Monday 19 December 2022

Membaca Atomic Habits: perubahan kecil yang memberikan hasil luar biasa

Kebiasaan adalah bunga majemuk dalam perbaikan diri. Perubahan yang dihasilkan pada suatu hari tertentu mungkin terkesan kecil, tapi dampak yang terjadi setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian bisa dahsyat. (hlm 19)

Atomic Habits membahas dengan cukup detail; bagaimana membentuk kebiasaan baik dengan 1% lebih baik setiap hari. Kata kuncinya; konsisten, terus-menurus, fokus pada sistem hingga satu kebiasaan baik bisa terasa dampaknya.

Buku ini sangat cocok untuk siapa saja yang ingin mengubah hidupnya dengan mulai membentuk kebiasan baik apa pun—yang meski tidak terasa langsung dampaknya, tapi akan memberi hasil memuaskan jika terus menerus dilakukan.

Saya sepakat dengan yang dikatakan orang bijak, bahwa kebiasaanmu akan menjadi takdirmu. Demikian dalam buku ini, penulis memulainya dengan pengalaman pribadi yang memaparkan perjalanannya membentuk kebiasaan kecil yang berujung pada hasil yang tak terbayangkan sebelumnya. Dari kebiasaan pulalah nantinya akan terbentuk suatu identitas, maka satu kebiasaan bisa dimulai dengan fokus pada "ingin menjadi sosok yang seperti apa kita?"

Sebab kebiasaan adalah jalan untuk membuat identitas seseorang. Memang, sepenting itulah sebuah kebiasaan. Ini menjadi bagian yang paling saya suka, refleks mengingatkan saya dengan seseorang yang menyebut saya sebagai "kutu buku" saking seringnya nongkrong di perpus dan membawa buku ke mana-mana. Secara tidak sadar, kebiasaan saya ternyata sudah membuat suatu identitas.

Perubahan perilaku adalah perubahan identitas. Anda mungkin memulai suatu kebiasaan karena motivasi, tapi satu-satunya alasan Anda mempertahankannya adalah karena itu bagian dari identitas Anda. Sasaran Anda bukan membaca sebuah buku, sasaran Anda adalah menjadi pembaca. Perilaku Anda biasanya mencerminkan identitas Anda. (hlm 41)

Seperti penulis yang menjadikan menulis sebagai suatu kebiasaan, ia pun memiliki identitas sebagai penulis. Nah, kebiasaan-kebiasan apa yang ingin kau mulai untuk memberimu identitas? #nanyakedirisendiri

Kembali ke poin utama buku ini, "bagaimana membentuk kebiasaan baik dengan empat langkah." Untuk lebih mudah memahaminya, penulis melampirkan gambar lingkaran kebiasaan seperti ini: 

1. Cue (petunjuk), 2. craving (gairah), 3. response (tanggapan), 4. reward (ganjaran)

Empat tahap ini dibagi menjadi dua fase:

1. Fase Masalah—petunjuk dan gairah yang terjadi ketika kita menyadari bahwa ada sesuatu yang mesti diubah dan;
2. Fase Solusi—tanggapan dan ganjaran adalah ketika kita akhirnya mulai sebuah aksi untuk meraih perubahan.

Empat tahap perubahan inilah yang kemudian menjadi kerangka kerja praktis yang disebut penulis sebagai Empat Kaidah Perubahan Perilaku: 

• Menjadikannya terlihat
• Menjadikannya menarik
• Menjadikannya mudah
• Menjadikannya memuaskan

Maka setiap kali ingin membentuk satu kebiasaan bertanyalah pada diri sendiri; bagaimana saya menjadikannya terlihat, menarik, mudah, dan memuaskan?

Baiklah, mari kita bahas lebih jauh.

Pertama, menjadikannya terlihat. 

Untuk memulai suatu kebiasaan kita harus merencanakan kapan dan di mana kita akan melakukannya. Waktu dan tempat harus jelas dan spesifik, misalnya: belajar. Aku akan belajar bahasa Spanyol selama dua puluh menit pada pukul 6 sore di kamar tidur. (Contoh ini dan beberapa lainnya bisa dilihat di halaman 82)

Ketika kita membuat rencana yang spesifik untuk satu kebiasaan, kita akan lebih mudah fokus meraih tujuan yang ingin dicapai. Ada satu pendekatan yang dibahas di buku untuk memudahkan membentuk kebiasaan yaitu dengan menumpuk kebiasaan. Caranya adalah memasangkan satu kebiasaan dengan kebiasaan baru. Contoh yang sudah biasa saya lakukan: setelah terbangun pada jam tertentu lalu saya akan meminum segelas air putih. Atau seperti dalam buku ini: setelah selesai mencuci piring, aku akan langsung membersihkan dapur.

Kita bisa mencoba menyisipkan kebiasaan baru ke tengah rutinitas harian yang akan meningkatkan peluang untuk bertahan pada satu kebiasaan karena menumpuknya di atas kebiasaan lama. Rutinitas bisa menjadi satu petunjuk yang jelas untuk kebiasaan baru kita.

Spesifik itu penting. Makin erat kebiasaan baru Anda dengan petunjuk yang spesifik, makin besar peluang Anda akan mengingatnya ketika saatnya beraksi. (hlm 91)

Strategi lain adalah membuatnya menonjol di lingkungan dengan menyebar pemicu-pemicunya di semua tempat agar lebih mudah mengingat kebiasaan itu. Contoh (halaman 99) : Jika ingin tidak lupa minum obat tiap malam, taruhlah botol obat tepat di tempat Anda biasa minum obat. Satu kebiasaan memang butuh rumah/tempat yang pas untuk ditumbuhkan. Sekeliling kita turut menentukan bagaiamana satu kebiasaan bisa bertahan, seperti kata penulis: kita menjadi produk lingkungan tempat kita tinggal. Secara kasar, saya tidak pernah melihat orang yang secara konsisten bertahan dengan kebiasaan-kebiasaan positif di tengah lingkungan yang negatif. 

Kedua, menjadikannya menarik.

Cara yang ditawarkan penulis agar kebiasaan itu menjadi menarik salah satunya adalah dengan paket godaan—yaitu memasangkan aksi yang ingin dilakukan dengan yang perlu dilakukan. Karena kita cenderung akan merasa kebiasan itu menarik jika dilakukan sambil mengerjakan hal yang disukai. Contohnya (bisa dilihat di halaman 127), bila Anda ingin memeriksa Facebook, tapi Anda perlu lebih banyak olahraga, maka setelah mengeluarkan ponsel Anda akan melakukan burpee sepuluh kali (kebutuhan) lalu setelah melakukan burpee sepuluh kali, Anda baru akan memeriksa Facebook (keinginan). Dengan melakukan yang Anda inginkan, Anda akan lebih berhasrat untuk melakukan yang Anda butuhkan. 

Cara lain agar kebiasaan itu menarik adalah bergabung dengan kultur yang diinginkan. Karena kita sering meniru kebiasaan orang-orang di sekitar kita, maka bergabung dengan kultur di mana kebiasaan yang diinginkan menjadi sesuatu yang lazim. Contoh sederhana, jika ingin menjadi seorang pembaca, bergabunglah dalam klub baca. Karena berada di antara orang-orang yang memiliki kebisaan yang kita inginkan, kita akan lebih mudah bertahan dalam jangka panjang. 

Ketiga, menjadikannya mudah

Kunci membentuk kebiasaan adalah perulangan. Contoh, ingin diet. Tidak perlu menuntut hasil sempurna hingga kita terlalu lama mencari cara-cara terbaik untuk diet tanpa ada satu pun aksi. Yap, just do it! Repeat. Setiap kali kita mengulang satu aksi akan mengaktifkan saraf kebiasaan tersebut yang nantinya akan menjadi otomatis. Pertanyaannya, berapa banyak perulangan yang diperlukan untuk menjadikan kebiasaan otomatis? 

Bukan masalah apakah itu 21 hari atau tiga puluh hari atau tiga ratus hari. Yang penting adalah tingkat keseringan Anda melakukannya. Anda bisa melakukannya dua kali dalam tiga puluh hari, atau dua ratus kali. Yang menjadi pembeda adalah frekuensi. (hlm 165)

Untuk menjadikan sebuah kebiasaan semudah mungkin bisa dilakukan dengan cara mengurangi hambatan. Karena terkadang kita begitu sulit memulai kebiasaan sebab ada banyaknya gesekan, penghalang untuk melakukannya, maka kita harus mengurangi hambatan tersebut. Contoh, saat ingin fokus menulis atau membaca buku sementara ponsel seringkali mengganggu konsentrasi, solusinya adalah kita bisa meninggalkan ponsel tersebut di ruangan lain. Kebiasaan baik tentu menjadi lebih mudah jika hambatannya sedikit.

Kemudian ada aturan dua menit—kebiasaan tersebut harus dapat dilakukan dalam dua menit. Hampir setiap kebiasaan dapat diubah menjadi versi dua menit. Contoh: membaca sebelum tidur tiap malam menjadi satu halaman. Kunci aturan ini adalah bagaimana kita bisa memulai sesuatu semudah mungkin. Aturan ini membuat kita menguasai kebiasaan memulai sesuatu. 

