Wednesday 21 October 2020

Goodbye Things; Hidup Minimalis Ala Orang Jepang (sebuah review buku karya Fumio Sasaki)

"Bukan daun gugur yang coba ia bereskan; yang ia sapu adalah rasa malasnya sendiri" (membuka review ini dengan quote favorit saya)


Kemudian ada bagian yang paling saya sukai dari Goodbye, Things ini adalah halaman-halaman awalnya; pembaca langsung disuguhi contoh nyata orang-orang yang memutuskan menjadi minimalis, (didukung dengan gambar/foto berwarna) serta merta menarik rasa penasaran. Sebuah pembukaan yang apik menurut saya, pembaca yang kadang memilih lanjut membaca atau berhenti, tunda dulu berdasarkan kesan pertama ketika membuka lembar-lembar pertama sebuah buku.

Aasumsi pribadi saya, Fumio memang sengaja menaruh contoh (para minimalis) sebagai pembuka karyanya ini, tidak lain karena ingin menunjukkan kepada pembaca "inilah mereka, orang-orang yang mendapat manfaat nyata; hidup jadi lebih bermakna dengan konsep mimimalis, jika mereka bisa, kenapa kita tidak?" Dan ohiya, nama-nama yang diambil menjadi contoh di buku ini memilih gaya minimalisnya masing-masing; ada yang lumayam ekstrim, auto bikin tercengang, wah ... bisa sampai se-ekstrem itu? Minimalist ini (masih single sih, jadi wajar kan ya, tidak akan sesulit yang sudah memiliki pasangan) yang merasa cukup dengan hanya satu ransel berisi barang-barang yang paling dibutuhkan, tapi ada juga yang standar; tidak sampai menjadi minimalis garis keras namun tetap dengan konsep; sesedikit mungkin barang untuk merasakan perubahan besar dalam hidup. Betul, tak ada definisi baku tentang minimalis sebab setiap orang bebas memiliki gaya minimalisnya sendiri.

Awal yang menarik tadi membuat saya lebih bersemangat lanjut membaca, sambil tersenyum, serta-merta merasa konsep minimalis ini sungguh menantang tuk segera dicoba. Sejujurnya, saya merasa jika gaya minimalis ini "islami banget" *skip—bisa dibahas tersendiri kalo dari sudut pandang islam

"Memiliki barang dalam jumlah sedikit mengandung sukacita tersendiri" (lagi-lagi) salah satu quote favorit saya untuk gagasan Fumio yang sudah dipaparkan dalam bukunya ini, pelan-pelan membuka cakrawala berpikir kita soal konsep cukup dan syukur, lumayan deep juga jika ingin diulik lebih jauh.

Membaca Goodbye Things dengan seksama, halaman demi halaman, akan membawa pembacanya pada sebuah kesadaran tentang kepemilikan, kebutuhan, dan ketergantungan kita terhadap barang sekaligus mengajak kita untuk segera berpisah dengan sebanyak mungkin benda yang kita miliki. Lewat tulisannya, Fumio seolah hadir di hadapan kita, menanyakan dengan lembut; hal-hal pelik untuk lebih mengakrabkan kita dengan gaya minimalis yang ia sendiri pun sudah merasakan "betapa powerful-nya menjadi seorang minimalis"

Coba kita jawab, atau paling tidak, mulai berpikir dengan sederet pertanyaan ini:

Ada berapa barang yang kita miliki sejak lahir hingga sekarang? Apa yang kita bawa sejak lahir dan apa yang nanti akan kita bawa jika mati? Bagaimana jika suatu waktu, tiba-tiba terjadi bencana dan kita kehilangan segala yang kita punya? Semuanya mengundang perenungan mendalam.

Overall, buku bertema self improvement ini tak hanya mengulik lebih dalam tentang konsep minimalis, lebih dari itu, penulis ingin menyampaikan pesan penting yang semoga bisa menggerakkan kita untuk segera berbenah, untuk hidup lebih baik. Hal ini saya temukan melalui kutipan-kutipannya: (yang jujur, saya pun dibuat terjeda sebentar untuk hening, bersenandika)

"Hanya rasa syukur yang bisa menandingi rasa bosan" –Hal.219

"Minimalisme bukan kompetisi. Tidak perlu sesumbar tentang betapa sedikit yang kita miliki. Tidak usah menghakimi orang lain yang memiliki lebih banyak barang. Minimalisme adalah cara mencapai suatu tujuan" Hal.124

"Orang bisa berubah dan perubahan dimulai dari gaya hidupnya" Hal.149

Terakhir, buku ini sangat recomended, terutama untuk kalian pencinta non fiksi yang ingin belajar konsep minimalis.

