Agustus; Bulan kelahiranku juga
bulan kemerdekaan negaraku. Cukup banyak hal yang berubah selepas kutanggalkannya usia 20. Di sepuluh pertama ada senyum
penuh kemenangan, aku merasa sedang berada di titik betul-betul mencicipi musim
semi. Memang Agustus kali ini kuakaui lebih berkesan dibanding Agustus yang lalu. Lalu ada pula 18 agustus yang kurayakan dengan
menuntaskan tantangan 21, hingga pada acara PKM berhujung kolab yang tertunda.
Dan jangan lupakan sebuah kebohongan dengan sepasang kecewa yang
memilukan.
Pertama yang mengesankan adalah tentang dua
hari dua malam penuh perjuangan menyusun laporan penelitian di penghujung 10
pertama agustus. Pengalaman luar biasa mengejar deadline yang sungguh-sungguh
menjadi pengalaman tak terlupakan. Bersama dua orang teman sekelompokku
kuhabiskan dua hari super melelahkan karena laporan yang membuat kami lupa bagaimana rasanya
tertidur nyenyak atau sekedar duduk-duduk santai menyantap sarapan.
Sempurna
dua hari yang super genting. Kami mengunjungi salah satu warkop hingga berjam-jam lalu pulang agak larut malam demi internet yang memadai. Adapula adegan lari-larian menuju
lantai lima-mengejar dosen pembimbing-hingga tembus pagi hanya berkutat di
hadapan laptop dengan melahap puluhan jurnal sembari memeras otak demi rampung
tugas tepat waktu. Dan semua perjuangan itu terbayarkan selepas mendapat tanda
tangan di halaman pengesahan. Satu karya yang luar biasa berhasil kami
selesaikan. Alhamdulillah. “Dan sungguh bersama
kesulitan ada kemudahan.” Aku kian menyakini ayat ini.
Dan kedua yang tak terlupakan adalah 18 agustus melawan badai. Bukan
badai sungguhan, hanya saja badai hujan deras seharian itu. Tepat di saat usiaku kembali ganjil
setelah genap 20 tahun. Hari itu kuhabiskan dengan menuntaskan 21st
Challenges dimana aku melakukan 21 tantangan mulai dari yang agak mudah
hingga yang paling sukar. 21 tantangan yang pada akhirnya membuatku tersadar
jika sehebat apa pun manusia merancang harapan dan mimpinya, jika Tuhan tak
menghendaki maka takkan pernah menjadi kenyataan sesuai yang disemogakan.
Ya, seperti itulah saat pukul 12 malam batas challenge itu namun nyatanya aku
tertidur sebelum pukul 10. Aku kelelahan selepas perjalanan dari Makassar-maros
sendirian di tengah hujan yang menderas. Aku bahkan nyaris menyerah tuk
tantangan pertama: membeli buku baru sebab hujan yang hingga magrib belum juga
mereda sementara aku separuh kuyup dan masih dalam perjalanan.
Mungkin karena tekad, akhirnya kupaksakan diri tuk singgah di salah satu
gramedia kota ini. Dan yang tak kusangka-sangka adalah pertolongan dari seorang yang tak
kukenal. Ia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku sembari memegang payung
yang ukurannya tak seberapa itu, lalu dengan menyunggingkan seulas senyum ia
menawarkanku tuk ikut bersamanya menerobos hujan.
Kala itu aku sungguh-sungguh
takjub dengan rencana-Nya. Bukan kah memudahkan urusan orang lain, maka Tuhan
pasti akan memudahkan kesulitan kita? Kurasa ini yang sedang terjadi.
Salah satu dari tantanganku hari itu: menolong
seseorang-dan saat belum kutunaikan pun-masih hanya niat dan tetiba saja
aku merasa Tuhan lagi-lagi berkonspirasi dengan semesta berkedok perempuan
ramah mengenakan pakaian yang bisa dibilang amat jauh berbeda denganku.
