Sunday 17 April 2022

Dinding

Barusan membaca kalimat ini: "kamu dan masa depanmu, ditentukan dengan lima orang terdekat dalam hidupmu."

Kemudian dalam hati saya bertanya "Siapa lima orang itu? Jujur saja, saya tidak bisa menyebut satu pun nama. Apa saya memang tidak cukup dekat dengan siapa-siapa? Pertanyaan yang cukup menggelitik, membuat saya berpikir sekaligus mencari banyak alasan.

Mungkin saya terlalu gigih membuat jarak dengan orang-orang di sekitar saya. Mungkin saya sudah terlalu kecewa dengan beberapa orang yang pernah dekat. Mungkin, tanpa sadar saya teramat takut tuk dilukai. Mungkin saya hanya mencoba menghindari sakitnya kedekatan yang harus selesai. Mungkin saya sedang menjaga diri dari keterikatan dengan seseorang. Mungkin saya semakin sulit percaya kepada orang-orang. Mungkin bibir saya terlalu kelu tuk berbagi cerita, terlalu sungkan membebankan orang lain sebagai pendengar. Mungkin saya tak sudi lagi berharap kepada manusia, atau saya memang tidak pandai menjadi makhluk sosial yang baik ... entah. Ada banyak sekali kemungkinan. Saya tidak tau mana yang pasti.


Menelisik kedalaman hati, kadang kau hanya bertemu titik-titik panjang ketidaktahuan. Semacam sederet soal yang tak tahu harus diisi jawaban apa. Kau hidup di dunia yang terlalu banyak pertanyaan, tanpa satu pun jawaban yang menenangkan.

-Hari kelima belas-

Saturday 16 April 2022

Agar Tidak Menjadi Munusia Penuh Penyesalan

Tulisan kali ini semacam summary dari salah satu ceramah Ustaz Hanan Attaki.

Karena manusia memang sangat rentan menyesalkan sesuatu, maka coba lakukan dua poin berikut agar kita tidak termasuk orang yang kelak penuh penyesalan, menangisi kehidupannya dan berandai-andai sebab menyesalkan begitu banyak kebaikan yang sudah dilewatkan.

1. Muhasabah

Muhasabah alias evaluasi diri, menghitung-hitung kesalahan kita lalu kemudian:

2. Mu'aqabah

Yaitu mengganti kesalahan-kesalahan tersebut dengan banyak kebaikan atau amalan-amalan lain. Ini semacam penebusan, semisal setelah muhasabah kita tersadar; Oh, kemarin saya lalai, menyia-nyiakan waktu hingga tilawah saya tidak seberapa, hari ini harusnya saya membaca lebih banyak, dua kali lipat bila perlu. Sesederhana itu tapi pekerjaannya tidak bisa dibilang ringan juga sebenarnya.

Mumpung Ramadan dan kita semua mengejar predikat takwa, coba kita perhatikan kembali amalan kita, evaluasi lagi, sebab (entah kata sahabat atau ulama yang mana) : hisablah diri kita sebelum dihisab oleh-Nya—lalu tebus kesalahan lalu dengan kebaikan yang banyak, amalan yang kelak memberatkan timbangan kita.

Semoga di akhirat nanti kita termasuk orang yang dipanggil dengan nafsul muthmainnah, jiwa yang tenang sebab jika tidak maka celakalah; sudah pasti kita tidak lain adalah orang yang penuh penyesalan dan andai-andai.

-Hari keempat belas-

Friday 15 April 2022

Tiga Hari, Tiga Simpulan

Ada banyak sekali kejutan tahun ini. Dari Januari, hingga April; Ramadan yang tidak pernah kusangka akan seperti ini. Ada perkenalan, pengalaman, hingga kenangan yang hanya sekali seumur hidup. Seluruhnya betul-betul lautan ilmu yang memperkaya pemahaman hidup. 

Bahwa kita terus bertumbuh jika tak pernah berhenti belajar. Kita semakin dewasa oleh penerimaan kita akan perbedaan; sebab setiap manusia unik dan berbeda adalah hal wajar yang tidak perlu sampai membuat perpecahan. Kita akan menjadi sosok bijaksana dengan ilmu-ilmu yang berhasil kita amalkan, yang tercermin dari laku dan tutur kita yang santun.