Saturday 10 October 2020

Belajar Menjadi Minimalis Dengan Buku-Buku Ini


Selama Pandemi saya cukup banyak membaca buku bertema self-improvement dibanding novel yang sejujurnya a cup of my tea. Salah satunya Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay yang saya masukkan dalam daftar “sedikit buku yang memberi banyak pengaruh dalam hidupku."

Awalnya saya mengetahui buku Seni Hidup Minimalis dari seorang bookstagram yang berhasil menarik perhatian saya lewat sampulnya yang simpel ditambah hasil foto yang apik. Sejujurnya, saya tidak membaca semua review buku yang lewat di beranda IG, terlalu banyak dan memang saya lumayan selektif memilih bacaan (walau pun hanya caption saya sadar; semuanya akan memakan waktu tentu saja, so jangan ragu skip tulisan yang not worth it) sebab saya punya batas waktu tersendiri berada di ruang maya yang silau itu.


Setelah membaca ulasannya saya melipir ke goodreads, memasukkannya ke rak want to read, lalu saya melupakannya karena tertarik buku lain. Kemudian ketika corona virus merebak dan psbb berlaku saya mulai rajin ke Ipusnas demi memperoleh bacaan gratis karena saya sudah tidak mungkin lagi ke perpustakaan kota dan tempat membaca offline lainnya. Di Ipusnas ternyata banyak sekali buku yang sudah lama saya cari, jadilah saya berkutat di aplikasi pemerintah yang sangat menguntungkan itu. Si perempuan yang kehausan bacaan tiba-tiba jadi pengunjung setia Ipusnas. Meskipun sejujurnya saya tak begitu nyaman dengan e-book, masa Pandemi mau tak mau membuat saya beradaptasi dengan sangat keras di awal. Maklum, mata saya tidak tahan berlama-lama membaca di layar hp. Tapi ternyata betul; ala bisa karena biasa juga akhirnya.

Pertama kali membaca buku Seni Hidup Minimalis pun sebenarnya di Ipusnas (kemudian saya membelinya karena antrian panjang haha), sejak pertengahan Maret jika saya tak salah ingat. Waktu itu saya tak membaca sampai habis, bukunya lumayan tebal dengan lay out yang padat. Ditambah efeknya lumayan berat: tiba-tiba saya ingin mempraktikkannya sebelum tamat. Sedikit demi sedikit hingga buku ini menjadi salah satu buku terlama yang saya selesaikan.

Dalam salah satu kelas literasi yang sempat saya ikuti semasa Pandemi, siapa sangka buku Seni Hidup Minimalis ikut dibahas ketika mengobrolkan buku berbenah Marie Kondo yang best seller itu. Kata sang pemantik diskusi, buku berbenah ala KonMari yang sangat popular ini sangat recommended, terutama yang memiliki masalah soal kelebihan barang dan kesulitan merapikannya. Setelah membaca buku Marie Kondo boleh dilanjutkan dengan buku Goodbye, Things karya Fumio Sasaki, tergeraklah saya membaca buku Marie Kondo, dilanjut dengan buku lain yang juga direkomendasikan teman-teman kala diskusi waktu itu.

Jadilah saya mengurutkan membaca buku-buku untuk belajar menjadi minimalis dengan daftar seperti ini:

Seni Hidup Minimalist—The Life-Changing Magic of Tidying up—Goodbye things—Beli Karena Butuh dan Menjadi Minimalis.

Seni Hidup Minimalis, di urutan no. 1 karena saya membacanya paling pertama meski tak selesai, namun buku ini, khususnya di bab awal akan memberimu pengertian "mengapa harus hidup minimalis" berikut dengan dasar pemikiran yang digunakan miss minimalist Francine Jay. Di sinilah saya mendapat kesadaran tentang pentingnya sebuah ruang yang lapang, auto menggerakkan saya untuk menyingkirkan tempat tidur besar di kamar sebagai langkah awal sekaligus wujud keseriusan saya mengamalkan apa yang baru saja saya baca.


