Friday 30 March 2018

Selesai



"Bagaimana dengan perasaanmu, apakah masih seperti dulu?" Tanyamu malam itu membuat jeda panjang pembicaraan kita.

Entah kenapa aku tak lagi mampu menjawab ya. Ragu mulai menggerogoti dada. Pelan-pelan kutenangkan perasaanku. Kuselami baik-baik, kucari jawabannya, dan untuk pertama kalinya aku tak ingin jujur kepadamu.

"Entahlah... aku tidak bisa mengatakan ya ataupun tidak. Aku tidak begitu yakin." jawabku singkat. Entah kenapa separuh diriku merasa begitu bersalah sebab terlalu takut jika kata-kataku akan menyakitimu.

Kenapa terlalu sulit mengatakan dengan tegas jika perasaanku betul-betul lenyap? Kenapa begitu berat mengucapkan bahwa perasaanku memang sudah berubah. Selesai selepas hari-hari menyakitkan berhasil kulewati. Bukankah tak ada celah untuk ragu dalam urusan perasaan. Kenapa pula di saat seperti ini aku malah menangis? Apa yang sedang kutangisi? 

Mungkin aku tengah menangisi diri yang teramat takut melukaimu. "Bukankah semestinya aku harus tega setelah apa yang kau lakukan?" Rutukku dalam hati. 

Kini kupejamkan mataku. Pelan-pelan mengumpulkan ingatan yang membuat dada sesak. Air mata mulai menganak sungai. Setiap kata yang pernah melukaiku seperti datang beramai-ramai. Seluruhnya membuatku seperti didesak untuk menjadi tega di luar nuraniku.

Malam itu, ego menang. Menepis jauh perasaan yang tak pernah ingin melukaimu.

"Sudahlah, tidak usah mempertanyakan rasa, jawabanku masih begitu." Kataku akhirnya. Kau malah membalasnya dengan kalimat yang betul-betul membuatku muak. Aku memilih tidak menanggapinya lagi. Kepalaku terlanjur pening. Kuletakkan hp dan tangis pun semakin menjadi-jadi. Ternyata, itu air mata terakhir yang mengalir karenamu.

Monday 26 March 2018

Satu Tahun Kepergian Kakak



Hanya hitungan jam, kelahiran berganti dengan kematian. Setipis itu jarak antara kehilangan dan keberadaan seseorang.
--

Aku masih mengingat semuanya. Sangat jelas, hingga ke detail hari itu, 26 Maret 2017.

Malam kiat larut saat kak Fira datang membawa kabar paling menyedihkan itu. Ketukan pintu kamar diiringi tangisnya yang memilukan sontak membangunkanku. Dengan suara bergetar juga ucapan yang terbata-bata ia mengatakannya. Seketika dada terasa begitu sesak. Betapa luka mendengar kabar duka itu.

Dan tangis pun merajai malam itu. Hujan tiba-tiba turun seolah ingin bersaing dengan derasnya tangisan kami.
~

Sebelum subuh kami pun berangkat. Pulang ke Maros, menyaksikan jasadmu yang terbaring kaku, pucat tanpa helaan nafas yang menjadi tanda bahwa memang, tak ada lagi kehidupan di sana.

Duniaku tiba-tiba begitu riuh. Ramai yang penuh hanya diisi suara tangisan. Kulihat mama terduduk di sampingmu seperti tak rela melewatkan detik-detik terakhir bersamamu. Perempuan tegar itu pun sesenggukan. Menangis begitu dalam. Kabar bahagia selepas kau melahirkan si bungsu seolah lenyap, tertelan dihabisi kesedihan.

Hari itu, kau tak melihat matahari lagi. Kau pergi bersama seluruh kisah yang kini hanya tinggal dalam ingatan kami.

--Minggu kelabu, kami diselimuti duka. Kakak sulung pergi, meninggalkan kami semua. 

Saturday 24 March 2018

Memeluk Hari-hari Menyakitkan



"Jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu.
Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah.
Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah. "Peluklah semuanya."
Peluk erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai. Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu, peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk sekalipun?" 

*Tere Liye
--

Dalam perjalanan pulang. Maros, tempat melarikan diri dari alur yang terlalu menyedihkan.

Friday 23 March 2018

Kenapa Menulis?

Karena menulis, aku merasa bahagia. 

