Thursday 23 December 2021

[Review Buku] Man's Search For Meaning; Sebuah Perjalanan Menemukan Makna Hidup di Tengah Realitas yang Penuh Derita


Judul Buku: Man's Search For Meaning

Penulis: Viktor E. Frankl

Penerjemah: Haris Priyatna

Penerbit: Noura Books

Tebal Buku: 233 halaman

Terbit: Cetakan ke-11, Agustus 2021

Format: Paperback

ISBN: 978-602-385-416-5


Menarik, menyentuh, dan mengispirasi; tiga kata inilah yang saya simpulkan selepas menamatkan Man's Search For Meaning. 

Bagi saya pribadi, cerita tentang seorang tawanan dengan segala rupa penderitaannya adalah bacaan yang sangat menarik dan layak tuk disimak. Lewat bahasanya yang lugas, dr. Viktor menyuguhkan sisi kehidupan yang penuh siksaan dan tampak tidak lagi memiliki harapan. Dengan memakai kacamata penulis, kita akan dibuat tersentuh, seolah diajak melihat langsung bagaimana setiap episode kehidupan bisa menjadi sedemikian menyakitkan; waktu terus beranjak tak lebih dan kurang sebatas repetisi dari ketidakbahagiaan, keputusasaan, dan sederet kesedihan yang tak berkesudahan. Lembar demi lembar buku ini akan membawa kita pada bagian-bagian lain dari perjalanan takdir manusia yang mengusik kesadaran, dan mungkin juga akan membuat kita lebih memperhatikan hidup untuk mensyukurinya lebih dalam.

Bagaimana pun, buku ini berhasil mengulik penderitaan dengan beragam sudut pandang; kematian (yang kadang muncul lewat habisnya harapan), ketakutan manusia, perasaan menyerah, trauma, nilai-nilai spiritual, hingga penemuan makna di tengah keadaan tertekan dan dalam kubangan putus asa.

Buku ini tersusun dari beberapa bagian, namun secara garis besar membahas tentang logoterapi; bagaimana mekanisme kerjanya terhadap berbagai gangguan psikologi pasien dan tentu saja pengalaman pahit penulis ketika berada dalam kamp konsentrasi yang asyiknya dibahas dari aspek psikologi sesuai background dr. Viktor. Sebuah memoar yang tragis dan ngeri memang, namun sisi kemanusiaan yang ditonjolkan memberi pemahaman bahwa betapa kompleks alam jiwa manusia jika ditelaah lebih dalam. Pada akhirnya, seluruh pengalaman hidup yang dilalui akan membentuk karakter sekaligus menentukan bagaimana kita memandang kehidupan.

Dengan uraian yang cukup detail dan mudah dipahami (meskipun begitu banyak istilah asing dari ilmu psikologi atau bahasa medis), saya rasa apa yang ingin dikatakan penulis lewat pengalaman dan tentu saja penjelasan tentang makna hidupnya sudah tersampaikan dengan sangat baik.

Untuk catatan terakhir yang menjadi penutup buku ini, saya ingin mengatakan; Amazing! Memang layak menjadi buku best seller internasional karena sangat berpengaruh bagi ilmu psikologis manusia dan tentu saja sangat banyak yang sudah terinspirasi dari buku ini. 

Berikut beberapa kutipan favorit dari buku ini;

"Humor merupakan senjata jiwa yang lain dalam upaya seseorang untuk bertahan hidup." (halaman 61)

"Kita perlu menghadapi seluruh penderitaan kita, dan berusaha menimalkan perasaan lemah dan takut. Namun, kita tidak perlu malu untuk menangis, karena air mata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, yakni keberanian untuk hidup. (halaman 116)

"Manusia bisa melestarikan sisa-sisa kebebasan spiritual. Kebebasan berpikir mereka. Meskipun mereka berada dalam kondisi mental dan fisik yang sangat tertekan." (halaman 80) 

Usai membaca buku ini saya tersadar; betapa mengagumkan takdir sebuah karya yang pada satu titik bisa menjadi panduan dalam pencarian makna hidup seseorang, (termasuk saya) dan penulis betul-betul beruntung, hingga mati pun orang-orang masih bisa membaca kisahnya, mencoba memahami dan mengambil banyak pelajaran.

