Thursday 31 March 2016

Tetap Menulis


Aku ingin tetap menulis. Bagaimana pun kondisinya. Mengatakan memang gampang, tapi implementasinya bukanlah perkara yang mudah. Seperti saat ini, keadaan terasa tidak menyanggupi keinginanku. Aku ingin menulis tapi rasa lelah seolah merayuku untuk segera beristirahat. 

Beberapa detik selanjutnya, aku berbaring pasrah. Sejenak merasakan nikmatnya tidak melakukan apa-apa. Sambil memandang langit-langit kamar aku mulai tergoda untuk memejamkan mata.

Masih dalam keadaan sadar. Tiba-tiba aku merasa terusik oleh kata-kata di awal tulisan ini. “Aku ingin menulis, bagaimana pun kondisinya”. Tanpa pikir panjang lagi, aku mulai merealisasikan keinginan tersebut. 

Sebenarnya, aku pun tidak tau harus menulis apa. Namun sekali lagi, aku ingin tetap menulis. Meski hanya sekedar membiarkan jemari menari di atas qwerty tanpa sebuah ide yang matang. Kurasa itu sudah cukup melegakan. Tidak masalah, mau satu kalimat atau beberapa paragraf yang sempat kutulis. Yang terpenting adalah aku sudah berhasil untuk tetap menulis. Sebuah ingin yang cukup sakti. 

Karena Sebuah Ingin saja tidak cukup jika tidak disertai dengan usaha, kerja keras dan konsisten.  

Wednesday 30 March 2016

Hanya Catatan Singkat


Ada rasa nyaman yang menelusuk tiba-tiba tepat saat fokus mataku menangkap semburat jingga memantul di permukaan laut, dipadu dengan rintik hujan yang jatuh sukarela. Sebuah perpaduan yang eksotis antara senja, hujan dan lautan berhasil  mengunci pandanganku sebelum magrib mengakhirinya. 

Bahwa sesungguhnya tidak ada kehadiran yang abadi. Sesuatu yang datang menawarkan kebahagiaan, pada akhirnya akan pergi tanpa bisa kita minta untuk tetap tinggal lebih lama lagi. Karena durasi waktu yang singkat sangat mustahil untuk diperpanjang oleh manusia, sehebat apapun ia.

#Sekedar rekaman ingatan tentang suatu sore di pantai losari

Tuesday 29 March 2016

Minggu kelima ODOP (Menemukan Lampu Ajaib)


Beberapa hari  ini aku betul-betul kesulitan membuat sebuah tulisan seperti biasanya. Tiba-tiba saja aku merasa begitu down. Semangat menulis yang sebelumnya menggebu-gebu seperti pergi menjauhku, meninggalkan setumpuk ide yang tak sempat membentuk rangkaian kata. 

Entah kemana aku yang tidak ingin terlelap sebelum menyelesaikan sebuah tulisan. Yang ada aku malah memilh segera tertidur dari pada memikirkan soal tulisan. Oke, sudah tiga hari aku absent menulis (sabtu-minggu-senin) padahal biasanya aku tidak pernah alfa meskipun hanya sekedar mengetik beberapa kata di memo hp. Mungkin faktor terlalu jenuh dengan tugas kuliah yang kata salah seorang dosenku, lima kelas angkatan kalian mulai stres karena tugas yang tidak semudah di semester sebelumnya. 

Lalu di tengah fase yang tidak menyenangkan ini, aku teringat salah satu pertemuan paling mengesankan dengan penulis favoritku “Tere-liye”. Seperti biasa, setiap kata yang ia tuliskan selalu saja membangkitkan semangat juga memberikan pencerahan untukku.

Tahun 2013 yang lalu, di acara bedah bukunya. Tere liye menyampaikan salah satu poin penting yang sampai saat ini masih teringat, bahkan mungkin aku sudah hapal betul kata-katanya. Kurang lebih seperti ini:

“Semua orang memiliki kesempatan untuk memiliki lampu ajaib dalam hidupnya. Ketika kita terdesak, saat kita tidak tahu harus melakukan apa, ketika seluruh kepercayaan diri runtuh, kita bisa memanggil lampu ajaib dalam diri kita. Apa itu lampu ajaib? Itulah “Motivasi Terbaik”. Temukan dan milikilah motivasi terbaik itu. Jika kita telah menemukannya, pegang erat-erat dan itulah lampu ajaib yang biasa menolong hidup kita menghadapi saat-saat genting dalam hidup ini. Motivasi terbaik yaitu motivasi terbesar dalam diri kita. 
 