Setiap orang memiliki alasannya masing-masing mengapa ia suka menulis. Di salah satu esainya, G. Orwell menyebutkan bahwa salah satu alasan menulis adalah egoisme: "Bahwa setiap penulis memiliki keinginan terlihat cerdas, untuk dibicarakan, dikenang setelah mati" ... Aku sepakat tapi ternyata aku bukan seseorang yang memiliki alasan itu, sebab bagiku “bahagia” adalah alasan paling sederhana kenapa aku selalu menulis.

Aku bahagia saat kata-kata yang ramai di kepala bisa dirapikan dalam satu kalimat tulisanku. Aku bahagia karena setiap keresahan ataupun suara-suara dalam hati berhasil kusampaikan lewat kata-kata yang kutulis. Aku bahagia ketika tangis ataupun bahagia bisa menjadi ingatan, kenangan dalam setiap kata yang kutulis. Aku bahagia ketika kelegaan datang mengusir banyak pikiran tidak baik selepas aku menuangkan perasaan ke dalam tulisan. Aku bahagia karena semua yang tak sanggup kukatakan selalu bisa kutulis. 

Singkatnya, kebahagiaan selalu ada setiap satu pikiran bisa lebih terpetakan dalam catatan.

Aku bahagia ketika tulisan-tulisan itu mampu mengingatkan, menguatkan dan menghibur di suatu titik kala aku merasa sedang terjebak dalam kekosongan.

Aku bahagia sebab menulis membuatku mengenal banyak orang-orang hebat, mereka yang sebelumnya asing kemudian malah menjadi teman yang sangat akrab.

Aku bahagia sebab menulis adalah perjalanan panjang untuk menemukan begitu banyak pengalaman yang akhirnya menjadi guru kehidupan paling bijak.

Aku bahagia karena menulis adalah cara tuk mengungkapkan banyak hal yang tak mampu terucap atau diungkapkan lewat bibir. Sebuah cara menyampaikan perasaan haru, bahagia ataupun sedih dalam satu cerita, kenangan ataupun hanya sekedar membicarakan seseorang.

Ya, menulis selalu membuatku bahagia.

Kata Tere Liye:
Menulislah karena yakin tulisan kita bisa mengubah. Menulislah karena yakin tulisan kita bisa menghibur. Menulislah karena yakin tulisan kita bisa menemani. Menulislah dengan keyakinan bahwa itu bisa mengubah, menghibur dan menemani. Jangan pedulikan jumlah like, jumlah pengunjung. Menulislah karena dunia ini jauh lebih baik jika semua orang pintar menulis bukan pintar bicara.
Sepenuhnya aku sepakat.

Saturday 17 March 2018

Ujian



“Apakah manusia mengira telah beriman hanya dengan mengatakan; kami beriman,” sementara mereka belum diuji.” (Al ankabut [29]: 69)

Sederhananya: ujian hadir untuk menyeleksi keimanan seseorang. Sebab dalam situasi yang pelik saat berhadapan dengan sebuah ujian manusia selalu mempunyai dua pilihan: berputus asa dan memilih jalan yang hanya akan merugikan dirinya sendiri atau justru memilih berusaha semaksimal kemampuan, berdoa dan tetap bersabar sesulit apa pun ujian yang dihadapi hingga akhirnya ia mampu survive dan ujian itu berlalu sebagai pelajaran berharga yang membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

“Berat atau ringan sebuah ujian sebenarnya tidak diukur dari besar kecilnya. Tapi diukur dari perjuangan menghadapinya. Semua ujian itu berat selama tidak dihadapi dan semuanya menjadi ringan apabila dihadapi. Beratnya ujian yang menimpa umat sekarang bukan karena besarnya ujian itu melainkan karenan ringannya iman dan semangat juang mereka.” (Buku Rahasia Nikmatnya Menghafal Al-Quran)

Seringkali kita menganggap sebuah ujian terlalu berat sebab kemauan untuk berjuang terlalu tipis dan keimanan yang ternyata masih rendah. Seseorang dengan kadar keimanan yang lebih tinggi tentu akan memandang ujian dengan bijak; penuh perjuangan, percaya diri, tidak berputus asa, dan tetap bersabar. Baginya sebuah ujian tidak lain adalah sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Saat sebuah ujian membuat harimu terasa berat, penuh air mata dan penderitaan, maka coba cek hatimu. Periksa kondisi keimananmu. Bisa jadi imanmu memang sedang diuji habis-habisan agar kau layak tuk memperoleh predikat sebagai orang yang beriman.

