Thursday 31 May 2018

Mencintai Al-Qur'an



Sekiranya hatimu bersih, niscaya kamu tidak akan kenyang (bosan) dengan firman Tuhanmu. (Utsman Bin Affan R.A)

Sudahkah kita mengkhatamkan Al-Qur'an? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan dalam-dalam. Bahwa ramadan adalah bulan Al-Qur'an; momen terbaik untuk kembali meresapi ayat-ayat-Nya, mempelajari dan mentadabburi isinya, hingga mengkhatamkannya berkali-kali. Lantas, sudah sejauh manakah interaksi kita dengan Al-Qur'an? 

Jika waktu kita masih terisi oleh banyak kesibukan-kesibukan yang melalaikan diri dari membacanya, maka tanyakan kembali "apakah kita betul-betul mencintai Al-Qur'an?" Sebab jika kita mencintainya tentu kita akan meluangkan waktu untuk slalu bersamanya, sesibuk apapun kita. Bukankah "cinta" adalah alasan dari banyak sebab termasuk: mengapa seseorang sulit meninggalkan sesuatu? Jawabannya; karena cinta. Demikian dengan Al-Qur'an, jika kita mengaku mencintainya maka buktikan dengan selalu mengisi detik-detik berharga kita dengan Al-Qur'an. Karena mencintai Al-qur'an maka kita tidak akan pernah mudah meninggalkannya. Karena mencintai Al-Qur'an mendorong kita untuk merelakan waktu bersamanya, bahkan menjadikannya bagian dari prioritas diantara begitu banyak kesibukan harian kita.

Jadikan Al-Qur'an sebagai kebutuhan untuk mendapatkan kebahagian dan nikmatnya ibadah. Sebab mencintai Al-Qur'an adalah bukti cinta kepada Rabb dan Rasul-Nya juga sebagai tanda dari keimanan seseorang.

Jadi, sudahkah kita mengkhatamkan Al-Qur'an?

Yuk, nyamankan diri bersama Al-Qur'an. Jangan lupa untuk selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam membaca ataupun mengamalkannya. Semoga Ramadan kali ini membuat kita menjadi lebih dekat dengan Al-Qur'an dan lebih istiqamah lagi mencintainya.

--Gowa, 15 Ramadan

Monday 28 May 2018

Introspeksi Ramadan




"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadan dengan keimanan dan niat yang baik, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)

Sepuluh hari ramadan berlalu, beberapa pertanyaan mulai mendesak tuk direnungkan dalam-dalam. Apa kabar ibadahku? Sudah maksimal kah? Ah, rasanya belum cukup maksimal. Di sepertiga malamku masih kurang dengan sujud-sujud dan doa-doa panjang. Tilawahku tidak sebanyak di awal ramadan, bahkan lajunya kian melambat. Dzikir pagi dan petang kadang tidak utuh juga jumlah rakaat salat dhuha yang masih begitu-begitu saja. Ibadah-ibadah lain pun rasanya masih sangat jauh dari kata efektif. Sungguh, betapa banyak waktu berlalu namun  aku masih penuh dengan penundaan hingga prioritas harian sering tak berjalan sesuai harapan. Seketika aku merasa ditikam oleh penyesalan akan detik-detik yang kubiarkan berlalu dalam kelalaian. 

Adakah ramadan selanjutnya masih kujumpai? Sebuah pertanyaan misterius untuk menjadi bahan evaluasi. Tentang ramadan dan kesempatan-kesempatan ibadah yang terlewatkan. Padahal, sungguh Tuhan Maha Adil. Setiap kita diberi jatah 24 jam sehari. Tak siapapun diberi kurang atau lebih dari itu. Setiap hari kita bercengkerama dalam pusaran waktu yang sama, namun tak satupun yang menghabiskannya dengan sesuatu yang betul-betul sama persis. Ada yang sibuk berkutat dengan aktivitas yang orientasi duniawinya lebih mendominasi, sementara adapula yang lebih sibuk untuk urusan akhiratnya. Lalu, termasuk yang manakah kita (aku)? Cukup tanyakan dalam hati dan jawab dengan nurani, tentunya setelah mengintropeksi diri baik-baik. 