-Hari ketiga belas-

Thursday 14 April 2022

April

di tengah jalan yang ganjil, kau mencari. pembenaran dari segala duga. jawaban untuk segala tanya. 

sekali ini saja.

kau ingin jujur; 
ada yang tidak beres dari malam tanpa lelap dan siang yang kehilangan senyum.

tapi waktu tidak pernah berada di pihakmu. kesempatanmu habis. berakhir dengan seluruh yang tak mampu kau pahami.
 
semua memang sementara. 
sebab kadang,
setiap yang berkesan harus sudah.
selesai.

-Hari kedua belas-

Wednesday 13 April 2022

Berhenti atau Lanjut?

Saat kau merasa kesanggupanmu sudah habis, merasa kalah, tak lagi mampu melalui semuanya, coba tanya baik-baik hatimu: 

"Bukankah kau sudah pernah melewati sesuatu yang lebih berat dari ini? Bukankah sudah berkali-kali kau bertahan dan terus bertahan sebelumnya?

Sekarang, coba ingat kembali semua masa paling pedih di balik tahun yang sudah. 

Tentu ada banyak saat-saat sulit ketika kau berpikir tak mungkin lagi melaluinya. Namun ternyata kau tidak semudah itu dikalahkan keadaan. Kau kuat lebih dari yang bisa kau bayangkan. Kau selalu memilih tetap berdiri, menahan perih, membungkam kalimat-kalimat putus asa dari sisi paling rapuhmu. 

"Tidak masalah jika sekali lagi kau harus bertahan habis-habisan." Ujar sosok paling bijak dari pikiranmu.

Tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Sebab akan selalu ada energi tuk kembali berjuang selepas seluruh penat menerobos batas pertahananmu.

Istirahatlah, untuk esok yang masih harus terisi hal-hal baik.

-Hari kesebelas-

Tuesday 12 April 2022

Tetap Beribadah walaupun Rebahan

Nyatanya kita memang bisa sambil rebahan dan terhitung ibadah. Karena terus-menerus beramal, (tilawah misalnya) tetap saja membuat kita butuh jeda sejenak, istirahat untuk kemudian melakukan ibadah yang lain.

Lalu, ibadah apa yang bisa kita lakukan sambil rebahan? Yang sesantai itu memang tapi menghasilkan pahala, bahkan timbangan kebaikannya sangat berat, iya apaan coba?

Subhanallahi wa bihamdi, subhanallahil azhim… cukup ucapkan dua kalimat ini maka sungguh kita sudah melakukan seringan-ringan dzikir namun akan sangat berat timbangan kebaikannya. Dua kalimat yang begitu pendek, yang bahkan hanya memerlukan beberapa detik namun ternyata pahalanya begitu dahsyat. Ibadah ini sangat cocok untuk kita lakukan saat sedang lelah-lelahnya atau pun mungkin lagi malas-malasnya (iya, ini hanya butuh menggerakkan lisan. Sederhana tapi mungkin kita masih sering melalaikannya)

Dan tidak hanya itu ternyata, ada lagi yang bisa kita lakukan sambil rebahan; repost kebaikan. Ini mudah dan tidak butuh waktu lama. Cukup meneruskan pesan kebaikan, entah membuat story repost status dakwah atau sesederhana membagikan link yang berisi ajakan kebaikan. Sebab satu saja kebaikan yang diteruskan ke orang lain akan dihitung pula kebaikan yang sama untuk kita. Kita menshare ilmu, lalu orang yang membacanya akan mendapat pahala menuntut ilmu atau bahkan (jika ia mengamalkannya) kita pun akan turut mendapat pahala yang serupa. Nah, keren kan?

Yuk, Jangan ragu menyebarkan kebaikan-kebaikan.

Jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. (QS. 17:8)

Tidak ada balasan untuk kebaikan melainkan kebaikan pula. (QS. 55:60)

-Hari kesepuluh-

Monday 11 April 2022

Ramadan yang Produktif

Satu malam sebelum tidur, (saya menganggapnya semacam pertanda) saya mengecek email, hal yang terhitung sangat jarang saya lakukan dalam keadaan mengantuk. Sebuah surel yang akhirnya sempat terbaca kemudian menggerakkan saya untuk kembali mengevaluasi diri. Diri yang tak habis-habisnya dipenuhi salah tiap harinya. Diri yang seringkali kesulitan menjaga hati dari niat yang keliru. Ah, betapa kita selalu butuh untuk selalu menelisik kedalaman hati agar yang bengkok segera bisa diluruskan dan yang salah bisa diperbaiki. Email tersebut tidak lain adalah Monday Love Letter, Mba Novie yang membahas tentang produktivitas. 

Bahwa produktivitas adalah barang mahal. Bukan kah kadang kita sudah menyusun sederet rencana dan segala macam target agar bisa seproduktif mungkin, namun tiba-tiba saja semua menjadi berantakan? Entah karena keadaan diri yang sakit atau alasan lainnya. Begitulah, produktivitas memang takkan terwujud tanpa izin-Nya. Iya, kembali saya diingatkan tentang segala hal yang saya upayakan ujung-ujungnya tentu bergantung atas kehendak-Nya.

Lantas, apa kita bisa membeli produktivitas?

Memang, produktivitas dapat terbeli oleh perencanaan-perencanaan yang matang, daya tahan tubuh yang optimal, atau atmosfer produktif yang mengelilingi kita sehingga kita menjadi terbawa produktif juga, dst. Ada benarnya. Semua itu bisa saja menunjang produktivitas harian kita. Namun, barangkali ada yang kita lupa bahwa satu hal yang menjadi ujung tombak produktivitas sebenarnya adalah keberangantungan kita kepada Allah. 

Yup, untuk “membeli” produktivitas, kita harus rela bergantung kepada Allah. Sebab, tanpa bergantung kepada-Nya, apa jadinya semua perencanaan kita? Hal lain yang tak kalah penting untuk “membeli” produktivitas adalah niat yang tulus lagi benar. Dalam buku Ramdhan Sepanjang Masa yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad Salim disebutkan bahwa sebaiknya alasan kita produktif di bulan Ramadhan ini bukan karena ikut-ikutan, merasa berlomba dengan orang lain, atau bahkan karena kita sudah biasa produktif. Lebih dalam dari itu, semoga produktivitas ini lahir karena iman, karena jiwa yang merasa terpanggil oleh Allah untuk memuliakan dan mengoptimalkan amalan. (Sepotong dari isi Monday Love Letter)

Saya jadi teringat ceramah tentang keutamaan Ramadan. Katanya "betapa istimewanya bulan mulia ini hingga hanya orang rugilah yang ibadahnya masih sama seperti di bulan-bulan lain atau malah lebih sedikit."

Terus, apa hubungannya dengan produktivitas? Saya mencoba menarik konklusi: agar bisa produktif kita butuh kesadaran iman. Hanya dengan kesadaran imanlah kita bisa mewujudkan produktivitas ramadan. Hanya dengan kesadaran kita akan mampu tergerak beramadan sebaik mungkin. Dengan ibadah paling maksimal yang kita mampu. Karena panggilan jiwa, bukan karena ikut-ikutan ataupun berlomba dengan orang lain.

Nah terakhir, semua tentu tidak bisa tercapai tanpa doa-doa kita, mulai dari meminta agar selalu diberi hidayah dan tambahan petunjuk. Agar iman tidak mudah goyah, agar kita selalu bisa survive dengan segala badai ujian untuk tetap optimal dalam beramal.

-Hari kesembilan-

Sunday 10 April 2022

Menakar Harapan

"Banyak memberi dan berharaplah sedikit."

Kubaca ulang kalimat dalam sebuah novel dari penulis favoritku. Tiba-tiba aku berpikir tentang banyak hal di masa lalu yang membuat patah sebab terlalu banyak harapan yang akhirnya menghadirkan kecewa.

Menyakitkan memang, sebab kesudahan harapan adalah hak sang Maha penentu takdir manusia. Kita manusia hanya mengupayakan sebaik yang dimampu dan tidak semestinya menyandarkan seluruh harapan kepada selain-Nya.

