Monday 30 April 2018

Review Sewindu



Sebab mencintai pada tingkat yang solid adalah komitmen. Terkadang, rasa terombang ambing dan membuat bimbang. Ada waktunya kata-kata mesra sudah terkunci dan sulit dikeluarkan lagi. Namun, ketika komitmen itu terjaga keinginan untuk membangun kehidupan yang berarti terus dijalani, itulah cinta...

Buku kumpulan cerita yang sarat makna. Tentang kehidupan sebagai sebuah proses yang menuntut kita untuk senantiasa bersabar sepanjang perjalanan mengejar mimpi atau apa saja yang kita sebut sebagai harapan. Bahwa memperjuangkan sesuatu butuh ketabahan sepaket dengan kesyukuran yang melimpah agar bahagia tetap bisa kita cicipi sekalipun kehidupan sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Demikianlah mekanisme sebuah kehidupan, waktu akan slalu membawa kita pada fase yang terasa begitu mengenaskan. Seperti yang dituliskan Tasaro dalam buku ini: bagaimana perjuangannya melewati sewindu yang dipenuhi ujian dengan berbagai cerita sederhana yang kadang-kadang membuat saya tersenyum membacanya, sesekali malah terharu bahkan di satu bagian saya harus menjeda dengan air mata. Setiap lembarnya adalah pengalaman sehari-hari yang ditulis dengan sederhana namun cukup membuat saya merenungi banyak hal di sekitar saya.

Tasaro menuliskan banyak hikmah yang bisa dipetik dari suka duka sebagai seorang Ayah, anak, suami, sahabat hingga sosok yang dikenali banyak orang sebagai penulis. Seluruhnya adalah perjalanan panjang yang menguji keteguhan dan komitmen sebagai seseorang yang bertanggungjawab atas pilihan-pilihannya.

Dari buku ini saya merasa lebih mengenal Abah (Panggilan akrab kami di keluarga T(j)inta) sosok inspiratif yang memberikan banyak pelajaran lewat serangkaian pengalaman pribadi yang ditulisnya. Sewindu: cinta itu tentang waktu adalah perjalanan panjang; bagaiamana beliau berjuang sejak merintis karir sebagai wartawan, seorang suami yang menulis buku, hingga menjadi sosok Ayah yang cukup lama menanti lahirnya sang buah hati. So inspiring..!!

Perihal Melepaskan


Sebab cinta adalah sekumpulan kemungkinan yang akan terseleksi oleh takdir. Lahir sebagai suatu kenyataan: akhir bahagia atau justru menjadi ingatan paling luka. Ketika sebuah cerita terus berputar di poros waktu, menunggu esok slalu menjadi detik-detik penuh kecemasan. Tentang kepala yang terlalu sibuk menerka. Kapan?



Lalu kenapa melepaskan tak pernah mudah?
~

--Makassar, Pukul 2:50 Malam

Sunday 29 April 2018

Lagi-lagi Tentang Waktu



Belakangan ini, tepatnya di 10 april terakhir aku merasa smakin kesulitan me-manage waktu. Aktivitas sehari-hari lebih sering berjalan tak terorganisir dan tidak sesuai seperti yang sudah kujadwalkan. Kertas warna warni berisi selfreminder, kata-kata penyemangat ataupun daftar panjang my big goals memenuhi dinding malah lebih sering kuabaikan. Prioritas harian justru seperti tugas kuliah dikejar deadline. Belum lagi di jam-jam tertentu aku malah larut dengan hal-hal remeh tak terlalu penting; lalai akan detik-detik yang teramat berharga.

Dalam kondisi seperti ini kadang aku malah merutuk diri sendiri. Atas setumpuk rencana yang belum sanggup terlaksana. Tentang target-target yang kian mendekati tenggang waktu atau parahnya malah terbengkala sekian lama. Memang, april ini aku sedikit kacau dibanding bulan-bulan sebelumnya. And then, aku mulai resah tiap melihat angka-angka di kelender yang tiba-tiba saja nampak sperti timer bom yang menunggu jadwal untuk meledak.

Ketakutan terasa menyergap; bagaimana jika di detik yang dalam kesia-siaan itu, Sang maha rahasia malah bertamu. Siapa yang tahu? Perihal ia yang pasti dalam ketidakpastian waktu.  

Pada akhirnya aku memutuskan tuk lebih tegas dalam menyeleksi kesibukan-kesibukan mulai dari yang sangat penting, sedikit penting hingga yang sama sekali tidak penting. Kadang memang, kita harus tega-tegaan dengan diri sendiri. Mengurangi banyak kesenangan yang tanpa sadar, ternyata memakan begitu banyak waktu. Sulit namun dengan tekad baja pelan-pelan pasti akan terasa ringan.