--Makassar pagi ini

Friday 16 March 2018

Hujan dan Kata-Kata



Hujan memang slalu datang mendramatisir keadaan. Rintiknya serupa potongan-potongan kenangan yang jatuh satu per satu, menitik di dasar ingatan.


Bersama petrichor dan rindu, kembali kutemukan namamu dalam kata-kata yang berhamburan kehilangan makna.

Sepertinya kau tak lebih lagi dari sekedar sisa ingatan yang kian bergerak menjauh. Sebuah perasaan yang pelan-pelan berkemas sebelum akhirnya lenyap disapu waktu.

--Makassar yang (lagi-lagi) diguyur hujan sebelum subuh

Thursday 15 March 2018

Sekelumit Cerita: Mahasiswa Tingkat Akhir



Slow better than no progress ... Tetiba kata-kata ini menjadi kalimat paling pemungkas saat kepala seperti tak sanggup lagi melawan banyaknya pikiran merendahkan.

"Ah, kamu memang terlalu santai, kamu terlalu meremehkan tanggungjawab, kamu memang malas berpikir, bla bla ... duh, menghakimi diri sendiri kadang sangat menyakitkan sebab di titik itu seseorang akan menemukan begitu banyak kesalahan yang kadang tidak begitu disadari, lalu diam-diam malah menghancurkan kepercayaan diri hingga di titik ekstremnya (yang sering dan sedang saya alami) malah memaki diri, menganggap jika saya memang tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukannya, saya masih terlalu bodoh tuk memahami, saya memang selalu berpikir pendek dalam mengambil keputusan, terlalu gegabah dan tidak cukup sabar untuk sebuah proses, etc—sekumpulan asumsi negatif yang seperti meruntuhkan harapan atau semangat untuk tetap melangkah. Menyedihkan sekalih!

Sore tadi sepulang kampus (lebih tepatnya perpustakaan wilayah yang berada tepat di depan kampus), saya singgah di salah satu kedai kopi tuk bertemu salah seorang dosen. Rencananya saya ingin membicarakan judul untuk proposal skripsi dengan beliau, namun ternyata saat berada di sana yang terjadi malah sesuatu yang sangat jauh dari perkiraan dan harapan saya. Pertama: di sana tidak hanya ada beliau tapi juga ada beberapa dosen lain, Kedua: Saya merasa suasana seketika awkward ... saya tak begitu nyaman berada di antara dosen-dosen yang pada akhirnya membuat saya harus segera beranjak pergi dengan perasaan yang down banget, serasa pengen nangis.

Apa yang serjadi selama di sana? Singkatnya, saya mengajukan beberapa topik yang ingin saya teliti dan kesalahan fatalnya, saya memang kurang mencari tahu alias belum memahami betul ide untuk membuat judul sehingga yang terjadi malah embarrassing. Mereka (karena salah satu dosen ikutan nimbrung: turut memberi komentar), malah melempari saya statement yang oh my god! Saya tahu betul makna kalimat sarkasnya yang .... to explain that i’m stupid intinya haha, saya hanya bisa melongo dengan tampang bodoh dan bibir yang tetiba menjadi kelu walau hanya berbicara sepatah kata. Yah, saya termasuk tipe yang hanya bisa diam seribu bahasa saat menyadari di mana letak kesalahan saya.

Finally ... Tiba di rumah, saya berusaha mensugesti diri dengan kalimat-kalimat positif yang ternyata tidak begitu berefek. Saya lelah, saya ingin menangis tapi nurani berbisik pelan “sudahlah, setiap kesalahan adalah proses untuk belajar memahami dan lebih hati-hati mengambil langkah. Kau hanya butuh jeda, beristirahatlah sebentar untuk kembali melanjutkan perjuangan." Lalu saya pun tertidur selepas membaca beberapa lembar novel yang baru saja saya beli via online. Memang membaca dan tidur selalu menjadi pelarian saat sedang unmood. Dan ternyata beban pikiran ditambah tubuh yang lelah cukup efektif membuat saya tertidur sangat pulas hingga alarm pun tak berhasil menerobos kesadaran.  