Kebiasaan baru tidak harus terasa seperti tantangan. Aksi-aksi berikutnya mungkin menyulitkan, tapi dua menit pertamanya haruslah mudah. Yang Anda inginkan adalah "kebiasaan pembuka" yang secara alami mengantar Anda ke jalur yang lebih produktif. (hlm 183) 

Keempat, menjadikannya memuaskan

Suatu perilaku akan lebih mudah kita ulangi dan akan berumur panjang jika memberi kepuasan. Contoh dalam buku ini: sabun yang sangat harum atau pasta gigi yang mengandung bahan penyegar dapat menawarkan kesenangan langsung yang diperlukan untuk menikmati kebiasaan. 

Sayangnya, satu kebiasaan tidak langsung memberi kita ganjaran langsung yang memuaskan. Seringnya, diperlukan rentang waktu yang cukup lama untuk melihat hasilnya—akumulasi dari kebiasaan yang dilakukan setiap hari. Tidak apa-apa, kita tetap bisa merasakan keberhasilan kecil dengan alat pemantau kebiasaan. Membuat tanda silang pada kalender, misalnya (saya seringnya dengan membuat checklist harian yang akan memberikan kebahagiaan tersendiri jika di penghujung hari ada banyak kebiasan yang berhasil tercentang). Pemantau kebiasaan bisa menjadi pengukuran visual yang membuat kebiasaan terasa memuaskan. Untuk mendapat hasil akhir memuaskan, jangan sampai memutus rantai. Karena kunci kebiasaan, sekali lagi: pengulangan, yang konsisten!

Setelah mengetahui empat kaidah ini saya akan mencoba memulai kembali beberapa kebiasaan baik dengan lebih sungguh-sungguh, dengan beberapa strategi yang sudah dipaparkan penulis. Doakan, semoga berhasil.

Selain empat kaidah di atas, penulis juga melengkapi bukunya dengan membahas hal-hal lain yang akan sangat membantu; bagaimana agar kita tetap termotivasi melatih kebiasaan, rahasia agar hasil berkelanjutan, sampai kepada bagaimana menerapkan gagasan Atomic Habits dalam bisnis ataupun mengasuh anak. 

Buku ini akan sangat bermanfaat hanya jika kita betul-betul ingin berubah dengan segera menerapkan berbagai tips dan trik yang sudah dipaparkan dengan sesederhana mungkin oleh penulis.

Jika kalian serius ingin memulai kebiasaan baik ala Atomic Habits, segeralah men-download beberapa bonus yang disediakan penulis di website atomichabits.com lalu cetak dan gunakan. Semoga dimudahkan.

Contohnya seperti di bawah:



Tuesday 29 November 2022

Perbaikan Dimulai Dengan Ilmu

Titik Nol • Pembersihan Jiwa • Oleh Ustaz Agus Al Muhajir Rahimahullah • Faithamins Podcast
Jumat pagi saya melihat Instagram story seorang penulis tumblr yang selama ini sering saya jadikan salah satu rujukan mengambli bacaan. Saya selalu suka dengan kutipan dari buku yang biasa diunggah berserta kalimat reflektifnya. Lalu pagi itu, saya menemukan link podcast di Igs beliau yang langsung mengarahkan saya ke Spotify. Satu jam lebih pembahasan yang membuat saya tercenung cukup lama, menulis ulang semuanya agar bisa menjadi pengingat diri, catatan yang cukup panjang yang membuat saya merasa harus membagikannya agar orang lain pun bisa ikut meneguk nikmatnya ilmu. Ada pun pembahasan podcast ini tak jauh-jauh menyinggung hal yang begitu penting bagi para penuntut ilmu.

Oke, here we go!

Tiga adab menuntut ilmu (agar mendapatkan ilmu berkah)

1. Adab terhadap diri sendiri
2. Adab terhadap sumber ilmu
3. Adab terhadap ilmu itu sendiri

Ketiganya betul-betul diperlukan, tentu agar menghadiri majelis ilmu memberi efek, tidak sia-sia.

Pertama, adab kepada diri sendiri. Ada dua poin yang sangat penting kita perhatikan:

1. Niat. Jangan biarkan ada niat buruk karena niat yang salah tidak akan menjadikan ilmu sebagai alat untuk mendekat kepada-Nya, taqarrub. Sebab ilmu seharusnya diniatkan untuk meraih akhirat, bukan untuk dunia. 

2. Jaga diri dari perilaku yang buruk. Sebab kita tidak mungkin mendapat ilmu yang berkah jika kita penuh dengan hal buruk, mulut kita belepotan dosa, jiwa kita kotor—semua perilaku tercela menghalangi masuknya ilmu yang mulia. 

Untuk membersihkan hati, mulailah dengan taubat. Hilangkan dosa-dosa kita agar ilmu menjadi cahaya yang menembus. Perbanyak istigfar dalam perjalanan menuntut ilmu agar kita menjadi seseorang yang layak menerima ilmu.

Kedua, adab kepada sumber ilmu:

1. Kitab/buku. Hargai buku-buku atau kitab yang menjadi sumber ilmu. Jangan sampai mushab ditaruh di bawah, diletakkan di tempat rendah/sembarang. Perlakukan baik-baik kitab yang kita pelajari. 

2. Siapa pun yang mengajarkan ilmu kepada kita. Bersikplah tawadhu kepada penyampai ilmu. Muliakan sumber ilmu. Jangan merendahkan pemberi ilmu karena itu akan memutus keberkahannya. Hati-hatilah, karena kita tak akan mendapatkan kemuliaan ilmu jika mencaci orang yang memberi ilmu.

Ketiga, adab kepada ilmu itu sendiri:

1. Fokus saat menuntut ilmu. Salah satunya dengan mengikat ilmu dengan mencatat. Menulis juga menjaga agar kita tetap fokus. 

Hati-hati belajar online, jangan rebahan sambil nge-zoom, misalnya. Karena keberkahan dan manfaat hanya bisa didapat jika kita bisa menghargai ilmu. Selama menuntut ilmu pun, jangan sampai terdistraksi, terutama urusan dunia. Jaga fokus kita. 

"Seluruh bagian ilmu tidak akan diberikan padamu sampai kau sanggup menundukkan seluruh jiwamu utuh untuk ilmu" Kata imam Gazali. 

2. Sistematis dan tuntas dalam mempelajari ilmu. Tuntaskan satu bab baru memulai bab lain. Perlu diingat juga bahwa bahaya jika kita tidak sistematis karena pemahaman bisa acak-acakan. 

3. Tidak memulai dengan materi yang rumit seperti mulai pembahasan khilafiyah. Mulailah dari yang sederhana. Step by step.

Tiga poin yang harus di-highlight pada pembahasan kali ini:

1. Ilmu adalah titik nol perubahan
2. Cara memperoleh ilmu yang berkah adalah dengan menegakkan adab
3. Hati-hati terhadap penyakit yang menempel pada ilmu. Ada sebuah hadits: "Manusia yang paling berat mendapatkan siksa pada hari kiamat tapi tidak memberi manfaat padanya. Ahli ilmu yang fasik, yang tidak beramal dengan ilmunya."

Karena itu, sesederhana apa pun ilmu kita sesuaikan dengan perilaku kita. Karena jika perilaku jauh dari ilmu kita, maka celakalah kita. 

Dalam kitab Ibnu Katsir disebutkan juga bahwa orang paling berat siksanya adalah alim. Orang berilmu yang tidak sesuai dengan perilakunya. Pun, yang dikhawatirkan Usman adalah orang berilmu tapi munafik. Kenapa munafik? Ketika ilmunya hanya menjadi penghias lisan saja sementara jiwa dan amal tidak sesuai ilmunya.

Inilah jebakan ilmu yang berbahaya. Maka, Sesederhana apa pun ilmu, lakukan.

Imam Hambali pernah diminta pada seseorang yang statusnya masih budak. "Cobalah sampaikan betapa mulianya orang yang membebaskan budak." Lalu beliau tidak menyampaikan sampai beberapa pekan. Ketika ditanya kenapa beliau baru menyampaikannya pada pekan keempat? .... Beliau menjawab, ia tidak berani menyampaikannya karena belum mampu melakukannya. Ia mengumpulkan uang dahulu untuk mengamalkannya, membebaskan budak.

>> Quotes of the day <<

"Pasangan sejati bagi ilmu itu adalah amal. Dengan mengamalkannya maka ia semakin kekal di qolbu manusia. Jika tidak, ilmunya sia-sia, akan lenyap dan dicabut."

"Jaga diri dari maksiat karena itu bisa menghalangi cahaya ilmu."

Gowa, 18—20 November 2022

Sunday 20 November 2022

Teruntuk Diri Sendiri


Dear Aira ....

Seringkali kenyataan tak semewah yang kauharapkan, tapi semoga saja itu tidak sampai melumpuhkan kesabaranmu, membuatmu tenggelam dalam kesedihan yang menghapus senyuman.

Manusia memang tak bisa memesan takdir sesuai keinginannya, namun hati yang ia miliki diberi kemampuan hebat untuk menerima setiap baik-buruk kehendak-Nya. Kau tahu, hati adalah pemberian Tuhan paling berharga. Di sana diletakkan-Nya kesempatan agar kau selalu bisa membenahi hidupmu. Tuhan akan mencintai dan menilaimu dari bagaimana hatimu. Karena itu, kau harus memiliki hati yang cantik. Hati paling laut, yang luas kesabarannya tak berbatas. Hati yang tetap akan baik-baik saja meski pernah dilukai berkali-kali, ditumpahi berkubik-kubik kecewa, dihunjami derita, hingga sebanyak apa pun perasaan duka takkan sampai mematahkannya. 
Jangan berhenti mendidik hatimu agar menjadi hati yang akan menyelamatkan dunia dan akhiratmu.