Harapan, kunci-kunci pembuka kecewa. Dan kita, entah kenapa tidak pernah jera untuk terus berharap. Sebab katanya, untuk apa hidup tanpa harapan? Bukankah harapan adalah bahan bakar untuk menjalani hidup? Ah, entahlah. Harapan bisa menjadi begitu kompleks ternyata. Tapi, betul sekali kalimat tadi, “berharaplah sedikit” memberi yang banyak. 

Jika harapan seringkali mengantar pada kecewa mengapa kita tak memperbanyak memberi saja dibanding berharap? Sebab memberi sejatinya akan membuat kita bertambah, bukan?

-Hari kedelapan-

Saturday 9 April 2022

Privilege Jika Dicintai oleh-Nya

“Kau tahu, nikmat yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dicintai Allah? Bukan dunia sayang, sebab jika pun dunia memiliki nilai walau seberat sebelah sayap nyamuk, maka Allah takkan memberikannya kepada orang-orang tidak beriman. 

Lantas, apa? Hati yang selalu bersyukur dan lisan yang senantiasa berdzikir mengingat-Nya.”

Demikian, yang kutangkap dari mendengar ceramah UHA (Ust. Hanan Attaki).

-Hari ketujuh-

Friday 8 April 2022

Fatamorgana

Sudah menjadi lumrah kehidupan di dunia

Cabaran dan dugaan mendewasakan usia

Rintangan dilalui tambah pengalaman diri

Sudah sunnah ketetapan Ilahi

Deras arus dunia menghanyutkan yang terleka

Indah fatamorgana melalaikan menipu daya

Dikejar dicintai bak bayangan tak bertepi

Tiada sudahnya dunia yang dicari

Begitu indah dunia siapa pun kan tergoda

Harta, pangkat dan wanita melemahkan jiwa

Tanpa iman dalam hati kita kan dikuasai

Syaitan nafsu dalam diri musuh yang tersembunyi

Pulanglah kepada Tuhan cahaya kehidupan

Keimanan ketakwaan kepadanya senjata utama

Sabar menempuh jalan tetapkan iman di hati

Yakinkan janji Tuhan syurga yang sedia menanti

Imanlah penyelamat dunia penuh pancaroba

Hidup akhirat kita kekal bahagia Imanlah penyelamat dunia penuh pancaroba

Hidup akhirat kita kekal bahagia

(Hijjaz, "Fatamorgana", nasyid legend yang liriknya ternyata cukup dalam tuk dimaknai)

Saat ujian hadir seperti menyedot seluruh kemampuanmu untuk bertahan, menangis menjadi ritual pelepasan duka, berharap ada kebahagiaan yang bersedia singgah, menenangkan hati. Ah! Sudah berapa kali kau kehabisan sabar di tengah jalan? Duhai kau, yang sering kali kehilangan pijakan, disekap rasa putus asa, lupa; dunia pun adalah kelelahan yang fana.

Kepada nurani ... Sadarlah, dunia adalah penipu ulung. Keindahannya sudah menjebakmu dengan beragam nikmat kesementaraan. Melalaikan, meninabobokkan hingga melupakanmu pada perjalanan yang kekal nanti. Bukankah kepulanganmu pada sang Pencipta adalah sejelas-jelas kepastian kelak?

Duhai kau, si pengemis ampunan! Sudah berapa kali kau memaklumi kesalahan sebagai bagian kehidupan yang mendewasakan? Betulkah jika segunung khilafmu memberi pengalaman? Bahwa berapa banyak kita yang akhirnya hanyut, tenggelam dalam samudera dunia. Tak ada habisnya cita-cita dikejar juga keinginan tak berkesudahan yang justru melemahkan kita meraih akhirat.

Lalu … tanpa iman, bagaimana kita akan sanggup menahan diri? Melawan musuh yang bersembunyi dalam hati? Bahwa tanpa takwa, kita lumpuh. Tanpa petunjuk-Nya kita lengah. Tertipu fatamorgana dunia.

Sampai kapan seperti itu, apakah hingga raga di liang lahad? Sementara penyesalan tidak akan pernah mengembalikanmu ke masa lalu.

