Friday 29 September 2017

Memelihara Kebaikan


Kau selalu bisa memilih jalan kebaikan apa yang harus ditempuh untuk menjadi muslim kaffah. Memilih puas dengan dirimu yang sekarang atau memasuki dimensi baru, sebuah ruangan yang disesaki oleh mereka yang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki diri dengan mulai menapaki jalan hijrah. Ya, hijrah adalah awal dari permulaan yang baik. Sebuah alur yang mesti kau ikuti dengan susah payah. Seperti keluar dari zona nyaman menuju keterasingan yang menyuguhkan banyak hal baru, serta merta harus diterima-dijalani penuh keikhlasan.

Maka setelah hijrah, ada istiqomah yang harus diperjuangkan. Sebab hal baik memang slalu butuh pengorbanan yang tidak main-main. Hijrah mungkin terasa berat namun percayalah, istiqomah jauh lebih sukar.

Sebab istiqomah adalah berdiri tegak di atas prinsip hijrahmu-gigih melawan segala bentuk godaan yang akan menggugurkan semangat hijrahmu.

Istiqomah berarti kau harus siap menahan diri agar kesalahan juga kelalaian di masa lalu tak lagi terulang. Bahwa dengan istiqomah kau telah menanamkan tekad tuk menyudahi tiap khilaf yang lalu. Dengan istiqomah kau harus mampu mempertahankan titik-titik kebaikan yang tengah kau cicipi walau harus dengan sedikit kepahitan. Hidup memang tak melulu tentang manis dan bahagia. Kadang-kadang kita juga harus menikmati kegetiran sebagai ujian selaku hamba-Nya.

Istiqomah adalah kau ridha terhadap setiap perubahan dalam dirimu. Jangan pedulikan mereka yang mencibir pilihanmu. Teguhkan hati bahwa jalanmu sudah tepat. Kau hanya perlu menyediakan stok sabar tak berbatas tuk memelihara kebaikan. Sebab istiqomah perihal tekad juga usaha yang kau dedikasikan demi menjadi lebih baik lagi.


*(latepost, writing project bersama @xyouthgen tema: Istiqomah

Monday 25 September 2017

Penyesalan Terakhir

Pict source; tumblr
Mungkin suatu hari nanti, aku ingin menjadi percaya bahwa apa yang kita jalani saat ini ialah nyata. Tapi sayangnya, semua itu menguap menjadi kepulan-kepulan kecewa dari sesapan kopi pagiku. 
Pahit. Persis seperti tegukan terakhir kopi yang habis di sela pilu menyeruak tiba-tiba. Rasanya kata maaf takkan mampu menebus kecewamu. Aku kelu dalam ketidaktahuanku harus bagaimana? Aku terperangkap ketakutanku sendiri.
Percaya ialah cara untuk merawat pertemuan yang satu-satu kita jahit dalam kenangan. Dan tetiap kata-kata yang kauberikan kini hanya termuntahkan sia-sia. Lahir menjadi kecewa. 
Aku membisu bersama Harap juga angan yang kini menguap. Kenyataan terlanjur berbuah sesal. Ego adalah tokoh antagonis yang bekerjasama dengan waktu-pelan-pelan mencurimu dariku. Seketika sesak menjalari tubuhku. 
Aku sadar betul, kita sama-sama ingin merentas jalan yang sama; bermuara di lautan kenangan. Namun, itu dulu. Sebelum kering dimakan oleh ego itu. 
Barangkali, satu-dua langkah pergi bisa membuatmu sadar bahwa inginku begitu serius. Bukan bualan yang seenaknya terlontar seperti peluru liar. Tapi, bila suatu waktu kauingin mengingat kembali semua yang telah kita jalani, jangan ragu.   
Kembalilah. Tak apa, kecewa menjadi miniatur kesedihan yang cukup kubuat sekali saja. Sebab, setelah perih yang kurasa aku berjanji; takkan kubiarkan lagi ada jarak yang berperan mencipta jauh. Aku hanya ingin merapikan “kita” yang sempat berantakan oleh ego milikku. 
Aku ingin sekali saja menjadi percaya. Bahwa apa yang kaukatakan bukan sekadar kata-kata yang membentur dinding, memantul, dan kembali ke bibirmu. Tapi untuk sekali ini, bisakah kau menjaga percaya itu? 
Ya. Aku mengaminkan sembari menyusun harap yang sempat terhambur. Tak ada yang paling kuingini selain kau bersedia membangun kembali apa yang sempat hancur di antara kita. Kuharap kau paham bahwa aku memilih memulai kembali, sebuah awal tentang kita-tanpa ada kebohongan lagi. 
Baiklah, bila itu kau bersungguhsungguh, tak ada alasan untuk semakin tenggelam dalam kecewa. Meski butuh waktu, aku akan mencoba. Semoga, suatu waktu nanti, kita benar-benar bisa menjalani lagi dengan bahagia terbit di dada masing-masing.
 