The Life-Changing Magic of Tidying up karya Marie Kondo. Saya senang sekali bisa membaca buku ini. Marie kondo menekankan metode berbenah dengan memilih barang yang akan disimpan alih-alih dibuang. Memilihnya pun dengan menanyakan pada diri; apakah barang ini membuat kita senang? Dan aturan sederhana lain semisal barang sentimen adalah urutan terakhir yang harus dibereskan. Sepenuhnya saya sepakat. Buku ini mengingatkan saya semasa SD yang sejak memiliki kamar sendiri jadi super rapi dan teratur, kadang sampai uring-uringan ketika ada yang datang dan meletakkan barang sembarangan. Ternyata sudah dari kecil saya gemar merapikan dan saya lumayan perfeksionis dalam urusan mengatur barang.

Kemudian Goodbye things karya Fumio Sasaki yang baru saja saya tamatkan. Saya akan mereviewnya jadi tidak usah saya tuliskan garis besar apa isinya, yang pasti: buku ini sangat harus dibaca untuk mendalami minimalis.


Lalu buku Beli karena Butuh. Ini khusus untuk muslimah, seperti yang disarankan teman tadi. Saya membaca cepat buku ini sejujurnya hanya untuk membuktikan review teman, apa memang sebagus itu buku ini? Well, kuakui bagus. Namun, karena sudah menemukan buku yang lebih cocok untuk saya, buku ini tidak terlalu relate, tapi sangat cocok buat siapa pun yang merasa suka belanja, gampang membeli sesuatu karena terpikat diskon padahal sebenarnya bukan kebutuhan.

Terakhir, e-book MNMLST. 


Ini paling asik sebenarnya, terlebih jika kamu merasa tak cukup memiliki waktu untuk membaca semua buku yang sebelumnya saya sebutkan. E-book ini dibuat dengan sangat minimalis, isinya pun sudah didesain sedemikian rupa; sederhana tapi elegan. Bahasanya yang santai, sederhana membuat saya membacanya sekali waktu (jam 11—12 malam entah lewat berapa). Buku ini tidak tebal, sangat praktis untuk kamu yang memang ingin belajar minimalis dengan bacaan yang cukup ringkas namun tetap efektif. Makasih banyak Kak Ryan yang sudah membagikan e-book ini, gratis tis tis, hehe. Dari buku inilah saya pun tahu sebenarnya saya masuk kategori minimalis mana. Fyi, ada beberapa tipe minimalis yang disebutkan di sini. Keunggulan lain buku ini karena mengambil banyak referensi, tidak hanya dari buku saja, dan semuanya betul-betul bikin open minded. (Tulisan singkat ini hanya pendapat subjektif saya sebagai pembaca yang sangat menikmati buku MNMLST)

Oke sekian. Saya tidak ingin membuat kalimat penutup yang panjang, menulis ini pun sejujurnya cukup melelahkan (efek begitu lama tak menulis panjang di sini). Terima kasih, jika kamu membaca sampai akhir. Salam dari manusia yang terlambat belajar menjadi minimalis.

Saturday 3 October 2020

Belajar Menjadi Minimalis (Sebuah Jejak)

Masa Pandemi betul-betul memberi banyak sekali pelajaran dan pengalaman, salah satunya: perkenalan saya dengan konsep hidup minimalis. Sebenarnya, sudah lama saya penasaran dan begitu tertarik mempelajari bagaimana menjadi minimalis, namun baru tahun inilah saya betul-betul mendapatkan momennya. Berawal dari membaca satu bab pertama buku Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay, saya langsung tergerak mempraktikkan apa yang baru saja saya pelajari. Dari mengetahui dasar pemikiran yang digunakan Miss Minimalist FJ, saya pun kian bersemangat untuk mengaplikasikannya.

Maka mulailah saya melakukan eksperimen dengan ruang kamar yang sudah lama terasa begitu sempit. Saya mulai dengan menyingkirkan benda paling besar di kamar (spring bed ukuran jumbo, padahal selama ini saya tidur sendiri) yang mengambil ruang terlalu banyak. Hasilnya, saya merasa kamar saya menjadi begitu nyaman, lapang dan tentu saja tidak lagi sepenuh sebelumnya.   

Saya kemudian belajar menjadi minimalis dengan mencari referensi lain. Kebetulan waktu itu saya sedang mengikuti kelas literasi yang membahas buku Marie Kondo dengan metode berbenahnya; konMari. Saya pun membacanya hingga tamat, manggut-manggut setuju dan semakin bersemangat melanjutkan misi hidup: menjadi minimalis.

Setelah menyelesaikan buku Marie Kondo, bukan kebetulan; saat sedang semangat-semangatnya membaca tentang konsep minimalis saya menemukan akun tumblr kak Ryan, baca-baca hingga akhirnya mengetahui saya kategori tipe minimalis yang mana.