-Hari keenam-

Thursday 7 April 2022

Melepas Keterikatan pada Dunia yang Sementara

"Penderitaan merupakan petunjuk ke arah keadaan terikat kita. Keterikatan semu kita berada pada sesuatu yang membuat kita menangis, yang menimbulkan rasa sakit paling besar. Pada hal-hal itulah kita mengikatkan diri, padahal seharusnya kita hanya mengikatkan diri pada Allah." [Hal.7]

Disclaimer: tulisan ini adalah sebuah review singkat sehabis membaca ulang "Reclaim your Heart" yang ditulis Yasmin Mogahed. Salah satu buku bertema self help islami yang membantu saya melewati saat "tidak baik-baik saja" dalam hidup.

Bagi saya, buku yang telah menjadi perantara bagi begitu banyak kesadaran yang akhirnya membuat saya merenung, menyelami perasaan paling gelap yang selama ini berusaha saya sangkal. Memang tidak ada karya sempurna, tapi buku ini bisa membantu siapa pun yang ingin melihat gambaran hubungan antar manusia dan kehidupan dengan segala kompleksitasnya dengan sederhana. Saya anggap sederhana sebab penulis selalu mampu mengambil contoh yang tak perlu inteligensi tingkat tinggi tuk paham. Analogi yang dihadirkan sangat membantu pembaca memasuki ruang-ruang kontemplasi dengan nyaman.

Tentang hakikat cinta, Tuhan, dan hubungan manusia yang taramat rapuh jika berpegang pada kefanaan, dunia. Setiap bab disertai potongan ayat Al-Qur'an yang bisa kita tadabburi tuk mencapai pucuk pemahaman mendalam mengenai keterikatan, jebakan dunia dan bagaimana kita harus menghadapinya. Tak ketinggalan juga beberapa hadis menjadi penegas argumen penulis, membuat buku ini sangat layak tuk menjadi rujukan bacaan bagi siapa pun yang tengah mengalami badai kehidupan; putus asa, kecewa dan segala macam bentuk patah hati yang sungguh melahirkan penderitaan.

Bahwa semua ujian yang dihadirkan, takdir-takdir tak diinginkan, sejatinya adalah cara Tuhan mengajarkan hamba-Nya untuk bersandar pada satu-satunya zat yang mahakuasa, maha segalanya. Sebab akan selalu ada jalan keluar di setiap kesulitan yang menimpa.

Buku yang menenangkan, pelan-pelan, dan pasti: membawa pembaca pada kesejatian hidup, cinta sejati, dan kebebasan hakiki.

Saya ingin orang-orang membaca buku ini sebab bagi saya pribadi, buku ini sungguh melegakan, dan saya sepenuhnya yakin: kata-kata memang akan bisa menjadi obat bagi segala duka. Kata-kata-Nya, yang semestinya mampu memulihkan luka di hati. Tentu, selepas kita kembali dan membacanya sungguh-sungguh.

-Hari kelima-

Sampai Kematian Menyudahi

Kemarin saya tidak sempat update tulisan, padahal sebenarnya sudah ada draf sejak sebelum tidur. Karena memang "Diary Ramadan" ini sejak awal memang dijadwalkan akan rilis setiap habis isya, ketika target tilawah terpenuhi. Masalahnya, kemarin saya tidur pukul sebelas lewat, bangun 02:00 lantas tidak sempat kailulah (tidur qabla zuhur sekitar sejam) karena saya harus ke perpus dan pulangnya sore. Waktu mepet hanya untuk mandi dan menyiapkan menu berbuka. Habis magrib masih berjuang mengejar target hingga lepas isya: langsung mendarat di kasur (berhubung mata sudah memberontak minta lelap). Makan malam pun terlewat karena tidur tentu lebih mendesak. Saya terbangun dua kali dan menyadari .... saya belum sempat menulis menulis Diary Ramadan. Utang satu hari. (Sekian edisi curcol tidak penting tapi cukup melegakan untuk saya)

Lalu mari kembali pada judul tulisan ini. Tentang kematian yang lagi-lagi menyentak kesadaran saya. Kabar duka yang membuat saya tertegun lama sebelum akhirnya jatuh tertidur.