Jakarta - Makassar,
29 Agustus 2017 | #KolaborasiAgustus
Kolaborasi antara @ariqyraihan​ dan @ai-raa​

Sunday 24 September 2017

Titik Balik


Selepas begitu banyak hari penuh keresahan, kini kutemukan kembali diriku seperti hari kemarin; penuh semangat sebelum ada perasaan yang pernah begitu menginginkanya.

Aku seolah terlahir kembali. Dengan tekad dan juga sebuah prinsip yang akan kugenggam lebih erat lagi agar tak perlu ada kesalahan masa lalu yang berulang. Cukuplah ia menjadi pembawa pesan tentang melepaskan juga mengikhlaskan dengan sepenuh hati.

Aku memilih pergi walau harus dengan pura-pura seolah aku tak peduli lagi akan sgala hal tentangnya. Semoga ia paham jika berjarak menjadi hal yang mesti kutunaikan sebagai sebuah usaha menanggalkan rasaku.

Berada di posisi seperti ini tak pernah menjadi perkara mudah, bahkan teramat sukar hingga tangis kerap menjadi ritual yang membersamai sepertiga malamku.

Aku kalut dalam rasa penuh dosa. Menangis sesenggukan dengan sesal yang kuharap tak sekedar menjadi pelajaran berharga tapi juga sebagai jalan tuk kembali mendekati-Nya dalam sungguh-sungguh mengharap maaf-Nya.

Tuhan maha baik. Kasih sayang-Nya mengembalikan kesadaranku. Seorang perempuan yang pernah dalam kelalaian melabuhkan harap kepada makhlukNya, kini sedang berjuang menata hati. Berusaha larut dalam kebaikan sebagai titik balik atas berjuta detik yang sempat larut dalam angan penodai hati.

*(latepost, writing project bersama @xyouthgen tema: Titik balik

Wednesday 20 September 2017

Memahami


Memahami itu indah. Setuju banget.

Sebab menjadi manusia sosial kita dihadapkan pada kenyataan yang mau tidak mau harus kita jalani-sekali pun itu sesuatu yang tidak kita inginkan sama skali. Termasuk perihal memahami. Sebagai seorang introvert, kegiatan sehari-hari sangat bergantung dengan planner plus dengan alarmnya. 

Maklum, aku agak pelupa sehingga harus slalu diingatkan dengan banyak cara (read: alarm schedule harian lengkap dengan prioritas berupa sticknote warna warni yang tertempel di mana saja), selalu saja butuh metime dan kadang merasa frustasi jika tak terpenuhi karena banyaknya kegiatan di luar rumah. Gak mau rempong dan memang terbiasa mengerjakan sesuatu sendirian-dan juga sangat tidak suka terdistraksi dengan banyak chat-atau pun telfon hingga 24 jam hpku mode silent demi meredam bunyi notifikasi yang slalu menyesaki hp.

Dengan kepribadian seperti ini, tantangannya jelas; Aku mesti memposisikan diri sebagai seseorang/teman yang harus slalu menipiskan ego tuk “memahami” orang di sekitarnya. Memahmi sebenarnya termasuk hal yang susah-susah gampang, sebab di beberapa kondisi kita dituntut tuk berkorban demi mempertahankan ikatan pertemanan. Aku berteman dengan beragam orang yang tentu berbeda sifat-mulai dari yang sederhana, penuh tanda tanya (agak absurd tapi unik), sedikit nyebelin, hingga yang hobi mendramatisi segala hal. Berhadapan dengan macam-macam karakter serta merta membuat memahami menjadi hal urgent yang harus dilakoni untuk menjaga agar lingkaran pertemanan tetap nyaman juga demi meminimalisir segala hal yang bisa merenggangkan sebuah hubungan. Singkatnya, memahami adalah solusi tuk tetap survive menghadapi kompleksnya kehidupan yang bukan di fase teenage again.

Kedewasaan ternyata serupa jebakan usia berbentuk pilihan-pilihan penuh risiko-sepanjang memerankan naskah takdir yang dituliskan Tuhan. 

 *(source: mytumblr. klik di sini



Tuesday 19 September 2017

Kau; Ujian Hidup


Nyatanya, kau masih saja setia bertahta di selasar harapku. Sebagai sosok yang kukagumi dalam harap yang masih abu-abu.

Tentang sekumpulan ketidakpastian yang masih saja merantai inginku, juga perihal masa depan yang begitu lancang kuimpian-bersamamu.

Ketahuilah, meski dengan hati yang berantakan aku tetap memilih untuk mengubur tiap harapan yang dulu slalu kupelihara dalam doaku.

Sebab aku sungguh-sungguh ingin menghapus namamu dari sesuatu yang pernah begitu istimewa. Namun, tak kusangka akan sesukar ini.

Kau tak tahu betapa sulit menganggapmu sama seperti orang lain. Sedang kau? terlihat baik-baik saja. Bagaimana bisa kau begitu lihai melakoni pura-pura yang begitu nyata seperti itu?