Raa, bersyukurlah sebab di antara begitu banyak hal yang berkali-kali kau keluhkan, kau masih memiliki begitu banyak alasan untuk tetap tersenyum. Coba tegakkan kepalamu lalu katakan “Aku adalah perempuan yang beruntung.” Sering kau merasa buruk sebab kau masih kurang bersyukur. Padahal, nikmat-Nya tiada mampu kau hitung jumlahnya.

Sebab kau tak pernah betul-betul kekurangan jika syukurmu terisi penuh. Kau perlu merawat keyakinan, bahwa Tuhan maha kaya dan akan selalu mencukupkanmu. Ia selalu memberikan apa yang kau butuhkan dan seringkali yang kau inginkan pun terpenuhi cuma-cuma. Bersyukurlah untuk begitu banyak hal hingga kau tak layak menuding diri sebagai seseorang yang terlalu menderita lantas merasa pantas merutuki takdir, mengeluhkan segala kesusahan hidup. Bagaimana pun kehidupan yang kau jalani kini, semuanya melatihmu untuk terus bersyukur.

Beryukurlah. Kau memiliki teman yang selalu mengingatkanmu dalam kebaikan. Bersyukurlah, kau diberi mama yang doanya tak putus-putus. Yang nasihatnya selalu menguatkanmu. Bersyukurlah, kau masih sehat, anggota tubuhmu masih berfungsi dengan baik. Bersyukurlah, kau dimudahkan bangun cepat di saat masih banyak orang yang kesulitan walau sekadar menunaikan subuh tepat waktu. See, Allah sayang kamu, Raa.

Tetaplah melangkah di jalan-jalan kebaikan hingga waktu memutus hubunganmu dengan dunia yang fana. Dunia yang penuh fitnah ini. Berdoalah agar diberi akhir yang baik, dengan hati dan juga raga yang ketika menghadap-Nya dalam ketaatan.

—Makassar, pagi buta. Memupuk syukur tanpa tapi

Wednesday 2 November 2022

Ingatan yang Melintas Sebelum Tidur

Saya akhirnya memutuskan menulis ketika sudah 30 menit lebih usaha agar tidur tepat waktu gagal. Seperti biasa, ada banyak yang riuh dalam kepala. Memetakannya satu per satu lewat kata-kata adalah cara agar mendapatkan kelegaan. Bagaiamana pun, bagiku—menulis adalah media terbaik untuk katarsis. Medium yang kupilih tuk mengenal dan menemukan diriku sendiri.

Saya teringat kalimat seseorang di salah satu platform menulis, (katanya) kurang lebih begini—karena lupa bagaimana redaksi katanya saya menulis apa yang ingatan saya tangkap—kita mengenang agar tidak menghianati masa lalu.

Maka ketika kesadaran saya tak kunjung pergi malam ini, saya membiarkan kenangan menerobos masuk, bernostalgia panjang dalam kesunyian yang mengalirkan air mata. Entah kesedihan yang jatuh, penyesalan, atau ketidakmampuan memahami ingatan-ingatan yang datang menyerbu.

Ingatan itu memang unik, ada banyak, tapi kita tak bisa memilih, mana yang akan tanggal dan yang tinggal. Meskipun saya cukup sering menulis agar tak lupa, tetap saja lebih banyak yang luput, terlupakan lalu kemudian gentayangan di saat-saat sendiri. Kenangan-kenangan itu membawa nama bersama peristiwa dan perasaan tertentu. 

Ingatan pertama, 2014. Matahari pagi dan percakapan-percakapan hangat dari seseorang yang jauh tapi terasa begitu dekat. Cerita lama yang tak pernah betul-betul terlupakan. Perasaan yang ditutup dengan pergi. Selesai begitu saja. Yang hari ini sedikit mendatangkan sesal, kenapa tidak pamit baik-baik? Ada perasaan bersalah yang tidak bisa dibayar dengan maaf.

Ingatan kedua, ketiga ... Tidak perlu ditulis. Satu pertanyaan mewakilinya: mengapa harus jatuh di kesalahan yang sama lebih dari sekali? Lihat, semua ingatan itu, pada akhirnya jadi hantu masa lalu. Menyelinap di malam-malam insomnia. 

11:07 pm | 

Thursday 13 October 2022

Januari dan beberapa hal setelahnya

Selepas sore yang mengantuk dan sedikit pusing menunggu waktu berbuka, kuhabiskan waktu dengan blog walking. Mencoba menemukan kembali kesenangan lama yang entah sejak kapan tak lagi menjadi rutinitas. Maklum, dulu sekali, ada masa ketika tiap hari selalu kusempatkan diri membaca tulisan teman blogger, yang hari ini semakin sunyi saja—tak ada lagi saling mengunjungi dan membalas komentar, bahkan aku pun merasa tak butuh lagi mengaktifkan kolom komen. Ehm ... tiba-tiba jadi ruang nostalgia.

Gara-gara membaca beberapa blog tadi (yang sekian lama ditinggal pemiliknya, entah karena sudah pindah rumah atau faktor kesibukan hingga tulisannya berhenti di satu titik), aku tergerak menulis sesuatu—tulisan yang saat ini kuketik, yang masih tak tahu akan ke mana—tapi sudah diberi judul yang sengaja kutulis pertama untuk mengawali, what's on my mind? Sebab ada banyak hal yang sering datang di sela-sela rutinitas harian, pikiran acak yang sayangnya tak selalu bisa kutulis meski begitu ingin.

Januari, lalu tiba-tiba saja sudah Oktober. Cukup banyak yang masih tertinggal di ingatan, kenangan-kenangan yang tak mendapat ruang selain sunyi yang begitu rahasia. Sejujurnya, tidak ada yang betul-betul istimewa, tapi beberapa hal tetap menjadi peristiwa berkesan, atau setidaknya 'cukup layak tuk dikenang' dengan senyuman. Dari Januari yang tak bisa kuingat dengan apa pun selain hari-hari muram tanpa gairah, lalu kembali menemukan arah hingga sampai ke hari ini, Oktober yang mulai rajin dikunjungi hujan. Antara keduanya, hal-hal apa yang bisa kubicarakan?

Ada perjalanan yang akhirnya selesai bersamaan dengan cerita yang baru saja ditulis. Ada kehilangan yang diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Ada langkah-langkah ragu yang berakhir pada keyakinan utuh. Ada doa-doa yang terjawab bersama sekian rencana yang masih tertangguhkan. Ada kegagalan, ada duka, air mata, kepasrahan, dan juga ketenangan. Yang terpenting dari semuanya, ada 'kepulangan' selepas begitu lama langkah ini tak ke mana-mana. Too much stories so far and I should be very grateful for all. His plan always better than what I think.

Dari awal tahun hingga detik ini, memang banyak sekali yang terjadi, tapi aku tidak akan menceritakan semuanya.

Setelah Januari dengan segala sesuatu yang terjadi setelahnya, satu hal yang pasti; aku bukan lagi seseorang yang sama dengan sosok yang pernah mengisi ruang ini di awal tahun. I changed, a lot.

—Makassar, dalam bising dan sunyi

Tuesday 11 October 2022

Tentang Belajar

Belajar memang proses panjang—selama hidup yang sungguh sebentar ini. Sayangnya, tidak semua orang merasa butuh belajar atau lebih tepatnya, barangkali tidak ada kesadaran dalam diri bahwa 'belajar' adalah hal yang tidak boleh berhenti selama ajal belum tiba.

Kita bisa belajar dari mana saja, lewat siapa saja, apa pun medianya; buku-buku, pengalaman orang lain, alam yang terhampar, bahkan kepada hal-hal kecil di sekitar kita. Maka beruntunglah mereka yang selalu mampu menarik pelajaran dari segala hal yang dihadirkan dalam hidupnya. Mereka yang memiliki kepekaan tuk merasai sesuatu, menelaahnya, hingga memperoleh pelajaran darinya. Mereka yang memiliki mental pembelajar, selalu merasa harus terus belajar, menjadikan hidup sebagai kelas raksasa tuk menimba pemahaman.

Perihal belajar, Cak Nun dalam buku Mencari Buah Simalakama menulis:
"Ada yang selalu belajar, ada yang sedang belajar, ada yang baru sekarang belajar, ada yang belum belajar, ada yang malas belajar, ada yang tak belajar, ada yang tak tahu bahwa harus belajar, ada yang di memori otaknya tidak ada kata belajar" 
Satu paragraf ini terus terang saja begitu menyentil, memetakan satu per satu keadaan, fase yang (salah satu atau lebih) sudah pasti dimiliki manusia; makhluk yang dianugerahi akal, namun kadang begitu bebal 'membaca'.

Selesai dari pendidikan formal tak lantas selesai masa belajar. Sebab ada begitu banyak hal yang harus kita pelajari, bahkan kadang harus diulang berkali-kali, hingga mencapai pemahaman yang utuh, ilmu yang bermanfaat, menggerakkan, menumbuhkan kebaikan-kebaikan.

Tahun berganti tahun, umur terus berkurang, sering terbersit tanya: apa saja yang sudah kupelajari sejauh ini? Hal-hal di luar teori dan kurikulum pembelajaran baku yang diajarkan semasa sekian tahun study—segala sesuatu di luar itu, ilmu-ilmu yang tak diperoleh dari sekolah atau universitas mana pun, adakah yang betul-betul kupelajari? Apakah aku selalu belajar seperti yang kusangka selama ini? Ah, ini menjadi persoalan pelik yang sebaiknya dipikirkan kembali.