Malam sebelumnya saya tidak tidur sesuai jadwal karena usai membaca kabar duka dari grup teman SD. Ibu salah seorang teman kami berpulang. Saya yang sudah siap tidur tiba-tiba dirayapi perasaan aneh. Entah sejak kapan tepatnya, kabar meninggalnya seseorang selalu saja meluluhkan perasaan saya, membuat diam tergugu, menangis kadang-kadang, hingga sulit terlelap. 

Dalam gelapnya kamar, nyaris saja saya berteriak karena seperti ada yang mencabik-cabik hati. Pedih. Sebab pengalaman kehilangan selalu tidak mudah, terlebih jika ia masih kembali dalam wujud kenangan yang mengalirkan air mata. 

Kejadiannya sudah berlalu belasan tahun, tapi sedihnya ternyata bisa tinggal lebih lama dari perkiraan. 

Seperti ada yang menyalakan alarm alami dalam kepala saya. Dan semua semakin diperparah dengan ingatan panjang tentang kehilangan-kehilangan lalu. Termasuk kehilangan yang  akan membuat patah hati siapa pun: kematian anggota keluarga.

Bapak pergi dan tidak pernah kembali tepat di tiga Ramadan, dengan sakit yang sama persis dengan orangtua teman saya. Saya memang masih SD waktu itu, tapi ingatan saya tersimpan baik di balik memori kolektif. Bahkan pada setiap detail kecil hari itu. Saya tidak akan lupa bagaimana rasanya ditinggal pergi, meski butuh betahun-tahun kemudian tuk mampu memahami dengan utuh tentang kepergian dan bagaimana jalan menemukan ikhlas dari hari-hari muram yang merobohkan ketegaran.

Banyak hal yang saya garis bawahi selepas kepergian bapak. Sebanyak pengertian yang akhirnya saya peroleh dari ketidakberdayaan tanpa kekuatan dari-Nya, tentang bagaimana saya tetap harus melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya dan menjaga keyakinan. Bahwa tugas saya selain sebagai hamba adalah menjadi salah satu dari tiga perpanjangan pahala manusia sehabis masa tugas di bumi-Nya. Sebab orangtua yang telah pergi tidak butuh lagi apa pun selain doa. Doa-doa terbaik yang semoga mampu melapangkan tempatnya, meringankan bebannya dan tentunya membuatnya menikmati apa yang sudah ditanam semasa hidup. Bagaimanapun, anak adalah tanggungjawab sekaligus perpanjangan pahala, tentu jika orangtua betul-betul berhasil mendidiknya seperti kriteria yang disebutkan dalam hadis.

Karena pada akhirnya, manusia akan pulang pada keabadian. Misi besar kita singgah di dunia memang untuk menyiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Sampai kematian menyudahi usia.

Penyesalan tentu bukan hal yang ingin kita temui kelak, di hari penghakiman yang sesungguhnya.

-Hari keempat-

Tuesday 5 April 2022

Tips Agar Istiqamah

Istiqamah memang berat. Konsisten melakukan kebaikan bisa sedemikian sulit karena manusia (saya pribadi) bisa goyah dan memang naik turun iman kadang tidak teratasi hingga istiqamah bisa drop di tengah jalan.

Lalu bagaimana agar istiqamah?

Sebagai seseorang yang belum maksimal melakukan usaha-usaha untuk istiqamah, yang tahu dan ada ilmu tapi pengamalan masih nihil, maka biarkan saya me-review kembali cara-cara agar kita bisa istiqamah:

(dinukil dari salah satu ceramah ustaz Adi Hidayat).

1. Pelajari ilmunya: cari hadits, ayat, petunjuk/tata cara dalam pelaksanaan ibadah. Ingat, ilmu akan menjaga kita melakukan ibadah dengan benar.