Sebelum ramadan melambaikan tangan dan kita hanya bisa meratapi banyaknya kesempatan beribadah yang terlewat, maka mari kita menginstrospeksi diri dan mulai tenggelam dalam ketaatan dan penghayatan; tentang episode-episode kehidupan yang entah kapan menemui akhirnya. Bisa jadi esok, atau beberapa jam bahkan menit dan detik kedepan maut malah tetiba bertamu. Siapa yang tahu perihal kedatangan ajal? Tak sesiapa pun. Maka tugas kita adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebab Allah masih membuka pintu ampunan sebelum kematian lebih dulu menjemput.

--Makassar, 12 Ramadan

Saturday 26 May 2018

Dear Jomblo



"Jom(b)lo itu pilihan" demikian kalimat pembelaan mereka yang merasa tidak nyaman atau mungkin kurang sepakat jika jomblo sering disandingkan dengan kata-kata kurang mengenakkan seperti; tidak laku, fakir asmara, kesepian, kosong dan sejumlah statement negatif yang menjudge bahwa jomblo memang bukan sesuatu yang baik. Kadang, saya pun tidak mengerti dengan sejumlah meme komik yang membuli para jomblo. Pun di setiap acara kumpul-kumpul khususnya jika di pesta pernikahan mereka yang masih jomblo kerapkali dijadikan sasaran kalimat; ciee yang jomblo... atau, kapan nyusul-etc... Semenyedihkan itukah seorang jomblo? 

Jomblo itu pilihan, sepenuhnya saya pun menyepakati kalimat ini. Bahwa menjadi jomblo tidak hanya pilihan tapi juga bagian dari prinsip hidup. Ya, saya termasuk seseorang yang menolak tegas aktivitas pacaran sebelum pernikahan. Bukan semata-mata karena pacaran memang tidak ada dalam syariat islam, lebih dari itu saya terlanjur sepakat bahwa pacaran hanya buang-buang tenaga dan boros perasaan untuk sesuatu yang belum tentu berakhir bahagia. So, jomblo itu memang sebuah pilihan sekaligus tantangan. Pilihan bijak juga tantangan yang betul-betul menguji komitmen untuk tidak melanggar sebuah prinsip.

Dear jomblo... Percayalah jika kesendirianmu saat ini adalah pilihan paling tepat. Saat yang lain sibuk pacaran, kita lebih memilih sibuk dalam kebaikan; up grade kualitas diri, belajar, berkarya, memperluas pertemanan, menata hati, memperbaiki akhlak, serta kebaikan-kebaikan lainnya. As you know, setelah masa jomblo berakhir (red; menikah) banyak hal yang tak bisa kita lakukan seperti saat masih jomblo. Kehidupan akan berubah total. Tak perlu pengalaman, cukup dengan melihat langsung sekitar saya. Sebagai anak bungsu (anak mama yang kini satu-satunya masih jomblo) saya menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan kakak-kakak saya saat sudah berganti status menjadi istri/suami hingga menjadi seorang ibu/ayah. Betapa sibuk dan merepotkan, mendidikasikan waktu untuk mengurusi tanggungjawab bernama rumah tangga. Berat!

So, jika sekarang masih sendiri bersabar saja dan bersyukur. Jangan pernah berpikir untuk segera menikah hanya karena alasan lelah menjomblo, tidak kuat lagi dengan segala cibiran, iri melihat mereka yang sudah memiliki pasangan-etc. Jadikan kesendirian saat ini sebagai fase untuk merencanakan atau pun mempersiapkan diri; agar nanti kita bisa menjadi orang tua yang layak. Orang tua yang patut dijadikan tauladan dan dibanggakan anak-anaknya. Semuanya memang harus dipersiapkan sebab pernikahan adalah titik kritis yang membutuhkan ilmu yang memadai, mental yang cukup, kecerdasan intelektual, sosial hingga kecerdasan mengatur emosi. Tidak mudah bukan? Ada beban tanggungjawab yang tentu butuh effort besar lebih dari sekadar menyatukan visi misi, isi kepala yang beda pemikiran, ego yang kadang enggan mengalah, dan seterusnya. Sendiri mungkin berat tapi bersama bisa jadi lebih berat lagi. Ehh, gak kebalik? Wkwk...

Terakhir, letakkan segala risau perihal masa depan, sebab semuanya masih tanda tanya dalam genggaman kuasa-Nya. Kalem aja, toh yang pasti itu kematian bukan jodoh, right? Yuk, persiapkan diri sebaik mungkin!