Tak ada lagi chat-chat tidak penting hingga larut malam. Bacaan Webtoonku pun berkurang drastis. Menonton drama korea bahkan sudah kupensiunkan hingga beberapa hal lain yang hanya bersifat hiburanpun semakin berkurang jatah waktunya. Ya, kita memang slalu butuh hiburan namun untuk sekedar; bersenang-senang seharusnya menjadi bagian yang memiliki porsi waktu paling sedikit. 

Sederhana saja: waktu kita teramat sedikit sedang kewajiban-kewajiban terlalu banyak.  

--Makassar, di suatu sore dengan keresahan-keresahan yang mulai reda

Maka; Berdoalah


kadang, senyum adalah sebaik-baik sandiwara; bahwa tidak semua kesedihan bisa ditampakkan dengan tangisan.

"Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." (QS. 40:60)

Aku penuh harap, tak lelah menyemogakan agar kesedihan ini segera berlalu. Berusaha untuk tidak merutuk takdir yang terasa sangat kejam. Dalam tangis yang kesekian, aku memohon penuh kepada-Mu; Maha menerima segala pintah hamba.“Untukku, pinjamkan aku hati yang paling kuat tuk tetap bertahan, saat kehilangan paling sakit tengah mendekap begitu erat." Berpura-pura terlihat kuat ternyata tidak mudah. Aku tetap saja dengan perasaan paling rapuh, sedang kesedihan enggan beranjak. Menikam dalam. Seolah ia memang pantas menetap paling lama. 

Adakah penawar kesedihan paling mujarab? Katakan padaku, seberapa sanggup manusia memikul sedih yang bertumpuk-tumpuk, yang begitu memberatkan langkah? Tak bisakan dicicil sedikit saja? 

Sebab sepanjang apa pun tulisanku, tetap saja kesedihan itu tak pernah bisa terwakilkan dengan utuh. Maka biarkan doa-doa melebur dalam lautan asa. Menjelma ombak yang akan singgah pada tepian semoga-Nya. Tuhan tidak tuli, Ia mendengar tiap-tiap doa yang terus dilangitkan dengan penuh harap. Tanpa bosan terus saja dipintah oleh seorang hamba. Dan mungkin saja Dia sedang menimang-nimang dengan cara apakah Ia akan mengabulkan permohonan itu.

--Makassar, sedang merawat tiap-tiap semoga yang baik

Saturday 28 April 2018

Berhenti



Kadang, sebuah langkah harus berhenti tiba-tiba. Tentu dengan sebuah alasan beserta rasa tidak rela melepaskan yang akan mengusik ketenangan. 

Lantas, bagaimana mengatasinya?

Aku hanya meneguhkan hati, bahwa keputusanku adalah yang terbaik. Saat aku merasa betul-betul tak sanggup lagi, entah ini hanya pembelaan kurang mendasar dari bentuk ketidaksanggupanku, atau memang batasku hanya sampai di sini; loser.

Ketika daya juang melemah, tekad baja sedang berada di ujung tanduk dan pikiran yang mulai mempertanyakan tanggungjawab lain. Sebuah dilema: aku mesti memilih sebuah prioritas agar fokus tidak terpecah. Seharusnya demikian daripada seperti ini; uring-uringan, overthinking hingga mengabaikan kepentingan yang lain. Manajemen waktu memang tidak mudah, apalagi untuk seseorang yang mudah bosan, plin-plan dan selalu kesulitan menyelesaikan apa yang terlanjur dimulainya.

Kontemplasi yang lumayan lama menghasilkan sebuah konklusi sederhana namun rumit. Kontradiksi yang memuakkan. Sungguh, ini akan betul-betul sederhana jika saja kepalaku bisa sedikit lebih diam untuk tak lagi meributkan keputusanku sendiri. Seperti perdebatan antara ego dan nurani. Antara benar dan salah, yang seharusnya dan tidak semestinya. Dua pilihan dengan ragam risiko. Kecewa dan sesal seperti menanti di akhir perjalanan. Lalu, masihkah semua akan baik-baik saja saat kukatakan dengan tegas “lebih baik berhenti. Sekarang juga?”  

“Tidak”. Bisik batin merasa tidak pernah ada yang baik-baik saja saat melepaskan. Terlebih jika sudah terlanjur berjuang. Sama saja mendaki lalu jatuh sukarela sebelum tiba di puncak. 