2. Catat/kumpulkan motivasinya. Ini sangat membantu kita saat iman kita melemah. Misal: tulis keutamaan tahajjud dan tempel di tempat yang mudah terlihat. Nah, ini saya belum mengamalkan. Tapi memang sangat ampuh menurut pengalaman lalu. Saya ketika masih santri sampai sekarang paling ingat tentang keutamaan dua rakaat sebelum subuh dan membaca Al-Kahfi malam Jumat. Alhasil, sebisa mungkin tidak alpa. Rasanya rugi besar jika sampai terlewat, walaupun tetap saja pernah salat subuh di saat langit sudah terang dan kekeuh tetap ambil sunnah dulu (oke, ini bukan contoh yang baik).

3. Hadirkan ancaman Allah di saat terbersit niat menyimpang. Contoh: (surah 62:11) masa iya, akhirat kelewat karena urusan dunia? 

4. Terakhir: berdoa. Iya, kita harus selalu meminta dikuatkan, dimudahkan dalam istiqamah. Ya muqallibal qulub tsabbit qolbi ala dinik wa ta'atik… Laa tuzi'qulubana ba'da iz hadaitana ….

Selamat mengamalkan dengan sebaik-baik ikhtiar.

-Hari ketiga-

Monday 4 April 2022

Sekolah Pertama

Disclaimer: Tulisan ini ke-trigger setelah membaca salah satu cuitan di Twitter, kenapa seorang ibu lebih memilih menyekolahkan anaknya di swasta dibanding negeri. (bisa dibaca di sini). Tulisan ini tidak terstruktur, dan mungkin akan melompat-lompat. Maklum, saya hanya sekadar berusaha menuangkan apa yang melintas di pikiran saya tanpa sempat berpikir soal keefektifan kalimat sebagaimana sebaiknya sebuah tulisan disusun.

Tulisan ini sebenarnya lebih ke curhatan berdasar pengalaman dan pengamatan pribadi yang tentu bersifat subjektif. Dan lagi, saya menulis ini karena saya sepenuhnya sepakat bahwa pendidikan seorang anak dimulai dari rumah. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, maka seorang ibu seharusnya memiliki ilmu parenting yang mumpuni sebelum memutuskan menjadi seorang ibu. Jelas, peran ibu bukanlah tanggungjawab yang ringan. Konsekuensi menjadi orang tua adalah tantangan besar, khususnya ibu. Ibu, yang bahkan disebut tiga kali dalam sebuah hadis sebelum ayah dalam hal bakti.

Sebagai seseorang yang lahir dari ibu yang  meskipun tak mencicipi pendidikan hingga ke perguruan tinggi, (tapi tetap berdedikasi penuh mendidik anaknya) saya merasa harus menyampaikan isi kepala saya selama ini, sebagai seorang anak atau mungkin calon ibu nanti.

Memang, tidak ada ibu yang sempurna, tapi kabar baiknya; ibu selalu berusaha memberi yang terbaik untuk anak-anaknya, (dari aspek pendidikan salah satunya). Bukan kebetulan jika saya anak bungsu yang mau tidak mau akan selalu melihat ke kakak-kakaknya. Secara tidak langsung dan tanpa saya sadari, saya cukup memerhatikan pola-pola parenting dari kakak perempuan saya ataupun kakak ipar (fyi, semua kakak saya sudah menikah dan menjadi orang tua). Anggap saja saya menulis ini semacam hasil 'membaca' saya terhadap sekitar, karena saya jelas tidak punya pengalaman apa pun sebagai ibu/orangtua.

Pertama, tantang menyadari peran. Jauh sebelum menjadi sekolah bagi buah hati, seorang ibu mesti mempersiapkan diri. Bukan hanya soal mental, tapi juga ilmu. Memang, ada istilah "belajar sambil jalan" dan ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, jika bisa mempersiapkannya dengan lebih matang, why not? Praktik tentu tidak seringan tulisan ini, tapi sekali lagi saya pertegas "persiapan adalah kunci", dalam hal apa saja. Sebuah tujuan takkan tertempuh tanpa sebuah kesiapan. Analogi sederhananya, kita mungkin takkan selamat jika nekad mendaki gunung tanpa persiapan; bekal, strategi, tubuh yang fit, hingga pemandu perjalanan jika baru pertama kali. 