Tak bisakah kau menolongku?

Ajari aku menatap matamu dengan degup jantung yang normal. Ajari aku agar di dekatmu bisa terasa biasa saja.

Tapi kata orang, bukan cinta jika tak seperti itu.

Entahlah…

Antara ingin bersitatap juga tidak. Sebab berada segaris dengan kedua bola matamu adalah ke-engganan menghadapi debar yang memuakkan. Sungguh menjadi ujian paling sulit kutaklukkan.


*( Writing project tema; Ujian Hidup. Bersama: @xyouthgen

Teruntuk Kamu; sesal yang tumbuh di halaman masa lalu



Hari ini kau akan kehilangan seluruh hal tentangku.

Kala tulisan-tulisan yang pernah berisi namamu tak bisa lagi kau temui di mana pun. Bahkan di atas kertas sekalipun; tempat yang sebelumnya selalu rutin kusinggahi tuk sekedar menampung rajutan kataku. Pun, linimasa maya milikku juga takkan sudi lagi dititipi beragam prosa merapuhkan yang seluruhnya hanya tentangmu.

Percayalah, aku betul-betul berhasil menghapusmu dari angan, harapan, juga mimpi yang sempat kutangisi berulang kali. Semoga kau paham jika perempuan selalu memiliki caranya sendiri untuk memulihkan diri dari setiap luka yang menggerogoti hatinya.

Dan untukku, merutinkan doa dan usaha yang sungguh-sungguh adalah satu paket yang tengah kuperjuangkan kini. Mengapa? Aku hanya takut jika Tuhan menghabisi usiaku dengan hati yang penuh noktah, dosa perasaan karena khilaf pernah mencintaimu dengan cara yang salah.

Kau mungkin saja orang yang tepat namun karena waktu yang belum saatnya, membuatku malah terjerembab dalam kubangan sesal. Tentang harap yang pernah kuletakkan tidak pada tempatnya. Maaf… Aku memilih menghilang dari di dimensimu.


*( Writing project tema; Penyesalan. Bersama: @xyouthgen

Sebuah Pilihan


Aku pernah berada di titik paling genting tentang hidupku yang sepertinya sedang berjalan menjauhi titik kebaikan. Kala itu keresahan menjadi makanan sehari-hariku. Atas sebuah pilihan yang berhasil melahirkan dilema panjang. Antara kebaikan dan keburukan yang entah di mana sekat antara keduanya.

Sebenarnya aku hanya merencanakan sesuatu yang baik tapi nyatanya yang kulakukan justru tercemar oleh banyak hal tidak baik, meski tujuannya masih baik. Ahh... agak sulit tuk membahasakannya, sebab terlalu banyak kontradiksi yang bermain dan aku pun masih kesulitan membahasakannnya.

Sebut saja, saat itu adalah fase yang lumayan krisis dimana aku mulai hilang kendali menyikapi pergaulan sehari-hari atau setiap interaksi dalam ranah kampus. Sebab menuntut ilmu, ujiannya memang berat, apalagi untuk perempuan sepertiku yang berada di lingkungan tak sekondusif sebelumnya (read; dulu waktu hidup berasrama tanpa ada yang namanya ikhtilat). Paling ringkasnya begini; aku nyaris lupa akan prinsipku selama ini karena terlalu sibuk mengurusi konsekuensi dari pilihanku sendiri.

Dan Kepalaku pelan-pelan slalu riuh mempertanyakan apa saja yang melatarbelakangi gelisah bertamu setiap malam. Dan ternyata semua itu adalah akibat dari aku yang kurang bijak menyikapi sekelilingku. Aku memang slalu merasa bahagia bisa berkumpul bersama orang-orang yang sefrekuensi dalam hal hobi yang pada akhirnya malah membuatku terjebak di lingkaran nyaman kurang baik. Aku perempuan dan nyatanya masih terlalu labil perihal menghadapi kebaikan banyak Adam di sekitarku.

Belakangan baru kusadari jika aku hampir saja mencederai prinsip yang selalu kugaungkan sebagai sebuah  usaha menjaga diri. Meski berusaha menghindari, nyatanya aku tetap saja berputar di poros harap yang salah. Membuat hijrah pada akhirnya menjadi jalan yang harus kutempuh sungguh-sungguh.

Setelah perenungan panjang aku mengambil keputusan yang semoga saja menjadi pilihan paling tepat. Aku melepaskan satu harapan atau mimpiku sebab kutahu jika mengejarnya sama saja kembali menjerumuskan diri ke hal-hal yang tidak membawa kebaikan.

Tentu bukan perkara mudah merelakan sesuatu yang sebenarnya sudah di depan mata tuk segera dalam genggaman, namun nurani seolah berbisik pelan: Untuk apa kau mati-matian mengejar bahagiamu sedang Tuhanmu mungkin saja murka (?)