Setelah memutar ulang ingatan tentang “lampu ajaib” versi Tere liye, seketika perasaan down yang tadi seperti menguap, beganti dengan letupan semangat. Sepertinya, empat minggu di odop sudah berhasil membuatku  menemukan lampu ajaib untuk tetap menulis. Sebuah lampu ajaib yang semoga akan menolong jika suatu saat kondisi seperti ini terulang lagi. Sebuah motivasi terbaik yang menjelma ”lampu ajaibku” dalam dunia nyata.
     
Lalu kalian yang membaca ini, semoga bisa menemukan motivasi terbaik untuk segala hal khususnya dalam menulis.

#One Day One Post

Friday 25 March 2016

Empat Titik Tujuh Dalam Kenangan

"Empat titik tujuh" seperti itulah para instruktur sering memanggilku. Empat berarti aku adalah anggota dari kelompok empat sedangkan tujuh merupakan nomor urut dari sepuluh anggota kelompokku. 

Empat titik tujuh yang tidak lain adalah identitasku selama mengikuti DAD (darul arqam dasar). Sebuah pengkaderan yang wajib diikuti oleh setiap mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar. Aku adalah salah satu peserta DAD angaktan ke-39 yang diselenggarakan oleh PIKOM (pimpinan komisariat) IMM (ikatan mahasiswa muhammadiyah) FISIPOL-tempatku menimbah ilmu saat ini).

Pengkaderan yang kuikuti selama lima hari diakhir februari tahun ini adalah salah satu pengalaman luar biasa. Tak kusangka jika dad yang sebelumnya kuanggap hanya formalitas belaka ternyata mampu memberikan sesuatu yang begitu membekas. Sesuatu yang akan selalu kuingat sebagai sebuah pengalaman berharga sekaligus one of my unforgettable moments. 

****

Bagiku, lima hari dad merupakan detik-detik yang sangat mengesankan. Kami tidak diperbolehkan memegang hp juga benda-benda yang dianggap bisa mengganggu. Semuanya disita semetara waktu. Di hari pertama dan kedua, aku merasa itulah hari terberat selama dad berlangsung. Bagaimana tidak, dua hari itu kami masih berusaha untuk beradaptasi dengan sistem dad yang sungguh menguras tenaga

Pukul 3:30 adalah awal dari seluruh aktivitas yang dimulai dengan tahajjud berjamaah, lalu mengaji hingga adzan subuh. Setelah subuh kami mengikuti kajian ayat (tadabbur Al quran) yang dibawakan oleh pendamping kelompok. 

"Empat titik tujuh” seringkali disebut sebut-sebut oleh pendamping karena aku sering menguap bahkan sesekali tak sadarkan diri saat kajian ayat. Harus kuakui jika “ngantuk” adalah sesuatu yang paling sulit kutaklukkan juga bagian terberat yang nyaris membuatku menyerah. Tapi Alhamdulillah karena aku berhasil melewatinya.

Kajian ayat berlangsung sekitar satu jam lalu dilanjutkan dengan mendengarkan materi hingga pukul satu malam. Kami diharuskan duduk berjam-jam menyimak pemateri. Cukup makan tiga kali, shalat lima waktu dan izin ke wc menjadi jeda yang melegakan sepanjang 24 jam. Inilah bagian yang paling sulit selama prosesi dad, dimana kami harus tetap fokus menerima materi, berjuang melawan ngantuk, dan belajar mengabaikan lelah hingga waktu istirahat tiba.

Dua hari kami merasa bahwa waktu berjalan sangat pelan dan menyiksa. Keluhan mulai keluar dari bibir kami. Sebagai peserta kami harus merasakan capek level dewa yang terasa meremukkan badan sebagai konsekuensi dari keikutsertaan dalam kegiatan ini. Mau tidak mau, kami harus melaluinya.

