Wednesday 8 November 2017

Sebuah Pertanyaan



"Apa seseorang bisa hidup tanpa satu pun harapan yang hidup dalam dadanya?"

Sejujurnya itu adalah sesuatu yang sedang kutanyakan kepada diriku sendiri. Dan baru-baru ini, aku menemukan pertanyaan serupa dari seseorang yang tidak kukenal di tumblr. Kupikir, mungkin ia sedang mencoba melepas sedikit saja sesak di hatinya dengan melayangkan pertanyaan teoritis seperti itu.

Aku hanya tersenyum sembari menjawab, bisa
...

Setiap orang memiliki kegelisahannya masing-masing.

Keresahan yang entah harus ia bagi kepada siapa-hingga ia memilih untuk mencari jalan asing yang mungkin akan membuatnya tersesat dalam ke-legaan atau kegamangan yang sulit diutarakan.

Ia sedang melakukannya.

Aku sangat memahami pertanyaannya sebab aku sedang berada di posisinya. Menemukan seseorang dengan keadaan yang hampir sama adalah sesuatu yang istimewa.

Seperti yang saat ini sedang berlangsung. Aku mulai mengenal ia dengan seluruh luka yang berusaha ia tutupi dengan beribu huruf ataupun kalimat pelega di halaman katanya.

Aku merasa tidak sendirian.

Ia rapuh, namun tak ingin mengakhiri hidupnya dengan konyol. Sebab, segula apa pun ia, kutahu warasnya masih berdiri di barisan terdepan bersama lubang-lubang penderitaan yang digenangi air matanya sendiri. Ia sedang kesepian mungkin, berharap dari sekian juta jiwa ada satu yang bersedia memahaminya meski ia tak mengenalnya di dunia nyata.

Dan ia berhasil menemukanku. Di tengah lautan kata-kata, ia membaca seluruh luka, rasa sakit ataupun setumpuk kecewa yang tak tahu jalan pulang.

Tetiba aku merasa baik-baik saja dengan takdir ataupun kenyataanku kini.

Hei, bukankah Tuhan selalu baik? Kurasa ia sedang memberiku jalan dengan cara paling ambigu seperti ini.

Aku cukup paham bahwa salah satu tanda seseorang yang nyaris menyerah menghadapi kerapuhannya adalah dengan bertanya sesuatu yang sebenarnya sudah ia tahu jawabannya.

|| 08/11/2017

Monday 6 November 2017

Maafkan

Maafkan, jika kata-kataku pernah melukaimu.
Maafkan, jika sikapku membuatmu tak nyaman.
Maafkan, jika aku menjadi penulis kecewamu.
Maafkan, jika hadirku adalah ke-enggananmu.
Maafkan, jika tawaku adalah kesedihanmu.
Maafkan, jika sapaku pernah mengusikmu.
Maafkan, jika aku bagian dari ketidakbahagiaanmu.

Untuk seluruh kesalahan yang tidak kusengaja atau pun kusengaja, aku meminta maaf. Sungguh, aku tak pernah ingin melukai siapa pun. Menjadi pihak yang disakiti selalu lebih baik untukku. Setidaknya, aku nyaman menikmati luka-dibanding seseorang yang kulukai-lalu tak mampu menyembuhkan dirinya.

Aku hanya takut, sebab hati manusia siapa yang tahu? Aku tak tahu siapa yang tulus dan siapa yang hanya pura-pura. Setiap orang menyimpan kesedihan, juga kekecewaan dengan caranya masing-masing. Dan yang paling menyedihkan adalah ia yang diam, dalam-dalam meresapi perihnya tanpa seseorang pun yang tahu.

Kurasa bukan hanya aku saja yang memilih terlihat baik-baik saja saat keadaan terasa ingin membunuhku.
Membuat hujan pribadi sudah menjadi rutinitas di episode sunyiku-sendiri yang kadang menyesakkan dada.


Bukankah senyuman selalu dianggap sebagai tolak ukur kebahagiaan?


Maka tersenyumlah. Untuk dunia yang penuh sandiwara.

|| Makassar, 06/11/2017