Wednesday 8 November 2017

Sebuah Pertanyaan



"Apa seseorang bisa hidup tanpa satu pun harapan yang hidup dalam dadanya?"

Sejujurnya itu adalah sesuatu yang sedang kutanyakan kepada diriku sendiri. Dan baru-baru ini, aku menemukan pertanyaan serupa dari seseorang yang tidak kukenal di tumblr. Kupikir, mungkin ia sedang mencoba melepas sedikit saja sesak di hatinya dengan melayangkan pertanyaan teoritis seperti itu.

Aku hanya tersenyum sembari menjawab, bisa
...

Setiap orang memiliki kegelisahannya masing-masing.

Keresahan yang entah harus ia bagi kepada siapa-hingga ia memilih untuk mencari jalan asing yang mungkin akan membuatnya tersesat dalam ke-legaan atau kegamangan yang sulit diutarakan.

Ia sedang melakukannya.

Aku sangat memahami pertanyaannya sebab aku sedang berada di posisinya. Menemukan seseorang dengan keadaan yang hampir sama adalah sesuatu yang istimewa.

Seperti yang saat ini sedang berlangsung. Aku mulai mengenal ia dengan seluruh luka yang berusaha ia tutupi dengan beribu huruf ataupun kalimat pelega di halaman katanya.

Aku merasa tidak sendirian.

Ia rapuh, namun tak ingin mengakhiri hidupnya dengan konyol. Sebab, segula apa pun ia, kutahu warasnya masih berdiri di barisan terdepan bersama lubang-lubang penderitaan yang digenangi air matanya sendiri. Ia sedang kesepian mungkin, berharap dari sekian juta jiwa ada satu yang bersedia memahaminya meski ia tak mengenalnya di dunia nyata.

Dan ia berhasil menemukanku. Di tengah lautan kata-kata, ia membaca seluruh luka, rasa sakit ataupun setumpuk kecewa yang tak tahu jalan pulang.

Tetiba aku merasa baik-baik saja dengan takdir ataupun kenyataanku kini.

Hei, bukankah Tuhan selalu baik? Kurasa ia sedang memberiku jalan dengan cara paling ambigu seperti ini.

Aku cukup paham bahwa salah satu tanda seseorang yang nyaris menyerah menghadapi kerapuhannya adalah dengan bertanya sesuatu yang sebenarnya sudah ia tahu jawabannya.

|| 08/11/2017

Monday 6 November 2017

Maafkan

Maafkan, jika kata-kataku pernah melukaimu.
Maafkan, jika sikapku membuatmu tak nyaman.
Maafkan, jika aku menjadi penulis kecewamu.
Maafkan, jika hadirku adalah ke-enggananmu.
Maafkan, jika tawaku adalah kesedihanmu.
Maafkan, jika sapaku pernah mengusikmu.
Maafkan, jika aku bagian dari ketidakbahagiaanmu.

Untuk seluruh kesalahan yang tidak kusengaja atau pun kusengaja, aku meminta maaf. Sungguh, aku tak pernah ingin melukai siapa pun. Menjadi pihak yang disakiti selalu lebih baik untukku. Setidaknya, aku nyaman menikmati luka-dibanding seseorang yang kulukai-lalu tak mampu menyembuhkan dirinya.

Aku hanya takut, sebab hati manusia siapa yang tahu? Aku tak tahu siapa yang tulus dan siapa yang hanya pura-pura. Setiap orang menyimpan kesedihan, juga kekecewaan dengan caranya masing-masing. Dan yang paling menyedihkan adalah ia yang diam, dalam-dalam meresapi perihnya tanpa seseorang pun yang tahu.

Kurasa bukan hanya aku saja yang memilih terlihat baik-baik saja saat keadaan terasa ingin membunuhku.
Membuat hujan pribadi sudah menjadi rutinitas di episode sunyiku-sendiri yang kadang menyesakkan dada.


Bukankah senyuman selalu dianggap sebagai tolak ukur kebahagiaan?


Maka tersenyumlah. Untuk dunia yang penuh sandiwara.

|| Makassar, 06/11/2017


Thursday 26 October 2017

Life Goals dan Distraksinya



Belakangan saya merasa berada di fase lumayan insecure dengan begitu banyak pikiran-pikiran  random yang menyesaki kepala. Saat kuliah semester tujuh barusaja dimulai dan bayang-bayang KKP (Kuliah Kerja Profesi) masih penuh tanda tanya sebab fakultas belum memberi kepastian atau pun pengumuman resminya sementara itu, teman-teman di jurusan yang berbeda sudah mulai mengajukan judul. 

Rasanya langkah saya ketinggalan padahal kami memulai kuliah di tahun yang sama. Tidak dinafikkan jika rasa was-was mulai menyergap dan saya hanya bisa berusaha mengabaikannya dengan berpositif thinking bahwa semua butuh proses-pelan-pelan saja asal tidak jalan di tempat. Begitulah saya berusaha mendoktrin diri agar segala kekhawatiran bisa mereda atau hilang ditelan keyakinan baik.

Life goals atau tujuan/capaian yang ingin diraih dalam hidup tak lepas dari umur juga beban tanggungjawab, baik sebagai anak seperti yang dicita-citakan orang tua, sebagai mahasiswa yang baik, atau pun selaku hamba yang taat. Singkatnya; Habluminannas waa hamblumninallah, right? Memperbaiki hubungan dengan Allah yang tentu akan membantu hubungan kita dengan manusia. Kurasa demikian sebab hidup kita sepenuhnya ada di tangan-Nya yang mana setiap sikap kita kepada hamba-Nya tentu akan menentukan bagaimana kita di mata-Nya.

Dituliskan dengan gamblang dalam Al-Quran jika tujuan manusia dan jin diciptakan untuk beribadah. Baik mahda atau pun gairu mahda dua-duanya adalah jalan menuju surga; salah satu destinasi umat manusia sekaligus sebaik-baik akhir jika tak berujung di tempat paling menyiksa. Nah, dalam menjalankan ibadah tentu penuh dengan rintangan, mulai dari niat ikhlas yang menjadi syarat diterimanya amalan manusia juga adanya ilmu yang menjadi landasan mengapa kita melakukan suatu ibadah; apakah ada perintahnya atau contoh dari suri tauladan Rasulullah SAW, sebab umat islam saat  ini masih terjebak dengan wabah penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, Churofat ) yang tidak lain adalah imbas dari tidak adanya ilmu agama yang memadai.

Garis besar tujuan hidup adalah beribadah yang kemudian akan menumbuhkan bercabang-cabang perbuatan manusia, baik atau pun buruk yang muaranya jelas untuk mendapatkan kebahagian dunia akhirat. Lalu, proses memperoleh kebahagian tersebut tentu bukanlah perkara mudah sebab yang namanya berjuang sama persis dengan menempuh jalan terjal, berliku yang dipenuhi kerikil tajam sebagai hambatan yang mau tidak mau harus kita hadapi agar berhasil sampai di tujuan dengan selamat.

Kerikil penghambat jalan itulah yang saya katakan sebagai distraksi atau gangguan yang akan membuat kita gagal mencapai Life goals. Untuk saya pribadi, setiap bulan saya rutin menuliskan goals di atas stiknote yang ditempelkan dalam buku agenda. Goals setiap bulan selalu berubah tergantung keadaan dan keberhasilannya pun tak selalu tuntas sebab adanya distraksi-distraksi yang menjadi kendalanya. Memang segala hal baik mesti diperjuangkan dan melawan distraksi tersebuat adalah wujud kesungguhan kita untuk mencapai life goals.