Memang, untuk belajar, kadang dibutuhkan proses menyakitkan, kontemplasi pahit, refleksi-refleksi yang mampu membangunkan kesadaran, mengajakmu berbenah, hingga rela mengorbankan apa saja. Tentu demi dirimu sendiri, untuk kebaikanmu tentu saja. Sebab hidupmu harus menjadi lebih baik dengan belajar. Agar menjadi hidup yang memiliki makna. Hidup yang tak sekadar berlalu melewati sekian usia, menua, lalu mati.

Monday 26 September 2022

Membicarakan Kehilangan

Sejak bapak meninggal 26 September 2006 lalu, bagiku—September adalah waktu untuk berkabung. Bulan yang sepanjang hidup akan kuingat sebagai perpisahan penuh air mata. Bukannya ingin mendramatisir kenangan, tapi bagiku, kehilangan karena seseorang yang kaucintai menutup usia adalah duka yang tak tertandingi. Sejauh ini belum ada yang menyaingi perasaan sedih karena ditinggalkan oleh bapak. Sebab setelahnya, rindu selalu datang bersama tangis yang akan susah payah dihentikan.

Sudah 16 tahun sejak hari terakhir kali kulihat bapak. Kilasan belasan tahun silam itu tak bisa hilang dari ingatanku; bapak yang terbaring dengan mata terpejam, tanpa nafas dan gerakan apa pun lagi. Aku yang tidak cukup kuat melihat itu berpindah ke kamar sebelah, menangis sejadi-jadinya lalu setelah keluar dari kamar tempat bapak menghembuskan nafas terakhirnya, tak pernah lagi kulihat sosoknya. 

Umurku baru sepuluh tahun kala itu. Aku terlalu takut melihat bapak dibawa pergi, jadi selepas kelelahan menangis aku (sengaja) memilih tidur. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti emosi yang hadir, aku juga belum tahu mekanisme pertahanan, apalagi menjadi baik-baik saja saat kesedihan menikam hati dengan brutal.

Setelah melewati banyak hal, membaca banyak buku, dan tentu saja rajin berkontemplasi—akhirnya aku bisa melihat kematian lewat sudut pandang yang berbeda. Ada pemahaman yang melengkapi kehilangan besar itu hingga saat merasa harus kembali mengenangnya, (meskipun masih dengan air mata) aku akan tetap baik-baik saja. Aku sudah menerima kehilangan dengan cara terbaik, menganggapnya sebagai refleksi untuk diri sendiri agar lebih banyak lagi merenungkan kematian.

"Kullu man alaihaa faan" kata-Nya. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Everything is temporary.

Bahwa kematian adalah niscaya. Tidak satu pun manusia yang masih bernafas tanpa setiap detik waktunya adalah kemungkinan sebagai akhir hidupnya. Tidak yang muda, tidak pula yang masih sehat. Kita sama, semuanya sama-sama akan mengalami mati. Tentang siapa yang punya giliran lebih dulu itu hak prerogatif-Nya. 

9:55 pm

Monday 5 September 2022

Selepas Agustus

Agustus memberi ruang untuk berefleksi habis-habisan—menakar sedalam apa aku melihat hidup, sudah seluas apa penerimaanku terhadap takdir. Melihat jauh ke belakang. Menengok sejarahku sendiri. Membaca kembali cerita hidup dan daftar pertanyaan yang tidak mudah dijawab. 

Ada banyak hal yang ingin diperbaiki, diulang jika bisa—tapi jarum waktu tak pernah bergerak mundur. Semua yang lewat sisa masa lalu. Kenyataan yang harus disyukuri. Kenangan yang mesti diterima seikhlas-ikhlasnya.

Everything has changed. Both around me, and within me. New month is new beginning. New me. I'm trying to improve myself. To fall in love with the best version of me.
Keep moving forward, Raa. 

Tuesday 30 August 2022

Day #30 I heal Myself

Ternyata, pulang kepada-Nya adalah cara terbaik yang bisa aku lakukan untuk menyembuhkan luka.

Pulang berarti kembali tersambung dengan-Nya, Tuhan yang maha segala. Dia yang sudah menulis skenario hidup manusia yang seringkali disalah artikan.     

Pulang kepada-Nya adalah kembali, mendekat sedekat-dekatnya, mengakui segala kelemahan dan kekhilafan diri yang takkan sanggup kembali berdiri tanpa kekuatan-Nya. Berdoa dengan penuh harap agar dititipi kesabaran terhadap takdir yang lalu ataupun yang masih tanda tanya, semoga selalu diberi kebijaksanaan mengambil pelajaran dari setiap ujian yang hadir. 

Karena pada akhirnya, healing terbaik adalah pulang kepada-Nya, mengadukan seluruh luka sembari memohon diberi kelapangan untuk ikhlas menerima semuanya. Karena hati manusia dalam genggaman-Nya, setiap rasa sakit yang pernah memenuhinya tidak akan hilang tanpa kehendak-Nya.

Day #29 Terbanglah Resah

Doa-doa panjangku agar Dia membantuku melewati hari-hari dan melepas keresahan itu.

Aku yang ketika dipenuhi kesedihan seringkali meragukan-Mu, kumohon Engkau yakinkan kembali. Bahwa janji-Mu adalah pasti.

Aku yang sering tersungkur jatuh semoga selalu kau beri kekuatan untuk kembali berdiri dan melanjutkan langkah. 

Aku yang kadang takut menghadapi esok, semoga Kau beri keberanian tuk menghadapi setiap ketakutanku, agar aku mampu untuk selalu hidup dengan perasaan yang lebih lega. 

Aku yang tanpa sadar terlalu mengandalkan diri sendiri, semoga selalu kau ingatkan dengan cara-cara paling lembut. 

Aku yang tiap kali tersesat, semoga selalu Kau beri petunjuk untuk kembali.
Aku, dengan segala resah yang kadang memberatkan hari-hari, semoga Kau titipkan syukur yang dalam agar ketenangan selalu datang mengisi hati. 

Allahu Rabbi … jangan biarkan sejengkal pun langkah kakiku tanpa bimbingan-Mu. Biarkan aku menjadikan Kau satu-satunya tempat bersandar, sepanjang usia yang sungguh sangat sebentar.

Day #28 Maaf Untuk Ayah dan Ibu

Meski aku pernah terluka oleh mereka, kini aku ingin memaafkan sebab ternyata itulah yang diinginkan-Nya.

Tidak ada orang tua yang sempurna, tapi setiap orang tua tentu ingin mengusahakan yang terbaik untuk anaknya. Sebab cinta dan kasih sayang seorang ayah dan ibu seringkali tidak sesuai dengan bayangan sang anak. Selalu saja ada hal-hal yang mungkin berseberangan, kesalahpahaman yang malah melukai kedua pihak. 

Sebuah hubungan memang bisa menjadi sangat kompleks—seperti di antara kita, ma, pak. Aku tidak akan mengungkit masa lalu mana pun. Aku hanya ingin memaafkan. 

Ma, Pak, aku ingin memaafkan semuanya. Aku yang pernah menangis karena merasa terluka oleh kata-kata atau apa pun yang kunggap tidak seharusnya. Meski pernah ada kemarahan dan kecewa yang kusimpan sekian lama, kini aku hanya ingin memaafkan semuanya. Aku tidak ingin merawat luka terlalu lama. Aku yakin, memaafkan adalah salah satu cara untuk menerima dan ikhlas.

Day #27 Kegagalan Terbaik Dalam Hidupku

Kegagalan yang pernah atau sedang dialami, yang mungkin menyisakan luka, tetapi ternyata memberikan pembelajaran berharga.

Aku gagal menyelesaikan kuliah tepat waktu. Bagian terburuknya adalah, kegagalan ini tidak hanya tentang diriku sendiri, tapi ada orang lain yang terpaksa harus menerima konsekuensinya. Kalian pasti mengerti maksudku. 

Dari sudut pandang orang banyak, aku tahu betul bagaimana mereka memandang sinis, menganggap kegagalan ini sebagai bentuk ketidakbecusanku dalam memikul tanggung jawab. Aku mafhum, memang mereka tidak sepenuhnya salah. Bagaimanapun, aku sudah kenyang dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan yang dilontarkan tanpa empati ataupun asumsi pribadi yang sangat menyudutkan. Memang, semua kuterima dengan sakit hati awalnya, namun perlahan, seiring bertambahnya usia yang ternyata turut menambah perspektifku dalam memandang sesuatu yang membuatku tidak lagi ingin memusingkan semuanya. Terlalu menguras energi. Tanpa kusadari, aku menjadi lebih tidak mudah menghakimi karena dalam melihat peristiwa aku tidak puas jika hanya fokus ke satu titik saja tanpa berusaha menyimak dari sudut pandang lain. 

Lalu semua menjadi biasa saja. Sekarang bahkan aku bisa menertawakan kegagalan ini. Bahwa ternyata, aku memang selemah dan setidakberdaya itu tanpa-Nya. Aku yang selalu merasa bisa mengandalkan diri sendiri hanyalah manusia biasa yang akan runtuh ditimpa kegagalan, patah oleh harapan yang salah bersandar, terluka sebab terlalu percaya pada kemampuan sendiri. 

