Monday 31 December 2018

Catatan Akhir Tahun



Terlalu banyak yang sudah terjadi, seluruhnya semoga menjadi pelajaran berharga yang akan membuat tahun berikutnya menjadi lebih baik lagi. Segala yang sudah berlalu adalah bagian yang membentuk kita saat ini. Aku percaya, segala rupa kehendak-Nya adalah yang terbaik, sekeliru apa pun manusia menafsirkannya.

Banyak hal berhasil terlewati dari sekian peristiwa. Yang tentu akan terlalu panjang jika dituliskan seluruhnya. Aku hanya ingin menulis sedikit saja agar kelak aku bisa membacanya kembali lalu merasakan, bahwa yang berlalu, bagaimana pun bentuknya tentu harus menyisakan pemahaman baik yang menumbuhkan dan mendewasakan diri.

Tahun ini, aku membuat beberapa goals seperti di tahun-tahun lalu. Beberapa Alhamdulillah berhasil dan beberapa lagi masih terbengkala. Tidak apa, sebab seapik bagaimana pun rencana manusia, takdir Tuhan masih yang pertama, bukan? 

Dari sekian goals ataupun resolusi tahunan, yang paling menyenangkan adalah challenge membaca. Berhasil menamatkan 50 lebih buku betul-betul sesuatu yang melebihi ekspektasi.

Tahun 2018 semangat menuntut ilmu timbul tenggelam, tapi syukurlah, ada tarbiyah yang selalu menjadi pintu kedatangan bagi banyak kebaikan dan ketenangan dalam hati. Di lingkaran ini aku merasa menemukan versi terbaik diriku, yang selalu menanti pesan murabbiyah mengabarkan jadwal, sebisa mungkin menjadi orang pertama hadir dan menunggu yang lain datang. Di majelis ini aku merasa seperti seseorang yang betul-betul cetek ilmu, meskipun basic pendidikan pesantren, nyatanya masih banyak sekali yang perlu kupelajari atau lebih tepatnya, lebih banyak lagi yang harus remedial sebab selama ini terlupakan karena kurang pengamalan.

Sebenarnya sudah sejak semester awal ikut tarbiyah namun tidak berlangsung lama karena beberapa teman kuliah yang begitu dekat denganku entah mengapa mereka selalu saja ada alasan untuk tidak hadir hingga akhirnya karena merasa tak nyaman sendiri aku pun ikut-ikutan berhenti. Sekarang baru tersadar betul jika teman dekat sangat mempengaruhi dan syukurlah, Tuhan maha baik mengembalikanku dalam lingkaran kebaikan ini.

Hari itu qadarullah, meski sebenarnya ada schedule lain namun akhirnya aku membatalkannya. Agenda penting yang kemudian menggagalkanku untuk bergabung di salah satu organisasi yang pernah begitu kuinginkan. Padahal sudah lolos seleksi awal setelah melewati beberapa tantangan, namun entah bagaimana aku tidak terlalu kecewa sebab Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik, sebuah lingkaran yang sedikit banyak membuatku berubah. Sekarang, saat teman-teman sudah sibuk skripsi aku justru tak begitu antusias menyelesaikan tahap akhir perkuliahan. Mungkin prioritasku tidak terlalu ke sana karena masih ada hal lain yang lebih utama dari sekadar mengejar gelar.

Prinsipku tidak apa pelan asal tetap jalan, seperti sedikit pemakluman untuk pertanyaan kapan wisuda? Karena setiap orang memiliki prosesnya masing-masing, melakukan perjuangannya sendiri-sendiri, dan untukku sudah menjadi value agar tidak usah iri dengan pertumbuhan orang lain yang lebih dulu selesai. 
Yakin saja, selama kita tidak berhenti melangkah pasti akan sampai juga, meski kecepatannya selambat kura-kura. Sebenarnya ini sekadar ingin menghibur diri untuk hal yang tidak mengenakkan hati saat kita harus menerima justifikasi orang sekitar yang entah kenapa terasa begitu sok tahu mencap kita malas, kurang memanfaatkan waktu seolah ia tahu betul detail kegiatan yang kita habiskan 24 jam. Cukup dua malaikat yang tidak alpa mencatat setiap kebaikan dan keburukan apa saja yang kita lakukan, jadi tidak usah menghakimi seseorang begini dan begitu, isi hati manusia who knows? Anggap saja ini bagian dari self love.

Tahun ini aku berusaha konsisten dengan habit berliterasi seperti menulis di blog paling kurang sekali setiap bulan, mencatat hal-hal kecil di buku ataupun memo hp, menumpuk tulisan di draf yang semoga kelak bisa jadi buku, memberanikan diri mengikuti antologi cerpen, lebih rajin mengunjungi perpus, membuat tantangan membaca, menghadiri kegiatan-kegiatan yang akan memantik semangat menulis (ikut meramaiakn MIWF, datang ke acara launching buku atau pun bincang-bincang sastra) hingga mengusahakan membeli buku setiap bulannya. Alhamdulillah.

Banyak momen yang tak mungkin terulang dua kali, seperti yang sudah-sudah, yang akan tinggal sisa ingatan. Sesuatu yang biasa kita panggil kenangan. Maka tuliskan agar kepala bisa berkompromi dengan lupa sebab apa yang hari ini kita tuliskan adalah jejak yang kelak akan menjadi pengingat.