Sebenarnya tak ada yang salah untuk mimpiku. Kesalahan terbesarnya murni hanya ada padaku yang belum mampu memposisikan diri menjauhi peluang dosa slama ini. Berat namun harus kuakui jika mudharat yang kuperoleh lebih banyak dibanding manfaatnya. Maka inilah jalan hijrahku, pergi menjauh, menutup celah-celah keburukan yang sudah pasti akan menambah timbangan keburukanku-kelak.

Kusebut ini hijrah sebab aku betul-betul menarik diri dari kenyamanan yang beberapa bulan ini kunikmati tanpa sadar bahwa sebenarnya sikapku kurang tepat.

*( Writing project tema; Jalan Hijrah @xyouthgen
#metamorfoself #writingproject

Wednesday 13 September 2017

September, Tentang (J)atuh dan Episode yang Memilukan

September dan sebuah rasa yang tak lagi mampu kubahasakan dengan sederhana. Sebab logika yang lagi-lagi enggan berperan-atau mungkin aku yang terlampau sulit memberinya ruang walau sekedar tuk memikirkan sebab-akibat paling buruknya. Aku terlanjur kacau-nyaris tak tahu harus bagaimana-sembari merutuk diri dengan sebuah tanya
“Mengapa terlalu mudah larut dalam pesonamu?” Mengapa namamu slalu saja menggema di keheningan atau pun riuhnya kepalaku? Mengapa tak pernah mudah jika itu tentang mengambil langkah-menjauhimu? 
Mengapa dan mengapa yang lain terus saja menyesaki benakku. Aku seolah lumpuh di hadapan “sesuatu” yang aku pun entah harus menyebutnya apa. Apakah memang aku tengah terjebak dengan hal semacam “suka, kagum atau cinta (yang katanya menempati kasta tertinggi perasaan) ? Batinku sibuk mencari jawaban.
Aku tak tahu. Perihal rasa mengapa harus namamu yang menjadi tuannya. Aku tak paham di bagian mana yang membuatku jatuh. Ketahuilah, aku bukan perempuan yang mudah memiliki perasaan kepada seseorang-namun sepertinya argument ini patah sejak aku-kamu kian mengakrabi kebersamaan. Oleh nyaman yang kita cicipi di tiap temu yang terlalu sering. Ah, tiba-tiba aku setuju dengan kalimat “rasa bisa hadir karena terbiasa”-yaa, aku mulai terbiasa akan sgala hal tentangmu-memenuhi hari-hariku. Senyum tawa serta berjuta detik kala bersamamu-pelan-pelan mengundang hal yang sungguh-aku pun tak pernah mengharapkannya.

Sebut saja jika aku memang sedang (j)atuh. Jatuh di wilayah perasaan yang mengandung namamu. Perlahan harapan tumbuh tanpa sedikit pun mampu kucegah. Aku frustasi. Memikirkanmu seolah rutinitasku. Mengulang kenangan tentangmu seperti nostalgia favoritku-dan entah mengapa rindu mulai bermain. Serta merta membuat banyak spekulasi tercipta dalam pikiran yang kalut. Aku tak ingin seperti ini. Sungguh… Aku tak tahu lagi-harus bagaimana menarik diri dari duniamu.

Kata seorang temanku, tempatku menitip rahasia juga (mungkin) aib ini, : Kau harus tegas dengan perasaanmu sendiri. Jangan berlarut dalam angan atau pun harap yang tidak pada tempatnya. Hindari ia sebisa mungkin. Kita memang tak bisa memilih akan jatuh di mana, tapi tentang perasaan, percayalah, perempuan slalu bisa mengendalikannya-jika ia memang ingin. Tentu bukan hal yang mudah sebab kita tercipta tuk lebih mengedepankan prasaan dibanding logika. 

Maka yang harus kau lakukan: menguatkan diri sebab hanya kau yang bisa membebaskan dirimu sendiri dari perasaan-perasaan sesak, resah atau pun gelisah yang tak terdefinisi itu. Jika kau bertekad sungguh-sungguh, aku yakin kau akan mampu melewatinya. Meredakakan gejolak di hati bukan perkara mudah-tapi tak berarti betul-betul sulit. 

Kuncinya hanya ada dalam dirimu sendiri. Kau harus mampu mengendalikan diri, mencoba pelan-pelan mengurai rasa yang terlihat rumit itu. Sederhanakanlah. Kau bisa mencoba caraku-tak mudah memag tapi mau bagaimanalagi? Relakah kau dihabisi perasaanmu sendiri? Tentang waktu yang terbuang dalam kalut dan perasaan gamang. Sadarlah, hatimu sedang tidak baik-baik saja. Dosa perasaan seperti noda yang kian hari melebar seiring banyaknya detik yang masih saja sibuk akan dia-yang tak ada jaminan jika kau adalah masa depannya. 