Hari ke-tiga dan ke-empat kami mulai terbiasa dan terasa tidak sesulit dua hari sebelumnya. Kegiatan berlangsung seperti biasa. Masih ada rasa lelah namun mengesankan. Khusus hari ke-empat tepatnya di malam terakhir kami mengikuti sesi untuk merenung jamaah. Sebuah renungan yang membuat seisi forum riuh oleh tangisan. Sungguh malam yang luar biasa.

Hari ke-lima adalah akhir dari pengalaman yang luar biasa ini. Aku merasa sangat bersyukur dan beruntung bisa mengikuti dad kali ini. Karena dad sudah memberikan banyak hal berarti. Selain pengalaman, dad juga memberiku tambahan ilmu juga pelajaran berharga seperti bagaimana menikmati sebuah proses, sesulit apapun kita tidak boleh menyerah. Berlatih untuk tetap sabar dan ikhlas adalah hal yang sulit namun tidak mustahil, kita menjadi sanggup setelah melewati proses yang tidak mudah. 

Dad seperti angin segar yang terasa memperbaiki banyak pemahaman-pemahaman hidupku. Maka Setelah dad ini aku bertekad, jangan sampai lima hari bersejarahku berlalu tanpa makna. Aku tak ingin dad hanya berakhir sebagai pengalaman yang tak terlupakan. Biarkan dad menjadi momentum untuk sebuah perubahan lebih signifikan ke arah yang lebih baik lagi. 

Aku akan berusaha mengamalkan ilmu yang kudapatkan selama dad, juga kebiasan-kebiasan baik yang dibentuk selam lima hari bisa terus berlanjut. Dan semoga saja aku bisa konsisten, selalu istiqomah untuk kebaikan Insya Allah

#One Day One Post

Thursday 24 March 2016

Lelaki Sunyi

Namanya Yudha. Lelaki yang tengah asyik menyaksikan setiap kesibukan malam melalui dinding kaca kantornya. Sudah menjadi rutinitas yang tak pernah terlewatkan, setiap habis jam kerja ia akan berdiri sambil menikmati keramaian kota dari lantai 40 ruang kerjanya. 

Raut wajahnya datar namun tetap menunjukkan ciri karismatik seseorang dengan pembawaan yang tenang juga berwibawa. Di balik ekspresi dan ciri khasnya itu, ternyata  ia sangat pandai menyembunyikan sisi paling misterius dalam dirinya. Tak seorangpun tahu, bahwa setiap malam Yudha bisa berdiri berjam-jam dengan tatapan yang hanya bisa disaksikan oleh setiap benda mati di sekitarnya.
  
Andai sebuah kursi ataupun meja bisa berbicara, mereka akan menceritakan tentang tuannya yang hebat dan selalu dipuji seluruh staf kerja juga para karyawan tak lebih hanya seorang laki-laki kesepian. Setiap malam Yudha terpekur lama dengan pandangan kosong. Ia tidak pernah tahu kepada siapa bisa bercerita. Karena sudah terbiasa dengan kesendirian dan merasa nyaman terpenjara dalam jeruji sepi, ia tak tahu lagi bagaimana cara membebaskan diri.

Mungkin Ia terlalu mencintai kesendirian hingga tak pernah sekalipun merasa dekat dengan siapapun sejak hari itu. Suatu hari yang kemudian mengubahnya menjadi laki-laki sunyi. Di tengah hiruk pikuk keramaian dunia perasaanya selalu sama. Sepi.

Yudha kembali mengenang sebuah peristiwa yang tak pernah bisa terlepas dari ingatannya. Seperti matahari yang terbit dan terbenam setiap hari atau bumi yang tak pernah lelah berotasi. Seharipun ia tidaK bisa menolak hadirnya memenuhi kepala. Mencipta rasa sakit yang akan membuat matanya seketika menjadi sembab.  

Perasaan sunyi kembali melemparnya ke masa lalu. Di sebuah tempat, di mana ia pernah menitip harapan kepada seseorang yang sampai saat ini tetap saja ia sebut "cinta". Lima tahun sebelum malam ini, di suatu pagi yang mendung. Seorang perempuan sekaligus manusia paling dicintainya memutuskan mengakhiri cerita mereka.