Pada akhirnya, gaya minimalis tidak sekadar lifestyle tapi juga berangkat dari sebuah kesadaran dari dalam diri, untuk hidup yang lebih bernilai, lebih menyenangkan, dan tentu saja lebih membahagiakan. Memang, tidak semua orang akan merasa cocok (apalagi se-excited saya haha) dengan konsep minimalis, tapi orang-orang yang merasa sumpek dengan banyaknya barang, terlalu mudah membeli sesuatu (yang bukan kebutuhan) atau siapa pun yang ingin membenahi hidupnya sangat cocok untuk mencoba menerapkannya.

Saturday 23 May 2020

Mencintai Palestina lewat cerita (review buku: Sang Murabithah)


Perjuangan yang penuh keberkahan ini adalah jalan indah yang seharusnya kita tempuh. Sebab, pada akhirnya perjalanan kehidupan kita di dunia ini akan berhenti pada sebuah tujuan. Tujuan itu seharusnya adalah syurga-Nya yang abadi. Syurga yang tentu tidak akan kita dapatkan begitu saja, namun ia adalah hasil dari apa yang telah kita kerjakan selama hidup di dunia yang sementara ini. (Halaman 23.)

Buku ini mengajak kita untuk merenung dan menghayati banyak hal; persaudaraan, kemanusiaan, keyakinan hingga ke mana sejatinya; kelak kita akan berpulang. Sebuah buku yang penuh makna, memberi begitu banyak pesan dan pelajaran untuk kita selami lebih dalam. Agar kita lebih peka, lebih sadar lagi sebagai manusia yang harusnya berperan dan berbagi kebermanfaatan.

Keseluruhan ada 18 judul yang akan membawa pembaca mengembara ke berbagai tempat; Istanbul, Yordania hingga kota suci Yerussalem di Palestina. Tidak hanya itu, buku ini pun menyuguhkan pembaca dengan banyak info sejarah, sangat cocok untuk siapa pun yang mungkin masih merasa awam tentang keadaan Palestina dari masa lalu hingga saat ini.

Kisah-kisah yang dituangkan dalam buku lumayan beragam, judul-judul yang dipilih penulis pun menarik. Seperti sederet menu yang yang disajikan kepada pembaca, kita pun bebas memilih ingin menikmati cerita dengan judul yang paling mengena di hati terlebih dahulu.

Dengan bahasanya yang sederhana, penulis berhasil membuat saya sebagai pembaca begitu mudah tersentuh dengan kata-kata yang dituangkan dalam buku ini. Perasaan saya pun campur aduk sepanjang membacanya. Banyak bagian yang refleks menjadikan mata saya berkaca-kaca sedemikian harunya hingga terkadang saya harus berhenti sebentar, mengambil jeda untuk sekadar meloloskan beberapa tetes air mata (memang, saya selalu semelankolis ini saat membaca buku, terlebih jika yang ditulis adalah kisah nyata dan terlebih lagi karena memang penulis adalah orang dekat yang sudah kenal bertahun-tahun).

Ada beberapa bagian favorit saya; Al-Aqsha dan sebuah kerinduan, Matahari Tenggelam di Langit Hebron hingga Tsunami dan Makna Keberkahan. Ohiya, satu hal yang sangat saya sukai dari buku ini: penulis selalu mengawali setiap ceritanya dengan quote, entah dari kata ulama, pepatah arab, potongan ayat atau pun hanya Anonim. Rasanya banyak sekali kalimat yang mesti digarisbawahi, dijadikan pengingat dan juga penyemangat.

Akhir kata, saya ingin menyalin potongan kalimat dari tulisan pembuka dalam buku ini, oleh Kak Yan;

Apa yang Penulis inginkan dalam kumpulan cerita pengalaman ini adalah agar “orang-orang mengambil hikmah dari peristiwa” yang mereka alami atau yang orang lain alami. Pengalaman orang, siapa pun itu, perlu kita ambil hikmahnya sebagai inspirasi melangkah ke depan. Panjang umur perdamaian!

Sebuah buku ini yang cukup menyentak kesadaran, menginspirasi dan memberi energi positif bagi siapa pun yang bersedia membaca dan melibatkan hati nurani. Sangat Recomended.

Tabik!