Bertemu kegagalan sudah pasti meyakitkan, tapi begitulah hidup, tidak selamanya baik-baik saja. Bagaimana pun, kegagalan bisa menjadi titik balik hidup—yang membuat siapa pun menyadari kebebalan diri untuk segera berefleksi dari kesalahan-kesalahan yang mungkin menyebabkan kegagalan itu. 

3:12 am

Day #26 Ketika Semua Berubah

Hal yang aku takutkan dari perubahan dan bagaimana cara terbaik yang akan aku lakukan untuk menghadapinya.

Jujur saja, aku tidak tahu harus menulis apa. 

Karena perubahan adalah kepastian, kurasa aku tidak akan takut menghadapinya. Apa aku terlalu optimis dan percaya diri dengan segala perubahan yang menunggu di depan sana? Entahlah. Yang pasti, aku tidak akan menolak perubahan. Aku belajar menerima perubahan, bagaimana pun bentuknya. 

Perubahan justru menyadarkanku bahwa tidak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Semua hal memang akan berubah. Seperti dunia tahun 90-an yang tentu saja menjadi sangat berbeda dengan dunia tahun 2022 saat ini. Teknologi yang semakin canggih membuat siapa pun harus beradaptasi jika tidak ingin ketinggalan. Anak-anak begitu akrab dengan gadget, berbagai macam permainan masa lalu perlahan ditinggalkan. Tidak perlu jauh-jauh, aku sendiri menyaksikannya langsung di sekitarku; anak-anak yang lebih suka fokusnya tersita depan layar daripada bermain di luar rumah. 

Perubahan bisa jadi baik, atau malah sebaliknya. Tergantung bagaimana kita meresponsnya. 

Dulu aku takut menjadi tua, kehilangan kekuatan, memori melemah, penuh keriput, pelupa, kondisi kesehatan menurun, atau yang paling parah kembali menjadi seperti anak kecil. Dari sekian hal yang pasti akan berubah, entah mengapa aku malah menghawatirkan perubahan fisik. Mungkin karena ini adalah perubahan paling nyata yang akan dihadapi siapa pun yang berumur panjang. Lalu jika ini bisa dibilang hal yang paling kutakutkan dari perubahan, maka cara terbaik untuk mensiasatinya adalah dengan memperhatikan kesehatan sebaik mungkin sejak saat ini. Bukan hanya karena kesehatan adalah aset penting dan sangat berharga, tapi tubuh kita sejatinya amanah yang harus dipelihara, dijaga sebaik mungkin.

Menjadi tua dengan kondisi yang masih prima tentu menjadi harapan semua orang, sebuah ikhtiar yang layak diperjuangan, setidakpasti apa pun masa depan yang menanti.

Day #25 Aku Berharga

Aku merasa sangat berharga ketika ….

Dibutuhkan. Sesederhana ketika seorang teman mengirimi pesan, ingin didengarkan. Karena baginya, aku adalah teman yang aman untuk menyimpan ceritanya. Rahasia yang tidak ingin dibagi ke siapa pun selain dengan seseorang yang dipercayainya. Denganku ia merasa didengarkan, dipahami dan tidak dihakimi, bagaimana pun kisahnya. 

Walaupun hanya menyediakan waktu dan telinga untuk mendengar curhatannya, setidaknya aku bisa merasa jika kehadiranku di dunia ini memang tidak sia-sia. Aku merasa berharga ketika tahu, masih ada yang membutuhkanku. Masih ada orang yang di saat-saat terburuknya hanya ingin menghubungiku, menemuiku jika bisa. 

Hal ini membuatku tersadar, bahwa manusia memang selalu butuh orang lain. Semandiri apa pun atau se-andal bagaimana pun ia mengatasi kesendirian dan selalu tampak bisa melakukan segalanya sendirian. Karena ternyata, kebermaknaan kadang bisa diperoleh hanya jika kita terlibat dengan orang lain

Wednesday 24 August 2022

Day #24 Maaf Terbaik

Hal yang membuatku merasa sulit memaafkan diriku sendiri dan bagaimana caraku untuk bisa menerima diriku dengan kesalahan ini.

Kadang, aku tak betul-betul belajar dari kesalah. Jika melihat ke belakang, ternyata ada beberapa kekeliruan yang kulakukan berulang. Aku menyesali sesuatu untuk kemudian kembali dengan penyesalan yang sama. 

Aku membuat pilihan salah berkali kali. Aku membuat orang lain terluka dengan cara yang sama. Aku mengutuk diriku yang begitu payah menyikapi kesalahan dengan lebih baik. Semuanya membuatku cenderung tidak bisa menghargai diriku sendiri. 

Aku sadar, aku salah—tapi memaafkan diriku bukan hal mudah ternyata. Aku masih belajar, lebih sayang kepada diri sendiri dengan menerima bahwa seluruh kekurangan itu manusiawi, tidak ada orang yang bisa benar-benar sempurna dalam segala hal. 

Merasa sangat buruk adalah bentuk lain penghancuran dan tidak menghargai diri sendiri.

Maka aku akan berusaha untuk belajar lebih terbuka dan jujur dengan diri sendiri; tentang seluruh khilaf yang butuh dimaafkan. Jika memaafkan orang lain tidak sulit, mengapa aku harus mati-matian memaafkan diriku sendiri? 

Maros, 9:38 pm

Tuesday 23 August 2022

Day #23 Tumbuh dari Luka


Beberapa takdir memang datang tanpa pertanda—ia memasuki hidup begitu saja. Seperti perangkap. Ketika kau sudah di dalam, tidak ada lagi cara untuk selamat. 

Memori itu masih utuh, bahkan setelah satu dekade berlalu. Masa lalu, bagaimanapun jauhnya tetap terkenang. 

Tentang luka lama. Air mata, mimpi yang gugur dan kematian pertama.

Tiba-tiba saja semua sudah selesai. Tanpa ucapan sampai jumpa dan selamat tinggal. Hanya ada pelukan, penanda perpisahan—sebuah perpisahan dengan tujuan yang tak lagi tertempuh.

Takut mengepung. Malam betul-betul muram. Membayangkan esok adalah resah. Mengintip masa depan seperti berada dalam mimpi buruk tanpa akhir. Lalu semua hanya gelap.

Kau kehilangan, patah oleh pengharapan. Kenyataan menyudutkanmu, merebut setengah jalan yang sudah kau lalui susah payah—kau kembali ke titik nol. 

Kau memang masih berdiri. Di tempat di mana kau tak lagi memiliki langkah.

Akan bagaimana selanjutnya? Kau kehilangan kunci jawaban.

Putus asa itu panjang dan melelahkan. Belajar menerima berkali-kali sama saja dengan tenggelam tapi tak pernah mati.

—Maros, 9:49 pm

Monday 22 August 2022

Day #22 Menjadi Nyata di Antara Maya

Lelahnya jiwaku karena sosial media dan bagaimana aku akan menjadikannya sebagai sumber semangat.

Scroll Instagram sampai bosan, lalu pindah ke Twitter, lanjut membuka Facebook, kembali ke WhatsApp (repeat). Terlalu banyak stimulus, banjir informasi, takut ketinggalan berita, ikut trending, antusias dengan segala yang viral di linimasa. Hiruk pikuk dunia virtual yang menjebak. Lupa, ada dunia nyata yang mesti dihadapi. 

Melihat jauh ke belakang, saat begitu aktif di berbagai sosmed; Facebook hingga instagram. Berselancar di sosial media begitu menyenangkan, bikin kecanduan dan tak jarang malah membuat lupa waktu. Sebuah kebiasaan buruk yang perlahan kutinggalkan. Tidak mudah memang, tapi seiring bertambahnya usia dan banyaknya pemahaman baik, aku tersadarkan—terlalu lama berada di rumah maya betul sangat melelahkan dan bisa menjadi berbahaya.

Setelah berefleksi dan membuat komitmen dengan diri sendiri untuk secara berkala melakukan detox sosmed, Alhamdulillah dunia maya tidak lagi memberi efek negatif seperti dulu; sampai kecanduan—sekarang justru menjadi sumber banyak kebaikan.

Ada semangat untuk memanfaatkan sosial media sebaik-baiknya, tahu batasan dan tujuan setiap kali membuka beranda Maya. Sebab sosial media hanya alat—sesutu yang sebenarnya netral. Penggunanya memiliki kendali penuh; terbawa arus dan kelelahan, atau tetap tenang karena tahu betul, jika aktivitasnya di sosial media adalah sesuatu yang membawa manfaat untuk dirinya. Karena baginya, rumah maya adalah tempat yang nyaman, menjadi sumber ilmu, penuh inspirasi dan energi positif.

9:12 pm

Sunday 21 August 2022

Day #21 Simple Things, Big Happiness

21 hal sederhana yang bisa membuatku merasa bahagia dan menyadari betapa bahagia itu sederhana.

1. Menunggu subuh bersama secangkir kopi
2. Matahari pagi
3. Membaca buku
4. Bersih-bersih—decluttering
5. Membuat daftar
6. Menulis
7. Ke toko ATK, membeli pulpen warna warni, bookmark, dll
8. Membungkus buku
9. Reunian dengan teman lama
10. Ke majelis ilmu/kajian
11. Tidur setelah seprai baru diganti
12. Memberi ucapan di hari spesial teman/saudara
13. Membantu orang lain
14. Membuat challenge untuk diri sendiri
15. Detox social media
16. Me time dengan nonton 
17. Berenang
18. Rihla bareng keluarga 
19. Jalan pagi
20. Mendengar hujan
21. Mengabadikan momen lewat foto

Bahagia memang sederhana.