(Fyi, jomlo: penulisan baku berdasarkan kbbi, tapi tetap saja saya lebih suka nulis versi salahnya, haha)

--Gowa, 10 Ramadan

Thursday 24 May 2018

Pemaksaan




Beberapa hal hanya bisa terwujud jika ada pemaksaan. Kata “paksa” tidak selalu berkonotasi dengan sesuatu yang tidak baik. Seperti dalam memulai sebuah habit pun kadang harus diawali dengan pemaksaan diri sebelum akhirnya betul-betul terbiasa hingga tidak akan ada lagi perasaan berat ataupun sulit seperti saat pertama kali; sebab masih ada unsur paksaan. Pun demikian, saat berhadapan dengan hal-hal yang nampak sangat sulit atau bahkan mustahil tuk terwujud, namun nyatanya kita bisa tetap berhasil berkat adanya pemaksaan. Sebuah pemaksaan baik; memaksa diri melawan seluruh ketidakberdayaan, rasa takut, ragu, pesimis hingga memaksakan diri tuk melampau batas kesanggupan itu sendiri.

Kadang kita melihat sesuatu terlampau sulit tuk digapai, namun karena ada tekad dibarengi pemaksaan membuat kita mati-matian memperjuangkannya, hingga kita pun mungkin takkan menyangka jika hal besar tersebut (yang sebelumnya kita pun ragu akan kemampuan kita sendiri), nyatanya berhasil juga kita taklukkan.

Saat malas, penawarnya adalah pemaksaan. Paksakan diri lepas dari belenggu kemalasan, paksa diri beribadah hingga paksa diri untuk menjauhi banyak kesia-siaan, khususnya di bulan mulia ini. Atau ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja atau stagnan dan tak berjalan sesuai harapan, maka paksa diri keluar dari zona nyaman. Dengan pemaksaan siapa sangka, banyak hal luar biasa yang sanggup kita lakukan.

--Maros, 08 Ramadan

Tuesday 22 May 2018

Perempuan yang Masih Sendiri



Aku masih sendiri sebab aku ingin eseorang yang kelak menjadi penggenapku mendapatkan yang terbaik. Seseorang yang akan kuberikan seluruh kasih sayang, juga cinta yang utuh. Cinta yang sekian lama kupelihara sepanjang kesendirianku. Cinta yang belum pernah terucap kepada laki-laki selain ia. Sebab kesendirianku selama ini adalah sebuah usaha menyusun sebaik-baik masa depan.

Aku hanya sedang berusaha memperbaiki, juga memantaskan diri karena kelak, darikulah akan lahir generasi yang siap berdiri di barisan terdepan membela dan memperjuangkan agama-Nya. Menjadi sebaik-baik hamba, pun setaat-taat anak kepada kedua orang tuanya.

Kesendirianku saat ini tidak lain agar nanti, ia adalah seseorang yang pertamakali merasakan sesuatu yang selama ini mati-matian kujaga. Percayalah, aku hanya ingin menggenggam tangannya sebagai tangan laki-laki pertamakali. Aku menjaga hati, juga diriku sepenuhnya untuk ia seorang.

Karena kesendirianku adalah alasan paling tepat untuk menjaga diri. Kau tahu kan, keterjagaan itu sulit, namun biarkan ia menjadi kado untuk pertemuan kita nanti.

--Maros, 06 Ramadan

Sunday 20 May 2018

Drama Perempuan

Saya sering menjadi pendengar curhatan-curhatan beberapa teman perempuan dengan problem yang hampir sama. Di tiap cerita saya selalu saja disuguhi pertanyaan berulang: Bagaimana cara move on cepat atau bagaimana melepaskan diri dari zona pertemanan, zona adik-kakak, Hts-etc, yang ternyata berujung php? 

Betul-betul sederet drama perempuan. Terjebak dengan keadaan yang tanpa sadar membuatnya nyaman namun pelan-pelan malah melukai dirinya sendiri. Berulangkali ingin membebaskan diri namun slalu saja gagal sebab makhluk pecicilan bernama hati terlalu susah diajak kompromi. Namanya perempuan, perasaan memang slalu mendominasi dibanding logika.

Betul, mengatasi perasaan sendiri adalah hal yang sukar untuk seorang perempuan. It’s okay, but... jangan mengabaikan logika dengan dalih belum mampu menaklukkan hati. Plisss... Tangguhlah melawan perasaan sendiri. Jangan berlarut-larut dalam urusan yang hanya menguras energi, air mata (mungkin) namun tak memberikan apa-apa selain kecewa dan rasa sakit. (Kalo ngomong teori kayaknya jago banget, wkwk)

Lantas, apa solusinya? 

