Thursday 11 August 2022

Day #11 Beranjak Dewasa

Aku dan ingatanku tentang menantangnya fase beranjak dewasa 

Masih tentang kedewasaan, yang kali ini cukup menantang karena mau tidak mau aku harus me-rewind ingatanku, beberapa tahun ke belakang. Bahwa di sana ada banyak kenangan yang tidak selalu menyenangkan; kegagalan, kehilangan, frustrasi, dan berbagai kisah di balik “beranjak dewasa”. Kadang tidak mudah mengingat kembali saat kita merasa bahwa sebenarnya kita masih berada di fase itu. Kita masih sedang berjalan di medan juang yang dua tiga tahun lalu kita mulai.

Masih basah dalam ingatan, saat-saat sulit ketika aku mulai menyadari sedang berada dalam fase kedewasaan. Rasanya ada banyak sekali emosi dan air mata yang mengisi hari-hariku. Lalu, mari memutar mundur jarum sejarahku sendiri: ada masa ketika perjalananku terasa tidak pantas lagi diteruskan, aku bukan hanya kelelahan, tapi juga kehilangan alasan-alasan kenapa harus berjuang sekeras itu? Aku merasa keputusan hidupku bukan di tanganku, aku menghabiskan umur tidak dengan pilihanku, takdirku seakan berada dalam palu hakim orang lain. 

Lalu ketika aku ingin berhenti, ternyata masalah tidak sesederhana itu sebab aku tak punya cukup keberanian. Aku terlalu pengecut dan takut akan sebuah risiko. Aku terpuruk dan menganggap hidupku seperti benang kusut yang takkan   terurai, dan aku ingin mengakhirinya sebelum semua semakin memburuk.

Aku menengok lebih jauh ke belakang, kulihat banyak kegagalan, kesempatan yang pada akhirnya hanya menjadi kenangan menyedihkan. Hidup terlihat tak memperlakukanku sebaik orang lain; ia hanya menyodorkan peluang menjanjikan di awal sebelum menjadi alat penghancur paling sadis akhirnya. Aku berpikir bahwa semua yang kulakukan tidak ada artinya, keberuntungan seakan tak sudi mendekat. Aku tiba-tiba menjadi begitu insecure, gemar membandingkan hidupku dengan orang lain, mereka yang tampak bersinar dan dilimpahi kemudahan. Semua membuatku merasa pantas tuk mensumpahserapahi kehidupan.

Lewat kacamata buramku, kulihat bahwa mengalami kegagalan berarti pengalaman terburuk dari takdir terburuk. Masa depan tiba-tiba menjadi arena pertarungan yang tak ingin kuhadapi. Aku memilih mati berdiri saat ini juga, menyerah sebelum berjuang. 

Aku pernah se-chaos itu ternyata. 

Perasaan kalah, stagnan, patah, dilema, semua kulalui juga karena memang tak ada cara terbaik untuk menolak. Tentu, dengan banyak tangis, tulisan-tulisan sampah emosi dan doa yang kadang kuragukan kemampuannya. Aku diuji habis-habisan, di semua sisi. Seperti dibombardir dengan segala masalah. Fase dewasa yang menuntutku lebih bijaksana menyikapi kehidupan yang memang tak selalu mudah. Tantangan-tantangan itu beragam; ada pertemanan toxic yang harus kulepas, ada sahabat yang terpaksa kubiarkan pergi, ada patah hati yang harus kuikhlaskan, ada luka-luka batin karena masalah internal yang mesti kusembuhkan, pun tidak ketinggalan tuntutan society yang kadang begitu menekan ditambah covid yang waktu itu memukul habis diriku. 

Semuanya adalah pengalaman yang membuat jatuh bangun, momen-momen pahit yang pada akhirnya mendatangkan pencerahan. Bahwa ada hikmah yang teramat mahal harganya. Kadang, kita tidak akan bisa memaknai semuanya sebelum berefleksi habis-habisan, menderita sendiri dalam kontemplasi dan kesadaran yang—mematikan sekaligus mengembalikan hidup.

Fase beranjak dewasa memang berjuta rasanya.

—Makassar, pagi sendu selepas malam yang hujan | 6:50 am