Monday, 18 August 2025

29 dan perkara-perkara yang lalu

Aku menyebutnya ritual tahunan; satu kali dalam setahun, aku ingin betul-betul menikmati setiap detik dalam 24 jam sehari yang mengingatkanku banyak hal. Hari kelahiran. Hari yang sebenarnya biasa saja namun selalu menghadirkan semacam emosi khusus yang akan membuatku merasa wajib menyempatkan diri untuk duduk tenang dan mulai merenungkan hidup. Lalu menulis sesuatu, semacam kontemplasi ataupun sekadar menceritakan kembali masa lalu yang selalu mendatangkan rindu.

Waktu memang melesat cepat, aku tiba di umur dua puluhan akhir. Sudah begitu banyak yang terjadi dan bank ingatan kian sesak dengan memori dan segala macam perasaan yang menyertainya. Orang-orang datang dan pergi. Satu fase berganti dengan fase lain. Beberapa hal selesai sementara hal lain baru dimulai. Dan di antara seluruh waktu yang berlalu dengan ragam peristiwa ternyata aku selalu merindukan masa lalu.

Waktunya bernostalgia.                     

Karena bagiku, nostalgia tidak sekadar perjalanan mengenang tapi juga tentang merasakan kembali euforia lama yang sudah tertimbun bersama waktu yang pergi. Dan di hari ulang tahun ini aku hanya ingin tenggelam dalam nostalgia yang khidmat, mencoba beberapa anak kunci dan mulai menjelajahi banyak kenangan di balik pintu ingatan.

Pintu pertama: 23. Dua angka yang bagiku berarti banyak hal. Setahun sebelum pandemi yang menghebohkan. Aku tidak menyangka, tahun itu menjadi tahun terakhir aku bersama seseorang yang sudah lebih dari separuh hidup kuanggap sahabat. Aku tidak ingin melupakan momen-momen terbaik kami sebelum pernikahannya menjadi momen penting yang pada akhirnya memutus tali yang selama ini sudah menghubungkan kami dengan begitu erat. Barangkali memang benar, setiap orang dalam hidup kita memiliki masanya masing-masing.

Fragmen-fragmen ingatan berhamburan. Ada kenangan saat kami ke toko buku lalu menemukan perpustakaan kata kerja tanpa rencana. Ada selamat ulang tahun yang dikirim tepat pada pukul 00.00 am dan hadiah dua pot kaktus pada hari ulang tahun terakhir yang dia ingat. Rex dan Romeo, dua nama dari novel favorit kami menjadi identitas si kaktus agar lebih nyaman diajak bicara. Lalu ada suatu sore dengan dua gelas kopi, pertemuan yang menjatuhkan air mata, dan kesedihan yang dirayakan berdua. Peristiwanya sudah begitu jauh dan aku sangat merindukan semuanya.   

Pintu kedua; sepuluh tahun pertama yang masih lengkap. Anggota keluarga yang utuh. Sederhana namun begitu hangat. Kepolosan masa kanak yang belum mengenal kehilangan. Hari-hari tak terlupakan yang akan terus kuingat sebagai fase paling berarti dalam hidupku. Tidak ada masalah yang lebih sulit dibanding soal matematika yang tidak bisa kupecahkan. Tidak ada insomnia dan overthinking. Tidak ada kekecewaan separah keluar dari peringkat tiga besar. Tak ada ketakutan terbesar selain terlambat ke sekolah dan kena marah karena terlambat shalat. Aku bersyukur memiliki pengalaman masa kecil yang cukup indah dikenang sampai hari ini.


Aku beruntung diberi kesempatan merasakan banyak hal yang barangkali tidak sempat dirasakan banyak anak seusiaku; kebebasan bermain tanpa harus tidur siang. Tidak ada larangan ataupun aturan bermain yang membuatku betul-betul bebas mencoba banyak hal: mengambil tanah liat yang dengan kreativitas seadanya bisa menghasilkan beberapa mainan seperti ponsel bohongan ataupun kue-kue cantik berhias bunga dengan ragam bentuk. Belajar naik sepeda meski matahari siang begitu terik, bermain layangan sepulang mengaji, turun ke sawah dan bahkan mencoba berenang di selokan yang cukup dalam saat hujan deras. Aku juga sering memanjat pohon mangga depan rumah dan belajar menjahit tangan demi baju-baju untuk Barbie-ku.