Anak Pertama; '23 Rewind' dan Beberapa Hal di Balik Proses Kelahirannya

 

Finally, tahun ini aku berhasil menerbitkan buku pertama; setelah sekian lama yang penuh drama, niat dan tekad maju-mundur, penuh ragu beserta ketidakpercayaan diri yang jatuh. Ternyata memang betul, membaca buku itu mudah, yang susah adalah menulis buku.

Anak pertama yang kunamai '23 Rewind' ini penuh cacat dan masih butuh perbaikan yang serius, (maklum, dilahirkan terpaksa) namun kehadirannya cukup membuatku terharu karena prosesnya betul-betul memuakkan. Dan entah mengapa, aku ingin berbagi beberapa hal yang mewarnai perjalanannya.

Berikut beberapa fakta di balik 23 Rewind;

1. Pertama kali dimulai akhir 2019, kemudian selesai tahun 2020 (sempat berhenti total karena laptop rusak dan harus ada penyusunan ulang hingga naskah terbengkala sekian lama) lalu tahun ini, tepatnya di bulan kelahiranku: Agustus, akhirnya diterbitkan juga.

2. Terbit edisi terbatas. Untuk memenuhi syarat penerbit harus cetak sekian eksemplar, tidak ada PO, promosi, dst. Sebenarnya, rencana awal buku ini memang dibuat dan hanya akan rilis dalam format e-book lalu dibagikan cuma-cuma, (efek corona waktu itu banyak yang bagi-bagi ebook gratis) namun akhirnya diterbitkan versi cetaknya yang sangat terbatas demi memenuhi keinginan beberapa orang yang sangat ingin membaca versi bukunya (beberapa eks pun dijadikan hadiah kepada beberapa kawan dekat).

3. Ditulis, editing, layout, dan desain sampul oleh aku sendiri. Tidak ada istilah 'masuk meja redaksi'. (Fyi, sampul dibuat memakai Canva) Maafkan penulis yang tidak punya skill mendesain tapi ngotot bikin sampul yang betul-betul sesuai selera; sederhana dan seminimalis mungkin.

Kiriman foto dari kakak ipar yang sudah membaca Rewind.


4. Sebagian tulisan sudah pernah dipublikasikan di blog/tumblr. Ada empat bagian; tulisan pendek yang lebih mirip diari mungkin, kumpulan prosa, beberapa pengalaman yang berkesan (ada di bagian dua; tulisan di sini bisa dibilang 'yang paling menguras perasaan' (setiap kata yang kutulis mengandung air mata bahagia atau sekadar terharu), dan catatan-catatan acak yang sulit dikategorikan jenisnya (bagian terakhir yang mungkin dengan cukup jelas memperlihatkan bagaimana tulisanku mengalami semacam perubahan tergantung beberapa fase yang pernah atau sedang kulalui; masa galau, baper, krisis, hingga menjadi bebas dan lepas dari bentuk/ciri khas yang sebelumnya sempat tercermin pada tulisan lama). Kadang, di beberapa tulisan ada perasan seperti orang lain yang menulis.

5. Judul Rewind sebenarnya terinspirasi dari obrolan random di radio sedangkan dua puluh tiga mempunyai beberapa makna khusus bagi penulis; adalah usia ketika memulai buku ini, adalah tanggal yang selalu mengingatkan penulis dengan kenangan khusus, 'dua puluh tiga' … mengandung rahasia yang tidak perlu dibagi (ini alasan sentimen saja), alasan sebenarnya mengapa judulnya 23 Rewind sudah dijelaskan di prakata.

6. Bagian tersulit dari buku ini adalah menulis biodata dan prakata. Keduanya sempat diubah berkali-kali (hapus-tulis-hapus-tulis; repeat).

7. Masih ada niat untuk merevisi kembali lalu menerbitkannya sungguh-sungguh karena beberapa orang ingin memiliki buku ini (versi cetaknya tentu saja). Tapi, kapan waktunya, entahlah ... sekarang aku sedang mencoba menulis buku yang lain.

Terakhir, mau bilang terima kasih kepada beberapa orang yang sudah bersedia menjadi pembaca pertama, pemberi kritik/saran dan masukan yang juga mendukung kelahiran buku ini; adek Mima' yang katanya sempat menangis membaca satu tulisanku, my beloved sister yang sempat kontra dengan satu hal dari cara menulisku, adek Icong yang tidak malu-malu mengakui kesalahan ketikan dan Mayni; editor bayangan yang selalu kurepotkan dengan pertanyaan seputar kata baku ataupun PUEBI. Sungguh, banyak banyak terima kasih untuk kalian atas waktu berharga yang habis karena membaca bukuku.