Maka tegaslah! Kau harus lebih bijak menyikapi rasa. Bagiku tak ada yang paling ampuh tuk mereduksi rasa selain dengan pergi, menjauh dan mencipta sekat bernama jarak. Ini solusi sekaligus pilihan yang sulit. Tapi percayalah, seiring waktu kau akan paham jika hari-harimu akan tetap berjalan normal sekalipun ia tak terlibat dalam garis takdirmu. Bukankah sebelum mengenalnya hidupmu baik-baik saja? Maka coba kembali di kondisi itu. Jangan memperbudak diri dengan perasaan yang sejatinya fitrah namun kau mencemarinya dengan sikap yang kurang tepat. 

Jika memang kau masih harus bersinggungan dengan dunianya-kau tetap membutuhkan beberapa kebaikannya-maka tak ada cara paling tepat selain segera merubah cara bersikapmu. Jangan biarkan kalian terjebak di zona baper-sebab kau tahu kan begitu tidak nyamannya di posisi dilema? Dan kau tentu belum siap tuk melangkah di setepat-tepan jalan bagi siapa saja yang jatuh cinta. Kau masih harus menyelesaikan studimu sebelum ke tahap itu, fokuslah. Berbenah sekarang juga. Jauhi titik luka. Sibukkan dirimu dalam kebaikan. Dekatkan diri dengan yang Maha Membolakbalikkan hati manusia. Dan yakinlah, cinta sejati akan slalu menemukan jalannya. 

Kalimat terakhir tentang cinta sejati itu bukan kalimatku, hanya kata-kata dari penulis favoriku sekaligus tameng yang kuanggap sebagai bagian dari prinsipku. Jadi, semua kembali kepadamu. Aku hanya mampu sedikit berkata-kata seolah semuanya terlihat mudah. Maafkan jika aku seolah menyepelekan masalah ini dengan kalimat “galau tidak syar’i atau sakit hati receh” tapi-percayalah, aku pun masih tengah menata hatiku. Mari sama-sama berjuang, saling mengingatkan dan mendukung dalam kebaikan tentunya.

Lalu aku pun mencoba meresapi kata-katanya dengan melayangkan banyak semoga kepada semesta “kuatkan hatiku, jangan biarkan hambamu menjadi hina karena titipan rasa yang kusikapi dengan salah. Semoga episode memilukan ini segera berlalu. 

||  13/09/2017

*(Tulisan ini bercerita dari sudut pandang “aku” yang sebenarnya bukan aku. Hanya mencoba mewakili seorang teman yang beberapa waktu lalu membagi keresahannya. Semoga setelah ini ia lebih bijak lagi.

Monday 11 September 2017

Review: Pertanyaan Tentang Kedatangan

Pertanyaan Tentang Kedatangan Pertanyaan Tentang Kedatangan by Azhar Nurun Ala
My rating: 0 of 5 stars

Ada waktu kita saling menunggu. Menebak-nebak keajaiban macam apa yang sudi menghampiri dua manusia penuh dosa yang terlanjur jatuh cinta. (Pada halaman yang entah ke-berapa)

Seperti tiga buku terdahulunya, penulis slalu lihai mengaduk-aduk perasaan pembaca, dengan diksi-diksi serta metaforanya yang seolah kefein, bikin menagih. Saya membaca buku ini hanya sekali duduk dan tepat di lembaran-lembaran terakhir, di bagian paling manis menurut saya, rasa haru menyeruak, nyaris membuat mata bergerimis. Mungkin karena ini kisah nyata penulis hingga saya seolah ikut merasakan perihnya pertanyaan-pertanyaan tentang kedatangan yang terus saja diulang-ulang dimana-mana. Hmm... Sungguh kisah romantis yang berbuah manis. Saya tambah yakin jika Tuhan slalu saja menampakkan indahnya skenario yang ditulisNya.

Ada waktu kira jatuh cinta. Ketika tak cukup lagi rasa digema dalam kata. Ketika rembulan slalu tampak bulat. Ketika duka-duka bisa dilupa. Saat perih pedih luka bisa ditunda untuk sementara. Dan hidup adalah perpaduan warna yang begitu bernyawa. Nice quote!



View all my reviews

Review: Sebelum Sendiri

Sebelum Sendiri

My rating: 4 of 5 stars

Rumit yang bisa dibahasakan dengan sederhana. Puisi kadang seambigu ini.
Dan saya belum mampu memahami beberapa bagian rumit yang dikatakan sederhana oleh penulis.
Singkatnya saya masih lebih suka membaca puisi terang dibanding gelap. Menemukan makna kadang tak mudah. Subjektif sebenarnya cuman saya termasuk agak kompleks untuk menanggapi sebuah buku.

View all my reviews

Monday 4 September 2017

Merangkum Agustus Dalam Kata


Agustus; Bulan kelahiranku juga bulan kemerdekaan negaraku. Cukup banyak hal yang berubah selepas kutanggalkannya usia 20. Di sepuluh pertama ada senyum penuh kemenangan, aku merasa sedang berada di titik betul-betul mencicipi musim semi. Memang Agustus kali ini kuakaui lebih berkesan dibanding Agustus yang lalu. Lalu ada pula 18 agustus yang kurayakan dengan menuntaskan tantangan 21, hingga pada acara PKM berhujung kolab yang tertunda. Dan jangan lupakan sebuah kebohongan dengan sepasang kecewa yang memilukan.