Pada usia yang bukan lagi anak-anak seperti sekarang, aku baru sadar jika kebebasanku dulu bukanlah sesuatu yang diberikan kebanyakan ibu kepada anaknya. Mama sebaik itu ternyata, tidak pernah mewajibkan tidur siang, tidak ada jam wajib belajar, tidak melarang main tanah ataupun memanjat pohon dan selalu memberi izin main hujan. Peraturan mama seingatku begitu sederhana; tidak boleh berbohong dan jangan sampai melupakan kewajiban; salat lima waktu, ke sekolah pagi hari dan mengaji sorenya, pulang sebelum magrib dan mencuci baju setiap hari jumat, waktu libur sekolah. 

Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah disuruh belajar karena aku memang benci jika tidak bisa menjawab soal saat ujian, jadi aku cukup suka dan rajin belajar. Lalu soal waktu, aku hanya mengikuti pengaturan waktu mama yang terbiasa on time dalam segala hal. Ternyata aku secara tidak sadar sudah mengadopsi kebiasaan baik mama soal waktu. Ia yang selalu bangun sebelum subuh, segera beranjak tiap kali azan berkumandang dan shalat tepat waktu. Ia juga ke pengajian rutin selalu sebagai seseorang yang paling pertama hadir. Aku seperti tidak diberi kesempatan mempunyai memori tentang mama yang terlambat atau buang-buang waktu. Meskipun di mataku rutinitasnya begitu monoton, mama tetap menjadi teladanku soal manajemen waktu yang baik.

Pintu ketiga; mendengar dan membaca cerita. Satu lagi bagian paling berkesan dari masa kecilku adalah waktu-waktu bersama mama antara magrib isya. Karena kami tidak memiliki tv (sebab prinsip mama yang khawatir tv akan memberi pengaruh buruk kepada anaknya juga perkara ekonomi; tv masih barang mahal bagi kami kala itu), aku jadi punya quality time berdua; mama akan menceritakan kisah nabi dan sahabat-sahabatnya, masa kecilnya di kampung yang belum tersentuh listrik hingga cerita-cerita yang ia dapatkan dari nenek. Aku tidak akan lupa betapa antusiasnya diriku menunggu kelanjutan kisah nabi Musa yang menghabiskan beberapa malam. Juga kisah nabi Yusuf yang membuatku hampir menangis karena kasihan dengan nasibnya yang dibuang ke sumur. Barangkali, itu adalah awal mula aku menyukai cerita dan mulai menjadikan membaca sebagai hobiku dan buku apa saja yang berisi cerita akan menjadi teman dudukku.

Pintu keempat; belajar mandiri setelah memasuki kehidupan asrama. Enam tahun masa SMP dan SMA yang penuh warna; aku mulai bertemu pengalaman-pengalaman baru yang lebih seru sekaligus menantang. Banyak cerita dari kehidupan berasrama yang sangat kusyukuri karena sudah mendidikku sedemikian rupa. Aku mulai menyadari hidup yang tidak lagi sesederhana ketika masih SD. Enam tahun yang tak kusangka akan kulalui di empat tempat berbeda. Usia belasan yang penuh rasa ingin tahu tentang mimpi atau cita-cita dan bagaimana harus memperjuangkannya.

Aku belajar arti tanggungjawab dengan menerima resiko-resiko yang akan akan datang bersama pilihan. Hidup kadang teramat menyebalkan sebab memaksaku berhadapan dengan ujian-ujian yang lebih sulit dari ujian nasional. Pada banyak waktu aku kesulitan, bahkan merasa tidak sanggup dan ingin menyerah hingga akhirnya aku sampai pada titik: keluar dari arena pertarungan adalah jalan ninjaku. Sebuah keputusan konyol yang sampai hari ini selalu kuingat dengan penyesalan. Andai saja waktu itu aku sudah cukup dewasa, tentu saja hidup tidak akan bertemu kelokan keliru. Andai saja aku bisa bertahan dan berusaha lebih tangguh, beberapa salah tak perlu terjadi. Sayangnya, hidup memang perlu memberi kegagalan yang menghancurkan agar aku lebih kuat dan menjadi lebih dewasa.   

Kemudian ....

Pintu kelima … dan keenam …ada masa yang sangat tidak nyaman tuk diingat sampai di tahap aku ingin amnesia agar memoriku menghapusnya sampai betul-betul hilang dan aku tak perlu mengingatnya kembali. Ternyata sulit sekali berdamai dengan kenangan-kenangan paling memuakkan. Bahkan, ketika tulisan ini kuketik, aku masih bisa merasakan betapa marahnya aku dengan diriku di masa itu. Terlalu naif, terlalu bodoh dan terlalu terburu-buru. Ceritanya tidak akan kutulis ataupun kuceritakan lagi. Meski tidak pernah kehilangan tempat, aku berharap jika suatu saat kenangan itu tidak lagi mengganggu. Sepenuhnya, aku sudah ikhlas.  