Singkatnya ada dua distraksi besar yang berpotensi menggagalkan atau membuat capaian life goals tertunda:

1. Procrastinators atau kebiasaan menunda-nunda. Kadang memulai sesuatu memang tidak mudah. Rasa malas seringkali membuat langkah pertama menjadi bagian yang tersukar. Kebaikan-kebaikan yang direncanakan malah terbengkala di kata “nanti, sebentar, setelah ini-etc, dengan berbagai alasan atau pemaklumannya. Hingga tenggang waktu pun berlalu, serta merta membuat capaian tertunda atau sama skali tidak terlaksana. Saya pribadi masih sering terjebak di wilayah ini seperti oktober yang sisa beberapa hari sementara goals saya bisa dibilang belum mencapai 80% membuat saya lumayan worry.

Dan sebaik-baik kekhawatiran adalah yang slalu mendatangkan jalan keluar atau solusi yang kongkrit, lalu bagaimana mengatasi kebiasaan menunda-nunda? Pertama; sadari kembali bahwa waktu tak pernah menunggu kita. Sekali kita melewatkannya dalam kesia-siaan seperti bermalas-malasan dan menunda-nunda maka saat itu pula kita melewatkan kesempatan berharga untuk mengantongi kebaikan. 

Lantas, sadarkah kita jika waktu adalah hal yang akan dimintai dipertanggungjawabkan kelak? Nah, resapi detak, beranjaklah meninggalkan kebiasaan menunda kebaikan sebab kita tak pernah tahu di detik kapan ajal akan bertamu.

Kedua; perbaiki niat. Jika niat kita sungguh-sungguh ingin mengejar pahala, tentu kita akan berusaha untuk melawan setiap rasa malas. Dan jangan lupa untuk merutinkan berdoa “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa susah, sedih, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas... (Lihat dzikir pagi dan petang) Semoga rasa malas lekas mempensiunkan diri.

2. Tidak fokus. Kadang kita berhasil keluar dari lingkaran kemalasan dan menunda-nuda namun ternyata tidak fokus juga membuat life goals terhambat. Saya pribadi sering kehilangan fokus karena terganggu dengan pekerjaan-pekerjaan lain-yang kadang terlihat lebih menarik untuk dikerjakan dibanding menuntaskan life goals

Lalu begaimana mengatasinya? Pertama; kembali fokus. Atur napas, tenangkan pikiran dan mulailah menyadari di mana titik fokusmu lepas dan temukan sebab kenapa kita kehilangan fokus. Jika karena distraksi banyaknya aktivitas hingga fokus terbagi maka mulailah menata kembali skala prioritasmu. Fokuslah menyelesaikan apa yang yang ingin dicapai. Seperti kata Merry Riana “Hidup ini bukan hanya soal berhitung tapi bagaimana kamu menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai. Nah, sadari; kita bertanggungjawab penuh tuk merampungkan setiap pekerjaan yang sudah kita mulai. Maka fokuslah, kerjakan sebaik mungkin dan rasakan kepuasan jika kita berhasil menyelesaikannya.

Terakhir, jika sudah berhasil melawan procrastinators dan tidak fokus lalu ternyata life goals tidak juga berhasil tercapai, maka kembalikan ke sang Penentu Takdir, bahwa sehebat apa pun kita mendesain rencana atau sekeras apa pun berusaha tuk mewujudkannya, tetap saja semua itu hanya bisa  jika ada restu dari Semesta. Maka rumusnya selalu begini: Maksimalkan ikhtiar-usaha lalu perbanyak doa agar dimudahkan dan terakhir tawakkal. Yakini selalu jika takdir-Nya adalah sebaik-baik kejadian. Mari melihat segala sesuatu dengan pikiran dan pemahaman yang luas.



“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan) Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain) Dan hanya kepada Tuhanmu hendaknyalah kamu berharap. (QS, 94: 7-8)

Selamat beraktivitas, selamat memperjuangkan life goals. 

Saturday 21 October 2017

Bayang-Bayang Masa Depan



Di catatan yang lalu aku pernah menuliskan jika ternyata usia seperti jebakan waktu berupa sekumpulan dilema yang tak kunjung usai seiring berkurangnya jatah umur manusia. Aku sering mengatakan jika inilah fase quarter life crisis yang terlalu dini. Di umur yang baru saja beranjak dari 20 aku merasakan banyak perubahan drastis, baik urusan yang mungkin terlihat receh hingga yang betul-betul serius. 

Pertama; Perkara amalan atau ibadah dan hal-hal yang menyangkut masa depan nanti selepas kehidupan di dunia tentunya. Entah tepatnya sejak kapan, aku slalu disesaki dengan banyak pertanyaan seputar kematian. Gimana kalo esok waktu kematianku? Apa kabar amal-ibadahku-sudah cukup kah tuk membeli tiket surga? Hingga yang membuatku nyaris frustasi “katanya kamu mau khusnul khatimah (sebaik-baik akhir) tapi kok malah malas-malasan-masih sering lalai-bagimana jika di detik kesia-siaan itu malaikat maut malah datang menjemput? Doa harus berkolerasi dengan usaha, yaa kan? Demikianlah aku merasa dalam kegamangan juga sangat kalut-tapi syukurlah hal seperti ini bisa menjadi pemantik semangat untuk tidak berleha-leha lagi. Pelan-pelan membuatku mulai menata kembali skala prioritas dan mempertimbangkan banyak pilihan. Perinsipku “piilihlah hal yang membuatnu nyaman dan kian mendekatkanmu dengan-Nya.

Kedua; Fenomena horror: Nikah. Ekhem… Tentang ini memang sempat beberapa kali terbersit di kepalaku-perihal “apakah menggenap itu memang harus?” Di satu sisi aku sepenuhnya yakin jika nikah adalah hal yang memang kudu harus terlepas dari perintah agama, tapi karena memang untuk masa depan yang lebih baik. Apalagi kala melihat fakta sekitar; teman seperjuangan satu persatu mulai melepas status jomblonya. Sejak tamat hingga kini, jumlah kami semakin berkurang-bahkan ponakan kami sudah lebih dari selusin membuat grup whatsapp lebih ramai dengan percakapan-percakapan emak-emak muda yang kadang kami (para jomblo) menjadi korban bulyan pertanyaan kamu kapan nyusul? Udah ada calon gak? duh, mereka seolah tidak memahami kondisi kami yang notabenenya masih mahasiswa, jelas kita sibuknya masih seputar kuliah, nikah kapan-kapan ajaa deh, wkwkw.

Sempat ada yang galau dengan kalimat “mereka udah bahas anak, nah kita?” Hm... btw, soal anak, kurasa itu hanya satu dari sekian banyak topik yang menarik kok-apalagi untuk perempuan single seperti kami. Gak usah baper menanggapi mereka yang bahasannya tidak bisa kita jangkau. Lagian, gak perlu risau, soal jodoh. 