Sunday 12 December 2021

Saat hujan belum reda dan anehnya; kopi pagiku belum habis

kucatat tahun ini dengan air mata

penyesalan, dan rasa bersalah

mimpi-mimpi yang kuhianati akan menjadi ingatan tidak menyenangkan di tahun berikutnya — tentu saja, jika aku masih bersedia melanjutkan hidup

Januari, Februari, dan kini Desember.

musim hujan yang muram mengantar langkah menuju gerbang perpisahan

sebuah akhir yang tidak menawarkan apa-apa selain sederet kenangan yang akan tertinggal di belakang

aku hanya ingin memeluk tahun yang takkan pernah kembali

berharap tumpukan kesalahan yang menggunung masih termaafkan.


Monday 30 August 2021

Titik Nol

Day 7

A book that I love reading

"Jauh adalah kata yang mengawali perjalanan. Jauh menawarkan misteri keterasingan, jauh menebarkan aroma bahaya, jauh memproduksi desir petualangan menggoda. Jauh adalah sebuah pertanyaan sekaligus jawaban. Jauh adalah titik tujuan yang penuh teka-teki." (Hlm.16) 

Salah satu buku favorit tahun ini. Tentang perjalanan yang begitu berani; dimulai dari daratan Cina, menyebrang ke Tibet, Nepal, India, hingga ke Afghanistan. Sebuah petualangan panjang menaklukkan berbagai tantangan, menambang beragam pengalaman dan cerita yang memperkaya pemahaman hidup. Sebagai seseorang yang pernah bercita-cita keliling dunia, saya cukup terkesan dengan kisah petualangan penulis. Membaca buku ini membangunkan mimpi-mimpi lama sekaligus kembali mencatat mimpi yang lain. Saya berharap suatu waktu bisa menempuh perjalanan hebat seperti penulis. Menyaksikan keindahan negeri atap dunia, melihat betapa eksotisnya gunung Everest, menyusuri kepadatan Kabul, hingga mencicipi keramahtamahan orang Afghanistan. Mengalami semuanya, kini menjelma sebuah cita-cita sekaligus rencana masa depan.

Melakukan sebuah perjalanan dan menuliskannya adalah hal luar biasa yang sanggup dilakukan seorang traveler. Berkat buku yang ditulis seorang Agustinus, saya dan pembaca lainnya bisa menyimak pengalaman tersebut, membayangkan setiap episode perjalanan dalam catatan panjang penulis. Sungguh beruntung bisa menjadi bagian dari  Titik Nol, salah satu buku perjalanan yang asyik dan membuat saya tenggelam dalam imaji, mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah saya pijaki.

Karena setiap perjalanan akan menjadi cerita, menuliskannya adalah salah satu cara berbagi perjalanan itu sendiri. Lewat buku penulis mengajak pembaca ikut serta menyusuri jejak-jejak petualangan yang sudah dilalui, suatu cara bertualang tanpa perlu berpindah tempat. Untuk seseorang yang belum pernah keluar negeri seperti saya, membaca buku adalah cara melihat dunia. Titik Nol menjadi buku yang akan saya rekomendasikan ke siapa pun. Karena bukan hanya soal perjalanan, buku ini juga akan membawa kita pada makna kehidupan yang akan ditemukan di sela-sela cerita yang mengalir. Tentang sebuah keluarga, ujian hidup, kehilangan, dan juga kemanusiaan. Buku ini memang berbicara tentang banyak hal. Begitu berisi dan juga berhasil menyentuh sisi sentimenku.

Sunday 29 August 2021

Menghadapi Kecewa

Day 6

A life lesson I have learned

Tahun sebelumnya, 2020 bisa dibilang tahun yang paling banyak membuat saya menangis sekaligus belajar banyak hal. 

Dua ribu dua puluh; ketika pandemi tidak menunjukkan tanda-tanda selesai, saya merasa betul-betul di titik terendah. Suatu keadaan ketika saya merasa bahwa semua orang di sekitar saya seolah serempak melukai, membuat saya kehilangan kepercayaan, bahkan harapan. Di satu titik saat saya tak lagi sanggup bersuara, tidak mampu membuat keputusan apa-apa hingga berujung pergi dari rumah, memutuskan diri dari semua orang. Saya mengambil jarak dari manusia-manusia yang sudah terlalu banyak mengecewakan.