“Yudha, Maafkan aku…” kata seorang perempuan kepada laki-laki yang tengah berdiri di hadapannya. Ekspresinya biasa saja namun terkesan dipaksakan. ia kemudan melanjutkan kata-katanya.

“Sepertinya aku sudah tidak bisa bersamamu lagi.” ucapnya pelan sambil menundukkan pandangan. Detik itu juga ia betul-betul tak punya nyali menatap mata lawan bicaranya.

“Maksudmu apa?” Balas Yudha dengan tatapan bingung menuntut sebuah penjelasan. Ia  tak habis pikir, kenapa perempuan yang sudah setahun lebih bersamanya tiba-tiba mengatakan sesuatu yang paling tidak diinginkannya. Perempuan itu sendiri yang pernah berjanji bahwa Ia tak ingin setia selain pada dirinya. 

Karena tak mendapat jawaban apapun, Yudha kembali bertanya. “Kenapa?” katanya dengan suara sedikit bergetar disusul dengan tanya yang lain. “Apa yang membuatmu tidak bisa bersamaku lagi? “Apa karena aku yatim piatu?" Tanyanya sedikit frustasi. Bukannya menjawab, perempuan yang baru saja ia tanya malah menggeleng lemah. Matanya memerah mencoba menahan tangis.

“Apa karena masa laluku yang begitu kelam?" Lanjut Yudha kali ini dengan suara yang terdengar parau. Pertanyaan itu berhasil membuat kedua matanya mulai berair. Itu adalah air mata pertama untuk seseorang. Seingatnya, ia tak pernah menangis hanya karena siapapun termasuk saat kehilangan sosok yang akrab dipanggil ayah-ibu

Kini perempuan di hadapannya hanya membisu. Tak melontarkan sepatah kata pun. Sebuah diam sudah cukup sebagai jawaban bahwa ia membenarkan pertanyaan tersebut.

Hening beberapa saat sampai Yudha kembali bersuara. “Kau tahu, aku menceritakan masa laluku karena aku percaya kau akan menerimanya sekelam apapun itu.” Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan kata-katanya.

“Tapi ternyata aku salah. Kau malah  menghianati kata-katamu sendiri. Kata-kata yang berhasil mengusir keraguan, juga ketakutanku selama ini” lanjutnya, kini dengan intonasi yang lebih tenang. Ada kekecewaan mendalam saat semua yang sudah dikatakannya sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada perempuan yang masih menolak menatap matanya.
     
“Bahwa ada seseorang yang mampu mencintaimu lengkap dengan seluruh kehidupanmu. Kau bersedia mencintaiku beserta setiap kekuranganku juga termasuk masa laluku. Bagaimanapun bentuknya.” itu kalimat yang pernah kau katakan beberapa waktu lalu. Aku percaya kamu mencintaiku, tapi sepertinya tidak dengan seluruh hidupku.” Kali ini, kata-katanya hanya mempu terdengar oleh rasa sakit dalam hatinya.

Yudha lalu berbalik. Sekuat tenaga mencoba mengabaikan separuh hatinya yang tak ingin pergi tapi menginginkan sebuah penjelasan. Rasa sakit yang lebih besar dari keinginan tersebut berhasil membuatnya melangkahkan kaki, menjauhi perempuan yang membuatnya harus mencintai sekaligus terluka di waktu yang sama.

      ***
Yudha pun memutuskan pergi sejauh mungkin dari kota penuh kenangan tempat ia merasakan jatuh cinta untuk yang pertamakali. Tak pernah terbersit sekalipun di kepalanya jika perempuan itu telah menawarkan cinta dan kebahagiaan yang ternyata hanya semu. Kini ia terjebak dalam kondisi yang memojokkannya. Mau tidak mau harus dilalui. Tidak ada opsi lain selain memaksakan diri untuk tetap melanjutkan hidup. Mengumpulkan kembali stok ketegaran yang nyaris habis.

Jam menunjukkan pukul dua saat mengenang seluruh perasaan juga cerita menyakitkan itu berakhir. Setelah begitu banyak malam yang terlewati,  Yudha lalu memilih bijaksana menerima semuanya. Sambil tersenyum lega, ia merasa bersyukur karena sepertinya, waktu betul-betul berbaik hati mengobati kesedihannya.