Kata bang Tere ia yang terbaik akan datang di saat paling tepat atau di waktu terbaiknya. Dan juga, menikah bukanlah perlombaan siapa yang cepat dia yang menang, iyaa kan? Aku menyetujui dalam hati pikiran random seperti ini. Setuju yang kadang terganggu dengan perspektif lain yang seolah menolak, misal: tapi gimana kalo telat nikah? Kan kasian anaknya nanti pas dewasa ibunya dah tua, sedangkan yang nikah lebih dulu jelas anaknya dah lebih dewasa, wkwk. Lalu kemudian aku mikir lagi “kayaknya asik tuh single aja seumur hidup soalnya ngurus diri sendiri aja kadang rempongnya luar biasa-apalagi jika sudah melihat fakta kehidupan rumah tangga yang lumayan susah-banyak ujian dan rintangannya meski tatap ada manis di beberapa bagiannya, yaa kan hidup emang balance, right? 


Di rumah kadang aku memperhatikan kakak ipar yang super sibuk ngurus cucian pagi-pagi, menyetrika, masak-ia bahkan harus bangun tengah malam saat si bungsu menangis dan seabrek perjuangan jadi seorang yang sudah berumah tangga-kadang membuatku bergumam dalam hati hmm… rempong banget yaa jadi ummi. Kalo masih sendiri kan simpel, pas lagi malas akibatnya tanggung sendiri tapi kalo sudah berumah tangga sepertinya akibatnya bisa sangat fatal-sudah pasti akan banyak pekerjaan yang terbengkala serta merta akan berimbas ke anggota keluarga yang lain; kasian kan kalo mamanya malas masak malas beberes rumah, malas ini dan itu, (imajinasiku sepertinya terlalu jauh, wkwk) oke, cukup bagian yang ribetnya.

Sesukar itu menjalani kehidupan rumah tangga tentu ada juga manis-manisnya. Seperti saat menyaksikan mereka tersenyum bahagia dengan hal-hal sederhana: makan bareng dengan walau dengan menu tempe goreng dan sayur bening ditambah sambal atau saat acara keluarga mereka kadang mengenakan seragam atau baju couple istilahnya, nah kelihatan adem banget pas sesi foto-foto, uhukk… Belum lagi saat moment; brother yang slalu rela mengganti pekerjaan kakak ipar di saat-saat tertentu yang cukup mendesak (mengurus ponakan yang pup, menggendong si bungsu saat nangis, mencuci hingga menjemur, etc) wah, anak mama memang suamiable yaa, haha.

Terlepas dari seluruh bayang-bayang di atas kurasa aku tidak usah worry, karena tidak ada jaminan kan, kalo aku masih hidup esok-hingga nikah-bisajadi ajal lebih dulu bertamu, who knows hal rahasia tentang perkara takdir? Intinya sih seperti kata  Tere Liye ; “Jangan berkecil hati jika teman-teman kita sudah menikah semua, kita belum juga. Teruslah memperbaiki diri, diniatkan sungguh-sungguh, berdoa agar diberikan yang terbaik. Tenang saja, yang terbaik slalu disimpan paling belakangan. Lihat saja di film-film jagoan slalu muncul paling akhir. Mungkin jodoh kita demikian.”
Lalu muncul lagi suara lain di kepalaku; Bagaimana jika dengan tidak menikah kita justru lebih produktif atau bisa lebih berguna untuk banyak orang? Bukankah menjadi istri hanya salah satu jalan lain menuju surga? Gak nikah tetap ada pintu-pintu lain menuju sebaik-baik tujuan kelak, yaa kan? Dan juga masih banyak contoh perempuan hebat yang single sampai mati tapi dikenang sepanjang masa? Tapi kan katanya kalo istri cukup taat sama suami, puasa ramadan, salat lima waktu maka baginya surga? Hmm… Entahlah, lama-lama menulis bagian ini aku malah ngakak sendiri, #Lol

Ketiga; Masalah pendidikan. Beberapa waktu lalu aku mengikuti NIEC Education Expo 2017 yang diadakan di empat kota; Bali, Yogyakarta, Tanjung Pinang dan Makassar. Awalnya aku sekedar iseng mendaftarkan diri sebagai peserta modal rasa ingin tahu, penasaran ditambah karena acaranya free, tak berbayar sepeser pun jadi why not? Lumayan untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan baru juga teman baru. And then, selepas konsultasi pendidikan pikiranku kembali ke fase overthinking: Kalo selesai sarjana sepertinya harus S2 dulu. Tapi bagaimana jika tidak dapat izin mama? Duh, bukannya S2 lebih susah lagi? Apa aku mampu? dan berbagai pertanyaan lain yang malam itu lumayan menyesaki kepala. Ujung-ujungnya malah berdamai dengan diri sendiri; sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, jalani saja hari ini-dan hari-hari berikutnya dengan sebaik-baiknya.
Keempat: Tentang hobi dan pekerjaan. Kalo sudah sarjana mau ngapain raa? Hmm.. ini lumayan bikin dilema juga. Kadang aku bertekad mau fokus ke pendidikan-lanjut S2, jadi perempuan bertitel Master sepertinya pilihan yang tepat-sekalian aku berkesempatan kembali menjadi mahasiswa yang pastinya harus lebih baik lagi dibanding saat S1. Tapi ada lagi bayangan yang mungkin juga termasuk pilihan yang tepat, tak kalah menantang dibanding berkutat dengan dunia kampus; cukup jadi ibu rumah tangga, mendidik anak dengan sungguh-sungguh sambil tetap ngeblog, nulis di tumblr, medium seperti sekarang, btw, entah kenapa mengetikkan kalimat ini trasa menggelikan, haha.  

Tapi pada akhirnya kembali lagi ke hakikat takdir yang super rahasia-mungkin saja umurku tak sampai ke situ. So, lakukan saja apa yang membuatmu nyaman dan menjadikanmu kian dekat dengan-Nya agar jalan menuju Jannah dimudahkan.

The last yang lumayan bikin resah belakangan ini; tentang pergaulan. Setelah semester enam berlalu juga usia yang kini bukan lagi teenage, aku sadar (sebenarnya dari dulu, tapi tak begitu peduli-mungkin karena terlena dengan asiknya punya banyak teman baru-entahlah) mengapa dulu mama sangat susah melepas anak perempunnya kuliah. Kakak perempuanku mendapat izin setelah banyak pertimbangan dan tentunya dengan beberapa syarat, seperti mereka kuliah tapi menetap/tinggal sebagai salah satu anak asrama tahfidz yang merupakan salah satu program menghapal Quran yang tersedia di universitasnya. Dengan begitu, kurasa mama lumayan lebih tenang karena mereka jelas harus hidup tidak hanya menanggung tanggungjawab sebagai mahasiswa tapi juga sebagai anak tahfidz dengan segala peraturannya.

Nah bagaimana dengan aku? Hem… Sepertinya bagianku sudah kutulis di postingan sebelumnya. Yaa, akhirnya aku paham betul kekhawatiran mama saat memutuskan memberi izin anak perempuannya kuliah-jauh dari jangkauannya. Setiap ingin kembali ke Makassar setelah libur, mama tak bosan berpesan; padecengi paringgerrangmu (Perbaiki ingatanmu; Banyak-banyak mengingat;red) nak, anak perempuan itu seperti telur-jika jatuh-pecah tidak akan kembali menjadi utuh seperti sedia kala. Jaga diri, jaga jarak dengan laki-laki, jangan keluar rumah jika tidak ada urusan yang betul-betul penting.” Demikian, kata-kata yang sudah kuhapal di luar kepala sebab entah sudah berapakali terlontar dari bibirnya.