Sekitar seminggu yang betul-betul hanya sendirian, tanpa distraksi internet, saya mencoba mencari diri saya, mencoba menyelamatkan hidup, dan mimpi-mimpi yang patah.

Kala itu, di waktu-waktu paling sunyi, ketika saya selalu terbangun sebelum pukul tiga subuh, saya melewatkan waktu selepas salat dengan menangis sejadi-jadinya, bercerita tentang seluruh yang menyesaki hati pada satu-satunya Mahamendengar yang tak pernah tidur. Bisa dibilang, dalam kondisi ketika sangat hancur itulah, saya justru menemukan keadaan spritual yang paling tinggi, yang membuat saya belajar tuk lebih menjaga hubungan baik dengan-Nya.

Saya berusaha menyerap pelajaran terbaik yang ditawarkan takdir, hal-hal yang mustahil diubah. Saya kemudian membaca tentang "ilmu maklum" dari buku Pemulihan Jiwa yang membuat saya sedikit demi sedikit merengkuh ikhlas dari setiap peristiwa tidak mengenakkan yang sempat terjadi.

Bahwa kecewa memang manusiawi, dan tidak ada yang sebenarnya membuat kita kecewa selain diri kita sendiri. Kita kecewa karena harapan dan kenyataan berbeda, kita berani berharap tapi tak cukup mahir meletakkan harapan di ruang penerimaan ketika akhirnya tak sesuai realita. Kita dilukai oleh ekspektasi kepada seseorang, lupa, bahwa manusia tidak ada yang sempurna.

Setiap manusia berpotensi melukai dan mengecewakan kita walaupun tidak berniat demikian. Tugas kita belajar menerima, bersabar dengan sikap atau ucapan seseorang yang menyakiti perasaan, mencoba memakluminya (belajar ilmu maklum). Karena siapa pun bisa berbuat salah, sengaja atau tidak. Demi ketenangan hati dan kebaikan diri sendiri, kita lebih memilih memaafkan. Sebab kecewa hanya salah satu wujud dari begitu banyak cobaan-cobaan kehidupan, tempat belajar sekaligus menguji ketangguhan diri.

Friday 27 August 2021

Sandaran Hati

Day 5

My favorite song


Lagu yang dibawakan oleh Letto ini menjadi bagian dari self healing-ku. Pada malam-malam insomnia yang dipenuhi air mata dan rasa frustrasi yang meremukkan, aku mendengar lagu ini. Kusimak baik-baik, kuresapi dan kutemukan setitik kelegaan yang ganjil.

Memang, kala itu aku sedang hancur-hancurnya, merasa jauh dari-Nya, kehilangan harapan hingga malu tuk mendekat, merasa tak pantas menjadi hamba, merasa sangat tidak berarti, tak tahu bagaimana cara kembali. Chaos.

Dan lagu ini pun menemaniku. Dengan liriknya yang bernas, mendatangkan kesadaran dari dasar hati yang sudah gulita.

"Yakinkah kuberdiri

Diamlah tanpa tepi

Bolehkah aku

Mendengarmu

Terkubur dalam emosi

Tanpa bisa bersembunyi

Aku dan nafasku

Merindukanmu...."

"Terpurukku di sini

Teraniaya sepi

Dan ku tahu pasti

Kau menemani

Dalam hidupku

Kesendirianku...."

Dalam sunyi yang getir, sebentuk kenangan hadir tanpa aba-aba. Di sana, kulihat masa lalu menyakitkan, kembali dan menamai diri sebagai rasa bersalah dan penyesalan.

Aku; seonggok ketidakberdayaan, mencoba menghadapi dunia dan segala asa yang merapuh. Terus mencari, hingga tak lagi kutemukan apa pun selain 99 nama-Mu, pemilik segala kehendak. Satu-satunya zat yang paling memahamiku, mengerti setiap kesendirian dan putus asa yang merayapi tubuhku.

Aku, hamba-Mu yang runtuh di hadapan segala emosi yang tak pernah bisa kusembunyikan dari-Mu, sang Maha mengetahui.

"Teringat kuteringat

Pada janjimu kuterikat

Hanya sekejap kuberdiri

Kulakukan sepenuh hati

Peduli kupeduli

Siang dan malam yang berganti

Sedihku ini tak ada arti

Jika kaulah sandaran hati

Kaulah sandaran hati...."