Alihkan perasaan-perasaan itu dengan menyibukkan diri agar waktu kita penuh terisi beragam aktivitas; banyak berbuat baik atau apa saja kegiatan positif yang membuat kita produktif. Sebab waktu tanpa kesibukan adalah sebuah jebakan. Karena kurang sibuk kita akan terbawa pada hal-hal yang tidak begitu berarti atau bahkan mungkin hanya kesia-siaan belaka. 

Seringkali waktu luang menjadi arena untuk memuaskan diri dengan sebuah hiburan (online, stalking (mungkin), dengar musik, hingga menonton drama korea berjam-jam lalu efeknya malah baper dan berangan-angan kosong). Lalu pikiran pun akan sibuk membicarakan masalah hati/perasaan, seolah percintaan adalah masalah utama seorang perempuan, padahal tidak juga, kan?

So, penuhi waktu dengan kesibukan-kesibukan yang berfaedah, (masuk organisasi yang akan mengembangkan potensimu, baca buku, belajar, hafalin qur’an, etc...) dan jangan pernah takut mencoba hal-hal baru atau apa saja kesibukan yang bisa mengupgarede kualitas diri. 

Jadilah perempuan elegan yang tiap detik waktunya adalah sebaik-baik persiapan untuk masa depan. Pun, untuk akhiratnya kelak.

--Maros, 04 Ramadan

Friday 18 May 2018

Membatasi Diri



“Ramadan adalah saat untuk sejenak menjadi emas, diam di tengah-tengah keramaian sekalipun banyak hal yang menarik untuk dikomentari. Untuk tak menghabiskan waktu dalam adu pendapat yang kita tak benar-benar mengerti. Untuk tak mudah membagikan sesuatu sebelum benar-benar yakin keabsahannya.” –Taufik Aulia

Ramadan kedua bersama perasaan was-was tentang waktu yang kadang dilalaikan dengan urusan yang tidak begitu penting. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin, mengupayakan agar waktu hanya terisi hal-hal baik, tetap saja yang namanya manusia slalu khilaf perihal waktu. Salah satu yang sangat sulit dimanage dengan bijak, apalagi jika sudah dihadapkan dengan sang pencuri Ramadan; Tv, hp, sosmed, etc...

Sebagai seorang yang merasa internet adalah sebuah kebutuhan, jujur saya sangat sulit jika sehari saja tanpa terkoneksi dengan dunia maya, meskipun di beberapa waktu saya harus menjadi seseorang yang tiba-tiba menghilang total dari semua akun sosmed (tapi ini hanya di moment tertentu saat saya betul-betul merasa butuh melepaskan diri dari hiruk pikuk dunia maya karena alasan yang cukup serius). Sederhananya, internet adalah salah satu distraksi paling besar yang cukup banyak membuat urusan seringkali tertunda atau terbengkala. Membaca status-status di linimasa fb, ig, twitter, browsing, blog walking, mengomentari postingan teman hingga membalas chat di wa adalah sekumpulan aktivitas yang tanpa sadar begitu banyak menyita waktu berharga kita, right?

Lantas bagaimana menyikapinya? Untuk saya pribadi solusinya hanya satu: Tegas membatasi diri. Membatasi diri dari segala hal yang membuka celah kelalaian. Batasi waktu tidur, waktu bersosmed, waktu kumpul-kumpul, hingga membatasi interaksi dengan orang-orang sekitar. Memang tidak mudah, namun sebagai seorang introvert yang slalu lebih suka menghabiskan waktu ber Metime saya merasa lebih mudah mengendalikan diri dari banyak interaksi yang menurut saya tak begitu penting (Kesannya saya sok penting banget, tapi beginilah yang namanya prioritas).

Bagi saya cukup bersama mereka yang betul-betul membuat nyaman dan tentunya memberi arti ataupun feedback/kesan yang baik. Ya, dalam pergaulan kita memang bebas berkenalan dengan siapa saja namun untuk lebih dakat dan akrab, kita harus membatasi diri atau selektif memilih. Bukannya sok pemilih namun memang tidak bisa dinafikkan jika orang-orang yang slalu berinteraksi sehari-hari sangat memberi pengaruh terhadap diri kita. Mulai dari sikap, sifat ataupun kebiasaan-kebiasaan dari seseorang yang ada di sekitar, secara tidak sadar akan ikut teradopsi ke dalam diri kita. Porsinya tentu beda-beda tiap orang namun scara garis besar seseorang memang cenderung terwarnai dibanding mewarnai.