Demikian dengan seorang ibu. Sebagai sosok yang akan mengajarkan banyak hal untuk yang pertama kali kepada anaknya, ia haruslah memiliki kesiapan ilmu; sebagai sekolah yang seharusnya mencerdaskan murid, tentu mesti memiliki fasilitas yang layak. Mungkin seperti 1001 cara mengahadapi buah hati; ketulusan, kesabaran, cinta dst. Seluruhnya harus ada tuk mencapai sebuah tujuan.

Saya sepakat dengan statement "jika kau malas belajar, ingatlah bawah anakmu layak dilahirkan dari ibu yang pintar" yah, paling tidak punya kesadaran dasar seorang ibu. Namun, sekali lagi: jadi ibu itu tidak gampang! 

Kedua, cara mendidik yang baik salah satunya adalah dengan menjadi teladan. Karena anak tentu akan menyerap apa yang dilihat ataupun didengar dan akan tersimpan otomatis dalam memorinya. Maka sebagai ibu, seorang perempuan juga harus memberi contoh yang baik. Seperti, jika ingin anak tertarik dengan buku, tunjukkanlah sesering mungkin kebiasaan membaca. 

Saya termasuk beruntung memiliki ibu yang bisa dibilang sangat baik dalam hal menjadi role model. Saya terbiasa dengan sederet hal-hal baik yang sejak kecil diperlihatkan mama. Sosok perempuan dengan sejuta kebaikan yang ingin kucontoh. Mama yang mengajari kejujuran, sopan santun, menghormati tamu, menjaga kebersihan, jangan marah, jangan menunda, selalu tepat waktu, hingga membacalah sebanyak-banyaknya buku. Singkatnya, saya mempelajari banyak sekali hal yang tak mungkin saya dapat di bangku sekolah. Meski tidak sempurna, tapi didikan mama sangat mempengaruhi karakter saya,  terlepas dari lingkungan saya 10 tahun terakhir.

Terakhir, (karena tulisan ini semakin panjang) betul, kita tidak punya hak tuk memilih akan terlahir dari ibu yang seperti apa, tapi kita sepenuhnya bisa memutuskan, akan menjadi ibu bagaimana kita nanti. Sebenarnya, ini redaksi lain dari kalimat: kita tidak bisa memilih keluarga kita tapi kita selalu bisa memilih pasangan hidup, teman dalam membangun sebuah keluarga tentu saja.

-Hari kedua-

Sunday 3 April 2022

Persiapan Adalah Kunci

Belajar dari pengalaman sebulan terakhir yang setiap malam Ahad dikejar deadline, asli bikin uring-uringan; tiga jam (sebenarnya dua jam) sebelum submit tugas baru buka modul, riset tipis-tipis, menentukan topik, hingga baru nge-instal wps, nulis seadanya, bingung dengan fiturnya, drama yang berujung bodo amat yang tidak pada tempatnya. Lalu perbedaan zona waktu menjadi begitu indah.

Sama dengan Ramadan, semua butuh persiapan yang mumpuni biar hasilnya maksimal. Tamu ini cuman datang sekali loh setahun, harus dijamu dengan sebaik-baiknya supaya meninggalkan kesan terbaik.

Persiapan versiku: ngulik materi seputar Ramadan (baca buku, ikut kajian daring, catat poin pentingnya) nge-print jurnal, checklist harian, membuat daftar doa, nyusun strategi kejar khatam sesuai target, nulis daftar forbidden things, dst. 

Karena puasa adalah menahan, maka Ramadan adalah medan ujian yang menantang: tidak sekadar menahan haus dan lapar, tapi juga sederet menahan lainnya. Sejauh ini yang terberat bagiku: nahan ngantuk tanpa kopi. 

Namun, dengan segala persiapan, ternyata tidak akan menjamin jika Ramadan akan selalu baik-baik saja, berjalan mulus tanpa hambatan. Tidak semudah itu Ferguso! Konsisten itu berat, Istiqamah butuh latihan panjang, dan menjaga iman tetap stabil (karena iman memang akan naik turun), tidak jatuh tersungkur terlalu dalam, futur, seluruhnya membutuhkan perjuangan yang sungguh-sungguh.

Selanjutnya akan kutulis tips-tips biar keep on the track, Istiqamah.

Tabik!

-Hari pertama-