Pertama yang mengesankan adalah tentang dua hari dua malam penuh perjuangan menyusun laporan penelitian di penghujung 10 pertama agustus. Pengalaman luar biasa mengejar deadline yang sungguh-sungguh menjadi pengalaman tak terlupakan. Bersama dua orang teman sekelompokku kuhabiskan dua hari super melelahkan karena laporan yang membuat kami lupa bagaimana rasanya tertidur nyenyak atau sekedar duduk-duduk santai menyantap sarapan. 

Sempurna dua hari yang super genting. Kami mengunjungi salah satu warkop hingga berjam-jam lalu pulang agak larut malam demi internet yang memadai. Adapula adegan lari-larian menuju lantai lima-mengejar dosen pembimbing-hingga tembus pagi hanya berkutat di hadapan laptop dengan melahap puluhan jurnal sembari memeras otak demi rampung tugas tepat waktu. Dan semua perjuangan itu terbayarkan selepas mendapat tanda tangan di halaman pengesahan. Satu karya yang luar biasa berhasil kami selesaikan. Alhamdulillah. “Dan sungguh bersama kesulitan ada kemudahan.” Aku kian menyakini ayat  ini.

Dan kedua yang tak terlupakan adalah 18 agustus melawan badai. Bukan badai sungguhan, hanya saja badai hujan deras seharian itu. Tepat di saat usiaku kembali ganjil setelah genap 20 tahun. Hari itu kuhabiskan dengan menuntaskan 21st Challenges dimana aku melakukan 21 tantangan mulai dari yang agak mudah hingga yang paling sukar. 21 tantangan yang pada akhirnya membuatku tersadar jika sehebat apa pun manusia merancang harapan dan mimpinya, jika Tuhan tak menghendaki maka takkan pernah menjadi kenyataan sesuai yang disemogakan. 

Ya, seperti itulah saat pukul 12 malam batas challenge itu namun nyatanya aku tertidur sebelum pukul 10. Aku kelelahan selepas perjalanan dari Makassar-maros sendirian di tengah hujan yang menderas. Aku bahkan nyaris menyerah tuk tantangan pertama: membeli buku baru sebab hujan yang hingga magrib belum juga mereda sementara aku separuh kuyup dan masih dalam perjalanan. Mungkin karena tekad, akhirnya kupaksakan diri tuk singgah di salah satu gramedia kota ini. Dan yang tak kusangka-sangka adalah pertolongan dari seorang yang tak kukenal. Ia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku sembari memegang payung yang ukurannya tak seberapa itu, lalu dengan menyunggingkan seulas senyum ia menawarkanku tuk ikut bersamanya menerobos hujan. 

Kala itu aku sungguh-sungguh takjub dengan rencana-Nya. Bukan kah memudahkan urusan orang lain, maka Tuhan pasti akan memudahkan kesulitan kita? Kurasa ini yang sedang terjadi. Salah satu dari tantanganku hari itu: menolong seseorang-dan saat belum kutunaikan pun-masih hanya niat dan tetiba saja aku merasa Tuhan lagi-lagi berkonspirasi dengan semesta berkedok perempuan ramah mengenakan pakaian yang bisa dibilang amat jauh berbeda denganku. 

Terlepas dari semua itu, kami hanya pemeran yang mengikut skenarioNya; jalan beriringan di bawah payung yang sama dengan perbedaan yang amat kontras; aku dengan gamis panjang sedikit menyentuh jalan sedang dia hanya berbalut kaos santai berlengan panjang dipadu jeans hitam dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai. Aroma parfumnya pun masih bisa kuingat dengan jelas. Malam itu luar biasa, aku gagal di tantangan menemui teman lama dan menulis di blog dengan tema mama (yang ini sebenarnya sudah separuh jadi cuman belum sempat rampung karena aku malah ketiduran).

Ketiga, dua moment paling langka-sepanjang hidupku; Tentang PKM (Pesta Komunitas Makassar) dan marah level mie pedas paling Maha pedas. Dua hari dua malam acara pesta komunitas yang berlokasi di Rotterdam menjadi hal langka untukku. Kenapa kusebut langka sebab untuk pertama kalinya perempuan yang sedari kecil tunduk di bawah peraturan mama; tidak boleh keluar saat malam hari kecuali betul-betul mendesak-malah berada di acara maha akbar dua malam itu. 

