Tuesday 2 April 2019

Pertanyaan-pertanyaan


Sesekali, luangkan waktumu untuk bertanya kepada dirimu sendiri. Anggap saja bagian dari kontemplasi untuk melihat kembali hidup yang sudah kau lalui dan yang sedang kau jalani saat ini.

Sudah sampai mana perjalananmu? Bagaimana kau menghabiskan jatah waktu yang amat terbatas ini? Seberapa banyak peristiwa yang berhasil kau maknai? Apakah hidupmu masih seperti dulu? Tidak ada kemajuan yang berarti atau, kau justru sudah bertumbuh begitu baik dengan segala ragam ujian hidup? Sudahkah kau memberi arti kepada orang lain? Atau, kau tak lebih sekedar menjadi sesuatu yang tidak memberikan kebaikan apa-apa bagi hidup seseorang? 

Bagaimana hubungan dengan Rabbmu? Seberapa dekat kau dengan-Nya? Sudah jelaskah tujuan dan orentasi hidupmu? Sederet tanya yang akan terus beranak-pinak. Tak ada habisnya.

Hidup selalu dipenuh dengan pertanyaan. Beberapa memang mempunyai jawaban dan mudah didapatkan, namun banyak juga yang tidak, bahkan ada yang memerlukan waktu sekian lama atau malah membutuhkan perjalanan jauh untuk menemukannya.

Karena setiap manusia tentu memiliki pertanyaannya masing-masing. Di mana-mana pertanyaan akan selalu ada, di ruang-ruang yang riuh atau di tempat paling sunyi sekali pun. Bahkan, sejak masih dalam rahim pun kita sudah menjadi pertanyaan: laki-laki atau perempuan?


Perempuan dan Tulisan Terakhirnya


"Innalillahi wa inna ilaihi rojiiun...” Speaker masjid baru saja meneriakkan kabar duka—lengkap dengan nama almarhum beserta alamat rumahnya. Memang, tidak ada yang salah dari seseoraang yang baru saja wafat, hal yang biasa saja dan sudah terulang berkali-kali. Setiap ada kematian speaker mesjid pasti akan mengumumkannya kepada khalayak. Itu dilakukan kapan saja; pagi, siang malam bahkan subuh sekali.

Tidak ada yang ganjil kecuali tentang dua hal yang kini membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Berita duka kali ini datang di hari jumat. Dan aku sangat mengenal siapa pemilik nama yang pergi subuh ini.

Selepas bunyi speaker masjid tadi, sekelilingku kembali senyap. Aku merasa lemas. “Bagaimana mungkin?” Beberapa detik duniaku seperti berhenti bergerak. Aku hampir-hampir tidak percaya apa yang baru saja kudengar. Aku syok, mataku berkaca-kaca, tak kuasa lagi menahan diri untuk tidak menangis. Aku duduk, sesenggukan, berusaha mencerna perasaan yang entah harus bagaimana kubahasakan. Perempuan itu...” gumamku dalam hati.

***

Pukul tiga dini hari. Aku terbangun selepas mematikan alarm hp. Hujan deras menabrak kaca jendela, lembab udara mengembun, malam seumpama kegelapan yang menjatuhkan rahasia—ia gelap dan merasuki mimpi siapa saja, semua orang tertidur menikmati ilusi takut terbangun dan menghadapi kenyataan bahwa keburukan mimpi adalah senyata-nyata kehidupan—bayangan hitam selalu tampak ketika terang. Memang musim penghujan baru saja tiba dan malam ini ia turun deras sekali, seolah tak ada cela untuk jeda sebagaimana berhenti adalah sebuah keharusan untuk memulai sesuatu. Penghujung malam yang nyaman untuk melanjutkan mimpi banyak orang, namun tidak denganku. Hari ini jumat, hari yang baik untuk mati.