Tiba-tiba Yudha merasa merindukan sosok yang pernah menorehkan luka begitu dalam. Perempuan dengan pemahaman hidup yang sungguh menakjubkan. Ia yang selalu membuat orang-orang merasa beruntung mengenalnya. Namun entah alasan apa hingga ia begitu tega mengambil keputusan yang jelas bertolak belakang dengan cara pikirannya selama ini. 

Bagaimanapun juga, Yudha percaya bahwa kehadiran perempuan itu tidak lain sebagai pengalaman, juga pelajaran berharga-tentang berdamai dengan rasa sakit lalu kembali melanjutkan hidup.
Dan malam-malam berikutnya tak ada lagi lelaki sunyi.


--One Day One Post

Tuesday 22 March 2016

Ia Bertanya Perihal Menggenap

Kemarin sore, saat tengah memikirkan pengalaman paling berkesan apa yang akan kutuliskan sebagai tema minggu ini, tiba-tiba hpku berbunyi. Ternyata itu adalah sebuah pesan via bbm dari salah seorang teman seperjuanganku waktu MA (setingkat SMA). Refleks aku membacanya sambil menyunggingkan senyum. Yaa, tanpa sadar ternyata aku senyum-senyum sendiri setelah membaca pesan yang tak lain adalah sebuah pertanyaan yang aku pun masih ambigu di wilayah itu. Untuk kedua kalinya ia bertanya tentang ini.

“Apa yang dipertimbangkan jika ingin menikah?” Kurang lebih seperti itu bunyi pertanyaannya. Hmm… Entah kenapa hal seperti ini ia malah bertanya padaku yang notabenenya masih single (ketawa dalam hati). 

Setelah membaca pertanyaan tersebut aku mulai mengetik balasan sekaligus jawabanku. “Menurutku ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan khususnya dari pihak perempuan. Mungkin seperti mengenai memilih calon suami. Kita harus tahu apakah ia betul-betul pantas menjadi imam menurut beberapa kreteria khususnya dari segi keagamaan.  Setelah itu… (beberapa detik jemariku berhenti menari di atas keyboard hp-masih berusaha menggali ingatan tentang sedikit hal yang sempat kuketahui terkait pertanyaannya).  

Tidak lama kemudian aku kembali mengetik jawabanku dengan menulis beberapa kalimat. “Mungkin… (aku masih menggunakan kata “mungkin” sebab aku sendiri tidak sepenuhnya yakin akan jawabanku. Aku hanya mencoba menjawab pertanyaanya semampuku) “selanjutnya kita harus mempertimbangkan baik-baik mengenai keputusan untuk menikah. Tanyakan diri sendiri, apakah kita betul-betul sudah siap melabuhkan bahtera rumah tangga?” Sebaiknya, untuk memantapkan keputusan penting ini kita shalat istikhorah”-and, apalagi yaa? pasang emot pensive “Entahlah... Aku masih single” kataku mengakhiri jawabanku dengan emot smile

Tidak beberapa lama setelah menyentuh opsi “send” hpku kembali berbunyi. Ternyata ia masih melanjutkan pertanyaan seputar pernikahan.

“Lalu apakah  laki-laki yang selalu ikut kajian (keislaman) sudah bisa dikatakan pantas menjadi imam?” Demikian pertanyaanya. Tanpa pikir panjang aku lalu membalas: “hmm... tergantung” send-lalu kembali menambahkan penjelasan.

“Tentang memenuhi kapasitas atau tidak, sebenarnya aku tak tahu pasti mengenai tolak ukurnya. Tapi menurutku, laki-laki yang pantas menjadi imam adalah seseorang yang sudah punya cukup ilmu soal berumah tangga. Maksudku, ia tidak hanya sekedar ingin menikah tapi ia juga sudah punya persiapan dari segi ilmu mengenai rumah tangga. 