2:10 pm

Saturday 20 August 2022

Day #20 Hidupku Berharga

Tiga hal penting yang paling berharga dalam hidupku yang mambuat aku merasa sangat bersyukur.

1. Iman. Meski keimanan dalam diriku masih di level rendahan—harus kuakui, entah bagaimana hidupku tanpa-Nya. Mungkin sudah tutup buku, atau hancur berantakan dan tidak pernah memiliki tujuan. Sepenting dan seberharga itulah iman.

Aku teringat lirik nasyid dari Raihan "Iman Mutiara" yang merepsentasikan iman dengan begitu indah—

"Tanpamu iman bagaimanalah
Merasa diri hamba pada-Nya
Tanpa iman bagaimanalah
Menjadi hamba Allah yang bertaqwa."

2. Cinta. Yang tidak pernah ada habisnya dibahas. Karena memang, sepenting itulah cinta. Yang kupercaya sebagai bahan bakar untuk menjalani komitmen, melakukan banyak kebaikan, selalu menuntut pengakuan dan bukti. Sebuah rasa yang melahirkan energi besar yang bahkan sanggup membuat manusia melewati batas-batasnya.

Menjalani hidup tanpa cinta, kira-kira bagaimana? 

3. Orang-orang baik di sekitarku—entah sahabat, teman, keluarga. Mereka yang selalu ada, membantuku dalam banyak hal, menawarkan telinga mendengar ceritaku, menjadi bagian dari masa bertumbuhku. Membuatku belajar menjadi manusia. Mereka, yang kehadirannya membawa makna dengan beragam cara, dengan warnanya masing-masing. Orang-orang baik yang membuatku lebih mensyukuri kehidupan.

8:53 pm — ruang tengah

Friday 19 August 2022

Day #19 Dear, Me

Jika aku berkesempatan untuk bertemu dengan aku di masa kecilku saat berusia 10 tahun, apa yang akan aku katakan padanya?

Hai, diriku yang masih lugu dan penuh rasa ingin tahu ....

Terima kasih sudah tumbuh menjadi anak baik—yang suka membaca cerita, rajin kerja pr, ke sekolah dan TPA tepat waktu, tidak melewatkan hafalan surah-surah pendek, senang belajar dan membuat bangga keluarga.

Tidak apa-apa menangis, marah, ngambek; semuanya wajar—kamu tetap anak baik kok. Setiap anak unik, pun kamu. Emosi-emosimu itu bukan sesuatu yang keliru, hanya saja, orang-orang di sekitarmu yang mungkin memang tidak bisa sepenuhnya memahamimu. Kau pasti kesulitan saat penuh amarah dan tidak ada yang menenangkan, menawarkan pelukan apalagi—it's okay, orang dewasa kadang memang begitu, kurang empati dengan anak kecil. Hidup mungkin sudah terlalu susah dan kau tidak diizinkan menambah beban dengan emosimu yang meledak itu.

Nikmati masa kanakmu, kelak kau akan sangat merindukannya. Ciptakan sebanyak mungkin momen-momen menyenangkan bersama teman, sahabat, kakak—karena nanti, mereka akan pergi satu per satu. Kelak kau akan sangat merindukan kesempatan bercengkrama dengan mereka. 

Bermainlah dengan suka cita, jangan takut mencoba hal baru yang terlihat menarik, lakukan apa pun yang kau sukai—selama itu tidak merugikan orang lain.

Terakhir, teruslah jadi anak baik, untuk dirimu sendiri.

7:01 pm

Thursday 18 August 2022

Day #18 Jangan Sakiti Aku

Setiap kata-kata, atau perlakuan orang lain terhadapku yang tidak aku sukai dan rencana reaksi terbaik yang akan aku lakukan jika aku mendapatkannya.

"Orang beriman tidak stres" kata seseorang ketika aku mengeluhkan banyak hal, merasa stres. Kata-katanya berhasil membungkamku, membuatku merasa "iya, aku memang belum seberiman itu, aku masih stres karena urusan-urusan dunia"—lalu aku merasa perlu mempertanyakan ulang segala hal yang selama ini kulakukan sebagai hamba, apa tidak ada nilainya sedikit pun di mata-Nya? 

Kemudian di waktu yang lain, seseorang mengomentari hobiku membaca buku, menyuruhku berhenti, bahkan menyindir dengan kalimat "beli buku terus ...." (seolah membeli buku adalah sesuatu yang tidak layak jika dilakukan terlalu sering)

Seseorang yang lain, dengan kata-katanya yang sinis dan nada meremehkan berujar;

"Tulisan-tulisan apa itu?" Ia membuat hobiku seperti tidak ada artinya, tidak penting, dan tidak pantas mendapat waktu yang lebih daripada kegiatan lain. Padahal, aku menulis agar kepalaku tidak meledak. Menulis adalah caraku agar tetap waras dan sedikit merasa baik-baik saja. Ia tidak tahu, sepenting apa menulis untukku.

Lalu dalam sebuah curhat—ia yang mungkin merasa paling benar berujar:

"Kamu egois. Jangan merasa paling menderita." Kalimat yang singkat tapi sangat membekas hingga hari ini. Memikirkannya membuatku merasa sebagai makhluk paling egois. Perasaanku tidak diterima dan aku terpaksa mengakui jika barangkali aku memang demikian. Egois dan selalu merasa sebagai pihak yang paling dilukai. Aku betul-betul merasa buruk dengan perkataan seperti itu.

Karena sudah mengalaminya dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali (entah dari siapa), maka aku memilih tidak akan bereaksi apa-apa selain diam. Cukup maklum, siapa pun bisa salah kata, dan aku tidak perlu meresponsnya berlebihan. Aku sadar, aku tidak bisa mengendalikan apa kata orang, apa asumsi mereka karena satu-satunya yang berada dalam kendaliku adalah bagaimana aku bersikap. Aku tidak akan menangis diam-diam seperti dulu dan lebih memilih menganggapnya angin lalu—jangan sampai membuatku hancur dan merasa dilukai. 

—Makassar, sehabis Isya di ruang tengah

26 hal yang kutulis dari siang sampai sore hari ini

1. Jangan terlalu sering mengunjungi masa lalu. Tidak apa-apa sesekali menengok ke belakang untuk berefleksi, tapi jangan lama-lama, berbahaya. Lebih baik fokus melihat ke depan. Susun rencana, hati-hati melangkah. Masih banyak hal yang bisa diusahakan, masih ada bagian-bagian yang perlu dibenahi, masih banyak kesempatan yang layak diperjuangan. Masa depan itu masih suci, jaga ia sebaik-baiknya. 

2. Biasakan untuk lebih sering bilang Alhamdulillah—bersyukur setiap saat, untuk hal-hal kecil sekali pun. 

3. Jangan berhenti belajar. Ilmu-Nya begitu luas, takkan cukup usia untuk mencicipi semuanya. Belajar setiap hari, dari mana pun, dari siapa pun. 

4. Mulai sekarang juga—apa pun itu yang ingin kau kerjakan. Bergegaslah, jangan menunda. Jika tidak bergerak, kau tidak akan ke mana-mana.

5. Daripada berusaha mengesankan orang-orang lebih baik mulailah melakukan apa saja yang akan membuatmu terkesan dan bangga dengan diri sendiri. 

6. Tulis semuanya di atas kertas (jika tidak memungkinkan, bisa di hp) semua to do list, rencana, hingga daftar prioritasmu. Beri ceklis/tanda jika selesai. Ini akan memberi kepuasaan dan untuk hidup yang lebih terorganisir.

7. Ingat mati setiap hari. Sadar, ke mana hidup ini akan berakhir. Semoga ini membantu untuk selalu memotivasi diri menyiapkan bekal kepulangan.

8. Selalu periksa niatmu. Jujur dengan diri sendiri, mengapa kau melakukan sesuatu itu? Karena niat akan selalu menjadi pengingat sekaligus penguat langkah.

9. Adab, ilmu, amal. Jangan beramal tanpa ilmu, jangan cuman koleksi ilmu tapi tanpa pengamalan, jangan berilmu dan beramal tanpa adab. Jadilah seseorang yang setiap tutur kata dan perilakunya dihiasi adab, seseorang yang di kepalanya ada ilmu yang mewujud amalan setiap harinya.

10. Membaca buku adalah kebiasaan baik yang harus dijaga. Bacalah buku-buku yang tidak hanya menghibur, tapi juga memberi pelajaran, menawarkan petualangan, bahkan kesadaran. Kau tidak pernah tahu, di lembaran buku mana akan bertemu momen-momen ketika kau 'merasa tercerahkan'.

11. Teruslah terkoneksi dengan Pencipta—kalo ada apa-apa, mengadu ke Allah dulu. Dia yang menciptakan manusia, maka Dia yang paling maha tahu keadaan hambanya.

12. Tidurlah lebih cepat, niatkan bangun lebih awal. Kalo insomnia, cukup pejamkan mata, jangan sampai mendistraksi diri dengan hp (scroll social media)—lebih baik merenung, kontemplasi, self talk, whatever you named it.