Mengingat-Mu seketika menggigilkanku. Membuatku menangis sekaligus dipenuhi harapan. Masih ada cahaya-Mu yang akan menuntunku, menyelamatkan hidupku. 

Tentang janji-janji-Mu, tentang kewajibanku; lima kali sehari memenuhi panggilan-Mu yang kadang tak tepat waktu. Kealpaan hatiku dari mengingat-Mu di antara segala kesibukanku adalah kesalahan, dosa yang semoga masih terampuni. Aku merawat yakin, kasih-Mu seluas samudera, tempat paling tepat tuk menyerahkan segala kesedihan. 

"Inikah yang kau mau

Benarkah ini jalanmu

Hanyalah engkau yang kutuju...."

Tidak ada yang perlu kurisaukan, jika memang aku sedang menuju-Mu. Tidak dunia, tidak juga luka-luka masa lalu. Semua menjadi tidak berarti, tidak pantas tuk menghentikan langkahku.

"Pegang erat tanganku

Bimbing langkah kakiku

Aku hilang arah

Tanpa hadirmu

Dalam gelapnya

Malam hariku..."

Dalam gelap paling pekat atau di bawah hujan duka dan kehancuran pun; selama Kau masih satu-satunya sandaranku, aku percaya, hidupku akan baik-baik saja. Hari-hariku hanya berarti dan terselamatkan oleh Cahaya-Mu. 

Karena Kau, satu-satunya tempat bergantung dalam segala keadaan.

-Takalar, 27 Agustus 2021 

Thursday 26 August 2021

Hadiah

Day 4

The best gift I've ever received


Tahun 2012 aku mendapat hadiah yang tidak terduga dari seseorang yang tak disangka-sangka. Sebuah kado dibungkus rapi yang dititipkan ke kakak ketika mengambil sisa barangku di asrama. Kala itu, aku memang SMA di sekolah berasrama tapi karena beberapa alasan, tiba-tiba aku keluar tanpa sempat berkemas. Jika diingat kembali ini salah satu keputusan ternekatku yang ujung-ujungnya kusesali ... oke skip, tadi mau cerita tentang hadiah dari seseorang yang hari ini masih kuingat dan akan selalu kukenang kebaikannya.

Waktu menerima hadiah yang sudah terbungkus rapi itu, tentu saja aku merasa terharu. Tidak menyangka, orang yang selama kukenal di asrama itu akan memberikan hadiah, padahal kami tidak begitu akrab, sekelas tidak, sekamar juga tidak, namun berbaik hati memberiku hadiah. Saat kubuka, isinya ternyata sepasang penyanggah buku berwarna putih, gambar menara eiffel, cantik.

Sebagai pencinta buku yang punya mimpi bisa ke Paris, menerima hadiah ini membuatku sangat sangat happy. Padahal, aku tidak pernah berharap mendapatkannya dari seseorang tapi lagi-lagi, takdir memang tidak pernah salah alamat. Sampai sekarang, hadiah itu masih kupakai, setiap melihatnya pasti akan terbayang wajah si pemberi. Betul-betul sebuah hadiah yang berkesan dan sangat bermanfaat untukku.

-Makassar, 26 Agustus 2021 | 9:26 pm

Wednesday 25 August 2021

Pagi

Day 3

My favorite part of the morning

Aku selalu menyukai pagi di antara 24 jam potongan hari. Bagian paling menyenangkan adalah menunggu matahari menghapus jejak malam dari langit. Tiap kali menyaksikan cahaya matahari pagi yang menerobos jendela, rasanya betul-betul menenangkan selain menghangatkan. Bagiku, pagi akan selalu menarik. Kedatangannya layak ditunggu.

Setiap hariku sudah pasti diawali dengan menerima kedatangan pagi. Mengisinya dengan hal-hal baik adalah cara tuk mensyukuri kehidupan. Suasananya yang teduh, suara-suara burung dan kokok ayam yang bertasbih, sejuknya tetesan embun di dedaunan, udaranya yang mendamaikan. Sungguh... pergantian pagi dan malam yang menghadirkan ketakjuban. Semuanya terlalu berharga tuk dilewatkan.