Ternyata, sesulit itu sebuah komitmen.

--Makassar, dan sebuah dilema

Review Singkat Catatan Juang



Selalu saja ada satu hari dalam hidupmu di mana segala masalah menumpuk. Kau peras otakmu hingga kering, namun tidak ada ide penyelesaian yang keluar. Inspirasi tak jua menghampiri. Lalu ketika kau kira masalah takkan bertambah banyak, tiba-tiba datang lagi masalah-masalah baru. Dan kau hanya bisa menunduk di ujung dunia. Kita sama. Aku tahu rasanya, terluka dan hilang arah, rapuh dan terjatu..., lantas berpura-pura bahwa semua baik-baik saja agar mereka tak perlu banyak bertanya. (Halaman.284) 

Siapa pun kita pasti pernah berada di titik yang begitu pelik; entah karena urusan asmara, pertemanan, keluarga atau pun masalah pekerjaan. Saat hidup terasa tak lagi memiliki daya tarik sama sekali, seolah kita tak lebih dari sekedar bertahan untuk tetap menjalani hidup sebab alasan yang sangat klise: bunuh diri bukan solusi. 

Demikianlah yang namanya kehidupan, tak melulu tentang kebahagiaan tapi juga kesedihan, penderitaan dan tentu saja serangkaian ujian yang akan memaksa manusia memilih antara bertahan atau justru menyerah. 

Buku ini membuat saya berpikir lama dan dalam. Tentang kehidupan beserta segala probabilitas dan kenyataaannya. Bahwa dunia memang tidak sesederhana yang terlihat. Selalu saja ada rahasia-rahasia yang terselip dari setiap peristiwa ataupun cerita. Pun, orang-orang yang kita temui, tentu memiliki benang merah dengan kehidupan kita. Entah berkaitan erat atau hanya sekedar bersinggungan sebentar. Seluruhnya seperti teka-teki yang harus dicari jawabannya; dengan merenung, berkontemplasi dan tentu saja dengan membaca. Bukan sekedar membaca kata, tapi juga keadaan sekitar atau mungkin juga membaca tingkah laku orang-orang yang kita jumpai. Diam, perhatikan baik-baik, temukan pelajara juga pemahaman baiknya. 

Seperti dua buku sebelumnya, gaya menulis Fiersa membuat saya nyaman mencerna gagasan-gagasan yang disampaikan dalam tiap paragrafnya. Saya betul-betul menikmati alur cerita ataupun quote-quote bijak yang tersebar dari awal hingga ke lembar-lembar terakhir. Beberapa bagian lumayan mengaduk perasaan saya; sesekali terenyuh, senyum-senyum sendiri, bahkan sempat turut merasakan emosi dari konflik cerita. Saya sangat setuju yang dikatakan Suar, tokoh utama dalam cerita: “catatan Juang seperti obat kuat” kata-katanya memang seperti suplemen penambah semangat kala semangat hidup sedang merangkak menuju garis finish. Buku ini betul-betul memotivasi dengan cara yang mengasyikkan.  

Bialah yang terluka menikmati waktunya. Biarlah yang bahagia lupa bahwa kelak mereka akan kembali terluka. Dan di sela-sela semua, bersyukurlah. Hati kita buatan Tuhan bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulangkali tanpa perlu dibawa ke bengkel. Jangan khawatir, bahkan badai terhebat pun pasrti akan reda. (Halaman.285)

Friday 27 April 2018

Menunggu lelap



Aku selalu menyukai sendiri dan malam sebagai ruang paling nyaman. Antara sunyi sekitar dan riuh isi kepala. Kala detik jarum jam terdengar seperti langkah kaki yang tak pasti hendak ke mana. Menenangkan sekaligus meresahkan.

Ketika "selamat malam" menjadi kalimat yang tak pernah sampai. Huruf-huruf yang memilih pulang sebelum tiba di pintu rumahmu.

Aku tak berhasil menemuimu.

Baiklah, aku akan mencoba terbiasa. Tanpa sapamu. Tanpa keinginan mengusikmu seperti yang lalu-lalu.

Sulit.
Sebab ketidakhadiranmu adalah sunyi yang tak bisa kuusir.

Malam masih panjang, maka kubiarkan kau tertidur dalam kepalaku. Sebagai kenangan atau hanya ingatan yang sedang berjalan menyambut pagi; menuju lupa.

