Monday 29 October 2018

Bagaimana?


Kadang, kita masih mencintai seseorang meski tak pernah memiliki kesempatan bersamanya. Lalu, seriuh apa pun hari dijejali beragam kesibukan, tetap saja ada celah yang menghadirkan perasaan rindu. Kita tidak sadar jika ia adalah ingatan yang tidak pernah kehilangan tempat. 

Maros, 29/10/18

Monday 15 October 2018

Mencintai Diri Sendiri


Kadang kita merasa muak dengan diri sendiri, merasa tidak berharga sampai membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain, lantas merasa tidak seberuntung mereka. Kita merasa sangat payah karena mungkin belum bisa seberhasil orang-orang di sekitar kita. Secara tidak sadar kita sedang merawat pikiran-pikiran buruk juga perasaan negatif yang justru malah membuat kita semakin terpuruk. Kita lupa satu hal yang sangat penting: mencintai diri sendiri. Seperti tahap self-acceptance dalam istilah psikologi.

Jujur saja, saya pun pernah atau bahkan sering merasakannya. Berada di fase begitu sulit menerima dan mencintai diri sendiri. Merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan saya lalu mulai memaki setumpuk kekurangan saya, atas begitu banyak kekeliruan atau pun kesalahan yang sudah saya lakukan hingga akhirnya muncul perasaan tidak tertarik lagi melakukan apa-apa. Rasanya hanya ingin tertidur panjang dan tidak perlu meributkan isi kepala atau pun sekitar saya. Sungguh, sebuah situasi yang tidak mengenakkan namun sangat wajar terjadi pada manusia yang sedang berkembang dan terus bertumbuh mengikuti dinamika kehidupan.

Perasaan-perasaan negatif tersebut manusiawi, hanya saja jika dibiarkan berkepanjangan tentu akan merusak hidup. Yang sedang berjalan tidak baik maka akan semakin tidak baik lagi. Kita terperangkap dalam situasi yang terasa sangat berat dan sulit, yang sebenarnya sangat bisa kita atasi dan lewati jika kita sungguh-sungguh menghendakinya. Memang, pertarungan paling sulit adalah melawan diri sendiri. Melawan energi negatif yang tidak menggerakkan kita menjadi baik, mengubahnya menjadi hal positif, lalu menggantinya menjadi kekuatan baru, never be easy but it doesn’t impossible thing, right?

Yang perlu kita lakukan adalah sejenak menepikan diri, mengambil jeda, menggali kembali kelebihan-kelebihan kita untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin, lalu syukuri kondisi saat ini, maafkan kesalahan lalu, apresiasi sekecil apapun usaha yang sudah kita lakukan untuk menjadi lebih baik lagi, dan “love your self more.” 

“Mencintai dirimu berarti mengupayakan kebaikan-kebaikan dan berusaha sekeras mungkin mengurangi keburukan-keburukan yang masih melekat dalam dirimu. Jika kau mencintai dirimu maka tentu kau akan mengupayakan yang terbaik, bukan? Percayalah, setiap orang berpotensi untuk menjadi lebih baik jika ia mau berusaha...”

--Makassar, menjelang lelap

Saturday 13 October 2018

Mungkin Memang Takdir


Mungkin memang takdir, kita melangkah dari titik yang berbeda menuju pertemuan-pertemuan yang sama.

Mungkin memang takdir, kita berada dalam satu ruang yang entah harus kusebut apa. Di sana kita banyak berbicara tentang apa aja. Kadang-kadang serius, sesekali begitu membingungkan dan seringkali kita pun tak tahu percakapan apa yang tengah memutus jeda.

Mungkin memang takdir, kita harus perpijak di waktu-waktu yang begitu pelik. Berjibaku dengan diam yang panjang, menerka-nerka isi kepala, lantas begitu sangsi melayangkan tanya. Kadang, jarak begitu memuakkan, namun dari sana rindu terus bertumbuh, dari hari ke hari berusaha mendewasakan perasaan.

Mungkin memang takdir, kita membuat kesalahan agar paham jika maaf adalah sesuatu yang tak boleh habis di antara kita. Sebab kita tak pernah tahu, kekeliruan apa lagi yang kelak akan menyodorkan luka, bukan?