Sunday 12 April 2020

Setelah Membaca Buku Ini


Judul apa yang cocok untuk buku ini?
“pukul delapan pagi. teriakan penjual kematian tiba. lebih siang dari hari-hari sebelumnya. kupesan dua bungkus untuk kau & aku di esok hari. sedangkan kita-kematian yang tidak datang-datang.” (selamat pagi puisi)
“Kemana kata-kata sedang melipur diri? aku menebaknya: ia sedang mencari kolam, tempat ia menenggelamkan kekalutan yang tidak tahu berenang. atau mungkin sedang-ke toko buku, mencari saudaranya.” (4 pertanyaan ini akan membuatmu berlibur)
Dua kutipan puisi pembuka yang cukup mewakili banyak puisi yang saya sukai. Puisi-puisinya penuh warna, menghadirkan beragam perasaan sepanjang membacanya. Kadang, spontan saya dibuat tertawa, ingin memaki dan seringkali malah merasa jika satu puisi sedang menyentil kesadaran saya.
Dalam ketidakpahaman dan kebingungan yang saya rasakan sejak pertamakali memilih pintu masuk, saya bisa menemukan ruang bebas untuk menikmati tiap puisi-dengan interpretasi sendiri, alias suka-suka saya. Karena puisi selalu menawarkan banyak kemungkinan, keambiguitas dan keganjilannya ternyata juga bisa membuat saya hanya mampu mengernyit tanda tak paham dan tak tahu cara agar segera paham. Tapi puisi tetap bisa dinikmati bagi siapa pun yang bersedia memasuki dunianya, menelusuri setiap kata yang kadang terasa rumit, namun ternyata menyenangkan. Pun demikian dengan saya, setiap puisi setidaknya bisa saya nikmati dengan pintu saya sendiri.
Meski sejujurnya saya lebih sering bingung atau merasa tersesat di satu puisi, toh tetap saja saya ingin berputar lama-lama, menikmati dengan pelan; apa saja yang bisa saya rasakan di setiap puisi yang menawarkan maknanya masing-masing.
Saya menyukai metafora yang dipakai dalam puisi-puisinya, seperti banyak kalimat awal yang kemudian malah disangkal kalimat berikutnya (kontardiktif) dan yah! Selamat, sejumlah puisi di sini berhasil membuat saya jatuh cinta dengan cara-cara sesederhana itu.
Puisi-puisi di buku ini terasa begitu lepas, bebas dan penuh misteri. Tidak ada alamat kepada siapa ditujukan, yang pasti pembaca berhak untuk mengumpat, merasa tersindir atau mungkin termangu dalam ketidakmengertian. Demikian, banyak hal ditawarkan dalam semesta puisi dan kita sebagai pembaca bebas memilih pintu masuk yang ingin dilalui dalam sebuah rumah (puisi). Sekali lagi, karena puisi menawarkan kenikmatan untuk pemaknaan bebas. Tak ada yang pasti benar, kita hanya menerka-nerka atau menarik kesimpulan dari kacamata kita sebagai pembaca (yang ini mungkin bagian yang dimaksud “kita bisa memilih sendiri pintu masuk dan keluar”…)
Saya merasa puisi dalam sini cukup related dengan hal-hal di sekitar kita. Seperti dalam puisi “tentang kota” atau “hai orang-orang” yang berseru-seru lantang tentang hal yang cukup krusial. Di lain puisi pun ada tentang cinta yang tak ada habisnya dibahas dan masih banyak lagi tentang hal lain yang cukup absurd atau tabu mungkin (jika saya tidak keliru menangkap).
Meski sama-sama dibangun dari kata-kata membaca buku puisi tentu berbeda dengan membaca novel/cerpen atau bacaan lain. Bagi saya, puisi dengan segala kerumitan dan ketidakterusterangannya selalu membutuhkan waktu lama untuk bisa menamatkannya-meski pun bukunya tipis. Yap… saya membaca buku ini sampai seminggu.
Banyak tanda baca yang sedikit mengurangi kenyamanan. Seperti spasi yang dibuat berlebihan di antara baitnya belum bisa saya pahami, (untuk apa? Menarik napas lebih panjang, mungkin) sama halnya seperti huruf yang sering diketik dalam tulisan miring. Kemudian saya pun paham setelah menanyakannya langsung.
Sebelumnya saya hanya membaca puisi Alvian di medium dan memang saya rasa bagus, jadi tidak ragu saya memesan dua. Kemudian saya tidak menyesal untuk buku yang covernya menawan dan membuat saya jatuh cinta sejak pandangan pertama ini, hehe.. Saya merasa keputusan yang tepat sudah berhasil mengoleksinya.
**(tulisan ini disalin dari tumblr)