So, selektiflah memilih di mana kita harus berada, bersama siapa, sebab waktu akan terus berjalan maju dan bagaimana kita di masa depan adalah hasil dari apa saja yang kita lakukan hari ini. Kadang kita harus rela dianggap sombong, cuek atau apalah, sebab terlalu pertimbangan hanya soal kumpul-kumpul, chat slow respon, atau karena kurang membaur bersama teman (walau hanya di grup Whatsapp) ketahuilah, bukan tidak ingin, hanya saja (lagi-lagi) ini soal prioritas. Dan maaf, saya bukan tipe manusia yang mudah mengendalikan diri jika terlanjur terdistraksi hal-hal yang memang menyenangkan dan bikin candu-hingga lupa waktu (chattingan, browsing, berselancar di dunia maya-etc...)

Finally... Kembalikan ke diri sendiri, sejauh mana kita menyadari dan menghayati tujuan kita diciptakan tanpa mengabaikan tanggungjawab-tanggungjawab yang lain.

--Maros, 02 Ramadan

Thursday 17 May 2018

Jejak Perpisahan



Subuh ini saya membaca kembali tulisan lama dari teman-teman seperjuangan di pesantren. Saya ingat betul coretan-coretan di buku bersampul hijau itu adalah kata-kata yang mereka tuliskan sebelum kami berpisah. Tahun 2012 lalu, demi sebuah mimpi saya harus pergi meninggalakan pesantren, tempat saya lahir dan bertumbuh. 

Saya slalu percaya, tulisan adalah jejak yang takkan terhapus waktu. Saya tidak bisa mengingat seluruh hal seperti yang saya inginkan, karena itu saya slalu menulis dan salah satu hal terakhir yang saya lakukan sebelum berpisah dengan mereka adalah menyuruh mereka menulis apapun yang mereka ingat tentang saya. Anggap saja sebagai pesan atau pun kesan selama mengenal saya sebagai seorang teman. 

