Belakangan
aku punya kebiasaan baru. Menulismu; sesuatu yang terjadi begitu saja sejak
kata “kagum” kusematkan untukmu. Aku memang suka menulis, tapi admit it, aku hanya menulis sesuatu yang
menurutku penting atau berkesan. Cerita-cerita yang tak ingin
kulupa seiring waktu berganti dan kian bertambah banyaknya kenangan yang mengendap di kepalaku.
Memori manusia tidak dirancang tuk mengingat segala hal, maka dengan menulis aku ingin
membuat segala tentangmu terabadikan dalam catatan yang kutulis di halaman ini. Aku menulis ini untuk mengarsipkan perasaanku. Sesuatu yang tak pernah
mampu kukatakan.
Oktober
basah. Persis seperti tahun-tahun sebelumnya. Penuh hujan. Aku menyukainya meski
kutahu betul, jika rintiknya selalu saja membuat suasana sendu, serta merta membangunkan
jiwa melankolisku. Seolah tak ingin melewatkan sedetik pun bulir hujan yang
menitik kaca jendelaku, demikian dengan kenangan, perasaan yang tak ingin
sekedar mengendap di kepala, ia ingin ternarasikan dalam lautan abjad. Maka, aku
menulis sebab aku tak pernah ingin melewatkan perasaan yang pernah hadir. Tak peduli meski dada disesaki pilu. Tak apa, toh dengan merajut kata aku bisa merasa
sedikit lega, walau beberapa kali mataku tak kuasa tuk menahan tangis.
Pertama,
Sahabatku sudah bosan mendengar banyak curhatanku tentangmu. Ia mungkin
menganggapku perempuan paling labil yang sangat sulit berkompromi dengan
perasaannya. Atau juga seperti gadis
bodoh yang terperangkap dalam ilusinya karena rasa kepada seseorang yang
sepertinya sudah membakar namanya dan tak sekedar lebih dari
menganggapnya sebagai lelucon. Entahlah. Aku lebih suka berspekulasi dengan segala kemungkinan terburuknya sebab menyusun asumsi baik kadang terlalu menyakitkan.
Aku
berkilah jika aku tak peduli lagi, namun faktanya tetap saja pikiranku masih
berputar di poros yang sama. Entah kenapa, yang kutahu aku sudah penuh dengan
kesibukan dan setumpuk prioritas tapi lagi-lagi entah bagaimana kau tetap saja
bagai hantu yang tak kulihat dengan mata tapi mampu kurasakan
dalam bentuk ketakutan, penyesalan dan mungkin juga berbagai kekhawatiran yang
tak tahu bagaimana mereduksinya. Beberapa waktu lalu aku memilih melenyapkan
diri dengan cara yang menurut temanku crazy, tapi begitulah, aku hanya mencoba berusaha tuk keluar dari zona penuh
tanya yang pertanyaannya pun kurasa tidak ada, apalagi jawabannya. Ah,
sepertinya aku mulai memperumit kalimatku. Tak apa, cukup aku yang paham karena
aku menulis untuk diriku sendiri, tapi jika seseorang bisa mengambil pelajaran
dari tulisanku, itu lebih baik lagi.
Kedua,
Satu hal yang tak bisa kupahami; pada jarak yang tak pernah bisa kujangkau,
entah kenapa harapku masih bertahan, meski
dilukai dengan kenyataan pahit yang betul-betul membuatku merasa kurang waras.
Sebuah tanya menyergapku “Apa ini karma?”
Ya, dulu saat hidupku belum sampai di sini, beberapa temanku sempat
curhat tentang perasaannya dan aku dengan penuh kesoktahuanku
(tak mengerti betul perasaanya) kadang malah men-judge mereka sebagai perempuan cengeng dan lemah hingga melemparkan
kata-kata; jangan baperan, jangan galauin
dia, jangan kegeeran, jangan bersikap seolah hanya dia satu-satunya laki-laki di dunia
ini, move on sayang!
Lalu sekarang, bagaimana dengan aku? Yang berulangkali menertawakan diri. Menyebalkan sekali perasaan ini, walaupun katanya fitrah tetap saja merepotkan. Aku tak pernah
suka kepalaku yang sudah overthinking
malah ditambah beban absurd tentang rasa. Aku menjadi seperti bukan
diriku atau mungkin aku memang sudah kehilangan diriku sendiri. Yang kedua lebih
tepat sepertinya. Ya, kata sahabatku; Who knows, perempuan
sedingin, selogis kamu akhirnya kalah dengan perasaannya sendiri dan mengaku retak juga ternyata” refleks membuatku tertawa saat membaca
kalimatnya itu. Hmm. And then,
berhari-hari aku berkontemplasi tentang ini hingga akhirnya aku merasa baikan
dan memutuskan tuk kembali seperti biasanya sekaligus menguji apa memang aku sudah bisa kembali seperti
biasa?