--Makassar, di bawah pendar cahaya lampu, menyaksikan kata-kata berkeliaran. Sesekali mencoba menyusun sajak tentang rindu; lalu gagal

Menemukan Seseorang yang Tepat



Temukanlah seseorang yang dengannya kau merasa betah, walau sebenarnya kau selalu lebih suka sendirian. Ia yang kehadirannya akan memberikan ketenangan, kenyamanan dan perasaan-perasaan baik lainnya. 
Seseorang yang ucapannya tentu tentang hal-hal baik yang membuatmu rela menghabiskan waktu berlama-lama dengannya. Ia yang kau percaya tuk membagi keresahan-keresahan dan segala macam ceritamu. Ia yang kau titipkan kepercayaan penuh tuk menyimpan apa pun tentangmu, dari bagian-bagian kecil hingga sesuatu yang paling rahasia sekalipun. 
Seseorang yang kata-katanya akan menenangkan gelisah dan meredakan banyak kekhawatiran ataupun ketakutan-ketakutanmu. Ia tempat berbagi sedih ataupun bahagia. Seseorang yang mungkin memang tidak selalu ada namun berusaha meluangkan waktu untukmu. Ia mungkin seorang sahabat yang lebih berharga dibanding 1000 teman sekalipun. 
Seseorang yang selalu kaurindukan sebagai tempat untuk pulang di mana kau akan bebas tertawa dan menangis sepuasnya. Dengannya kau bisa menjadi siapa saja. Ia yang tahu segala cacatmu dan tetap bersedia untuk memahami segala kekuranganmu. Ia yang akan mengingatkan kala kau lalai, memberikan kalimat-kalimat penyemangat saat kau terjatuh.
Karena ia seseorang yang tepat untukmu., Maka ia juga akan menjadi teman perjalanan yang mengagumkan. Bersamanya, langkahmu semakin mantap, sebab ada dua pasang kaki yang akan saling menguatkan, saling mengingatkan ketika salah satunya lupa arah tujuan.
Sudahkah kau menemukan seseorang itu?

Monday 16 April 2018

Review Buku: Siluet Sejak Mahakam




"Semanis apapun sebuah kisah, bila berakhir menyakitkan hanya akan meninggalkan jejak kelam. Seperti siluet mungkin. (Halaman. 137)

Novel setebal 200 halaman ini tidak hanya mengangkat tema percintaan tapi juga menyampaikan kegelisahan tentang mirisnya kondisi pendidikan di salah satu daerah pelosok yang membuktikan jika guru bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahwa menjadi seorang pendidik betul-betul sebuah tantangan juga risiko yang tidaklah ringan. Ada tanggungjawab berat untuk terus berjuang, mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran serta kesabaran penuh: menghadapi segala macam segala bentuk permasalahan baik antar murid, orang tua siswa ataupun sesama guru.

Cerita berlatar Mahakam ini sangat kental dengan kebudayaan suku Dayak. Sabuah pengetahuan baru untuk saya yang belum tahu tentang beberapa tradisi daerah setempat yang ternyata masih terpelihara hingga kini. Pendeskripsian yang lumayan detail memberi saya gambaran yang jelas sehingga sangat mudah membayangkan langsung bagaimana kehidupan dan suasana di sekitar sungai Mahakam.

"Kalau ada sesesorang menginginkan sesuatu, untuk dimiliki, padahal ia tahu kalau yang diinginkannya itu adalah milik orang lain. Apa itu salah? (Halaman.187) Di bagian ini saya terpekur sejenak, mencoba menjadi seseorang yang disodori pertanyaan atau pihak yang harus memberi jawaban, lantas memikirkan sebuah konklusi sederhana. "Ah... hidup memang rangkaian pilihan rumit penuh dilema. Setiap pilihan tentu akan melahirkan sebuah konsekuensi.

"Betapapun kuatnya kau menyayangi perempuan, tetap saja kau akan dikalahkan oleh dia yang melamar lebih dulu dan keluarganya menyetujui." (Halaman. 128). Deep. Salah satu kalimat yang refleks membuat saya tersenyum; miris. Di sekitar saya pun kata-kata ini adalah fakta yang sudah terjadi berulang kali. Betul, kenyataan memang slalu tak segaris dengan harapan.
--

Tentang cinta, jarak, keluarga dan pilihan-pilihan dilematis yang membuat tanda tanya di akhir kisah. Banyak hikmah dan pemahaman baik yang disuguhkan penulis, membuat buku ini recomended untuk siapa saja yang senang membaca novel. Bahasanya sederhana, ringan dan tentunya sarat makna.

Overall, i enjoyed the story :)