Maka tertulislah beberapa kalimat yang hari ini, saat membacanya membuat perasaan haru menyeruak bersama kenangan dan mimpi yang pernah tumbuh subur di halaman masa lalu.
=====
Penampakan: sebagian dari tulisan-tulisan mereka.
@Umem: I think about you.. kreatif, smart & sholeha, Amiiennn!!! You’re strong in ma’had. Pertahankan ibadahmu & “DON’T FORGET ME” (Dalam hati: bagaimana mungkin aku melupakanmu, teman? Sejak sd kita slalu sama-sama. Sebagai partner, rival, teman sekamar bahkan sesekali sebagai dua orang yang bermusuhan, wkwk) Saranghae, cinta sebatas saudara sesama muslim & cinta sebatas teman (chingu yeongwonhi) jangan pernah menyerah dengan keadaan yang membuat semangatmu runtuh!!! Fighting, spirit, hamasah & tetap semangat!!! (umem ini salah satu teman saya yang suka banget sama drama korea, wajar bahasanya gado-gado gitu. Thanks a lot mydear friend...)
@fayant: i think about muzek... (sejak tamat sd, di asrama atau pun di sekolah saya lebih akrab disapa muzek: katanya plesetan nama depan) Orangnya baik, supel, kreatif, ngak mudah menyerah dan slalu menghargai teman, tapi kadang egois. (fayant ini sahabat sekaligus orang paling dekat dengan saya. Dibanding teman yang lain, ia slalu lebih  jujur mengatakan ke-egoisan saya. Salut fay... you’re my bestfriend forever)
@naimah: I think you’re smart... you’re creative, strong, sholehah and you’re korean lovers (dulu). You’re so diligent... Pertahankan dan tingkatkan!!! Whereeven, whenever and forever. Fighting...(Duh, saya lumayan terharu jika dia yang mengatakan saya pintar. Why? Sejak sd bisa dibilang, kami ini rival dan saya slalu saja kalah: 6 tahun sd cuman sekali saya berhasil mengganti posisinya sebagai peringkat pertama di kelas. Maklum, soal belajar dia paling tekun dan semangatnya luar biasa. Gak kayak saya yang banyakan mainnya, haha...)
@Inay: Orangnya kreatif, smart, tidak suka membuang-buang waktu. Rajin, suka nasehatin orang kalo ngak sholat sunnah atau apalah... tapi kadang menjengkelkan, tapi tidak sering loh.. Jangko lupaka’nah! (Nay... terlalu banyak hal yang terkenang dari ratusan hari bersamamu. Sampai sekarang pun saya masih slalu menyapa walau hanya via wa dan sesekali berkunjung ke kostmu. So, bagaimana mungkin aku melupakamu?) Tetap semangat meraih impianmu... (hmm.. perempuan satu ini kadang sulit terdeteksi kepribadiannya. Kadang-kadang cerewet luar biasa lalu tiba-tiba hening tanpa alasan yang jelas, wkwk)
@Mir’a: Selamat pagi kawan... Kamu teman yang baik banget, perhatian, cerewet, dan sangat kreatif. Ada satu hal yang paling kusuka darimu, kau muslimah yang tegar dan berpendirian teguh. Mempunyai banyak sekali cita-cita yang semoga dapat kau raih semua, pesanku untukmu: Jadilah hafizah yang sholeha, taat beribadah dan jangan lupakan hafalanmu.. Fighting friend!!! Love u friend, always be my friend and don’t forget me please...!!! (btw, ini salah satu tulisan paling deep untuk saya... Walaupun saya merasa kau berlebihan menilaiku, anggap saja itu bagian dari doa dan harapan yang semoga demikian; sungguh, sayapun masih berusaha merawat cita-cita itu)
@Itada Sa’ad: You’re smart, kreatif, never afraid with keadaan. Jangan pernah bosan dan tingkatkan sgala impian yang berkecamuk di pikiranmu. Oh ia, kamu juga kadang-kadang egois dan cuek, but i hope that’s dulu (Ya ya.. selain fayant, dia memang teman saya yang berani jujur mengakui jika saya memang egois dan sepertinya dia lumayan peka membaca seseorang atau memang karena kami sempat dekat banget? Entahlah...)
@Nadia: Salamku sama Yongki (dia siapa sih? Merek sepatu yaa, wkwk) jagai ponakanku Naimah & Tahra (fyi, jaga diri sendiri aja masih ruwet nad, gimana jika ditambah dengan mereka? Gak sanggup! Haha) Jangan lupakan aku! (Tidak semudah itu melupakan orang yang sudah sejak sd menemani hari-hariku...) Asal kamu tahu aja, belahan jiwaku lagi hijrah ke sana. Dua tahun lagi dia kan pulang ke pesantren, jagai nah, nanti nakalki... (Sampai detik ini kamu dah jadi ibu dengan dua orang bocah dan saya masih tidak tahu siapa yang kau maksud, wkwkw)