Aku segera mengambil air wudhu lalu melaksanakan tahajjud lebih lama dari biasanya,—bersujud adalah cara terbaik untuk melihat ke atas, sepertiga malam waktu terbaik berdialog dengan siapa-pun, dengan dirimu yang paling dalam dan diam, dengan udara paling tenang untuk jangkrik menampakkan suaranya, dan paling utama dengan-Nya sang Mahadekat, pencipta semua rasi bintang yang sering dicari pada gelapnya langit malam. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Doa-doaku pun lebih panjang dari yang sudah-sudah. Air mata menyeruak menyaingi deras hujan dan dingin kristal salju, mukenahku basah tapi tangisanku tanpa suara. Hingga subuh menjelang kurasakan udara di sekitar mulai hangat, matahari mengintip sedikit-sedikit, rona malu fajar berpadu dengan petrikor, hari berubah stabil. Tidak panas dan tidak lagi sesendu sebelumnya. hujan sudah reda. Ada masanya semua hal harus berhenti seperti halnya hujan, sebab sesuatu yang berlebihan selalu membawa keserakahan. Subuh tidak lama lagi, batinku dengan perasaan entah bagaimana. Sedih sekaligus bahagia. Cemas juga tenang. Kontradiksi.

Mama masuk di kamarku yang memang sengaja tidak kukunci—ini kebiasaanku semenjak diizinkan memiliki kamar sendiri beberapa tahun lalu, karena manusia selalu cenderung mengurung diri—kita sebuah pintu ruang pribadi terkunci. Namun hari ini ada yang berbeda, Jumat dan sesuatu yang selamanya akan menjadi mimpi buruk pada tidurnya yang tidak lagi pernah nyenyak. 

Mama betul-betul syok menyadari apa yang terjadi di ruangan bercat pink milik anaknya. Air matanya mulai menganak sungai, dilangkahkan kakinya perlahan merasakan lantai yang tiba-tiba menjadi dingin dan terlampau sulit untuk dijejaki, udara seketika menipis, napasnya sesak, ia jatuh terduduk tanpa daya. Seperti adegan di sebuah sinetron, Mama histeris. Berteriak-teriak memanggil entah siapa, orang seisi rumah, kesadarannya yang hampir hilang, atau nyawa anaknya yang tinggal setipis kulit bawang. Subuh hari itu fajar tidak lagi mencerahkan, mendung kembali datang lebih gelap dan tidak ada batas. Rumah gaduh, tangisan susul menyusul meneriakkan panggilan kembali, namun pintu tertutup dan tidak pernah ada kunci.

Orang-orang yang belum lama terbangun dari lelapnya diam menyimak. Sebuah kabar kematian sepagi ini seperti membekukan udara. Menepuk-nepuk kesadaran, perihal usia, tak sesiapa bisa menebaknya. Yang kemarin masih tersenyum hari ini kini terbujur kaku. Siapa yang bisa merencanakan kematiannya? Bagaimana seseorang mendapatkan kematiannya. Sepenuhnya Kehendak-Nya. Namun memang perihal waktunya yang masih tanda tanya, setiap orang berhak untuk meminta akhir yang baik, seperti memilih hari paling tepat untuk berpisah dengan kefanahan dunia.

***

Namanya Lala. Ia tinggal tidak jauh dari rumahku, aku sering melihatnya menyiram tanaman saat pagi ia bersenandung, bernyanyi untuk tanaman sambil sesekali tersenyum, hangat sekali. Ia pemilik tulisan panjang dari blog yang baru saja kubaca tadi. Ini entah kali keberapa aku membacanya. Skenario Kematian judul yang membuatku merasa aneh dan tertegun sesaat yang setelah keesokan harinya kutahu jika itu tulisan terakhirnya. Berbeda dari tulisan yang lalu-lalu. Tulisan itu terkesan diketik sekenannya, tidak seapik biasanya. Ia bahkan tidak mencantumkan label seperti yang tak pernah alpa di tulisan lainnya. Aku yang membacanya dibuat menebak-nebak saja, mungkin ini semacam fiksi, cerpen atau apa pun sejenisnya. Aku tak pernah menduga. Ini sebentuk terkaan yang terjadi, tepat seperti harapannya. Bahkan hampir sama persis.

Sekali lagi aku membacanya. Untuk meyakinkan jika ingatanku tidak keliru dan aku memang tidak sedang salah membaca, jejaknya tertinggal pada tulisan yang akan selalu kubaca ketika hari jumat tiba. Sekelebat ingatan mulai bermain di kepalaku. Sebuah perbincangan di suatu sore bersama Lala. Benang merah yang mengutuhkan jalinan cerita ini.