--Makassar, setelah pikiran mulai membaik

Monolog Pagi



Kita pernah dalam diam saling memendam. Masing-masing merasa jeda adalah keharusan. Untuk meredam kebosanan, melayani ego yang enggan mengalah. Atau justru sekedar menyepakati: kita kembali menjadi dua orang asing tanpa perlu mengutarakan sebuah alasan.

Lalu, saat dialog-dialog menjadi kaku dan hambar, berbagai pertanyaan mulai mengakar di kepalaku. Kesimpulan dan segala asumsi yang kubuat nyatanyaa tak pernah ampuh mereduksi rindu yang seperti hujan deras.


Ada saatnya pagi terasa semenyesakkan ini, ditahan dengan harapan yang merapuh. Air mata sesekali kuseka bersama kalimat baik-baik saja. Ya, membohongi diri adalah pengakuan paling pahit saat sebenarnya aku memang sedang tidak baik-baik saja. Tanpamu.

Tuesday 13 March 2018

Tanpa Kata-Kata




Kadang, tanpa kata-kata adalah sebuah penjelasan.

Seperti titik di ujung kalimat. Serupa puisi kehabisan diksi. Atau, layaknya buku, selesai dengan akhir menggantung: penuh tanya. Pun demikian dengan kita: kesimpulan tanpa kalimat yang menenangkan, juga jarak yang memilih disepakati dalam diam.

Maka biarkan, masing-masing kita pergi sukarela lalu pelan-pelan membujuk ingatan untuk segera melupa. Sebab bahagia masih jalan yang sedang kita tempuh walau dengan arah yang tak lagi sama.

Friday 9 March 2018

Karena Perempuan itu Rumit



Beda Nasihat kepada hafidz dan hafidzah

(Sumber : chat temen di grup WhatsApp)

Menarik saat DR. Ishom abdul aziz abdul qadir dari mesir membuka kalam di pertemuan malam itu di ma'had putri Yayasan Ibnu Katsir Jember. Kurang lebih “saya ingin tahu, kenapa kalian berada di sini, memilih ada di sini dan belajar di sini.”
Pertanyaan klasik, batin saya. Tapi saya juga benar-benar ingin tahu, apakah jawabannya juga se-klasik itu. Tepat para santriwati menjawab dengan semantap jawaban bahwa mereka ingin menjadi hafidzah, membahagiakan kedua orang tua. Simpel tapi mengena. Dan itu tidak salah. Tapi syaikh Ishom geleng-geleng, tersenyum, rupanya berharap ada jawaban lain… nah!

Saya suka gaya beliau yang ini, yang membuat saya mengejar-ngejar beliau ke ma'had putri yaa ini heheh..

Tabiatnya yang selalu detil dan berhasil menghidangkan makna terdalam dan fakta yang luput dari pikiran kebanyakan orang atas kalimat-kalimat yang beliau sampaikan dalam muhadharahnya.

“Baik saya akan beritahu kalian” lanjut beliau.
“Saya tidak akan memberikan ceramah ini kepada santri di mahad putra, mereka tidak butuh ini, singkat saja kalau dengan mereka itu khusus saya berikan ini untuk anda para wanita karena anda khas, spesial, tidak sama dengan santri putra” (semua tertawa tersanjung) sambil “cieeeeeee”...
Rahasia dari jawaban pertanyaan itu adalah, bahwa santriwati adalah perempuan, dan kelak akan menjadi istri… lalu menjadi ibu.

“ooohhhhhh” sahut seisi ruangan.

“Saya katakan kepada kalian, jika lelaki shalih mendapat istri tidak sholihah maka rusaklah anaknya, tapi jika istri shalihah, kalau pun bapaknya tidak shalih maka baiklah anaknya” beliau kisahkan perempuan-perempuan shalihah dalam Al-qur'an. Diantaranya, Asiyah, ibunda Nabi Musa, ibunda nabi Muhammad bahkan ibunda Anas bin Malik atau yang lebih kita kenal dengan nama besarnya sebagai imam madzhab yaitu Imam Malik.