Terlepas
dari semua itu, kami hanya pemeran yang mengikut skenarioNya; jalan beriringan di
bawah payung yang sama dengan perbedaan yang amat kontras; aku dengan gamis
panjang sedikit menyentuh jalan sedang dia hanya berbalut kaos santai berlengan
panjang dipadu jeans hitam dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai.
Aroma parfumnya pun masih bisa kuingat dengan jelas. Malam itu luar biasa, aku gagal di tantangan menemui teman lama
dan menulis di blog dengan tema mama (yang ini sebenarnya sudah separuh
jadi cuman belum sempat rampung karena aku malah ketiduran).
Ketiga,
dua moment paling langka-sepanjang hidupku; Tentang PKM (Pesta Komunitas Makassar) dan marah
level mie pedas paling Maha pedas. Dua hari dua malam acara pesta komunitas
yang berlokasi di Rotterdam menjadi hal langka untukku. Kenapa kusebut langka
sebab untuk pertama kalinya perempuan yang sedari kecil tunduk di bawah
peraturan mama; tidak boleh keluar saat malam hari kecuali betul-betul
mendesak-malah berada di acara maha akbar dua malam itu.
Sebenarnya ada rasa
berdosa yang mengganjal dua malam itu disebabkan aku pulang ke rumah hampir
pukul 10, dan kakak pun tak tahu jika dua hari itu malamku habis di sana. Aku termasuk tipe malas ngomong kalo mau ke mana dan karena sudah ada kepercayaan kakak, ia seolah tak peduli lagi aku akan ke
mana asal tak lupa berkabar walau hanya via WhatsApp. Bagaimana pun aku masih adik kandung bungsunya sekaligus titipan
mama selama kuliah. Overall aku menarik
kesimpulan bahwa tiap kejadian, terlihat receh/kecil bagaimana pun tetap saja
menyuguhkan sebuah makna yang mungkin harus ditemukan, sebab kadang pelajaran
berharga malah terselip di antara hal-hal yang sering kita lewatkan.
And
then, marah sangat marah; kejadian langka. Aku yang katanya selalu
dingin dan terkesan tak pernah ingin membesarkan sebuah masalah malah berubah drastis
menjadi sosok yang orang-orang di sekitarku malah bertanya-tanya: What’s wrong with you Raa? Hmm… Sepenuhnya salahku.
Singkat
kata masalahnya kepercayaanku kepada seseorang yang diam-diam
malah melakukan hal yang sungguh membuatku seketika menjadi seperti
bukan aku. Siang itu saat masalah tetiba memanas aku hilang kendali. Kupenuhi
seluruh linimasaku mulai bbm, wa hingga ke blog (tapi semuanya sudah
dihapus) dengan tulisan-tulisan paling mengerikan yang pernah kucatat. Seriously, aku malah ilfeel
sendiri sama kelakuanku yang childish dan norak banget. Kok bisa yaa, aku marah segila itu? Aku pun masih belum menemukan alasan paling tepatnya
selain perasaan kecewaku bisa sangat berbahaya.
Malamnya kami berdamai.
Syukurlah, aku tidak sampai di tahap bodoh paling receh memblok kontaknya
seperti yang biasa kulakukan saat betul-betul marah atau kecewa dengan sesorang. Ia sungguh-sungguh minta maaf. Katanya tak
menyangka aku akan kecewa hingga marah luar biasa seperti itu. Ia bahkan
mengatakan beberapa kalimat yang membuatku terharu: “Sekejam itukah diriku di matamu? But just forgive me and all of my
mistakes. Tak akan timbul kecewa jika kita tidak berekspektasi tinggi terhadap
sesuatu. Marahlah jika kau ingin marah. Tuangkan segala kekesalanmu. Aku
mungkin bersalah tapi setidaknya jangan ubah keceriaanmu dengan tulisan seperti
itu. Inisial IDM. (Dia salah satu perempuan senior paling kece yang kukenal
selama mahasiswa). Letak kesalahanku mungkin di bagian: lupa jika tiap orang selalu saja berpotensi tuk melakukan sebuah
kekhilafan.