@lisa: Selamat menempuh perjalanan baru dan perjalanan yang cukup panjang. Hanya satu pesanku, jangan pernah melupakanku dan doakan agar aku juga bisa menginjak kota Jakarta. Amiin.. Teman. Ada satu yang membuatku iri denganmu: kamu tidak pernah mau melewatkan waktumu dengan sia-sia. Kamu slalu pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tidak semua orang bisa memiliki sifat rajin dan kreatifmu. Tingkatkan dan semangat menggapai cita setinggi-tingginya. (Anyway, membaca ini tiba-tiba saya merasa masa lalu itu terlalu singkat. Mungkin memang benar, dulu saya anaknya rajin banget, tidak tau malas-malas karena keadaan yang membentuk saya seperti itu; berbeda dengan sekarang. Kehidupan yang lebih dewasa ternyata mati-matian membuat rindu zaman santri dulu. Tak ada lagi aturan yang mengekang, tidakada pembina yang slalu mengontrol ini-itu, tidakada teman-teman yang menjadi motivasi untuk lebih baik lagi, dan segala hal yang kini setengah mati kurindukan. Betul, sesuatu akan terasa sangat berarti ketika ia sudah pergi atau selesai)
@Naughty: Dear Muzek... Sob, don’t forget me! Always mendukungmu. Aku slalu iri padamu akan kepintaran, kebaikan, dan kerajinanmu. Tetap pertahankan prestasimu teman. Ini hanya sedikit motivasi untukmu, semoga sukses menghapal Qurannya yaa.. Banggakan orang-orang yang menyayangimu... (Sampai saat saya menyalin tulisan ini, saya masih belum bisa menebak siapa pemilik coretan dengan nama samaran “naughty” ini. Sepertinya saya memang tak cukup mengenal teman-teman saya scara keseluruhan sebab dari tulisan tangannyapun saya belum bisa menerka siapa pemiliknya. Siapapun kamu yang menyembunyikan identitasmu, terimakasih sudah menuliskan ini. I love you as my friend...)   
@ifha: Hey.. Hey.. Don’t forget me, si cewek cute, he he he (Perasaan ini anak dari dulu sampai sekarang tidak berubah: Alay! Haha) Kalaw udah di jakarta truz kamu ketemu sama kotak salamin yeah. Ha ha.. (Kotak yang mana yang kau maksud fa? Spongebob kah? Wkwk) Sorry tidakada saya kasihko kenang-kenangan. Cuma tulisan bertinta merah ini yang menjadi kenang-kenanganku. (Perempuan satu ini memang beda. Tulisannya pun paling khas; seperti tulisan sambung. Btw, siapa juga yang minta kenang-kenangan? Foto bareng di pinggir danau sore itu sudah lebih dari cukup kok, lagian nih yaa, ujung-ujungnya kita malah sekampus dan paling sering meet up bareng dibanding dengan kawan yang lain; sebuah Konspirasi Semesta! haha)
@Nabila: Hidup ini adalah pilihan, setelah selesai menentukan pilihan ada perjuangan dan pengorbanan. Tanamkan prinsip hidup dan raih dengan tekad yang tepat, my best friend; Muzakkirah, don’t give up to all problem in your life. Jangan hanya bermimpi tapi wujudkan, jika tidak kita adlah pengecut pada diri kita sendiri. So wujudkan!!! (Nabila... miss you a lot dear... Terimakasih pernah menganggap saya sahabat dan maaf jika selama berteman saya kurang peka. Kamu salah satu teman paaaaling baik, paling positif dan paling berkesan meskipun kebersamaan kita tidak cukup lama. Oh yaa, semoga istiqamah dengan pilihanmu saat ini, jujur... aku iri! Kamu tidak hanya cerdas tapi juga baik hati, lembut, dan MasyaAllah, sekarang tambah sholehah... Proud of you!)
@Rina: Jangan sia-siakan waktu. You are my best friend, smart n solehah.. Tingkatkan..... Don’t forget me... Be succes everytime... I love you cause Allah... (Love you too rin, sekarang dan hingga hari ini kau tetap bestfriendku...)
~
Fiuhh... Tulisan-tulisan di atas membuat saya banyak mengenang masa lalu. Jauh sebelum hari ini mereka adalah teman-teman seperjuangan luar biasa yang menemani suka-duka kehidupan di masa itu. Terimakasih pernah membersamai dengan hal-hal baik yang membaikkan. Di mana pun kita saat ini, percayalah, kenangan akan selalu menjadi ikatan dalam kepala masing-masing. Tentang persaudaraan yang menyejukkan, ukhuwah yang semoga akan mempertemukan kita kembali di titik kebaikan manapun sesuai kehendak-Nya...
--Makassar, May 2018