Alkisah, bapak Imam Malik ini sangat mengidamkan memperistri perempuan yang cantik rupawan, maka ketika pernikahan terjadi, dan hijab sang istri dibuka ternyata dijumpainya wajah sang istri hitam dan (maaf) tidak cantik. Sang suamipun marah dan kecewa, namun ibu Imam Malik ternyata perempuan yang cerdas dan beriman sempurna, terlihat dari saat menjawab kekecewaan suami yang baru dinikahinya “sesungguhnya hitamnya wajah ini, tidaklah mencerminkan apa yang ada pada diriku, jika dapat kau lihat dalamnya hati dan isi kepalaku, dalamnya imanku sungguh akan kau ketahui secerah mentari bersinar …." di malam itu tugas sang suami pun tertunai untuk pertama dan terakhir kalinya.

Perempuan mulia hati itupun hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Anas bin Malik, Malik di sini dinisbahkan pada kakeknya dan bukan bapaknya. Ketika mendekap bayinya, sang ibu berkata “aku tidak ingin menjadikanmu artis terkenal tetapi aku akan mendidikmu dengan pendidikan Nabi.”  Dan kemudian jaman dibuat takjub dengan kebesaran nama Imam Malik dengan madzhab maliki-nya. (Wallahu a'lam). Syaikh Ishom melanjutkan

“Anda tahu? Perempuan itu ﺍﻟﻠﻪ ciptakan lebih kuat dari pada lelaki, dia temani anaknya sehari semalam sambil mengerjakan pekerjaan lain dia bisa, kalaupun marah hanya sekejap dia masuk kamar, lalu keluarlagi membersamai anak-anaknya, beda dengan bapak, (sambil menjawil penerjemah ganteng disampingnya) mengajari sedikitt jika anak tak kunjung bisa maka hilanglah kesabaran. Perempuan itu telaten dan sabar.” Sang penerjemahpun angguk-angguk, rupanya setuju, hehe.

Itulah kenapa Islam begitu meninggikan derajat perempuan…“Letak kekuatan ummat di masa depan ada pada darah yang mengalir dalam diri kalian, jika darah yang mengalir dipenuhi dengan bacaan-bacaan Al-quran maka akan menghasilkan anak-anak yang berisi Al-quran sejak lahir. Kelak mereka jika terus dididik dan dipenuhi dengan Al-quran maka akan menjadi generasi unggulan. Kuatnya bangsa dan agama ada di tangan perempuannya.” Lalu kalian tahu, tak berdaya para lelaki di dunia ini tanpa perempuan.” semua tergelak dan kompak bilang “cieeee” Syaikh pun tertawa, “haqiqan, ini benar. Kalian lihat saya, tak akan ada di dunia ini jika tidak dilahirkan oleh ibu saya, maka tugas kalian di ma'had ini benar-benar sungguh berat. Tidak hanya Al-quran yang harus kalian hafalkan dan pelajari. Tetapi ilmu fiqih, hadits, warits, aqidah dan sebagainya, harus kalian kuasai, itulah bekal menjadi ibu.” (menengok kedalam diri saya sendiri, saya malu, tidak banyak ternyata ilmu yang saya miliki untuk jadi seorang ibu) 

Beliau umpamakan lagi “Perempuan itu bagaikan bumi, bagaikan tanah, jika tanah itu bagus kualitasnya, bersih, subur tidak tercemar maka hasil bumi darinya juga akan menjadi hasil unggulan, jika kotor, tidak subur dan tercemar maka…. rusaklah hasil buminya.” Itulah yang harus kalian miliki wahai pelajar…" Maka pesan beliau selanjutnya adalah: milikilah motivasi ini, motivasi melihat ﺍﻟﻠﻪ di akhirat kelak. Agar kelak setelah menikah kalian tidak akan tenggelam dalam tumpukan baju kotor yang harus dicuci atau rumah yang selalu harus disapu atau tingkah anak-anak yang menyibukkan kalian. jika motivasi melihat ﺍﻟﻠﻪ kalian punyai maka hafalan kalian akan terjaga dan kalian akan tetap menjadi Ahlul Quran.”

Kira-kira 30 menit lebih beliau menyampaikannya, padahal beliau dari awal sudah berjanji akan menyampaikannya dengan lebih ringkas dan lebih cepat. Karena sudah padat agenda dan masuk waktu istirahat. Faktanya, walaupun waktu molor, kami semua menikmati bahkan merasa kurang atas mauidhoh yang beliau sampaikan, dan saya yakin itu semua karena memahami perempuan itu memang rumit, serumit menjadi seorang perempuan #eaaa .... Tapi jangan sedih dan merasa berat menjadi perempua, kalaupun rumit haditsnya tidak berubah: “surga itu di bawah telapak kaki ibu.” 