Lalu yang ke-empat. Hal yang hmm… Aku sungguh-sungguh amat menyesal hingga rasanya
sangat sulit tuk memaafkan diriku sendiri. Sebut saja kebohongan bulan Agustus.
Sebenarnya tak
ingin kutulisakan di sini, tapi biarlah kuabadikan di sela tulisan panjang ini,
sebagai kesalahan juga pelajaran berharga yang tak boleh berulang. Cukup sekali aku mengucap
kalimat dusta itu. Sebenarnya aku tiada niat tuk berbohong, di kepalaku
masih tertanam kata-kata mahaguru “sekali
kau melakukan hal tidak baik maka setelahnya kau akan berpeluang tuk
mengulanginya lagi dan lagi.” ,
maka sebisa mungkin aku menghindarinya. Dan bukankah
kejujuran akan slalu lebih baik skalipun itu menyaakitkan? Entahlah, yang
jelas kala itu aku justru membenarkan sebuah kebohongan karena ego.
Katakanlah itu kesalahan
terbesarku sepanjang tahun 2017. Sebuah kebohongan yang aku pun tak pernah
menginginkan apalagi merencanakanya. Salah satu kenyataan yang serta merta ditolak
nurani, namun kalah oleh sisi iblis diriku. Bagian paling menyakitkannya
adalah; seseorang malah melontarkan satu
kata yang amat kubenci; kecewa disandingkan
ketidakjujuran.
Mungkin aku terlalu berlebihan tapi begitulah faktanya aku
tak bisa manafikkan jika malam hingga pagi waktu itu lebih
meresahkan dibanding menunggu nilai semester keluar atau pun kekhawatiran akan
KKP (Kuliah Kerja Profesi) yang menunggu di semester tujuh. Setelah itu aku bertekad takkan
mengulanginya lagi, karena kutahu persis bahwa kebohongan
adalah kesalahan yang harus dihindari dalam lingkaran hubungan
sosial kita selaku makhluk individu yang memiliki egonya masing-masing.
Selanjutnya kelima, juga potongan terakhir skaligus bagian paling manis di penghujung
agustus tahun ini. Sebuah
kolaborasi dengan penulis yang sedang bermukim di bawah langit kota hujan.
Awalnya aku hanya pembaca setia tumblrnya lalu kemudian memilih mengoleksi buah
karyanya hingga merasa jatuh cinta dengan tiap rajutan aksara dalam kumpulan
prosa “Lampion Senja” bukunya.
Sungguh maha baik Semesta
merancang sebuah penutup untuk bulan kelahiranku dengan menghadirkan pengalaman
baru berupa kesempatan merangkai aksara bersama seorang penulis yang luar biasa
humble nan low profile level jarang
(read; belum pernah mengenal penulis seperti beliau soalnya). Aku gak nyangka
juga bisa ketemu tipe penulis yang rela meluangkan waktu berharganya tuk
meladeni pembaca crewet macam aku.
Berawal dari mereview bukunya juni lalu,
kemudian sempat bertukar kata via IG, hingga akhirnya berujung di kolaborasi
sebuah prosa. Sejujurnya aku rada minder dengan tulisanku yang akan digabungkan
dengan tulisannya. Namun entah kenapa aku malah nekad ngajakin
kolab-padahal teman-teman kolab di tumblrnya hampir seluruhnya adalah penulis
tumblr expert yang sudah berpengalaman dibanding aku yang notabenenya masih
pemula bermodal semangat dan super pede ini, wkwkw..