Monday 14 May 2018

Catatan Tentang Kakak Perempuanku



Flashback ramadan tahun lalu... 

Aku tengah menuliskan sesuatu saat ia datang mengetuk pintu kamarku. Fokusku seketika terhenti dari layar laptop. Sejenak mengistirahatkan jemari yang sedari tadi asik menari di atas keyboard. Kubuka pintu dan kami pun saling melempar senyum sebelum ia memulai percakapan. Kupikir ia mau menceritkan pengalaman i'tikaf di beberapa ramadan terakhirnya, ternyata lebih dari itu. Ada hal khusus yang ingin ia sampaikan kepadaku, adik bungsu yang katanya lumayan keras kepala dan cukup egois. 

Aku merekam sebaik mungkin kata-katanya kala itu. “Dek, mulai sekarang aku memutuskan takkan lagi membaca novel ataupun menulis hal-hal fiksi seperti dulu. Aku masih diam menyimak, penuh tanya “ada apa dengannya?” ini semacam pengunduran dirinya sebagai kakak yang slalu kompak membicarakan perihal hobi kami: tentang menulis ataupun membaca. Aku menarik kesimpulan diantara berbagai spekulasi yang muncul di benakku. 

“Aku sudah merenungi lama tentang tentang pilihan ini. Dari yang kupelajari belakangan, mungkin memang ego adalah benteng yang slalu kubuat tuk membenarkan apa yang sejatinya mulai kuyakini. Bahwa seseorang, semakin ia belajar lebih dalam-tentang syariat-Nya, semakin pula ia akan kembali berbenah, mempertanyakan kembali sgala hal yang ada dalam diri ataupun sekitarnya. Sudahkah ia berlandaskan ilmu syar'i? Sesuaikah ia dengan ketentuan-Nya? Seluruskah dengan para pemahama para ulama terdahulu? etc.. (kurang lebih demikian yang kutangkap dari perkataannya).

Diam-diam aku takjub bercampur iri. Sebelumnya ia memang sempat mengatakan beberapa hal tentang ini. Namun aku tak begitu peduli. Dalam hati masih yakin “Apa ia sanggup? Bukankah kita sama? Amat gemar membaca karya tere liye. Slalu penuh semangat mendiskusikan karya-karyanya. Ahh, hati memang amat rentan berubah. Tentu oleh sang Maha membolak-balikkan hati manusia. 

“Aku ingin belajar tafsir saja" ujarnya pelan dengan penuh keyakinan. “ahh... pantas saja ia merelakan uang tak sedikit tuk membeli 10 jilid tafsir Ibnu katsir beberapa waktu lalu” batinku masih tak bersuara menanggapi ucapannya. 

Hmm... Senang, haru, dan perasaan-perasaan yang entah bersamaan membuntutiku. Dan percakapan selanjutnya kian seru. Darinya lagi-lagi aku belajar banyak hal pagi itu. Seorang kakak yang slalu menjadi panasea untukku. Ia yang diam-diam kukagumi sebagai sosok perempuan sabar yang slalu mendengarkan keluh kesahku, pemberi nasihat yang bijak dan tentu saja seseorang yang kebaikan-kebaikannya slalu ingin kucontoh, terlepas dari berbagai kekurangannya.

Kak, semoga slalu istiqamah di jalan kebaikan pilihanmu.

Saturday 12 May 2018

Mei dan MIWF


source; Ig kak Iid :)

Tepat seminggu setelah berakhirnya MIWF (Makassar International Writers Festival) yang merupakan perayaan literasi terbesar di Indonesia Timur. Acara yang diadakan selama empat hari ini menyisakan pengalaman tak terlupakan bagi siapapun yang ikut serta merasakan euforianya. Maklum, festival yang berlangsung di benteng Rotterdam ini hanya ada sekali setahun tiap bulan mei.

Meski hanya hadir sekali di hari kedua aku tetap merasa sangat bahagia sebab MIWF memberikan kesan luar biasa yang membuatku membulatkan tekad agar bisa kembali hadir di MIWF selanjutnya, tentu jika masih diberi umur hingga tahun depan.

Acara ini menyuguhkan lautan ilmu dengan menghadirkan orang-orang hebat yang menjadi pengisi panel-panel diskusi ataupun agenda-agenda menarik lainnya. Seluruhnya betul-betul sukses menghidupkan atmosfer literasi, membuat MIWF seperti memiliki magnet yang mampu menarik hati para penikmatnya.

Hanya setengah hari aku berada di sana namun detik-detik terasa merangkak lebih cepat dari biasanya sebab suasana yang menyenangkan seperti menenggelamkanku dalam kebahagiaan yang entah harus kubahasakan bagaimana, Alhamdullillah.. Salah satu nikmat-Nya diberi kesempatan menjadi bagian dari kemeriahan MIWF tahun ini.

Sebuah keberuntungan bisa bertemu dengan beberapa penulis yang selama ini hanya kukenal lewat tulisan-tulisannya di buku ataupun di dunia maya. Di cup of poetry aku melihat dan mendengarkan langsung Boy Candra membacakan puisinya, lalu di malam harinya aku menyaksikan Fiersa Besari membacakan potongan narasi dalam salah satu karyanya. Dan yang tak kalah mengesankan adalah mendengarkan pembacaan pidato kebudayaan yang dibawakan oleh Najwa Shihab lalu dilanjutkan dengan pertunjukan teater Cut Nyak Dien. Luar biasa, malam itu aku pulang dengan senyum mengembang dan perasaan senang bukan main.


--Mengenang MIWF