----
Pagi ini saat scroll laman tumblr saya menemukan nasihat ini. Refleks betul-betul membuat saya terenyuh, merasa tertampar dengan kata-kata. Sebuah tulisan memang terkadang lebih menyentuh dibanding mendengarnya langsung (menurut kebiasaan saya) And then, saya merenungi diri yang sepertinya semakin hari malah kian merangkak memperjuangkan muraja'aah hafalan. Seperti ada badai yang berhasil menghempaskan saya ke sebuah pulau asing tuk mengadili diri sendiri. Nurani mengetuk kesadaran, pelan-pelan membangunkan ingatan tentang mimpi yang pernah begitu semangat diperjuangkan. Beberapa tahun lalu ... Masa-masa yang paling sering mengundang rindu.

Saya iri dengan mereka: teman-teman yang berhasil mengkhatamkan 30 juz sedang kami sama-sama lulus di satu jenjang pendidikan MTS (setingkat SMP). Bedanya, mereka tak merasakan suasana belajar di kelas sebab setiap hari hanya berkutat mengejar target hafalan quran. Lalu kami? Tentu saja berada di sekolah; belajar enam hari seminggu. Sesekali kami bertemu, entah itu saat berada di mesjid salat jama'ah, di dapur saat makan bersama atau pun rutinitas lain yang mengharuskan kami bergabung bersama (mereka:santri tahfidz dan kami santri reguler yang target hafalannya hanya 1 juz tiap tahunnya). 

Kelas 1 Aliyah (SMA; red), saya memutuskan meninggalkan sekolah, memilih mengejar 30 juz dengan begitu semangat. Alasannya saya sangat termotivasi melihat mereka yang berhasil merampungkan 30 Juz dan disebut-sebut "khafidzah"... Kala itu mimpi besar saya hanya jadi khafidzah, sama seperti beberapa kakak perempuan yang sangat mendukung langkah saya, ditambah dengan mama yang memang sangat senang dan begitu menyemangati saat saya mengutarakan keinginan tuk menjadi santri tahfidz dengan risiko meninggalkan sekolah.

Setelah itu, saya merasa hidup saya betul-betul berubah banyak. Penuh dengan kejutan dan pengalaman berharga—sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi itu. Dan hari ini, di tengah kegalauan saya memikirkan judul proposal skripsi tetiba saya sadar: Yang lebih penting tuk saya lakukan adalah menjaga apa yang pernah saya dapatkan. Karena hidup hari ini adalah penentu hidup kelak. Hidup yang tak fana; akhirat. Tempat mempertanggung jawabkan segala hal yang pernah kita lakukan di dunia. Seharusnya saya lebih menggalaukan hafalan yang hilang :"

--Makassar, pagi ini. Hari Jumat yang semoga penuh berkah 

Thursday 8 March 2018

Me Time



Fase saat moodswing banget. Tidak ingin bertemu siapa-siapa, pun tidak menanggapi tumpukan chat di whatsapp. Do nothing. Hanya berdiam di kamar. Tenggelam dengan diri sendiri. Merenung, berpikir, merasakan, dan meresapi detik-detik berlalu pergi.

Aku menyebutnya: Metime yang lumayan kritis. Sudah seperti ritual bulanan untuk melawan diri sendiri. Satu bagian yang dikuasi kekuatan negatif.  Tentang setumpuk ragu menyoal pilihan yang melahirkan dilema panjang-membuat pikiran betah skali merumitkan banyak hal-yang semestinya disederhanakan. Tentang ego, keras kepala dan pikiran-pikiran pendek yang terlalu mudah menghakimi sesuatu.

~
Tenang... santai, rileks. Jangan panik. Tetap nyaman, nikmati setiap suka, dukanya apalagi.
Jangan lupa menyediakan kembali stok sabar yang banyak. Sebab kita adalah ujian bagi orang lain-dan sebaliknya (?) #CMIIW

Ya, metime slalu dibutuhkan tuk mengambil jeda, sejenak menepi dari hiruk pikuk keramaian agar kaki tetap melangkah di mana semestinya ia berpijak. Di tengah badai sekalipun. Berusaha tetap baik-baik saja dalam versi paling baiknya.

