Sunday 12 April 2020

Setelah Membaca Buku Ini


Judul apa yang cocok untuk buku ini?
“pukul delapan pagi. teriakan penjual kematian tiba. lebih siang dari hari-hari sebelumnya. kupesan dua bungkus untuk kau & aku di esok hari. sedangkan kita-kematian yang tidak datang-datang.” (selamat pagi puisi)
“Kemana kata-kata sedang melipur diri? aku menebaknya: ia sedang mencari kolam, tempat ia menenggelamkan kekalutan yang tidak tahu berenang. atau mungkin sedang-ke toko buku, mencari saudaranya.” (4 pertanyaan ini akan membuatmu berlibur)
Dua kutipan puisi pembuka yang cukup mewakili banyak puisi yang saya sukai. Puisi-puisinya penuh warna, menghadirkan beragam perasaan sepanjang membacanya. Kadang, spontan saya dibuat tertawa, ingin memaki dan seringkali malah merasa jika satu puisi sedang menyentil kesadaran saya.
Dalam ketidakpahaman dan kebingungan yang saya rasakan sejak pertamakali memilih pintu masuk, saya bisa menemukan ruang bebas untuk menikmati tiap puisi-dengan interpretasi sendiri, alias suka-suka saya. Karena puisi selalu menawarkan banyak kemungkinan, keambiguitas dan keganjilannya ternyata juga bisa membuat saya hanya mampu mengernyit tanda tak paham dan tak tahu cara agar segera paham. Tapi puisi tetap bisa dinikmati bagi siapa pun yang bersedia memasuki dunianya, menelusuri setiap kata yang kadang terasa rumit, namun ternyata menyenangkan. Pun demikian dengan saya, setiap puisi setidaknya bisa saya nikmati dengan pintu saya sendiri.
Meski sejujurnya saya lebih sering bingung atau merasa tersesat di satu puisi, toh tetap saja saya ingin berputar lama-lama, menikmati dengan pelan; apa saja yang bisa saya rasakan di setiap puisi yang menawarkan maknanya masing-masing.
Saya menyukai metafora yang dipakai dalam puisi-puisinya, seperti banyak kalimat awal yang kemudian malah disangkal kalimat berikutnya (kontardiktif) dan yah! Selamat, sejumlah puisi di sini berhasil membuat saya jatuh cinta dengan cara-cara sesederhana itu.
Puisi-puisi di buku ini terasa begitu lepas, bebas dan penuh misteri. Tidak ada alamat kepada siapa ditujukan, yang pasti pembaca berhak untuk mengumpat, merasa tersindir atau mungkin termangu dalam ketidakmengertian. Demikian, banyak hal ditawarkan dalam semesta puisi dan kita sebagai pembaca bebas memilih pintu masuk yang ingin dilalui dalam sebuah rumah (puisi). Sekali lagi, karena puisi menawarkan kenikmatan untuk pemaknaan bebas. Tak ada yang pasti benar, kita hanya menerka-nerka atau menarik kesimpulan dari kacamata kita sebagai pembaca (yang ini mungkin bagian yang dimaksud “kita bisa memilih sendiri pintu masuk dan keluar”…)
Saya merasa puisi dalam sini cukup related dengan hal-hal di sekitar kita. Seperti dalam puisi “tentang kota” atau “hai orang-orang” yang berseru-seru lantang tentang hal yang cukup krusial. Di lain puisi pun ada tentang cinta yang tak ada habisnya dibahas dan masih banyak lagi tentang hal lain yang cukup absurd atau tabu mungkin (jika saya tidak keliru menangkap).
Meski sama-sama dibangun dari kata-kata membaca buku puisi tentu berbeda dengan membaca novel/cerpen atau bacaan lain. Bagi saya, puisi dengan segala kerumitan dan ketidakterusterangannya selalu membutuhkan waktu lama untuk bisa menamatkannya-meski pun bukunya tipis. Yap… saya membaca buku ini sampai seminggu.
Banyak tanda baca yang sedikit mengurangi kenyamanan. Seperti spasi yang dibuat berlebihan di antara baitnya belum bisa saya pahami, (untuk apa? Menarik napas lebih panjang, mungkin) sama halnya seperti huruf yang sering diketik dalam tulisan miring. Kemudian saya pun paham setelah menanyakannya langsung.
Sebelumnya saya hanya membaca puisi Alvian di medium dan memang saya rasa bagus, jadi tidak ragu saya memesan dua. Kemudian saya tidak menyesal untuk buku yang covernya menawan dan membuat saya jatuh cinta sejak pandangan pertama ini, hehe.. Saya merasa keputusan yang tepat sudah berhasil mengoleksinya.
**(tulisan ini disalin dari tumblr)