Mungkin memang takdir, kita terjebak kepada hal-hal yang tidak pernah kita harapkan. Seperti berjalan dari ragu ke ragu, berdiam bersama segala prasangka hingga membuat kepercayaan tercabik-cabik lalu memaklumi harapan yang mendahului kenyataan.

Mungkin memang takdir, kata-kata diciptakan untuk melanggengkan sebuah cerita. Dan aku memutuskan untuk menulismu. Lagi dan lagi. Hingga waktu yang entah. Yang pasti, kau adalah catatan paling panjang yang pernah kutulis.

Tunggu, apa K-I-T-A memang bagian dari takdir? 
Aku memilih berharap sedang kau percaya pun entah.

—Makassar, di bawah langit menjelang subuh

Monday 1 October 2018

Oktober dan Hal-hal Sebelum Subuh


Selepas pukul dua belas adalah saat yang tepat untuk merasakan sepi. Begitu menurutku. 

Mungkin karena beberapa jam sebelum subuh adalah waktu paling kusuka, saat kebanyakan manusia terlelap dan dunia menjadi sedemikian sunyi. Sejujurnya aku tak pernah betul-betul merasa sepi sebab aku selalu ditemani dengan suara-suara dalam kepalaku. Di sana kata-kata selalu berisik. Keramaian yang tak mengizinkan lelap, walau sekedar datang mengetuk pintu kamarku.

Saat mengetikkan kalimat ini jam sudah menunjukkan pukul satu lewat sekian menit. Almanak 2018 sudah berganti judul. Oktober kesekian. Dan sepertinya aku semakin menyukai malam seperti aku mencintai pagi. Mungkin lebih tepat jika kukatakan tengah malam. Saat aku betul-betul menikmati apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dengan cara-cara paling sederhana seperti ....

Menyimak sebuah lagu yang kadang begitu mudah menarik ingatan menuju masa lalu. Di banyak momen yang tak pernah betul-betul kulupa dengan baik. Mendadak malam terasa begitu muram.

Menatap lamat-lamat tiap jengkal sudut kamar. Meja belajar, jejeran buku, memo yang menempel di dinding, lampu tidur, tetiba menjadi benda-benda yang begitu puitis. Bahkan detak jarum pun terdengar sangat melankolis.

Lalu, menyesap kopi. Entah sejak kapan kami begitu akrab. Seperti sahabat, kurasa. Selalu ada, bahkan di saat-saat paling burukku. Di tiap tegukannya seolah memberi satu lagi alasan untuk kembali menerbitkan kebahagiaan yang lain. Setiap kali secangkir kopi tandas, aku akan merasa lebih baik lagi. Mungkin kafeinnya tidak hanya mengusir kantuk, tapi juga membuang jauh setumpuk kecemasan dalam diriku.  

Kadang, meresapi malam membuatku seperti berjalan di tengah labirin. Aku kebingungan mencari jalan pulang dan akan terus berputar-putar hingga kelelahan. Seringkali aku hanya tersesat di alamatmu. Mengunjungi sebuah tempat yang hanya ada kita dan percakapan-percakapan panjang yang biasa membuatku lupa waktu. Kemudian aku mulai menyadari. Ruang itu sudah menjelma tempat paling sepi. Di sana, kata-kata sudah membeku bersama waktu yang terlanjur mengkristalkan ingatan. Di sana, masih menjejak kalimat-kalimat yang entah sudah berapakali kubaca. Setiap hurufnya kadang membuatku tertawa sekaligus bersedih. 

Sekarang aku seperti ingin melompat menuju satu atau beberapa bulan kemudian, melewati secepat mungkin saat-saat yang kurasa akan sangat berat. Memilih kembali bertumbuh dengan hati yang baru tak pernah mudah. Sebab perasaan yang lalu tak pernah betul-betul tanggal. Apalagi kata-kata sudah lebih dulu mengkekalkannya. Jadi, aku harus bagaimana?

Lembaran baru kali ini betul-betul buram. Namun, dari sekian banyak hal yang kuharapkan, melupamu sudah menjadi salah satunya. Impian yang begitu lugu. Keinginan yang sepertinya harus kubayar dengan begitu banyak air mata, jika memang bisa.

—Makassar, di waktu-waktu paling berisik