Sebenarnya ada rasa berdosa yang mengganjal dua malam itu disebabkan aku pulang ke rumah hampir pukul 10, dan kakak pun tak tahu jika dua hari itu malamku habis di sana. Aku termasuk tipe malas ngomong kalo mau ke mana dan karena sudah ada kepercayaan kakak, ia seolah tak peduli lagi aku akan ke mana asal tak lupa berkabar walau hanya via WhatsApp. Bagaimana pun aku masih adik kandung bungsunya sekaligus titipan mama selama kuliah. Overall aku menarik kesimpulan bahwa tiap kejadian, terlihat receh/kecil bagaimana pun tetap saja menyuguhkan sebuah makna yang mungkin harus ditemukan, sebab kadang pelajaran berharga malah terselip di antara hal-hal yang sering kita lewatkan.

And then, marah sangat marah; kejadian langka. Aku yang katanya selalu dingin dan terkesan tak pernah ingin membesarkan sebuah masalah malah berubah drastis menjadi sosok yang orang-orang di sekitarku malah bertanya-tanya: What’s wrong with you Raa? Hmm… Sepenuhnya salahku. 

Singkat kata masalahnya kepercayaanku kepada seseorang yang diam-diam malah melakukan hal yang sungguh membuatku seketika menjadi seperti bukan aku. Siang itu saat masalah tetiba memanas aku hilang kendali. Kupenuhi seluruh linimasaku mulai bbm, wa hingga ke blog (tapi semuanya sudah dihapus) dengan tulisan-tulisan paling mengerikan yang pernah kucatat. Seriously, aku malah ilfeel sendiri sama kelakuanku yang childish dan norak banget. Kok bisa yaa, aku marah segila itu? Aku pun masih belum menemukan alasan paling tepatnya selain perasaan kecewaku bisa sangat berbahaya.

Malamnya kami berdamai. Syukurlah, aku tidak sampai di tahap bodoh paling receh memblok kontaknya seperti yang biasa kulakukan saat betul-betul marah atau kecewa dengan sesorang.  Ia sungguh-sungguh minta maaf. Katanya tak menyangka aku akan kecewa hingga marah luar biasa seperti itu. Ia bahkan mengatakan beberapa kalimat yang membuatku terharu: “Sekejam itukah diriku di matamu? But just forgive me and all of my mistakes. Tak akan timbul kecewa jika kita tidak berekspektasi tinggi terhadap sesuatu. Marahlah jika kau ingin marah. Tuangkan segala kekesalanmu. Aku mungkin bersalah tapi setidaknya jangan ubah keceriaanmu dengan tulisan seperti itu. Inisial IDM. (Dia salah satu perempuan senior paling kece yang kukenal selama mahasiswa). Letak kesalahanku mungkin di bagian: lupa jika tiap orang selalu saja berpotensi tuk melakukan sebuah kekhilafan.

Lalu yang ke-empat. Hal yang hmm… Aku sungguh-sungguh amat menyesal hingga rasanya sangat sulit tuk memaafkan diriku sendiri. Sebut saja kebohongan bulan Agustus. Sebenarnya tak ingin kutulisakan di sini, tapi biarlah kuabadikan di sela tulisan panjang ini, sebagai kesalahan juga pelajaran berharga yang tak boleh berulang. Cukup sekali aku mengucap kalimat dusta itu. Sebenarnya aku tiada niat tuk berbohong, di kepalaku masih tertanam kata-kata mahaguru “sekali kau melakukan hal tidak baik maka setelahnya kau akan berpeluang tuk mengulanginya lagi dan lagi.” , maka sebisa mungkin aku menghindarinya. Dan bukankah kejujuran akan slalu lebih baik skalipun itu menyaakitkan? Entahlah, yang jelas kala itu aku justru membenarkan sebuah kebohongan karena ego.

Katakanlah itu kesalahan terbesarku sepanjang tahun 2017. Sebuah kebohongan yang aku pun tak pernah menginginkan apalagi merencanakanya. Salah satu kenyataan yang serta merta ditolak nurani, namun kalah oleh sisi iblis diriku. Bagian paling menyakitkannya adalah; seseorang malah melontarkan satu kata yang amat kubenci; kecewa disandingkan ketidakjujuran. 

Mungkin aku terlalu berlebihan tapi begitulah faktanya aku tak bisa manafikkan jika malam hingga pagi waktu itu lebih meresahkan dibanding menunggu nilai semester keluar atau pun kekhawatiran akan KKP (Kuliah Kerja Profesi) yang menunggu di semester tujuh. Setelah itu aku bertekad takkan mengulanginya lagi, karena kutahu persis bahwa kebohongan adalah kesalahan yang harus dihindari dalam lingkaran hubungan sosial kita selaku makhluk individu yang memiliki egonya masing-masing.

Selanjutnya kelima, juga potongan terakhir skaligus bagian paling manis di penghujung agustus tahun ini. Sebuah kolaborasi dengan penulis yang sedang bermukim di bawah langit kota hujan. Awalnya aku hanya pembaca setia tumblrnya lalu kemudian memilih mengoleksi buah karyanya hingga merasa jatuh cinta dengan tiap rajutan aksara dalam kumpulan prosa “Lampion Senja” bukunya.