--Makassar, sebelum memulai hari ini

Tuesday 6 March 2018

Sendiri



EDCOUSTIC – SENDIRI MENYEPI

Sendiri Menyepi
Tenggelam dalam renungan...

Kadang, dalam hidup kita hanya butuh sendiri. Berbicara dengan nurani, menyelami diri dan seluruh pikiran. Segala kekalutan adalah rute, perjalanan panjang yang menenggelamkan. Jauh ke dalam ruang yang hanya berisi kesadaran. Untuk memaknai, untuk menemukan; ketenangan yang mulai hilang. 

Ada apa aku seakan kujauh dari ketenangan
perlahan kucari, mengapa diriku hampa…
mungkin ada salah, mungkin ku tersesat,
mungkin dan mungkin lagi…

Mengapa dan mengapa mulai mengetuk bilik-bilik hati dengan berbagai jawaban. Mungkin memang karena khilaf yang tak bertepi, tumpukan dosa dan ketersesatan yang tak kusadari kian jauh membawaku pergi. Hilang arah. Lepas dari tujuan hidupku. 

Oh Tuhan aku merasa
sendiri menyepi...
ingin ku menangis, menyesali diri, mengapa terjadi
sampai kapan ku begini
resah tak bertepi
kembalikan aku pada cahaya-Mu yang sempat menyala
benderang di hidupku...

Karena sendiri aku merasa: sangat membutuhkanmu. Sebab tanpa-Mu, hidupku hilang makna. Resah adalah jarak terjauh dengan-Mu. 
Maka biarkan: Aku yang tersesat, kembali datang. Meminta kembali cahaya-Mu. Sungguh, aku hanya ingin pulang. Kepada-Mu, Rabb yang membolak-balikkan hati manusia.
--

Suatu pagi dalam renungan. Di antara lirik-lirik lagu, kutemukan makna; sendiri itu keheningan yang nikmat.

Sunday 4 March 2018

Masalah dan Kedewasaan




Mendefinisikan kedewasaan rasanya cukup panjang untuk ditulisakan (lagi mode malas nulis panjang). Intinya, dewasa versi singkat yang saya pengang: “dewasa memang bukan soal usia tapi dewasa adalah tentang sikap dan pemikiran seseorang. 

Bagaimana sesorang mampu menyikapi setiap kondisi/masalah dalam hidupnya dengan sebijak mungkin. Ia yang mampu menempatkan diri sebagai solusi, bukan malah menjadi bagian dari masalah. Ia yang slalu bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang luas. Ia yang mampu menerima dan menjadikan setiap peristiwa atau pun seseorang sebagai media untuk terus belajar, bertumbuh menjadi seseorang yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Jadi dewasa adalah proses seumur hidup.” (nah loh, ini malah agak panjang).

Sejujurnya, saya pun selalu bertanya-tanya kepada diri sendiri “apakah saya sudah dewasa?” Dan jawabannya sudah pasti: tidak. Ya, saya tidak pernah bisa mengakui diri saya seseorang yang sudah dewasa meskipun beberapa orang menganggap saya dewasa hanya karena saya selalu menanggapi curhatan atau cerita-cerita mereka dengan berpanjang lebar menjelaskan ini itu dengan segala kesoktahuan saya, memberi kalimat-kalimat pelega ataupun nasihat, bahkan sesekali mengutip quote bijak yang sepertinya memang sudah spontanitas setiap kali posisi saya menjadi seorang pendengar. 

Padahal sebenarnya dalam kesokbijakan itu, diam-diam saya mengakui, bahwa seluruh yang saya katakan tidak lain adalah pengingat untuk diri sendiri yang sesungguhnya saya pun masih sulit mengamalkannya. Berteori memang selalu lebih mudah dibanding parktik langsung, right? 

Back to topic... Masalah adalah jalan untuk mendewasa sebab di sanalah keyakinan serta kesabaran kita benar-benar diuji. Keyakinan tentang prinsip hidup yang mulai goyah. Saat dada mulai sesak, hingga ke level merasa bahwa tidak ada lagi kebaikan dari takdir yang sedang kita jalani. Saat kita kehilangan pegangan dan nyaris terjatuh di titik terendah. Ya, kadangkala masalah betul-betul membuat kita menjadi hamba yang buta. Buta melihat: bahwa ternyata masih banyak hal lain yang patut kita syukuri dibanding merutuki nasib, merasa tak menemukan solusi apa pun.