13. Jangan pernah berhenti berdoa. Semuak apa pun kamu sama keadaan atau merasa doa-doamu tidak didengar—tetaplah berdoa. Ingat, doa adalah jembatan yang akan menghubungkanmu dengan kemungkinan-kemungkinan baik. Percayalah jika belum mampu yakin sepenuhnya.

14. Don't make permanent decisions on temporary emotions. Jangan buat keputusan saat marah atau ketika moodmu sedang tidak baik-baik saja. Menepi dulu, perbaiki perasaan, jangan biarkan tindakan atau kata-katamu berdasarkan emosi karena biasanya hanya akan berujung sesal. 

15. Milikilah prinsip, value, idealisme—sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan, terlebih untuk pilihan jangka panjang.

16. Berhentilah membandingkan dirimu dengan orang lain karena ini sangat melelahkan. Apa yang ditampakkan orang hanya sepotong kecil dari hidupnya. Kau tidak tahu cerita seperti apa di baliknya atau perjuangan apa yang dihadapinya. Karena manusia cenderung hanya ingin menampakkan apa-apa yang baik atau setidaknya—yang menurut standar society layak tuk dibagikan.

17. Jangan kecanduan sosmed. Tidak apa-apa scrolling lama, asal itu membuatmu lebih produktif (tentu, jika yang kau lihat adalah konten yang bermanfaat, yang memang kaubutuhkan). 

18. Jangan terlalu penasaran dengan hidup orang lain. Jauhi lingkaran/teman-teman yang senang mengobrolkan aib orang lain, bergosip, ghibah dst.

19. Temukan lingkungan/circle yang bisa membuatmu bertumbuh. Tidak apa-apa jika kau terlihat yang paling bodoh di antara mereka asal kau siap belajar—itu selangkah lebih menjanjikan dibandingkan hanya stuck di ekosistem yang tidak membuatmu merasa lebih baik.

20. Tidak apa-apa kehilangan pertemanan demi prinsip. Yang namanya teman memang begitu, datang dan pergi. Betul, setiap teman ada masanya, setiap masa ada temannya. 

21. Kenali dirimu—tahu kekurangan dan kelebihanmu. Dari mengenal diri sendiri kau akan tahu apa tujuanmu, apa yang betul-betul kau inginkan. Sediakan ruang untuk lebih memahami dirimu (ini lebih baik daripada menuntut orang-orang memahamimu).

22. Hidup selalu menyuguhkan banyak kesempatan sepaket dengan risikonya, jadi miiliki keberanian untuk mengambil risiko. Karena terkadang, kita memilih menjalani sesuatu hanya karena itu terlihat lebih mudah dan tidak perlu mengambil risiko besar. 

23. Turunkan ekspektasi kepada orang lain—siapa pun itu agar kau tidak terlalu kecewa.

24. Belajarlah memaafkan dan jangan gengsi minta maaf lebih dulu. Tidak ada manusia sempurna, semua punya potensi menjadi orang yang menyebalkan atau yang membuatmu terluka begitu dalam. Jika merasa bersalah, minta maaflah segera demi kedamaian hatimu.

25. Luangkan waktu untuk berbicara dengan orang-orang penting dalam hidupmu; orangtua, saudara, sahabat, teman—siapa pun yang jika ia pergi lebih dulu, kau mungkin akan sangat menyesal jika tidak pernah ada waktu untuk mereka.

26. Salah satu cara menikmati hidup adalah dengan berbagai—tentu saja tidak harus sesuatu yang dalam bentuk materi. Kita bisa berbagi apa saja yang kita punya; entah barang, tenaga, atau ilmu yang kita punya. Karena hidup bukan tentang diri sendiri, ada hak orang lain yang mesti kita penuhi.

Sekian. Daftar panjang pengingat diri yang semoga selalu melahirkan dan merawat perbuatan-perbuatan baik. 

Thank you for reading!

Wednesday 17 August 2022

Day #17 Ingin Mengulangnya, Sekali Lagi

Salah satu momen terbaik dalam hidupku. 

Jalan sama Fayant. Dari Maros ke Makassar demi berburu diskon buku di Pelangi Ilmu, nyasar sampai ke Kata Kerja saat mencari alamat Dialektika, menonton berdua, hingga menangis depan Mtos sambil curhat—semua ingin kuulang, jika bisa.

Karena menghabiskan waktu berdua Fayant memang seasyik itu. Kami sahabatan sejak SD—dari zaman idola kami Sasuke dan Kakashi, hingga selera bacaan kami bergeser; tidak lagi berputar di novel-novel roman picisan.

Momen berdua kami rasanya menjadi sesuatu yang kini begitu jauh—sejak Fayant menikah, kami tak lagi memiliki quality time seperti dulu. Tapi, mungkin memang demikian, jika sahabatmu menikah, maka hubungan kalian tidak pernah sama lagi seperti sebelumnya.

Sedang rindu masa lalu sama Fayant. Kenangan yang tidak mungkin terulang kembali. 

—Makassar, 6:52 pm

Day # 16 Tantangan Itu Biasa, Menyelesaikan Itu Istimewa

Satu hal atau keputusan paling menantang dalam hidupku, bagaimana aku menyelesaikannya, dan hikmah terbaik yang aku dapatkan karenanya.

April 2019. Seorang teman mengirimiku pesan berisi tawaran untuk ikut bersamanya menjadi seorang muhafizhah dalam program Karantina Tahfizh Nasional (KTN) selama sebulan. Awalnya ragu, apa aku sanggup? Terlebih karena saat itu adalah masa-masa di mana aku seharusnya fokus mengurus skripsi. Aku sempat dilema sebelum akhinya meminta izin kepada mama. Aku ingat betul, jawaban mama waktu itu yang akhirnya meyakinkanku untuk menerima tawaran tersebut. 

Kalo untuk kebaikan, kenapa tidak? Begitu jawaban mama yang berarti lampu hijau untukku. Sejujurnya, aku menganggap pilihan itu sebagai cara terbaik untuk sejenak menjeda diri dari urusan kampus yang terakhir kali betul-betul menguras emosi. Namun, siapa sangka, keputusanku waktu itu mengubah banyak hal kemudian.

Singkat cerita, dengan persiapan seadanya aku pun tiba di lokasi dan langsung menceburkan diri dalam rutinitas baru yang mengubah hari-hariku 180 derajat. Hanya meletakkan koper, berbicara sedikit terkait urusan teknis lalu tiba-tiba aku pun sudah berada di antara mereka, para peserta yang sudah dibagi per-khalaqah (kelompok). Setiap muhafizhah memegang satu khalaqah yang berisi enam hingga tujuh orang yang akan menyetorkan hafalannya. Aku yang masih pertama kali alias newbie betul-betul tertantang dengan ekosistem baru yang sungguh penuh ketidakpastian, tapi bismillah … aku siap menjalaninya. 

Satu pekan pertama adalah waktu yang sangat berat bagiku yang baru mulai beradaptasi. Banyak hal yang mengharuskanku sepenuhnya belajar dari nol dan tentu saja lebih banyak bersabar. Aku tak menyangka, tantangan-tantangan yang kuhadapi ternyata tidak semudah perkiraan. Sekali lagi, aku belajar beradaptasi dengan keras, mulai dari jam tidur yang terpangkas, ritme hidup yang serba cepat sesuai dengan jadwal harian, hingga interaksi antara peserta yang kadang harus dihadapi dengan kepala dingin. 

Seberat apa pun, toh semuanya kulalui juga akhirnya. Karena aku tidak sendiri, ada teman-teman seperjuangan, tempat berbagi cerita dan kadang keluhan di akhir hari—karena kami semua merasakan atmosfer perjuangan yang sama melelahkannya. Tak jarang kami hanya bisa tertawa di hadapan masalah yang penuh warna. Bahwa di balik suka duka, terselip humor yang bisa membuat rileks, seolah tanggungjawab yang kita pikul sama sekali tidak berat. Namun, tetap saja ada saat-saat ketika kami berharap waktu merangkak lebih cepat karena sudah tak sabar menyelesaikan tugas kami. Aku bahkan sempat memikirkan dan mempertanyakan kembali, apakah keputusanku sudah tepat? Karena pada kenyataannya aku masih sering menggerutu, seperti tidak ikhlas menjalani pilihanku sendiri. 

Tapi, setelah kusimak baik-baik, kusaksikan satu per satu mereka yang berhasil dan kurasakan berbagai emosi, ada suara dari kedalaman hati yang jernih, tentang seberapa berharga keputusan yang sudah kuambil. Sebuah kesempatan yang telah memberiku banyak sekali pelajaran, hikmah yang berserakan sepanjang perjalanannya. 

Aku tersadar justru di akhir-akhir waktu ketika kebersamaan kami semakin mendekati habis. Memang, sebuah pesan butuh waktu untuk sampai. Di momen perpisahan, aku menangis haru. Ada sesal, mengapa aku tidak menjalani pilihanku dengan lebih menikmati setiap prosesnya, dengan hati yang lebih lapang? Sebab momen berharga itu hanya sementara sebelum kami semua harus berpisah—entah apakah akan bertemu kembali. 

Ada kesedihan yang menusuk, tapi semuanya betul-betul bermakna. Aku belajar, menambang pengalaman dari orang-orang yang baru kutemui, cerita-cerita yang takkan kulupakan. Sebulan yang akan kukenang seumur hidupku. 

—Makassar, 8:33 pm

Day #15 Alhamdulillah, For Everything

Lima hal yang aku syukuri hari ini.