Saturday, 28 June 2025

Untuk Mima'

  


    Sejujurnya aku selalu kesusahan membuat kalimat pertama—karena itu, kubuka tulisan ini dengan salah satu kutipan yang pernah kubaca di sebuah blog:

“The best love is when you find someone who makes your Imaan rise, who makes you more pious, and who helps you here in the dunya. Because that person wants to meet you again in Jannah.”

  Siapa sangka, Mim. Untukmu—inilah waktunya, bertemu dengan seseorang yang insyaallah akan membersamai hingga ke syurga; seorang pasangan yang semoga adalah sosok dewasa dalam membimbing dan mengayomi. Semoga dia mampu menjadi qowwam yang penuh kasih sayang, seorang suami dan calon ayah yang berdedikasi dan penuh tanggungjawab. Mim, musim penantianmu—yang sudah cukup lama kini berakhir; hikmah ending, dengan seluruh pemahaman baiknya. Setelah sekian hari yang penuh ujian perasaan dan jebakan prasangka yang seringkali menggoyahkan keyakinan terhadap takdir-Nya, finally … Allah tunjukkan momen paling tepat versi-Nya.

     Barangkali memang begitulah cara terbaik Dia menulis skenario ceritamu; terlihat berliku tak berujung, penuh ketidakpastian yang menguji iman hingga begitu banyak luka yang dibiarkan menjejak terlebih dahulu—seluruhnya adalah bagian dari perjalanan perasaan yang pada waktunya akan membuatmu lebih bersyukur sudah berhasil melaluinya. Allah ingin lebih menguatkan seorang hamba dengan kesabaran paripurna, dengan kesyukuran yang mendalam—bahkan terhadap hal-hal di luar harapan, dan mungkin juga sekadar mengingatkan dengan lembut; bahwa yang terjadi adalah terbaik, seburuk apa pun manusia mencurigai takdir-Nya.

    Mim, ingat tidak? rasanya baru kemarin—padahal sudah lima tahun—ketika kita membicarakan soal kekhawatiran ataupun ketakutan terhadap pernikahan. Tentang cerita-cerita tidak bahagia seseorang yang sudah menikah dan menyesal hingga membuat kita cukup overthinking. Lalu, setelah tahun-tahun berlalu dan pembicaraan kita tentang sebuah pernikahan sudah semakin dewasa dan tidak semengkhawatirkan dahulu, saat itu (entah bagaimana) aku yakin, mungkin memang tidak lama lagi—tepatnya, firasatku bilang; Mima akan segera bertemu jodohnya. 

Meskipun ternyata Nisha lebih dulu, aku tidak menyangka hanya berjarak sebulan, Mima pun menyusul hari ini. Barakkalah fiik, Mim. Maaf karena belum bisa membalas chat—tapi percayalah, barisan doaku cukup bising beberapa malam ini. Anggap saja, begitulah caraku merayakan dari jarak jauh, dengan doa-doa yang selalu kuyakini lebih mendekatkan. Dan walaupun diam-diam dan masih tak ada percakapan di hari bahagiamu—tetap ada aku. Selalu. Sebagai kawan yang akan terus mendoakanmu, tidak hanya hari ini.  



     "Barakallahu lakuma wa Baraka alaykuma, wa jama’ah bayna kuma fii khair … selamat menikah, Mim."  

    Semoga menjadi pasangan yang penuh saling dalam mengarungi bahtera rumah tangga; Mima’ dan suami yang saling mencintai.  Saling memperjuangkan. Saling mendukung. Saling memaafkan. Saling yang tidak berhenti pada saling menyayangi saja. Saling yang terus-menerus. Sebab itu yang Allah ajarkan—saling mengingatkan dalam kebaikan. Saling menasihati dalam kebenaran. Maka semoga Allah berkahi pernikahan kalian dan memberi sakinah mawadda wa rahma dalam rumah tangga kalian. Selamat bertumbuh bersama, selamat menjadi rumah bagi satu sama lain—langgeng terus, yaa sampai maut memisahkan. Hingga syurga menjadi pemberhentian terakhir. Allahumma Amiin.