Lalu ia juga harus mempunyai visi misi yang jelas tentang masa depan-agar ia bisa menahkodai rumah tangganya untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawadda wa rahma sebagaimana tujuan pernikahan dalam islam. Ia juga harus siap lahir batin. Siap untuk memikul tanggungjawab sebagai imam dalam keluarga. Ia harus bisa menjadi suami juga ayah yang baik untuk anak-anaknya kelak. dan sepertinya aku sok tau banget soal pernikahan... hahaha-sambil pasang emot nyengir lebar *(Begitulah, aku berusaha menjawab pertanyaannya.

      
Perihal menggenap ialah prosesi yang sakral, dimana dua insan menyatu dalam ikatan suci pernikahan. Sebuah ikatan yang akan menyempurnakan iman seseorang juga ikatan halal antara laki-laki dan perempuan yang diakui agama juga negara. Menggenap adalah sebuah pilihan yang tepat jika seseorang memang sudah merasa siap, sebab menikah tak lain adalah perintah sekaligus sunnah.


The last, spesial untuk ia yang bertanya perihal menggenap, pesanku: “Sambil menunggu seseorang yang kau harapkan menggenapimu, isilah waktu penantianmu dengan terus memperbaiki dan memantaskan diri sambil terus berdoa semoga Semesta mengabulkan harapan-harapunmu. **Duh... Rasanya kayak sedang memberikan nasehat pra nikah, hahaha


“Dan diantara tanda-tanda (kebesaranNya) ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.  (Surah Ar-Rum:21)

    

#One Day One Post

Monday 21 March 2016

Di Pertigaan Lampu Merah

Tulisan kali ini bukan pengalaman paling berkesan di pertigaan lampu merah. Di pertigaan lampu merah, tidak lain hanya salah satu dari banyak hal yang ingin kutuliskan saat dalam perjalanan. Entah kenapa, setiap berada dalam perjalanan selalu saja ada hal yang kupikirkan. Terkadang, karena terlalu sibuk dengan pikiranku, aku malah tidak sadar jika sudah tiba di tujuan. 

Aku selalu memikirkan banyak hal lewat apa saja yang disuguhi jalan sepanjang mata memandang. Dan tak jarang apa yang kupikirkan akan menjadi buah ide untuk sebuah tulisan termasuk saat di suatu siang menuju kota kelahiranku. Sebuah perjalanan Maros—Makassar, tepatnya di pertigaan lampu merah, asal mula gagasan tentang tulisan kali ini. 

Saat itu lampu merah di pertigaan jalan membuat setiap kendaraan kompak berhenti, patuh pada salah satu rambu-rambu lalu lintas. Fokus mataku menangkap objek yang seketika membuatku tertegun beberapa saat. Seorang anak perempuan yang jika dilihat dari postur tubuhnya, ia kisaran enam-tujuh tahun. Dengan semangat ia menjajakan beberapa bungkus tissu  dari mobil ke mobil ataupun dari motor ke motor di sekitaran lampu merah. Debu jalan dan terik matahari siang tak dihiraukannya. Dengan raut wajah penuh harap, sesekali ia mengusap peluh yang bercucuran sambil terus menawarkan tissu dagangannya.

Menyaksikan adegan tersebut mengundang rasa iba yang menelusup tiba-tiba. Kasihan sekali melihat anak yang masih kecil tapi sudah harus mencari uang untuk menyambung hidup. “Ah, betapa tidak bersyukurnya aku yang mengeluhkan panasnya cuaca siang ini.” batiku. Padahal aku jelas-jelas hanya sebentar saja merasakan panas siang ini. Cukup hanya sepanjang jalan menuju tujuan, sementara bocah tadi harus merasakan sengatan matahari sepanjang siang demi menjual bungkus demi bungkus tissu. Tiba-tiba aku merasa malu pada diri sendiri.

Kadang, untuk bersyukur kita memang harus melihat ke bawah. Merenungkan kehidupan orang-orang yang untuk memperoleh makan pun sangat sulit. Mungkin ada begitu bnyak orang yang ingin berada di posisi kita saat ini sebab mereka tak seberuntung kita. 

“Fabiayyi alaa irabbikuma tukazziban?” Akupun  teringat ayat ini. Sebuah ayat yang berulang kali disebutkan dalam surah Ar-rahman, yang tidak lain agar kita selalu bersyukur.
 