1. Alhamdulillah, aku masih bangun tepat waktu, dalam keadaan sehat dan sudah memiliki rencana—akan melakukan apa seharian.

2. Alhamdulillah, aku masih bisa puasa sunnah Senin, salah satu habit zaman santri yang kembali kuusahakan.

3. Alhamdulillah, aku masih memiliki teman-teman baik yang peduli—salah seseorang tiba-tiba mengirimiku pesan menanyakan kabar setelah kemarin aku absen dari majelis tarbiyah.

4. Alhamdulillah, masih diberi kemudahan untuk akses belajar: dari nonton di YouTube, membaca newsletter dari penulis-penulis luar, hingga membaca buku-buku self improvement.  

5. Alhamdulillah, aku masih bisa melakukan hal-hal yang kusenangi: membaca buku, menulis diary dan melanjutkan writing for healing ini, yang ternyata sudah hari ke lima belas. 

Bersyukur memang melegakan dan lebih membantu kita untuk menghayati nikmat-Nya. Bahwa ada hal-hal yang bagi kita, mungkin mudah saja diperoleh hingga cenderung membuat kita lupa bersyukur dalam-dalam. Seperti nikmat kesehatan, nafas yang tiap hari kita hirup, keamanan yang kita rasa, dan mungkin kemudahan akses informasi yang paling kita nikmati dan butuhkan. Semuanya harus disyukuri, tentu agar nikmat-Nya ditambah. 

—Makassar, 7:10 pm

Day #14 Lelahku Hari Ini

Lelah yang aku rasakan atas peran sehari-hariku, yang mungkin tidak orang lain ketahui.  

(Warning! tulisan kali ini hanya akan berisi curhat sepenuhnya)

Jujur, aku lelah menjadi diriku yang sekarang—saat ini. Aku lelah dengan hari-hari yang kuhadapi. Selalu ada masalah yang harus diselesaikan, to-do list harian yang membuatku merasa bersalah jika tidak kukerjakan—membuat keinginan menonton pun selalu kutahan karena rasanya tidak pantas. Konon, anak INFJ (16 kepribadian MBTI) memang yang paling keras ke diri sendiri, tipe yang menuntut segala sesuatunya mesti berjalan sesuai idealismenya. Jika tidak, reaksinya bisa berlebihan: perasan bersalah ke diri sendiri yang membuat lupa untuk mengapresiasi usahanya sendiri. Kurang lebih seperti aku saat ini.

Hari ini aku merasa tidak melakukan apa-apa yang berarti, tapi lelahnya luar biasa. Mungkin karena faktor overthinking yang kembali. Sudah beberapa malam ini aku menghabiskan 30 menit hingga satu jam pertama saat bangun dengan menatap kosong kegelapan kamar, menunggu alarm berbunyi. Sadar, aku kelelahan secara mental, bukan fisik. Jadi orang highly sensitive person (HSP) memang berat, sangat-sangat bikin capek. Tapi untungkah, ada Me time dan self-talk sebagai solusi untuk memulihkan diri, me-recharge ulang energi sebelum kembali berjuang. 

Tunggu dulu, memangnya apa sih peran yang sedang kujalani hingga merasa secapek ini? Sebenarnya tidak ada. Sekarang aku hanya berstatus tawanan rumah setelah menyelesaikan satu tanggungjawab dan melepas beberapa amanah lalu memilih hanya sibuk dengan diri sendiri. Katanya mau healing dulu, sambil masih menyusun strategi dan rencana ke depan. Selain itu tentu saja menjadi hamba yang berusaha memperbaiki ibadah-ibadahnya, menjadi anak, saudara, teman, dan sahabat yang baik. 

Azan magrib mulai terdengar, sudah waktunya menyelesaikan ini. Dan tiba-tiba saja aku teringat tulisan murabbiyah di story WhatsApp; istirahatnya orang beriman itu capek. Oke, tidak apa-apa untuk lelah, tapi semoga lillah.

—Makassar, 6:17 pm

Saturday 13 August 2022

Day #13 Bahasa Cinta

Saat aku sedang sedih, marah, atau kecewa, aku ingin orang lain melakukan ini kepadaku ….

Sejujurnya aku tidak tahu harus menulis apa untuk melanjutkan kalimat di atas—karena setiap merasakan emosi-emosi di atas, sudah pasti aku memilih menjauhi semua orang. Aku sadar, berada di antara orang-orang saat moodku kacau selalu berakhir tidak baik. Aku yang tidak suka bicara di saat marah ataupun sedih seringkali membuat orang tersinggung karena aku merespons ucapannya dengan judes, irit kata, dsb. 

Diamku sudah terlalu sering disalahartikan, dianggap annoying, padahal aku hanya sedang berjuang melawan diriku sendiri. Aku menahan agar amarah ataupun air mataku tidak keluar. Karena aku tahu, saat marah dan tidak diam, aku mungkin hanya akan melukai orang dengan kata-kataku yang nanti akan kusesali selamanya. Dan jika sudah terlanjur menangis akan sangat sulit untuk berhenti. Begitulah aku, fakta yang sangat tidak dipahami siapa-siapa. 

Tapi, jika bisa berharap (tapi aku sudah berhenti dari mengharapkan manusia) bahwa saat aku sedang sedih, marah, atau kecewa, aku ingin orang lain melakukan ini kepadaku ….

Pertama: aku ingin orang lain tidak melakukan apa pun. Tidak usah bertanya apa pun, tidak perlu mengajak bicara apalagi sampai memintaku melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan. Aku seseorang yang sulit dihadapi, maka cara terbaik saat mendapatiku terlihat marah atau bad mood adalah menyingkir saja dari pandanganku. Jika sedang berada di suatu tempat atau keramaian umum, tolong, lebih baik ajak aku pulang atau biarkan saja aku diam selama yang kubutuhkan. 

Kedua: berikan kalimat positif karena love language alias bahasa kasihku adalah words of affirmation. Coba katakan dengan pelan dan penuh empati: it’s okay to be not okay, I feel you, kamu pasti marah dan ingin pulang, tapi … dst. Apa pun, selama itu kalimat positif yang bisa membuatku tenang. Harap maklum, aku tidak ingin diganggu saat-saat emosi tidak stabil itu karena aku merasa tidak pernah dipahami, orang-orang cenderung membuat keadaanku memburuk daripada membaik.

Ketiga: tawarkan sesuatu yang kusukai. Ngajak ngopi, sodorin green tea, atau, buku yang mungkin cocok untuk kubaca, misalnya. 

Sekian, tiga hal yang rasanya too good to be true, hahah. 

—Makassar yang mulai gerimis | 7:50 am

Friday 12 August 2022

Day #12 Syukurku kepada-Mu

Aku sangat bersyukur atas kesempatan hidup yang telah Allah berikan untukku, maka sebagai bentuk syukurku aku akan ….

Aku akan lebih rajin bilang Alhamdulillah. Seperti kata ustaz Khalid di salah satu ceramahnya, hamdalah: Alhamdulillah adalah sebagai bentuk syukur yang harus dibiasakan. Tidak hanya sehabis makan saja, tapi setiap saat. Karena di setiap hembusan nafas kita ada nikmat-Nya yang tak terhitung, yang selalu luput dari kesyukuran.  

Aku sangat bersyukur atas kesempatan hidup yang telah Allah berikan untukku, maka sebagai bentuk syukurku aku akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Dengan berusaha memaksimalkan ibadah-ibadah harian seperti yang kembali mulai kulakukan di bulan ini: menyusun daftar daily habits dari bangun tidur hingga terlelap yang akan kuberi ceklis jika kukerjakan. Aku ingin berkomitmen dengan diriku sendiri untuk menjaga beberapa ibadah sunnah sebagai amalan andalan. Dan aku sadar, tidak akan terlalu sulit untukku karena memang sudah biasa dengan hal seperti ini, tugas selanjutnya yang perlu kulakukan sisa meninjau kembali kualitasnya dan menambah beberap habit baru, termasuk setiap malam eveluasi. Tidak sukar tapi tidak mudah juga. Sebuah tantangan sekaligus usaha untuk mensyukuri kehidupan.

Alhamdulillah, aku merasa sangat beruntung karena tidak semua orang akan mudah melakukan apa yang kuupayakan. Aku benar-benar bersyukur untuk kemudahan dalam menjalaninya. Barangkali ini tidak lepas dari privilege-ku, memiliki keluarga yang sangat islami yang sejak kecil diberi pemahaman, agar segala hal orientasinya untuk akhirat. Sesuatu yang baru kurasakan betapa berharganya memiliki lingkungan baik selepas hampir sewindu hidup di Makassar, tenggelam dalam lingkungan yang tidak lagi sekondusif tempatku dulu bertumbuh. Betul-betul nikmat-Nya bermacam-macam, rezekinya teramat luas untuk pandangan manusia yang sempit.

Sebagai bentuk syukurku yang lain, (untuk sekian nikmat yang kadang lupa kusyukuri karena terlalu banyak keluhan) aku membuat gratitude jar yang berisi hal-hal baik yang terjadi ataupun momen-momen tertentu yang membuatku terharu, teringat kembali akan kasih sayang-Nya. Jika sedang tidak baik-baik saja aku akan membacanya. Semacam obat penawar juga pengingatku, bahwa masih ada banyak sekali kebaikan yang Dia berikan, syukuri semua itu, jangan sampai kufur! 

—Makassar, 5:59 pm