Pagi memberi banyak pemaknaan. Pagi selembar kosong yang menunggu ditulisi dengan beragam cerita. Pagi menginterpretasikan diri sebagai harapan; bahwa masih ada kesempatan tuk kembali memulai hidup yang  lebih baik dari kemarin, masih ada waktu tuk mengusahakan mimpi, memperjuangkan hal-hal yang layak diperjuangkan, masih tersedia banyak maaf tuk menambal rasa bersalah, menukar penyesalan dengan janji memperbaiki apa yang masih bisa ditata, sungguh masih ada ruang tuk membenah diri.

Maka nikmat pagi manalagi yang kau dustakan?

-Maros, 25 Agustus 2021 | 7:11 pm

Tuesday 24 August 2021

Webtoon

Day 2

Something that make me laugh today


Membaca webtoon "TSOA" (the secret of angel) adalah hal sederhana yang sanggup membuat saya tertawa lepas, betul-betul senang hingga lupa dengan segala macam masalah hidup. (ceritanya lagi lari dari kenyataan jalur Webtoon) Karena dunia fiksi memang kenikmatan dunia!

Episode terbaru kali ini memang yang ditunggu-tunggu para #timSuho paling setia (including me) setelah sekian purnama. Bagian yang dikira akan romantis ternyata malah menjadi salah satu adegan terlucu yang spontan menghadirkan tawa. Jukyung memang digambar dengan ekspresi sangat kocak.

Episode Stoa ke-170 membawa pembaca pada adegan ketika akhirnya Jukyung menyatakan perasaannya ke Suho yang (sebenarnya sudah disiapkan seromantis mungkin), tapi sayangnya semesta belum sepakat dengan rencana Jukyung. Dimulai dari sepatu yang membuat Jukyung kesulitan berjalan, hujan, terjebak, dengan make up luntur dan penampilan kacau balau, semuanya tidak ada yang memuluskan rencananya. XD

Singkat cerita .... sampai depan rumah, dengan dandanan yang berantakan, namun karena tekadnya masih menyala, Jukyung pun berhasil mengatakannya. Meski ujung-ujungnya malah kabur secepat kilat karena malu dan kepikiran sampai tidur, misi maha penting akhirnya tuntas. #timSuho *tepuk tangan paling meriah

Bisa tertawa lepas dengam alasan sesederhana "membaca webtoon" adalah sesuatu yang layak disyukuri, perihal apakah saya bahagia adalah hal lain. Setidaknya, saya merasa terhibur walau hidup tengah dihimpit beragam masalah yang tak selesai. Bahwa sesedih bagaimana pun hidupmu, pasti akan ada bagian lain yang sanggup membuat tertawa riang, tidak peduli jika itu adalah potongan kecil yang mungkin tak dianggap. Karena nyatanya, kau tetap bersuka cita, bukan?

-Maros, 24 Agustus 2021 | 9:54 pm

Rembulan

Day 1

Something beautiful I saw today



Seperti biasa ketika terbangun, hal yang saya lakukan selepas meminum air putih adalah membuka jendela dan membiarkan udara segar masuk. Menghirup udara sebelum subuh sudah menjadi bagian dari rutinitas. Rasanya nyaman sekali. Awal menyenangkan tuk memulai hari.

Usai membuka jendela kamar saya tertegun sebentar. Takzim memandang keluar, di langit yang masih gelap purnama tengah bersinar cantik. Memandangnya terasa menenangkan, membuat saya terpikirkan beberapa hal; tulisan seseorang yang semalam kubaca, novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu dan kisah Nabi Ibrahim. Semuanya belkelindan membentuk serangkaian perenungan singkat namun dalam.

Tulisan yang saya baca sebelum tidur berasal dari seorang dokter di Tumblr. Ia menulis tentang pengalamannya semasa koas ketika berhadapan dengan pasien yang depresi karena kehilangan penglihatannya alias buta. Kurang lebih ia menyampaikan cerita tersebut dari kacamata syukur, ... sejenak menghadirkan berbagai tanya. Bagaimana jika kau yang harus dicabut nikmat penglihatannya? Siapkah kau bertanggungjawab terhadap segala hal yang sudah disimak kedua mata semasa hidup? Bukankah titipan-Nya bernama mata akan bersaksi, sementara mulut akan terkunci. Tidak ada pembelaan apalagi protes. Perhitungan-Nya adalah paling adil. Sudah bersyukurkah dengan nikmat yang satu ini? Ah, tidak perlu dijawab, diinsafi saja sudah cukup.

Lalu novel Tere Liye, Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Novel yang saya baca dua kali ini seperti judulnya, benang merah dari rangkaian peristiwa dalam cerita berujung (tentang keterkaitan judul novel dan kisah di dalamnya)  "rembulan" yang ditulis secara sederhana namun menjadi poin penting keseluruhan novel.