Dan
yang terjadi kemudian, rasanya menyedihkan, meski aku tetap bersyukur sebab
karena musibah seperti inilah yang kembali membawaku ke fase lebih religius
lagi. Aku berusaha melarikan diri dari kegaulanku. Seperti yang selalu kukatakan
saat ada teman yang curhat ingin move on: “Dekatkan
diri dengan yang Maha membolakbalikkan hati manusia, sibukkan diri dalam
kebaikan, pelan-pelan perasaanmu pun pasti akan reda.” Menasihati orang
lain selalu mudah dibanding menasihati diri sendiri. Meskipun begitu aku tetap
memilih mengikuti nuraniku bahwa jika memang kedok perasaanku adalah cinta
bukan kagum maka prinsipku tetap sama: let
it flow, aku hanya perlu menjadi lebih baik lagi. Hal yang kubenci
mati-matian ini harus kusulap menjadi sesuatu yang positif seperti lebih sibuk lagi dengan banyak kebaikan, lebih
produktif nulis, lebih semangat mengejar mimpi dan mungkin sebentar lagi aku
betul-betul akan memulai kembali dari nol proyek menulis buku yang sempat
terbengkala gara-gara laptop yang rusak.
Hmm ... rasanya makin ke sini aku merasa
excited sendiri meski kutahu jika
beberapa saat ke depan galau bisa saja datang setiba-tiba hujan, but it doesn’t matter, aku hanya perlu lebih aware lagi menyikapi perasan.
Terakhir, sebelum tulisan ini semakin keluar jalur, aku hanya ingin mengatakan; terima kasih dan maaf. Terima kasih sudah
hadir sebagai perasaan anomali yang kubahasakan dengan sangat panjang.
Terima kasih menjadi inspirasi untuk banyak tulisanku, terima kasih untuk seluruh
pelajaran yang bisa kupetik dari percakapan kita, terima kakasih untuk acuhmu, cuekmu dan begitu banyak sikapmu yang membuat moodku betul-betul kacau.
Maaf untuk waktu berhargamu yang kau relakan tuk sekedar membalas pesanku,
maaf untuk seluruh sikap tidak baikku, juga kata-kata yang mungkin membuatmu
tidak nyaman atau ilfeel, maaf untuk banyak pertanyaan recehku. Ketahuilah itu
hanya cara bagaimana agar aku paham jika kau memang sedingin itu, secuek,
semenyebalkan itu se, se etc. wkwkw~
Pada
akhirnya aku hadap diri, sadar sesadarnya, siapa
aku yang lancang ingin menujumu? Menjadi pihak yang
mengagumi memang tak mengenakkan. Tiba-tiba aku merasa bersalah kepada beberapa
orang yang sempat mendekat, (maafkan bahasa alayku) yang lebih sering kuabaikan, pura-pura
tidak peka dengan berusaha mengalihkan pembicaraan atau menyudahinya saja
dengan kata-kata pahit; sorry,
aku punya prioritas jadi jangan berharap bisa dibalas on time ... maklum grupku lumayan
banyak jadi chatmu tenggelam, bla bla, hingga tahap tersadisnya ada yang langsung
kuhapus tanpa merasa perlu membacanya atau kuarsipkan, kapan-kapanlah baru
kubaca (kubilang ini cara untuk tegas, tapi setelah kupikir-pikir ini lumayan
jahat).
Kututup tulisanku dengan kutipan
dari salah satu teman tumblrku:
“Berseraklah rindu yang tak
sepantasnya bertabur untukmu. Sebab kau bukan kekasihku. Seringkali aku ingin
mengumpat rasa yang sempat terpahat. Melihat harap yang tak kuasa berpijak. Sebab
kau bukan kekasihku. Kau yang sempat menjadi asumsiku. Kerap kumenelan rindu
yang tak layak terucap. Dan melebur dalam satu dekap. Seringkali aku ingin
kembali tanpa rasa tapi arahku terperangkap. Tersesat di lingkaranmu. Bahkan
mata angin pun menolakku kembali. Kita ditakdirkan dari kutub yang amat
berbeda. Dosakah aku mengagumimu? Meski kau bukan kekasihku. Bahkan rintik
hujan menolak-Tak sudi menghantam tubuhku. Yang tak mampu kau terka.
Terlepas dari sempurna atau
tidaknya dia yang mengagumi tanpa memilikimu, berilah sedikit kebebasan untuk
membuatmu tersenyum, dengan itulah kau dapat menghargai setiap usahanya.
Tulisan
dari @Badutcerdas; teman tumblr yang sempat mengatakan aku tidak peka kalo sama
cowok + dengan julukan miss typo. yang kedua kayaknya emang fakta, wkwk
*(Btw, ada yang sempat mengatakan
jika tulisanku tipe abege galau, mahasiswa yang lagi patah hati dan mencari
jati diri--bener gak nih? Haha, entahlah... Pembaca memiliki kebebasan menilai
dan menafsirkan.