Bahwa begitu pentingnya kita bersyukur atas tiap nikmat yang kita rasakan. Seketika aku tersadar, betapa sering aku mengeluh. Tentang tugas kuliah yang menumpuk, tentang ini dan itu juga banyak lagi hal remeh yang seringkali mengundang keluhan. Manusia memang diciptakan penuh keluh kesah namun, hati yang lapang dan selalu bersyukur akan menjadi penawar. Maka, sediakan selalu ruang dalam hati untuk selalu bersyukur juga bersabar dalam menyikapi setiap problem kehidupan. 

Bersyukurlah untuk tiap desahan nafas yang masih berhembus. Bersyukurlah atas nikmat penglihatan, pendengaran, juga hati yang masih bisa merasakan. Bersyukurlah untuk kaki yang masih sanggup berjalan, tangan yang bisa kita gerakkan dan setiap inci anggota tubuh yang masih menjalankan fungsinya dengan baik. 

"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Berhenti Mengeluh dan Bersyukurlah!

--One Day One Post

Friday 18 March 2016

Lima Buku Hujan Terbaik

Ada begitu banyak buku-buku terbaik ataupun terkeren versiku, yang sayangnya tidak bisa kusebutkan satu persatu. Maka untuk tantangan One Day One Post kali ini, setidaknya aku ingin menuliskan lima buku terbaik yang tidak lain adalah koleksi buku-buku kesayanganku. Mungkin karena pengaruh musim hujan, awal tahun 2016 aku malah lebih tertarik membeli buku-buku yang berjudul hujan. Cekidot…

1. Hujan. Ini adalah buku terbaru Tere liye, penulis favoritku sejak kelas 1 MTS (setingkat SMP). Sama halnya dengan 20 lebih buku-buku Tere liye sebelumnya, novel Hujan ini memberikan banyak hal yang rasanya hanya bisa kutemukan lewat buku-buku karya Tere liye. Novel ini memang fiksi dan hanya imajinasi dari sang penulis. Meski demikian, membacanya membuatku seperti terhanyut ke dalam isi buku dan enggan berhenti sampai ke akhir cerita. Betul-betul sebuah novel yang menghipnotis. Aku mulai membacanya dari sore menjelang magrib dan akhirnya selesai sekitar pukul 2 malam. Novel ini berhasil membuatku memikirkan banyak hal dengan pemahaman yang labih luas. Tentang cinta, tentang perpisahan, tentang persahabatan, tentang melupakan, dan tentu saja tentang hujan. Cerita yang “wow keren” banget menurutku. Dengan ending yang mengejutkan,  buku ini recommended untuk para booklovers.
Novel ini penuh dengan quote ala tere liye yang akan membuat pembacanya merenung sejenak, memaknai beberapa pesan yang tersirat dari keseluruhan  isi buku. Dari beberapa quote tersebut, aku paling suka kata-kata penutup di akhir cerita. Bahwa “Bukan seberapa lama umat manusia hidup, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.” Awesome...!!!
   
2. Hujan Matahari. “Bagaimana bila hujan itu berbentuk matahari. Dimana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah. Setiap orang menjadi hujan sekaligus matahari bagi orang lain. Datang ke dalam hidup seseorang untuk memberikan pembelajaran. Pergi pun meninggalkan pembelajaran. Selamat hujan-hujanan” Sepenggal dari sinopsisi Hujan Matahari.

Awalnya aku hanya tertarik dengan judulnya yang mengusik rasa ingin tahuku, kemudian meminjam buku ini, membacanya, dan jatuh cinta hingga akhirnya aku merasa harus memilikinya. Buku ini berisi kumpulan prosa dan cerita pendek yang akan merefleksi perasaan, membuat kita merenungi berbagai problematika hati manusia. Bahasanya sederhana tapi berhasil membuatku ketagihan dan terkagum-kagum sama penulis yang ternyata penggemar Tere liye sama sepertiku .