Ayolah, coba tenangkan dirimu, ajak nurani berdialog dan ingat satu hal: Allah selalu menunggu hamba-Nya untuk kembali mendekatkan diri. Masalah hadir salah satunya agar manusia kembali kepada yang maha membolakbalikkan hati. Maka Kembalilah, dan temukan kembali titik terangmu. 

Semoga bisa mendewasa dengan seluruh masalah yang sedang menguji ketangguhan hati. Tetap bahagia, jangan lupa bersyukur.

--Pukul 23:30. Menikmati episode hening

Stagnan



Setiap orang tentu akan berjumpa dengan fase stagnannya masing-masing. Sebuah titik di mana setiap langkah yang kita ambil mulai kita pertanyakan kembali. Ada ragu, yakin, dan mungkin juga sesal.

Saat di mana hidup adalah serangkaian tanya yang tak menemukan jawaban. Serupa susunan puzzle yang terhambur atau teka teki silang yang harus dipecahkan. Lebih mengerikan lagi seumpama bom waktu yang akan meledak sewaktu-waktu. Mencekam lagi meresahkan.
Rasanya kita sedang terjebak di kondisi yang entah harus bagaimana. Sulit, bahkan walau hanya sekedar menemukan padanan kata paling tepat tuk membahasakan kerumitannya.

Ada perasaan gamang yang tengah merenggut kenyamanan, membuat detik-detik seolah ombak yang menarikmu ke tengah samudera luas. Terombang ambing tanpa arah.

~
Mungkin seperti itu yang dinamakam kehilangan diri sendiri.

--Makassar, di tengah riuh-kisruh isi kepala

Friday 2 March 2018

Kepada Diri Sendiri (2)



Biar kuletakkan segala kenangan tentangmu. Di sana, di tempat terjauh yang tak mungkin lagi kuraih. Lalu biarkan waktu yang mengurus sisanya. Aku biarlah seperti ini, menunggu perih segera menyingkir sembari terus menyunggingkan senyum baik-baik saja. 


Hari ini kau memang disakiti, tapi percayalah bahwa tak ada luka yang benar-benar tidak akan pulih. Sesakit apa pun tentu akan sembuh juga. Maka bersabarlah, sebab ada saatnya kau akan menertawakan rasa yang hari ini setengah mati kau tangisi.

Seseorang bisa melukai hatimu, tapi kau tetap berkuasa tuk membuatnya tetap tangguh, belajar melewatinya hingga pulih segalanya. Kau tak lagi sepilu hari ini. Seseorang itu akan kembali sama dengan orang lain. Tak ada lagi yang spesial; seistimewa apa pun dulu ia. 

Sesederhana itu siklusnya.

Akan ada yang lebih baik selepas perasaanmu dihancurkan dan tidak dihargai. Ayo, tersenyumlah. Kau masih memiliki banyak kesempatan untuk bahagia yang lain.

--Makassar Pukul 3:35 malam

Thursday 1 March 2018

Kepada Diri Sendiri



Berhentilah bercerita di atas kertas ataupun halaman katamu. Sudahi meratap seakan engkau perempuan paling terluka.

Hapus air matamu, kumpulkan kembali ketegaranmu. Buang jauh-jauh kesedihanmu. Letakkan semua beban yang kini memberatkan langkah.

Kembalikan arahmu. Tatap masa depan dengan yakin. Jemput dengan senyuman. Terbitkan kembali harapan-harapan baru.

Tulis kembali mimpimu. Dan Lanjutkan setiap perjuanganmu.

Akhir yang manis akan tiba jika kau mengusahakannya dengan sungguh-sungguh. Hidup terlalu berharga untuk rapuh terlalu lama. Setiap duka akan sudah.

Percayalah, sederas apa pun hujan, toh akan mereda juga pada akhirnya.

Karena kau harus yakin, semesta selalu maha adil, meski kau terlalu bebal memahami keadilannya.

Tetap berpikir yang baik, meski hatimu memang sedang tidak baik-baik saja.