Mengingat pesan berulang mama membuatku lebih aware lagi menyikapi pergaulan. Dan ini honestly, never be easy. Alasannya jelas; aku lumayan was-was karena sebagai makhluk sosial apalagi di lingkungan kuliah, yang mana campur baur dengan lawan jenis tak terelakkan dengan dalih menuntut ilmu. Tantangannya so hard; aku harus extra menjaga batasan-batasan pergaulan dengan syar’i: Usahakan tidak ikhtilat jika tak ada kepentingan, jaga intensitas chat/komunikasi langsung dengan lawan jenis, berduaan tidak boleh, jaga pandangan, jangan baper dengan kebaikan lawan jenis, etc-yang betul-betul membuatku pusing sendiri. 

Ribet. Menjaga prinsip di tengah godaan-godaan seperti ini adalah perjuangan atau jihad yang rumit. Di situ kadang ada sesal, kenapa yaa dulu aku tidak memilih kuliah di tempat yang perempuan dan laki-lakinya dipisah? Sudahlah, namanya juga pilihan slalu penuh risiko dan juga nasi sudah jadi bubur, sisa dinikmati kelezatannya tapi jangan lupa cuci piring setelahnya (gajee ah).

Tugasku hanya perlu bertanggungjawab dengan pilihanku; menyelesaikan kuliah tanpa mengabaikan tentang batas pergaulan. Solusi paling tepat saat ini adalah menemukan teman yang se-frekuensi, yang bersamanya aku bisa lebih semangat menjauhi titik-titik yang bisa berujung dosa. Syukurlah, aku memilikinya. Teman-teman seperjuangan jaman santri yang meskipun tak sejurusan atau sekampus kami tetap bisa saling berkomunikasi, saling mengingatkan dalam kebaikan. Alhamdulillah. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan?

--Makassar, dalam dilema yang panjang

Masih Mahasiswa Baru


Sudah pukul 2:55. Saya berusaha menggali beberapa kisah di awal kuliah. Berawal dari membaca kicauan twitter di tahun 2014, saya lalu tertawa mengingat betapa semester pertama, kedua dan ketiga adalah periode ter-labil yang pernah saya lalui. Sebuah foto yang sempat saya posting menjadi gerbang kenangan yang kemudian membuat saya menulis ini. 

Tanggal 23 September 2014 adalah hari yang tak terlupakan. Selasa pagi dengan semangat yang meletup-letup, saya menginjakkan kaki di fakultas FISIP, sembari mencari kelas pertama sekaligus kuliah perdana sebagai anak sospol. Sebenarnya kuliah pertama hari senin tanggal 22, tapi lagi-lagi karena kuper saya yang terlalu akhirnya saya ketinggalan info. Finally, hari itu terlalu berkesan hingga rasanya mustahil tuk hilang di tumpukan kenangan yang kian hari semakin sesak dengan cerita-cerita baru.

Matahari pagi bulan september menjadi latar penuh kehangatan untuk sebuah awal yang penuh dengan perasaan-perasaan anomali. Ada haru juga ketakutan-ketakutan tak terdefinisi dan lebih banyak ragu serta dilema yang menjadi makanan sehari-hari di semester pertama kala itu. 

Pertama, saya merasa risih dengan kondisi kelas yang mayoritas laki-laki. Maklum, sejak SD saya memang bersekolah di pesantren yang sistemnya memisahkan murid laki-laki dan perempuan di gedung yang berbeda. Kedua dan ketiga karena saya lumayan overthinking hingga setiap pulang kuliah saya selalu memikirkan banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi selama berstatus mahasiswa. Dan semua itu menjadi permulaan yang baik sekaligus buruk. Baik karena saya menjadi rajin menulis untuk menumpahkan keresahan dan buruk karena tanpa saya sadari, ternyata pelan-pelan saya malah melangkah ke wilayah yang tidak semestinya saya sentuh.

Bisa dibilang kuliah adalah sesuatu yang betul-betul menjadi produk baru untuk saya di mana keadaan menuntut agar saya segera beradaptasi. Well, sebagai introver ini bukan perkara yang mudah. Minggu pertama, kedua hingga semester satu berakhir, saya masih menjadi seseorang yang tak menyukai suasana kelas penuh riuh oleh suara-suara yang didominasi laki-laki. Waktu itu saya hanya dekat dengan dua orang, itu pun tidak bisa dikatakan betul-betul akrab. Saya yang masih kesulitan berhadapan orang baru tentu memilih identitas sebagai perempuan pendiam, mahasiswa paling on time yang lebih nyaman menjadi pendengar meski sesekali bersuara saat tidak kuasa lagi meredakan argumen pribada di sesi diskusi kelas.

Akhir 2014 yang lebih sering diisi hujan, rasanya membuat kenangan-kenangan menetap dan tertinggal hingga kini. Ada banyak hari yang jika mengingatnya saya malah menertawakan potret masa lalu waktu itu, juga tak ketinggalan moment-moment yang akan membuat saya penuh sesal (pernah begitu dekat dengan beberapa teman cowok meski tetap masih ada batasan: dia haram nyentuh saya-hingga sempat ada yang ngajakin debat tentang ini, membuat saya badmood parah. Saya tidak pernah suka dengan perdebatan-apalagi urasan seperti ini).

Di semester satu pula, saya pernah merasa sangat benci sebagai mahasiswa baru yang slalu disuruh ke sekret (tempat berkumpulnya para senior). Di sana (sekret) aku seoalah berada di negeri antah berantah. Raga memang bersama mereka tapi pikiran tidak. Saya lebih memilih menikmati kesendirian. Saya tidak bisa apa-apa selain menurut setiap kali disuruh berkunjung selepas kuliah. Mendengarkan obrolan mereka yang tak sesuai selera-ditambah asap rokok, juga sistem “saat datang harus bersalam-salaman” dengan mereka yang kebanyakan laki-laki jelas membuat saya tak nyaman sebab saya menjadi satu-satunyan yang akan menolak melakukannya-refleks membuat ekspresi senior terlihat awkward. Tersenyum dengan wajah meminta pengertian adalah pura-pura paling menggelikan. Saya melakukannya semata-mata tuk mempertahankan diri sebagai junior yang tak sedikit pun ada niat mencari gara-gara.

Semester satu berlalu penuh pengalaman. Syukurlah, nilai lumayan baik, namun untuk semester dua malah sebaliknya. Bukan karena malas ke kampus atau pun absen kerja tugas, tapi nilai anjlok itu murni karena saya sakit nyaris sebulan lamanya. Kala itu, saya seperti lenyap-betul-betul menghilang dari peredaran, baik maya maupun nyata. Saya tidak sedang berada di makassar atau pun maros membuat teman-teman tentu mencari saya karena nomer panggilan saya tidak bisa dihubungi, apalagi sosmed saya. 

Saya memang menutup setiap celah tuk berkabar dengan siapa pun (kecuali saudara yang jelas sudah tahu jika saya sedang sakit) sebab saya hanya ingin fokus tuk kembali pulih seperti sebelumnya. Bisa dibilang waktu itu adalah salah satu fase paling genting dalam hidup saya. Keadaan seolah ingin merenggut harapan juga kesabaran saya. Saya merasa frustasi berhadapan dengan kondisi saat tubuh sangat sulit tuk diajak berkompromi-membuat beberapa malam saya hanya diisi dengan tangisan. Saya nyaris memutuskan tuk berhenti kuliah karena memikirkan sudah berapa banyak ketidakhadiran saya sementara saat itu sudah mendekati final-saya bahkan melewatkan seluruh mid semester, serta merta membuat semester itu betul-betul kacau. 