Dari awal membaca buku ini, aku merasa menemukan tulisan-tulisan yang hampir mirip dengan gaya menulisnya tere-liye, tapi dengan versi Kurniawan Gunadi (penulis buku ini) hingga aku berasumsi bahwa sang penulis pastilah salah satu penikmat buku tere liye. Dan betul saja,  akhir tahun 2015 saat mengikuti acara bedah buku “Lautan Langit”(buku ke dua dari sang penulis) aku mendapat kesempatan menanyakan langsung “Siapa penulis favorit masgun (panggilan akrab Kurniawan Gunadi)? Sambil tersenyum Masgun menjawab “Buya Hamka dan Tere liye.”  Finally, Aku pun menjadi salah satu penggemar masgun karena Hujan Matahari betul-betul membuatku jatuh cinta.


3.   Senja Hujan dan Cerita yang Telah Usai. Salah satu buku dari Boy Candra-penulis kesekian yang berhasil membuatku jatuh cinta sama tulisannya. Dari judul dan covernya, buku ini menjadi salah satu buku yang sangat ingin kumiliki hingga rela mengunjungi 3 gramedia demi mencari buku yang ternyata stoknya selalu habis. Syukurlah, 10 februari yang lalu, sahabatku berhasil menemukan buku ini ready stock di salah satu gramed yang sempat membuatku gagal memilikinya. Tanpa pikir panjang lagi, ia membelinya, lalu akhirnya menjadi salah satu koleksiku. Sinopsis buku ini betul-betul mengundang rasa penasaranku, sampai akhirnya aku membacanya, dan kemudian… aku betul-betul jadi beper level banget. Isinya membuatku seolah merasakan langsung apa yang di tuliskan Boy Candra dalam buku ini.

“Buku ini saya persembahkan untuk orang-orang yang pernah dilukai, hingga susah melupakan. Untuk orang-orang yang pernah mencintai, tapi dikhianatii. Juga yang pernah menghkhianati, lalu menyadari semuanya bukanlah hal baik untuk hati. Kepada yang jatuh cinta diam-diam. Suka pada sahabat sendiri, tidak bisa berpaling dari orang yang sama, dan hal-hal yang lebih pahit dari itu. Saya pernah di posisi kamu saat ini. Mari mengenang, tapi jangan lupa jalan pulang. Sebab, setelah tualang panjang ke masa lalu, kamu harus menjadi lebih baik. Dan mulailah menata rindu yang baru. Katakanlah kepada masa lalu: Kita adalah cerita yang telah usai.” Demikian yang ditulis Boy Candra di cover belakang Senja, Hujan dan Cerita yang Telah Usai.
 
4. Hujan Bulan Juni. Versi novel soft cover, dan hardcover untuk kumpulan puisi atau serpihan sajak. Karya fenomenal dari Sapardi Djoko Damono yang membuatku merasa ketagihan membaca karya sastra. Buku kumpulan puisi yang jujur, sampai saat ini aku masih kesulitan mencerna kata-kata puitis Sapardi karena unsur sastra yang sepertinya terlampau sulit untuk kupahami. Meskipun begitu, aku sangat menikmatinya. Bahkan beberapa puisi sempat membuatku tertegun sejenak, terharu hingga mata berkaca-kaca . “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana: dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”-ini yang paling aku suka dari puisi Hujan Bulan Juni.


5. Terakhir, Hujan Bulan Juni  novel, membacanya seperti menikmati sebuah cerita yang tidak kalah puitis dengan sebuah puisi. Konflik dalam novel ini sederhana tapi cara berceritanya cukup ribet. Mungkin seperti inilah cara seorang penyair menulis novel. Yang menarik dari novel ini, tak lain adalah beberapa bagian yang menyerupai puisi khas Sapardi. Membacanya betul-betul menagih hingga tak terasa bahwa ternyata, aku berhasil menamatkan buku ini hanya dengan satu kali duduk.

Novel tipis dengan ending yang menggantung ini, sangat cocok dibaca untuk para penggila sastra. Kutipan favoritku di novel ini: “Bahwa kasih sayang beriman pada senyap”-hal 45. Dan juga di halaman 66: “Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam saputangan yang telah ditenunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri, oleh kesunyiannya sendiri, oleh ketabahannya sendiri, oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri, oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri, oleh lerinduannya sendiri, oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin…

Itulah beberapa dari buku terbaik yang pernah aku baca. Semoga bisa jadi referensi bacaan, khususnya buat yang mengaku pecinta hujan seperti aku.

#One Day One Post