“Hari jumat ..” Lala bergumam pelan. Speaker masjid baru saja mengumumkan berita kematian yang entah keberapa dalam bulan ini, seolah pemanah dari langit selalu sedia mengarahkan busur pada orang-orang yang tinggal di kompleks kami. 

“Ada apa dengan jumat?” Spontan aku bertanya tidak mmendapatkan korelasi jumat dan kematian.

“Enggak kenapa-kenapa, pengen aja mati hari jumat.” Katanya pelan sambil tersenyum semringah, aku mengernyit aneh.

“Kenapa harus jumat?” Aku bertanya lagi, didesak rasa penasaran.           

“Karena Jumat hari yang memiliki banyak keutamaan dibanding hari-hari lainnya. Baik. Hari terbaik, hari istimewanya umat islam.” Lala menjawab. Kali ini ia tidak tersenyum. Raut wajahnya datar. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Hening beberapa saat hingga aku kembali bertanya. Ah, aku tidak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan yang kini berjumpalitan di kepalaku. Aku betul-betul ingin bertanya.

“Emang boleh meminta seperti itu? Berdoa biar matinya di hari jumat.”

Lala lantas menjawab “kurasa boleh saja berdoa seperti itu. Berdoa kan perintah. Jadi memang harus, yaa ... asal bukan berdoa untuk sesuatu yang tidak baik. Lagi pula setiap orang tentu ingin akhir yang baik, kan.”

Aku hanya manggut-manggut mengerti hingga akhirnya azan magrib pun memotong perbincangan itu. Semestinya aku tidak mengingatnya lagi. Seluruhnya. Ternyata sama persis. Ia betul-betul seperti memesan hari kematiannya sendiri. Dan ia mendapatkan sesuai keinginannya. Lewat doanya yang serupa lemparan dadu dengan ke enam sisinya bertuliskan Amiin. Kurasa demikian meski sebagian diriku masih juga menyangkalnya. Seluruhnya sama persis. 

Aku masih duduk di sore yang sama dengan Jumat kala itu, berharap pesanan kematian memberi tanda sebelum datang. Semoga speaker masjid segera rusak dan kematian menjadi telinga untuk diriku sendiri.
            
--Makassar, 30 November 2018

*(Tiba-tiba saja ingin memposting cerpen ini setelah Jumat kemarin mengikuti Tabligh Akbar bersama Ustaz Adi Hidayat. Beliau membahas keutamaan-keutamaan hari Jumat dan menyinggung sedikit tentang penembakan yang terjadi di Selandia Baru dua jumat lalu. Betapa beruntungnya mereka yang menghembuskan napas terakhir di dalam mesjid, di hari terbaik, hari jumat yang istimewa.

Monday 1 April 2019

Dear Me


Kuatlah, meski hanya berpura-pura; berlagak di depan semua mata agar kau nampak baik-baik saja.
Kuatlah, tidak peduli berapakali pun kau harus meredam segala pedih sendirian, tertidur dengan mata sembab, meringkuk di sudut kamar memeluk lutut sambil terisak tanpa suara. Tidak apa-apa; setiap orang harus punya cara untuk menghadapi keadaan paling peliknya. 
Kuatlah, sebab hidup akan tetap berjalan, walau jatuh berulangkali, tertinggal jauh, bahkan jika di hadapanmu terus saja disuguhi bermacam-macam jebakan, atau... kau harus melewati segala jenis penderitaan, mencicipi banyak kehilangan hingga seluruhnya menjadi rangkaian peristiwa yang mendewasakan, yang membuatmu tumbuh; lebih kuat dari dirimu yang kau rasa terlalu rapuh.
“Kau kuat karena dicintai. Setidaknya oleh dirimu sendiri” sebuah kalimat dalam buku cara-cara tidak kreatif untuk mencintai. Aku sepakat meski aku lebih suka jika kukatakan; kau kuat karena kau belajar mencintai Tuhan melebihi apa pun. Sebab dirimu takkan pernah kuat tanpa kekuatan dari-Nya.
Selamat melanjutkan perjalanan!