“Tuhan tidak pernah menguji hamba-Nya, di luar batas kesanggupannya,” Kalimat ini menjadi pemantik semangat untuk saya selepas musibah sakit di semester lalu. Setelahnya saya lalu berhenti sebagai anak kost dan memilih tinggal bersama kakak yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kampus. Tahun pertama kuliah saya memang memutuskan tuk hidup mandiri dengan ngekost sebagaimana mayoritas teman saya. Bukan karena tanpa alasan saya melakukannya, tapi seperti itulah hidup; kadang kita harus melakukan sesuatu yang mungkin menurut kebanyakan orang tak perlu.

Selama menjadi anak kost saya malah belajar banyak hal mulai dari memasak-hingga menyeduh kopi denggan tepat. Skenario-Nya memang terbaik, saya dipertemukan dengan banyak orang baik di kosan aspuri muslimah. Ada kak Nisma, perempuan berkacamata yang punya banyak pengalaman berorganisasi. Ia yang begitu baik mengajarkan saya banyak hal tentang dunia mahasiswa hingga ia pula yang membuat saya menjadi rutin mengunjungi gramed, karena katanya buku-buku adalah harta berharga mahasiswa. Saya mengaguminya sebagai sosok kakak yang penuh dengan ilmu yang bisa saya serap setiapkali berbincang-bincang dengannya. Ia bahkan sempat membawa saya ke tempat yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya. Berdua dengannya rasanya lebih berfaedah dibanding beberapa jam mendengarkan kuliah dosen.

Selain kak Nisma ada juga kakak hebat kak fathina yang tak pernah bosan menasihati saya tentang pergaulan di kampus. Ia adalah akhwat luar biasa-dengan segala keistiqamahan juga akhlaknya yang membuat saya berdecak kagum. Lalu ada juga kak wadda yang super care. Ia yang selalu sukarela membuatkan kopi juga menemani saya begadang. Dan yang tak mungkin saya lupakan adalah sahabat saya, ulfa. Ia salah satu perempuan paling baik yang saya kenal hingga detik ini. Ia perempuan dengan kesabaran di atas rata-rata sekaligus sahabat yang menjadi muara seluruh detail cerita selama saya menjadi mahasiswa. Ia yang tak bosan menjadi pendengar setiap keresahan saya, dari A hingga Z (kapan-kapan saya akan memposting salah satu tulisan terpanjang saya tentangnya).
  
Karena sudah kepanjangan akhirnya saya harus menyelesaikan tulisan ini dengan beberapa kesimpulan yang berhasil saya temukan sepangan tiga tahun menjadi mahasiswa. Pertama; Hidup memang penuh kejutan-sebagai manusia tentu kita takkan lepas dari hal-hal tak terencana seperti yang terjadi dengan saya. Saya tidak pernah merencanakan menjadi anak sospol sebelumnya, tapi karena takdir akhirnya saya berusaha melewatinya juga, meski dengan begitu banyak ujian dan segala keresahannya.

Kedua dan terakhir; karena hidup memang pilihan. Kita memang tidak bisa menolak takdir-Nya tapi kita selalu bisa memilih harus bagaimana menyikapinya. Untuk saya yang pernah melalui beberapa peristiwa genting tiga tahun ini, saya memutuskan tuk mengambil seluruh pemahaman juga pelajaran terbaiknya. Setiap khilaf yang sempat saya lakukan, saya mencoba memaafkan diri sendiri sembari bertekad agar kedepannya tak boleh jatuh di lubang yang sama. Setiap orang juga seluruh cerita yang bersinggungan dengan saya adalah media untuk terus belajar. Belajar memahami, menerima juga terus berpsoses menjadi lebih baik lagi. 
 
Tiga tahun kuliah mereka teman paling akrab. Katanya sih geng Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut, wkwk)

--Makassar, 19 Oktober 2017

Review: Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi

Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi by Wawan Kurn
My rating: 5 of 5 stars

Untuk seseorang yang baru saja mengaku sebagai penikmat puisi, buku sajak penghuni surga sepertinya berhasil mereduksi keengganan saya untuk membaca lebih banyak lagi buku-buku puisi-malah sepertinya saya mulai ketagihan. Sebelumnya saya sempat membaca beberapa buku puisi koleksi sahabat saya yang sudah lama menjadi pecandu puisi. Sesuatu yang kadang tidak bisa saya pahami “Bagaimana mungkin ia sangat menyukai sekumpulan kata dipenuhi metafora-metafora atau pun diksi yang meliuk-liuk-yang bilang begini maksudnya begitu (meminjam bahasanya Sapardi) hal yang rasanya lebih tepat saya katakan ambigu atau abu-abu? Entahlah... Sepertinya puisi memiliki daya magis yang slalu berhasil menghipnotis para pembacanya.

Januari lalu saya iseng membeli buku puisi hujan bulan juni karya fenomenal Sapardi yang kemudian malah membentuk pandangan saya tentang puisi bahwa: puisi hanya diperuntukkan untuk mereka yang memang tingkat kecintaannya terhadap sastra di atas rata-rata, serta merta semakin membuat minat saya terhadap puisi menguap. Maklum, saat itu saya hanya mampu membaca beberapa lembar hujan bulan juni dengan kening yang berkerut “ini kok maksudnya apa yaa? Ini kenapa redaksi katanya begini, etc--lalu akhirnya saya menyerah dan menyimpannya sebagai satu-satunya buku puisi milik saya. Oke stop, sepertinya ini semacam prolog antara saya dan puisi yang lumayan panjang.

Back to buku Sajak Penghuni Surga.
Akhirnya saya kembali membaca buku puisi setelah lumayan lama tidak bersinggungan dengan puisi-saya memang lumayan menghindarinya karena saya lebih senang dengan prosa atau novel. Lalu saat “Sebelum Sendiri” Aan terbit, saya ikut pre order dengan niat membelinya sebagai hadiah untuk sohib saya yang tadi. Singkatnya sebelum berpindah tangan, saya berhasil menamatkannya karena bukunya memang lumayan tipis dibanding hujan bulan juninya Sapardi. Saya lumayan menikmatinya meski masih dengan kesoktahuan saya yang lebih banyak tidak tahunya. Saya pun sempat menulis beberapa kata yang rasanya terlalu singkat untuk sebuah review di goodreads. Maklum, saya belum pernah sekalipun mereview buku puisi, dan buku Sajak Penghuni Surga ini adalah buku puisi pertama yang coba saya review dengan lumayan panjang. Anggap saja saya sedang belajar keluar dari zona nyaman yang selama ini hanya suka mengulas novel.

Membaca sajak penghuni surga membuat saya merasakan euforia kata-kata yang dikemas dalam bait-bait puisi. Jika sebelumnya saya lebih banyak bingung-nya (saat melahap buku puisi), di buku ini sepertinya saya justru lebih banyak senyum-senyumnya, seolah saya menangkap betul makna yang tersirat di antara kata-kata dalam sajak penghuni surga.
Menurut salah seorang penulis, pembaca bebas menginterpretasikan setiap tulisan-termasuk puisi yang sifatnya subjektif. Bisa jadi pembaca menganggap begini sementara maksud penulis justru begitu. Ya, setiap orang pasti mempunyai pandangannya sendiri-dan kurasa perbedaan interpretasi tak perlu dipermasalahkan, karena setiap kita pasti punya caranya sendiri untuk menikmati sesuatu, right?

