 59, baris terakhir: 

"Agama sebagai kata kerja, bukan hanya sebatas kata. Kata kerja mempunyai kemampuan menghidupkan bahasa yang sudah mati (Aan Mansyur). Agama mesti menghidupkan naluri kemanusiaan yang telah mati. Sebab kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat Tuhan."

Dan salah satu dari tulisan yang saya suka, judul dari buku ini:

"Tuhan, ajarkan kami menjadi makhluk yang penyayang." 

Kalimat penutup ini sederhana saja sebenarnya, tapi entah bagaimana saya merasa tersentuh begitu rupa, entah karena sebuah interpretasi khusus yang tiba-tiba saja menghadirkan sentimen pribadi. Rasa-rasanya, saya sering kurang kasih terhadap banyak hal. hiks.

-Minasaupa, 6 Maret 2022

Wednesday 2 March 2022

Menulis adalah menjaga kewarasan

Kata-kata yang ditulis bisa jadi untuk menguatkan diri sendiri, menjadi sebentuk perlawanan juga pembelaan harga diri, dan sebuah cara tuk membebaskan segala hal yang sulit dibicarakan.

Sebab terkadang, keterusterangan yang dilontarkan lewat lisan, dengan emosi yang tak terbendung akan menjauhkan seseorang dari kehati-hatian memilih kata, dan seringnya akan keluar kalimat, yang meskipun benar tapi karena penyampaiannya yang kurang santun, maka tidak bisa jika tidak menyakiti siapapun yang mendengarnya.

Kejujuran kadang memang pahit dikatakan, namun menuliskan semuanya dengan penuh kelembutan dan pengertian serta kehati-hatian agar tak salah memilih diksi tentu saja akan membuatnya lebih mudah diterima dan memperkecil kemungkinan timbulnya luka (tentu saja lebih baik dihindari). 

Jadi, meski lebih sulit, kau tetap memilih menuliskan seluruh keresahanmu dan kau akan tetap dalam diammu yang tenang hingga emosi beserta kata-kata kasar cukup dikunci dalam benak. Kau tak ingin melemparkan kata-kata kasar yang keluar bersama amarah tak terkendali sebab itu akan menyakiti pendengarnya—dan kata-kata yang telanjur melukai tidak akan pernah bisa ditarik kembali. 

Karena itu, kau lebih menulis. Sebab di antara kata-kata ada spasi, jeda yang memungkinkanmu berpikir lebih jernih tentang kepantasan setiap kalimat yang kau susun; dibaca seseorang dengan hati lega, alih alih merasa disakiti. Kau dengan mudah menghapusnya jika kau yakin bahwa tulisanmu ada tendensi melukai. Kurang lebih seperti itu.