Sungguh maha baik Semesta merancang sebuah penutup untuk bulan kelahiranku dengan menghadirkan pengalaman baru berupa kesempatan merangkai aksara bersama seorang penulis yang luar biasa humble nan low profile level jarang (read; belum pernah mengenal penulis seperti beliau soalnya). Aku gak nyangka juga bisa ketemu tipe penulis yang rela meluangkan waktu berharganya tuk meladeni pembaca crewet macam aku. 

Berawal dari mereview bukunya juni lalu, kemudian sempat bertukar kata via IG, hingga akhirnya berujung di kolaborasi sebuah prosa. Sejujurnya aku rada minder dengan tulisanku yang akan digabungkan dengan tulisannya. Namun entah kenapa aku malah nekad ngajakin kolab-padahal teman-teman kolab di tumblrnya hampir seluruhnya adalah penulis tumblr expert yang sudah berpengalaman dibanding aku yang notabenenya masih pemula bermodal semangat dan super pede ini, wkwkw..

Sebenarnya kolab ini dijadwalkan sehari selepas ultahku tapi lagi-lagi Tuhan ingin menampakkan keMaha romantisannya dengan menyela kolab kami oleh sebuah peristiwa yang ujung-ujungnya menjadi tema dari prosa kami. Singkatnya malam itu aku tertidur selepas mengikuti acara PKM. Kelelahan membuat mataku tunduk di hadapan kantuk hingga hape dalam genggaman yang masih berada dalam ruang chat line malah ikut jatuh serempak dengan kesadaranku yang sukses dicuri lelap sebelum mampu menunaikan salah satu prioritas harianku.

Parahnya saat terbangun hapeku mati karena kehabisan daya bersamaan dengan sms yang menginfokan jika kuotaku habis. Luar biasa, pagi itu aku tertawa miris sembari membujuk diri agar berdamai dengan harapan. “Mungkin belum saatnya, karena tak semua ekspektasiku bisa terwujud sesuai doaku” batinku pasrah. Dan setelah hari itu, kala kuota kembali menyambungkanku dengan lintas maya, aku hanya bisa memanen sesal juga merutuk diri saat membuka tumblr. Di sana ada inbox tentang kolab-yang langsung kubalas dengan memohon maaf. Aku baru ingat jika notifikasi lineku tidak aktif (unsur kesengajaan sebab notif line slalu paling bising setelah whatsapp dan bbm). Ahhh… wajar saja tak ada pesan masuk, dan bodohnya aku yang sempat berprasangka tidak baik.

Terlepas dari nyaris gagalnya kolab agustus, aku sangat bersyukur bisa melewati penghujung bulan delapan dengan hal berarti alias kolab midnight (maklum, aku-dia sepertinya sama-sama sering begadang setelah kompak menyukai hujan, sok menyamakan gitu, hehe). Setidaknya, malam lebaranku tak sepenuhnya habis di dapur-tempat tidur apalagi. 

Finally kolaborasi kami berhasil dengan mengangkat tema based on true story alias kecewa yang tadi kutuliskan di atas. Selepas kolab aku menyadari jika seorang penulis ternyata memiliki tingkat kepekaan di atas rata-rata seseorang yang bukan penulis. Hmm.. Kurasa demikian sebab kolab kami rasanya seolah nonfiksinya hidup banget atau mungkin hanya aku yang merasa demikian sebab menulis langsung kenyataanku sendiri-meski tak betul-betul sama persis, wkwk..

Thanks a lot kak Ariqy Raihan yang namanya sudah kutempel di salah satu kertas mimpiku-disandingkan dengan Haruki Murakami juga bung Fiersa dan sederet penulis idola lainnya, membuat kak kiu malah ber wkwkw-yang entah titik lucunya dimana. To all my readers, yang senang membaca tulisan baper, silakan berkunjung ke rumah maya kak Ariqy, ada di Storial juga (Klik di sini) alamat tumblrnya. Bagiku, di sana adalah persinggahan yang nyaman tuk menemukan inspirasi dengan menyelami kedalaman aksara hujannya.  

Karena sudah terlalu panjang maka kuakhiri tulisan ini dengan kalimat yang slalu menjadi bahan kontemplasi tiap kali sesuatu terjadi di luar jalur harapanku. “Setiap takdir  yang ditulis Tuhan adalah ujian tuk manusia agar slalu meyakini sisi kehidupan yang kadang bertabrakan dengan angan atau impian. “Bahwa mau se-menyedihkan-bahagia bagaiman pun, tetap saja harus kita imani sebagai rukun iman terakhir selaku hambaNya. Dia Maha tahu sedang kita makhluk yang penuh dengan ketidaktahuan dalam menyikapi keputusanNya.” Raa

“Boleh jadi kau menyenangi sesuatu tapi itu tidak baik bagimu, demikian sebaliknya.” (ini bukan perkataan bijak dariku, tapi ini kebenaranyang terkandung dalam kumpulan firman-Nya)


--Makassar 04 september 2017