Finally, saya betul-betul menikmati buku ini hingga di beberapa bagian harus saya selipkan bookmark. Dan juga, sedikit demi sedikit pikiran-pikiran saya yang dulu terlalu objektif menjudge puisi mulai mereda.
“Adonis pernah mengatakan jika awal mula puisi lahir diantara keheningan dan kata-kata. Sepenggal kalimat dari kata pengantar penulis refleks membuat saya ber-iya dalam hati-saya sepakat. Saya sangat setuju sebab saya yang masih pemula ini sepertinya betul-betul butuh keheningan jika ingin mencoba menulis puisi-pun termasuk saat membacanya.

Dan seperti yang dibahasakan penulis di cover belakang buku bahwa baginya puisi adalah surga dan pembaca adalah penghuni yang diharapkan dapat membuat pembaca membuka ruang baru, sesuatu yang mampu memberi kesan hingga para pembaca menjadi puisi yang sesungguhnya. Wah, apik! Faktanya saya memutuskan membeli buku ini karena penggalan kalimat yang tadi berhasil membuat saya tertarik-terlepas dari alasan jika dari dulu saya cukup penasaran membaca puisi penulis dalam bentuk buku (selama ini saya hanya sebatas membaca via maya di Medium).

Overall senang skali bisa membaca dan menikmati kumpulan puisi ini hingga memberi lima bintang karena beberapa puisi dalam buku ini sepertinya betul-betul membuat saya menemukan sesuatu yang baru-dan juga saya slalu suka dengan pilihan judul tiap puisinya, meski di beberapa judul saya pun masih penuh tanda tanya.

Satu hal yang paling saya sukai adalah bagaimana penulis begitu lihai merangkai kata dan memilih diksi yang tepat-yang jika dibaca sekilas, nampak kata-kata yang digunakan sederhana tapi maknaya betul-betul deep skali. Seperti di puisi Mimpi kekasihku, di situ saya sadar bahwa puisi adalah media yang tak sekedar mewakili perasaan-perasaan terpendam tapi juga sangat cocok sebagai wadah yang menampung keresahan penulis tentang isu-isu kehidupan lebih luas lagi.

Dari 73 puisi, favorit saya lumayan banyak: Ajaran sapardi belum kuselesaikan, Belajar menulis puisi, Aku menulismu, Kebahagiaan penyair, Mendengar hujan pukul 12 malam, dan tak ketinggalan juga Mengenali kegilaanku-membaca seluruh puisi dalam buku ini membuat saya seperti tersesat di labirin kata dan menemukan jalan keluar ternyata tidak menyenangkan. Ah, buku ini semestinya lebih tebal lagi.

Coret-Coret Tentang Perasaan


Belakangan aku punya kebiasaan baru. Menulismu; sesuatu yang terjadi begitu saja sejak kata “kagum” kusematkan untukmu. Aku memang suka menulis, tapi admit it, aku hanya menulis sesuatu yang menurutku penting atau berkesan. Cerita-cerita yang tak ingin kulupa seiring waktu berganti dan kian bertambah banyaknya kenangan yang mengendap di kepalaku. 

Memori manusia tidak dirancang tuk mengingat segala hal, maka dengan menulis aku ingin membuat segala tentangmu terabadikan dalam catatan yang kutulis di halaman ini. Aku menulis ini untuk mengarsipkan perasaanku. Sesuatu yang tak pernah mampu kukatakan.

Oktober basah. Persis seperti tahun-tahun sebelumnya. Penuh hujan. Aku menyukainya meski kutahu betul, jika rintiknya selalu saja membuat suasana sendu, serta merta membangunkan jiwa melankolisku. Seolah tak ingin melewatkan sedetik pun bulir hujan yang menitik kaca jendelaku, demikian dengan kenangan, perasaan yang tak ingin sekedar mengendap di kepala, ia ingin ternarasikan dalam lautan abjad. Maka, aku menulis sebab aku tak pernah ingin melewatkan perasaan yang pernah hadir. Tak peduli meski dada disesaki pilu. Tak apa, toh dengan merajut kata aku bisa merasa sedikit lega, walau beberapa kali mataku tak kuasa tuk menahan tangis.

Pertama, Sahabatku sudah bosan mendengar banyak curhatanku tentangmu. Ia mungkin menganggapku perempuan paling labil yang sangat sulit berkompromi dengan perasaannya. Atau juga seperti gadis bodoh yang terperangkap dalam ilusinya karena rasa kepada seseorang yang sepertinya sudah membakar namanya dan tak sekedar lebih dari menganggapnya sebagai lelucon. Entahlah. Aku lebih suka berspekulasi dengan segala kemungkinan terburuknya sebab menyusun asumsi baik kadang terlalu menyakitkan.

Aku berkilah jika aku tak peduli lagi, namun faktanya tetap saja pikiranku masih berputar di poros yang sama. Entah kenapa, yang kutahu aku sudah penuh dengan kesibukan dan setumpuk prioritas tapi lagi-lagi entah bagaimana kau tetap saja bagai hantu yang tak kulihat dengan mata tapi mampu kurasakan dalam bentuk ketakutan, penyesalan dan mungkin juga berbagai kekhawatiran yang tak tahu bagaimana mereduksinya. Beberapa waktu lalu aku memilih melenyapkan diri dengan cara yang menurut temanku crazy, tapi begitulah, aku hanya mencoba berusaha tuk keluar dari zona penuh tanya yang pertanyaannya pun kurasa tidak ada, apalagi jawabannya. Ah, sepertinya aku mulai memperumit kalimatku. Tak apa, cukup aku yang paham karena aku menulis untuk diriku sendiri, tapi jika seseorang bisa mengambil pelajaran dari tulisanku, itu lebih baik lagi.

Kedua, Satu hal yang tak bisa kupahami; pada jarak yang tak pernah bisa kujangkau, entah kenapa harapku masih bertahan, meski dilukai dengan kenyataan pahit yang betul-betul membuatku merasa kurang waras. Sebuah tanya menyergapku “Apa ini karma?” Ya, dulu saat hidupku belum sampai di sini, beberapa temanku sempat curhat tentang perasaannya dan aku dengan penuh kesoktahuanku (tak mengerti betul perasaanya) kadang malah men-judge mereka sebagai perempuan cengeng dan lemah hingga melemparkan kata-kata; jangan baperan, jangan galauin dia, jangan kegeeran, jangan bersikap seolah hanya dia satu-satunya laki-laki di dunia ini, move on sayang!

Lalu sekarang, bagaimana dengan aku? Yang berulangkali menertawakan diri. Menyebalkan sekali perasaan ini, walaupun katanya fitrah tetap saja merepotkan. Aku tak pernah suka kepalaku yang sudah overthinking malah ditambah beban absurd tentang rasa. Aku menjadi seperti bukan diriku atau mungkin aku memang sudah kehilangan diriku sendiri. Yang kedua lebih tepat sepertinya. Ya, kata sahabatku; Who knows, perempuan sedingin, selogis kamu akhirnya kalah dengan perasaannya sendiri dan mengaku retak juga ternyata” refleks membuatku tertawa saat membaca kalimatnya itu. Hmm. And then, berhari-hari aku berkontemplasi tentang ini hingga akhirnya aku merasa baikan dan memutuskan tuk kembali seperti biasanya sekaligus menguji apa memang aku sudah bisa kembali seperti biasa?