Ada apa dengan rembulan? Singkatnya, Ray tokoh utama selalu memiliki kebersamaan khusus dengan rembulan yang tanpa sepengetahuannya ternyata membuatnya mendapat kesempatan tuk mengajukan 5 pertanyaan besar dalam hidupnya. Saya menangkap salah satu pesan yang ingin disampaikan penulis tentang hal kecil yang sering diabaikan keberadaannya namun ternyata mampu memancing perenungan. 

Seperti halnya Nabi Ibrahim yang melihat semesta, memperhatikan benda-benda langit lantas bertanya kritis tentang siapakah di balik penciptaannya? Ray dengan cara yang berbeda, menikmati rembulan sedikit banyak menyelamatkan hidupnya, membuatnya mendapat penjelasan dari ketidakpahaman akan takdirnya. Saya tentu tidak mencoba menyamakan kisah Nabi Ibrahim dengan tokoh fiksi dalam novel, saya hanya mengambil bagian penting dari keduanya: tentang kebesaran-Nya. Bahwa ke mana pun kita memandang, di penjuru semesta ini, kekuasaan-Nya menjejak di setiap jengkal bumi. 

Rembulan hanya salah satu dari sekian banyak yang bisa kita saksikan. Kau takkan sanggup menuliskan seluruhnya. 

Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?

-Maros, 23 Agustus 2021 | 10:01 pm

Sunday 1 August 2021

Agustus dan Rencana-rencana yang Tertinggal

Agustus kembali—bulan yang akan selalu mengingatkanku dengan usia yang segera beranjak, berganti umur baru. Seperti angka yang tanggal pada almanak tahun, usia yang pergi tak akan pernah kembali, menyisakan setumpuk kenangan, penyesalan dan rencana-rencana yang tertinggal di belakang.

Sungguh, waktu terus berjalan, pandemi masih bertahan dan entah sampai kapan. Tiga tahun terakhir yang berat bagiku, saat-saat yang tidak membawaku pada harapan apa pun, tanpa sesuatu yang terasa berarti—atau aku yang belum cukup dalam menggali sebuah makna. Pergantian tahun tak lebih dari fase yang semestinya berlalu, tidak peduli bagaimana isinya sebab bertahan saja mungkin sudah menjadi satu-satunya tujuan di hadapan segala keterbatasan dan ketidakpastian keadaan.

Bisa tetap waras, masih diberi kesehatan dan sedikit kesadaran rasanya sudah sangat bersyukur, lebih dari cukup tuk merasa keberuntungan hidup tidak pernah pergi. Melewati sekian waktu yang penuh dengan emosi terpendam tidaklah mudah, terlebih ketika kata-kata seolah tak lagi bersedia mewakilkan segala yang tak pernah sanggup dikatakan. Perasaan paling gelap yang tak dipahami siapa-siapa menjadi beban tak tertangguhkan, yang tidak sekadar memutus langkah tapi kadang malah meniup padam nyala harapan. Perjalanan seketika gelap, tak ada yang bisa dibaca selain rencana-rencana yang menunggu waktu.

Aku semakin jarang menulis, lebih jarang lagi membagikan tulisan seperti biasanya. Entah bagaimana, aku seakan tak sanggup lagi membagikan kata-kata yang semakin hari hanya semakin getir, bertambah fasih mengeja kesedihan dan rasanya semakin jauh dari kebahagiaan. Tulisan-tulisan muram seolah menuntutku tuk berhenti dan melupakan keinginan menjadi seorang penulis.

Tidak menyangka akan melalui badai sehebat tahun-tahun yang kulalui belakangan ini. Aku seperti terseret ke pulau antah berantah, tanpa bantuan siapa-siapa dan dipaksa mencari jalan keluar, namun yang terjadi justru ketakutan membuatku diam, tak ingin menghadapi jalan buntu, tinggal hingga tergulung gelombang. Berakhir dalam ketidakberdayaan panjang.

Di lembaran Agustus pertama ini, aku berdoa; semoga luka segera pulih, badai berlalu dan masih ada waktu tuk kembali menghidupi harapan-harapan, meneruskan rencana dan melanjutkan tujuan. Hingga semua terselesaikan dengan sebaik-baiknya. 

-Maros, di penghujung siang yang mendung