   Ada begitu banyak doa terbaik dari orang-orang untuk kalian hari ini, semoga semuanya mendapat pengabulan terbaik-Nya.

    Mim, semoga lebih bahagia dari yang sudah-sudah—meskipun nanti—seperti bagaimana hidup ini berjalan—akan ada saatnya bertemu bagian tidak menyenangkan, tapi setidaknya,  jika waktu itu tiba, rasanya cukup melegakan karena Mima sudah tidak sendiri. Bukan lagi seperti dulu yang hanya ada sajadah untuk bersujud dan mengadu—sekarang sudah ada pundak untuk bersandar. Yap, kini ada dia yang akan menemani Mima melewati ups and down moments… Masyaallah.

    Karena sudah sejam lebih, kuselesaikan tulisan ini dengan: Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan—sama seperti membuat pembuka tulisan, ternyata aku juga susah mengakhirinya, haha.…      

Makassar yang mendung dan masih sendu.

Dari kak Iramu yang bahagia tapi juga sedih sekaligus terharu.



Sunday, 18 August 2024

Turning 28

Bagiku, hari kelahiran selalu menjadi waktu terbaik untuk berefleksi sekaligus menjadi momentum yang tepat tuk mengupayakan perubahan; menjadi versi yang lebih baik lagi.

Sebab ada banyak hal yang masih harus dibenahi. Ada harapan-harapan baru yang masih harus dirawat. Ada prasangka baik yang harus terus diupayakan juga doa-doa yang tidak boleh berhenti. Hidup memang harus dijalani dengan baik—untuk menjadi sebaik-baik hamba. 

Alhamdulillah, untuk umur kesekian; semoga berisi keberkahan di dalamnya dan semoga kesempatan hidup ini tidak kubiarkan hanya berlalu dan menjadi sia-sia—doa yang akan kuulang tiap bertemu kembali dengan 18 Agustus; hari pertama aku hadir di dunia.

Jujur saja, hari ini adalah hari ulang tahun paling campur aduk. Hal-hal yang beberapa hari lalu sudah kurencanakan berakhir hancur berantakan karena kejadian tak terduga. Hari yang kupikir akan menyenangkan ternyata berubah menjadi ruang ujian yang menekan. Rupanya, sabarku sedang diuji sedemikian rupa. 

Semua bermula saat terbangun dengan sisa perasaan frustrasi setelah semalam menerima pesan yang sangat tidak menyenangkan hingga membuatku menangis sesenggukan dalam salat malam, menunggui subuh dengan perasaan sedih dan muak.

Ternyata, pesan menyebalkan semalam masih harus berlanjut paginya. Tidak hanya jadi pengacau ritual pagi tapi juga menjadi pembuka hari paling buruk. Meski demikian, aku tetap memaksa diri untuk berolahraga sejam sebelum pulang; kembali menangis dan tidur. Salah satu hari terburuk dalam hidupku baru saja berlangsung.

Tapi, hidup selalu punya tetapi (meminjam kalimat Aan Mansyur).

Sekitar pukul tujuh pagi saat masih di perjalanan pulang, seorang sahabat mengirimkan ucapan selamat ulang tahun bersama doa-doa panjang yang membuat mataku berkaca-kaca. Rasa haru memenuhiku. Seketika aku merasa begitu disayang hingga persepsiku tentang hari terburuk berubah seketika. 


Betul, selalu ada potongan menyenangkan dari satu hari paling buruk sekalipun.

Obrolan dari WhatsApp pun berlanjut dengan telfonan sejam lebih. Bercerita ternyata bisa menjadi sangat melegakan. Aku jadi merasa lebih baik dan seketika ingin menulis; satu hal yang sepertinya masih bisa kuusahakan sebelum hari ini berakhir—dari sekian daftar rencanaku, salah satunya adalah aku ingin menulis, apa saja.

Sejujurnya ada banyak hal yang ingin kutulis; tentang pengalaman beberapa bulan lalu yang ternyata mengubah hidupku, tentang mimpiku yang sepertinya ingin kulepas, dan tentang masa depan yang kubayangkan. Satu hal yang tidak kusangka; akhirnya ada waktu ketika aku pun berharap tentang masa depan yang lain—meski kutahu betul, tidak mudah untuk mengusahakannya, tapi apa sih yang sulit untuk Allah? "Kamu punya Allah, Raa" kataku, mencoba menenangkan diri. 

Kuatkan saja terus yakinmu.

Insyaallah, semua akan baik-baik saja.

—Makassar, 10:47 pm