Sebenarnya kolab ini dijadwalkan
sehari selepas ultahku tapi lagi-lagi Tuhan ingin menampakkan keMaha
romantisannya dengan menyela kolab kami oleh sebuah peristiwa yang
ujung-ujungnya menjadi tema dari prosa kami. Singkatnya malam itu aku tertidur
selepas mengikuti acara PKM. Kelelahan membuat mataku tunduk di hadapan kantuk
hingga hape dalam genggaman yang masih berada dalam ruang chat line malah ikut
jatuh serempak dengan kesadaranku yang sukses dicuri lelap sebelum mampu
menunaikan salah satu prioritas harianku.
Parahnya saat terbangun hapeku
mati karena kehabisan daya bersamaan dengan sms yang menginfokan jika kuotaku
habis. Luar biasa, pagi itu aku tertawa miris sembari membujuk diri agar
berdamai dengan harapan. “Mungkin belum
saatnya, karena tak semua ekspektasiku bisa terwujud sesuai doaku” batinku
pasrah. Dan setelah hari itu, kala kuota kembali menyambungkanku dengan lintas
maya, aku hanya bisa memanen sesal juga merutuk diri saat membuka tumblr. Di
sana ada inbox tentang kolab-yang langsung kubalas dengan memohon maaf. Aku
baru ingat jika notifikasi lineku tidak aktif (unsur kesengajaan sebab notif line slalu paling bising setelah
whatsapp dan bbm). Ahhh… wajar saja tak ada pesan masuk, dan bodohnya aku
yang sempat berprasangka tidak baik.
Terlepas dari nyaris gagalnya
kolab agustus, aku sangat bersyukur bisa melewati penghujung bulan delapan
dengan hal berarti alias kolab midnight
(maklum, aku-dia sepertinya sama-sama
sering begadang setelah kompak menyukai hujan, sok menyamakan gitu, hehe).
Setidaknya, malam lebaranku tak sepenuhnya habis di dapur-tempat tidur apalagi.
Finally kolaborasi kami berhasil
dengan mengangkat tema based on true
story alias kecewa yang tadi kutuliskan di atas. Selepas kolab aku menyadari jika seorang
penulis ternyata memiliki tingkat kepekaan di atas rata-rata seseorang yang
bukan penulis. Hmm.. Kurasa demikian sebab kolab kami rasanya seolah
nonfiksinya hidup banget atau mungkin
hanya aku yang merasa demikian sebab menulis langsung kenyataanku
sendiri-meski tak betul-betul sama persis, wkwk..
Thanks
a lot kak Ariqy Raihan yang namanya sudah kutempel di salah satu kertas
mimpiku-disandingkan dengan Haruki Murakami juga bung Fiersa dan sederet penulis
idola lainnya, membuat kak kiu malah ber wkwkw-yang entah titik lucunya dimana. To all my readers, yang senang membaca tulisan baper,
silakan berkunjung ke rumah maya kak Ariqy, ada di Storial juga (Klik di sini) alamat tumblrnya. Bagiku, di
sana adalah persinggahan yang nyaman tuk menemukan inspirasi dengan menyelami kedalaman
aksara hujannya.
Karena sudah terlalu panjang maka
kuakhiri tulisan ini dengan kalimat yang slalu menjadi bahan kontemplasi tiap
kali sesuatu terjadi di luar jalur harapanku. “Setiap takdir yang ditulis Tuhan adalah ujian tuk manusia
agar slalu meyakini sisi kehidupan yang kadang bertabrakan dengan angan atau
impian. “Bahwa mau se-menyedihkan-bahagia bagaiman pun, tetap saja harus kita
imani sebagai rukun iman terakhir selaku hambaNya. Dia Maha tahu sedang kita
makhluk yang penuh dengan ketidaktahuan dalam menyikapi keputusanNya.” Raa
“Boleh jadi kau menyenangi
sesuatu tapi itu tidak baik bagimu, demikian sebaliknya.” (ini
bukan perkataan bijak dariku, tapi ini kebenaranyang terkandung dalam
kumpulan firman-Nya)
--Makassar 04 september 2017