Saturday 10 August 2019

7:36 pm

Suatu waktu dalam hidupmu.

Kau tidak merasa apa-apa, atau lebih tepatnya “mati rasa”, mungkin. Riuh sunyi seperti kehilangan definisi, pun harapanmu tentang keberadaan seseorang atau ketakutanmu ditinggalkan, dijauhi, tidak lagi dianggap, atau apa pun bahasanya, kau tak peduli. Bagimu, segala sesuatunya sudah menjadi bagian-bagian yang terlempar jauh dari wilayah kekhawatiranmu. Kau tak memedulikan waktu, bahkan ketika angka-angka di almanak tahun ini semakin mendekatkanmu pada kematian. 

Orang-orang tidak lagi memiliki tempat di pikiran dan perasaanmu. Hanya ada kamu, ruang kosong dan isi kepala yang sepi. Entah di mana kata-kata yang kemarin sedemikian berisik menuntutmu mencatat banyak hal; penyesalan, luka, dan segala yang merampas bahagiamu. Kau muak dengan manusia dan ketidakmampuanmu menjadi manusia. Kau memang kurang—selalu, kurang manusia. Kau sadar, kau sudah berlaku semau-maumu, melukai orang lain, menyakiti dengan seluruh pengabaianmu, dengan diammu, dengan jawaban-jawaban yang tidak cocok dengan yang mereka inginkan.

Kau memilih menjauh. Menarik diri dari banyak kedekatan semampumu. Kau ingin hilang dari peredaran, lenyap sebagai apa saja; angin, debu atau bahkan tetes hujan yang meresap ke tanah, hal-hal yang keberadaannya hanya berlalu begitu saja, seperti siklus yang tidak menarik, tidak usah diperhatikan kepergian atau pun ketiadaannya. Kau ingin musnah, tanpa makna, tanpa hal cengeng bernama kenangan, tanpa ingatan di kepala siapa pun, tanpa apa-apa.

Hari ini, kau ingin memaki Tuhan beserta segala yang diciptakannya. Takdir, kelahiran yang tidak pernah kauminta juga kematian yang tidak bisa kaupesan semaumu. Sayangnya, kau terlanjur mengenal istilah surga dan neraka yang membuatmu ketakutan setengah mati. Kau tentu tidak tahu di mana kelak kau berada. Yang pasti hanya ada dua, tidak ada pilihan seperti dalam soal pilihan ganda. Itu sudah cukup membuatmu gemetar, seketika kehilangan keberanian tiap kali besi tajam yang dingin menyentuh kulitmu. Dan pisau kecil itu sepertinya akan selamanya berada di dalam laci mejamu. Menjadi rahasia tanpa benar-benar bisa mengalirkam setetes pun darahmu sebagaimana imajinasi liarmu selama ini.

—Makassar, malam lebaran tanpa siapa pun