Dan yang terjadi kemudian, rasanya menyedihkan, meski aku tetap bersyukur sebab karena musibah seperti inilah yang kembali membawaku ke fase lebih religius lagi. Aku berusaha melarikan diri dari kegaulanku. Seperti yang selalu kukatakan saat ada teman yang curhat ingin move on: “Dekatkan diri dengan yang Maha membolakbalikkan hati manusia, sibukkan diri dalam kebaikan, pelan-pelan perasaanmu pun pasti akan reda.” Menasihati orang lain selalu mudah dibanding menasihati diri sendiri. Meskipun begitu aku tetap memilih mengikuti nuraniku bahwa jika memang kedok perasaanku adalah cinta bukan kagum maka prinsipku tetap sama: let it flow, aku hanya perlu menjadi lebih baik lagi. Hal yang kubenci mati-matian ini harus kusulap menjadi sesuatu yang positif seperti lebih sibuk lagi dengan banyak kebaikan, lebih produktif nulis, lebih semangat mengejar mimpi dan mungkin sebentar lagi aku betul-betul akan memulai kembali dari nol proyek menulis buku yang sempat terbengkala gara-gara laptop yang rusak. 

Hmm ... rasanya makin ke sini aku merasa excited sendiri meski kutahu jika beberapa saat ke depan galau bisa saja datang setiba-tiba hujan,  but it doesn’t matter, aku hanya perlu lebih aware lagi menyikapi perasan.

Terakhir, sebelum tulisan ini semakin keluar jalur, aku hanya ingin mengatakan; terima kasih dan maaf. Terima kasih sudah hadir sebagai perasaan anomali yang kubahasakan dengan sangat panjang. Terima kasih menjadi inspirasi untuk banyak tulisanku, terima kasih untuk seluruh pelajaran yang bisa kupetik dari percakapan kita, terima kakasih untuk acuhmu, cuekmu dan begitu banyak sikapmu yang membuat moodku betul-betul kacau. Maaf untuk waktu berhargamu yang kau relakan tuk sekedar membalas pesanku, maaf untuk seluruh sikap tidak baikku, juga kata-kata yang mungkin membuatmu tidak nyaman atau ilfeel, maaf untuk banyak pertanyaan recehku. Ketahuilah itu hanya cara bagaimana agar aku paham jika kau memang sedingin itu, secuek, semenyebalkan itu se, se etc. wkwkw~

Pada akhirnya aku hadap diri, sadar sesadarnya, siapa aku yang lancang ingin menujumu? Menjadi pihak yang mengagumi memang tak mengenakkan. Tiba-tiba aku merasa bersalah kepada beberapa orang yang sempat mendekat, (maafkan bahasa alayku) yang lebih sering kuabaikan, pura-pura tidak peka dengan berusaha mengalihkan pembicaraan atau menyudahinya saja dengan kata-kata pahit; sorry, aku punya prioritas jadi jangan berharap bisa dibalas on time ... maklum grupku lumayan banyak jadi chatmu tenggelam, bla bla, hingga tahap tersadisnya ada yang langsung kuhapus tanpa merasa perlu membacanya atau kuarsipkan, kapan-kapanlah baru kubaca (kubilang ini cara untuk tegas, tapi setelah kupikir-pikir ini lumayan jahat).

Kututup tulisanku dengan kutipan dari salah satu teman tumblrku:

“Berseraklah rindu yang tak sepantasnya bertabur untukmu. Sebab kau bukan kekasihku. Seringkali aku ingin mengumpat rasa yang sempat terpahat. Melihat harap yang tak kuasa berpijak. Sebab kau bukan kekasihku. Kau yang sempat menjadi asumsiku. Kerap kumenelan rindu yang tak layak terucap. Dan melebur dalam satu dekap. Seringkali aku ingin kembali tanpa rasa tapi arahku terperangkap. Tersesat di lingkaranmu. Bahkan mata angin pun menolakku kembali. Kita ditakdirkan dari kutub yang amat berbeda. Dosakah aku mengagumimu? Meski kau bukan kekasihku. Bahkan rintik hujan menolak-Tak sudi menghantam tubuhku. Yang tak mampu kau terka.

Terlepas dari sempurna atau tidaknya dia yang mengagumi tanpa memilikimu, berilah sedikit kebebasan untuk membuatmu tersenyum, dengan itulah kau dapat menghargai setiap usahanya.

Tulisan dari @Badutcerdas; teman tumblr yang sempat mengatakan aku tidak peka kalo sama cowok + dengan julukan miss typo. yang kedua kayaknya emang fakta, wkwk

*(Btw, ada yang sempat mengatakan jika tulisanku tipe abege galau, mahasiswa yang lagi patah hati dan mencari jati diri--bener gak nih? Haha, entahlah... Pembaca memiliki kebebasan menilai dan menafsirkan. 


Friday 6 October 2017

Review: Rindu

Rindu by Tere Liye
My rating: 5 of 5 stars

Selepas membaca"Rindu"tepat jam 1:18 malam.. Saya terpekur lama-berkontemplasi dalam-dalam. Hm, tidak sia-sia saya duduk beberapa jam hanya untuk menamatkan novel ini. Karya Tere yang memang sudah saya tunggu-tunggu sejak sebulan lalu.

Dan seperti novel-novel terdahuli, saya mau bilang "kereen banget" pokoknya.
Tentang 5 pertanyaan penting. 5 jawaban dalam satu perjalanan panjang. Agak mirip dengan Rembulan, novel bang tere yang paling saya sukai:)

Sebuah pelajaran berharga tentang kehidupan dengan berbagai pamahaman-pemahaman baik yang terselip dalam isi cerita.

Seperti biasa, Tere liye slalu bisa menjelaskan pesan-pesan yang terdapat dalam tulisannya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sukses membuat saya tertegun sejenak, menangis terharu dan akhirnya terjaga hanya skedar untuk kembali merenungi hidup ini. Betul-betul malam yang melankolis.

Thanks bang Tere, buku/novel ke 20 yang slalu menginspirasi dan mengajarkan saya banyak hal:')
Smoga suatu saat nanti sy bs menulis novel sekeren bang Teree^^

#Recomended bangett buat bookLovers

Tuesday 3 October 2017

Akad

Menyaksikan teman-teman memakai gaun pengantin seperti di beberapa akad sebelumnya, aku tak pernah semelankolis melihat foto ini.

Dear My beloved friend, Rabiatul Adawiah...

Akad terucap. Ganjil pun menggenap. Mimpi menjadi nyata. Senyummu merekah. Barakallah.. kusemogakan setiap yang terbaik untukmu. Selamat menikmati cinta yang halal, cinta yang hakiki. Selamat menjalani takdir terbaikmu. Kini kau paham jika cinta bersemi selepas akad slalu lebih indah dibanding setumpuk ketidakpstian sebelumnya. Rasanya baru kemarin kita bertemu. Saling mengenal hingga akhirnya akrab. Aku tak tahu mengapa takdir-Nya slalu saja mengagumkan. Untuk sebuah temu yang menjadi awal ukhuwah diantara kita.

Mari mengenang kawan..

Bisa dibilang kebersamaan kita sangat singkat-bahkan tak sampai setahun. Sekelas hanya beberapa hari sebelum akhirnya aku memilih jalanku sendiri. Namun, masih kuingat dengan jelas beberapa potong kenang perihal masa lalu berisi namamu, wajahmu dan segala hal perihal dirimu. Di masa-masa terbaik itu, tepatnya kelas satu Aliyah. Kau murid baru sedang aku sudah tiga tahun sebagai santri. Pertama melihatmu, jujur pikiran yang muncul di kepalaku; Wiwi’ tipe perempuan cuek, terlalu kaku, serius etc-(kebiasaanku atau mungkin memang spontanitas saat bertemu orang baru adalah mengamati, lalu tanpa sadar menganalisis ini-itu.

Saat itu beberapa kesimpulan/spekulasi timbul bahkan sebelum kutahu siapa namamu. Untuk orang asing aku bukan pengingat yang baik tentang nama-wajah pun kadang susah tersave di kepalaku, tapi entah kenapa kau menjadi salah satu dari santri baru yang begitu mudah kuingat. Mungkin karena sejak awal aku sudah tertarik dengan ekspresimu, mimik wajah yang menurutku terkesan cuek ataupun  gestur tubuhmu yang terlihat slalu serius -entahlah.

Rasanya aku memang slalu senang melihat perempuan berkacamata-(apalagi cowok; ini sih dalam komik/novel yaa,wkwk) Kau yang imut-imut tidak jauh beda dengan postur tubuhku-diam-diam (sekali lagi) terlalu cepat menarik kesimpulan jika kau terlihat lebih dewasa dari umurmu. Apalagi dengan kacamatamu-aku merasa kau tipe cewek cool persis seperti tokoh komik yang biasa kubaca. Apalagi kala itu kita tak begitu akrab-aku hanya membantin jika kau tampak tertutup, hingga akhirnya kutahu sisi lain dirimu-seketika mengubah pandanganku tentangmu.

Nyatanya kau sosok yang hangat, asik dan murah senyum. Ingat, kita sempat sekelas di pelajaran bahasa inggris yang waktu itu kelas 1, 2, dan 3 digabung berdasarkan kemampuan masing-masing. Aku yang menyukai pelajaran bahasa inggris diam-diam mencemburui kau yang rasanya lebih aktif dan lebih mahir dibanding aku. Ah wi’, ternyata ingatan tentangmu masih begitu melekat hingga di beberapa detail cerita milik masa lalu. Atau mungkin saja perempuan memang slalu menjadi pegingat yang baik jika itu perihal kenangan (?) Lagi-lagi entahlah…
Kita sempat beberapa tahun tak saling bertukar kata atau pun sekedar melempar sapa. Kita seolah kembali menjadi asing sejak aku tak lagi sebagai teman sekelasmu. Waktu itu aku hijrah ke tahfidz lalu beberapa bulan kemudian harus pergi sebagai perwakilan program enam bulan menghapal di pulau seberang. Saat itu aku tak ingat lagi tentangmu. Kau sibuk dengan duniamu aku pun demikian. Hingga di beberapa tahun kemudian kita sama-sama mencicipi pahit manisnya menimba ilmu di bangku kuliah. Dengan terpisah jarak yang lumayan jauh-beda kota, jurusan dan kampus tentunya, ternyata dunia maya malah membuka kembali gerbang pembicaraan antara kita.

Aku tak ingat tepatnya berawal dari mana. Rasanya tiba-tiba saja kita saling berchat ria, bertukar cerita, curhat seputar masalah kuliah hingga hal-hal yang sifatnya betul-betul private. Aku tak paham, mengapa kau begitu percaya membagi banyak kisahmu kepadaku-demikian sebaliknya. Mungkin karena ada beberapa kesamaan hingga kau merasa nyaman dan nyambung hingga tak terasa dua tahun terakhir kau semakin sering becerita sekaligus bertanya-tanya banyak hal padaku. Aku dengan segala kesoktahuanku slalu saja menjawab pertanyaanmu semampuku-sebab aku terlanjur senang mendengar curhatmu yang kadang membuatku seperti turut merasakan bahagia skaligus suka-dukamu-dan kau pun menjadi salah satu sumber tulisan di blogku. Begitulah aku slalu senang menulis tentang orang lain. Terimakasih kawan, untuk seluruh kisah yang kau percayakan kepadaku. Aku belajar banyak dari ceritamu

Finally, bahagiamu yang baru di mulai kemarin. Maafkan aku yang tak sempat hadir, tapi percayalah aku mendoaknmu dalam-dalam. Aku sungguh haru melihat foto-foto pernikahanmu seolah aku tak percaya jika kau yang pernah begitu rapuh kini berhasil sampai di salah satu titik terbaik yang sungguh menjadi bukti bahwa kau perempuan tangguh yang akhirnya mampu melewati seluruh kenyataan penuh pilu di beberapa waktu sebelumnya-meski dengan lelehan air mata berulang kali. Maaf aku bahkan hanya menjadi silent reader saat teman-teman asik memberi ucapan di grup, sibuk membahas acara paling bahagia sekaligus moment pentingmu. Bukan aku tak peduli tapi rasanya aku hanya tak kuasa berkata-kata saking haru dan bahagianya.Kemarin, cukup aku menjadi pembaca. Sebab aku sengaja ingin menulis ini dan membuatmu membacanya saat riuh ucapan mereda. Aku ingin kau kembali meresapi kata-kataku.

Terimaksih sudah menjadi pembaca setia, juga pendengar yang baik untukku.

Wi’, aku senang menulismu meski beberapa saat yang lalu hatiku pun ikut tercabik mendengar seluruh kenyataanmu. Wi’ aku sangat bahagia dengan bahagiamu kini. Aku ikut merasakan senyum penuh kesyukuranmu seolah bahagia itu mengudara hingga ke sini, serta merta membuat air mataku mendereas sepanjang mengetikkan kata per kata dari tulisan ini. Percayalah, ini tangis kebahagiaan yang betul-betul tulus.

Sungguh cinta sejati ada dalam sebuah pernikahan. Muara dari seluruh kisah sedih atau pun bahagiamu. Sosok yang tak pernah kau bayangkan kini melengkapimu. Ia yang sebelumnya tak pernah sekalipun menjadi rencanamu. Tuhan Maha baik wi’-Ia slalu tahu yang terbaik untuk hamban-Na. Di saat tangismu tumpah, kecewa mengarati hatimu, dan perih seolah merampas ketegaranmu. Ia datangkan bahagia dalam kemasan yang berbeda. Ia memang penulis terbaik skenario manusia.

Wi’, Jalani cintamu dengan penuh kasih sayang, saling menyempurnakan, saling menerima dan saling mendukung. Selamat bertumbuh menjadi sepasang manusia yang baik Jaga dan rawatlah cintamu dengan kejujuran, kuatkan dengan slalu menyediakan stok sabar dan maaf.  Perjuanganmu menjadi seorang istri baru saja dimulai, maka peliharalah cintamu dengan komitmen, ilmu juga usaha saling memahami hingga ajal memisahkan. Singkirkan banyak ragu, percayakan mimpi sehidup-sesurga bersamanya. Perankanlah lakon istri sebaik mungkin. Semoga kelak kalian adalah sepasang orang tua yang akan melahirkan sebaik-baik generasi penerus Din. Selamat menyatukan cinta. Kutahu, kini hatimu utuh-dengan cinta yang suci. Selamat saling mencintai karena Allah hingga ke Jannah-Nya… بارك الله لك وبارك عليك و جمع بينكما في خير  Aamiin…



|| Makassar, 03 Oktober 2017, Catatan sebelumnya- part 1 dan part dua di sini.