Terakhir, ada satu pertanyaan dari AA di salah satu love letternya: What has been the one thing that Allah has taught you over and over again this year?

I think for 2018, the one lesson that is patient. Sepelik apa pun keadaan, selama kesabaran menjadi teman perjalanan, hati akan menjadi ruang paling lapang untuk menerima seluruh takdir-Nya.

"Sabr is not remaining quiet and letting anger building up inside you. Sabr is to talk about what's bothering you without losing control of your emotions." (Ust. Nouman Ali Khan)

How about you? whatever, it is something that Allah knows is crucial to your self-growth and essential to your journey back to Him.

--Makassar, sebelum tahun berganti

Saturday 15 December 2018

My Year in Books (Membicarakan buku-buku tahun ini)


Banyak hal yang bisa kita peroleh dari membaca buku. Cara belajar yang menyenangkan, jalan mencari hal-hal baru, yang mungkin selama ini diabaikan atau belum disadari keberadaannya, pun sebagai salah satu cara menghibur diri yang tak jarang justru menghasilkan sebuah pemahaman baik yang bisa jadi hanya akan didapatkan setelah menyelami lautan kata, kumpulan pikiran dari tulisan seseorang. Membaca membuat saya belajar dari pengalaman orang lain, mencoba melihat sudut pandangnya atau sekadar merasai bagaimana jika berada di posisinya.



Saya selalu berusaha mengambil pelajaran dari kisah apa pun yang ditawarkan sebuah buku. Bahwa apa pun itu tentu menawarkan sesuatu-makna jika kita ingin lebih membuka pikiran, menyediakan kepala seperti gelas kosong yang butuh diisi. Dengan membaca juga saya belajar menulis. Sebab dari penulis-penulis yang saya baca karyanyalah saya bisa belajar menyerap beragam cara menulis yang semoga kelak akan membuat tulisan saya lebih baik lagi. Saya sepakat bahwa berusaha banyak membaca adalah kunci agar bisa menulis dengan baik. Dan untuk tahun ini, Alhamdulillah... menyenangkan sekali bisa memenuhi tantangan membaca di goodreads, bahkan melebihi ekspektasi.

Sebelum tulisan ini ke mana-mana, saya hanya ingin me-review sedikit perjalanan membaca beberapa buku yang menurut saya bisa menjadi rekomendasi bacaan.

Novel biografi

Untuk pembaca (seperti saya) yang merasa jenis biografi agak membosankan, maka membaca versi novelnya bisa menjadi solusi. Karena sangat menyukai cerita, saya menikmati betul jika kisah hidup seseorang dituliskan dalam bentuk novel. Tahun ini saya membaca novel Maryam, terjemahan dari penulis Turki dan seri Muhammad yang ditulis Tasaro.

Novel Maryam karangan Sibel Eraslan adalah salah satu dari empat serial wanita penghuni surga. Novel ini menceritakan sosok Maryam, perempuan suci yang begitu sabar menerima ujian yang tidak pernah diberikan kepada perempuan mana pun. Bagaimana mungkin sosok sesuci Maryam yang begitu terjaga tiba-tiba mengandung, lalu melahirkan seorang bayi? Ah, membaca buku ini betul-betul menguras emosi sebagai perempuan yang kesabaran dan ketegarannya masih sangat jauh dari ibunda suci yang melahirkan Nabi Isa dengan segala ujiannya. Novel ini membuat saya segera ingin menyelami surah Maryam yang sudah dikisahkan langsung dalam Al-quran. Buku yang sangat recomended untuk perempuan.

Kemudia novel Nabi Muhammad SAW ditulis Abah, (panggilan akrab di grup T(j)inta kami) berkali-kali membuat saya terjeda air mata sebab membaca kisah beliau dengan bahasa dan diksi yang indah ternyata mampu menghadirkan kerinduan begitu rupa. Tasaro menceritakan keadaan Mekah sebelum kelahiran beliau hingga wafatnya dan bagaimana kondisi umat islam dibawa kepemimpinan khalifah-khalifah setelahnya; khulafaurrasyidin. 
Penampakan novel biografi Muhammad bersama penulisnya. (foto diambil setahun lalu; workshop menulis fiksi anti korupsi Sekolah Islam Athirah Makassar)

Membaca biografi Rasulullah Saw saya seperti terlempar jauh ke pusaran waktu, melihat detail fragmen-fragmen kisah beliau bersama para sahabat memperjuangkan islam hingga pada beberapa peperangan yang berhasil diceritakan dengan khidmat membuat dada sesak, betapa keimanan mereka menjadi perisai islam yang begitu kuat. Membaca sejarah beliau akan membuat kita merindukannya. Sosok terbaik sepanjang sejarah, yang teramat mencintai umatnya, yang bahkan di akhir-akhir kesadarannya pun masih memikirkan umatnya. Menulis ini pun mata saya harus berkaca-kaca menahan haru. Semoga kelak kita bisa dikumpulkan bersama beliau di surga-Nya.  

Kumpulan cerpen

Seingat saya hanya ada dua kumpulan cerpen yang sempat saya baca tahun ini. Satu lagi-lagi dari Tasaro, “Tetap Saja Kusebut Dia Cinta” dan “Penjual Bunga Bersyal Merah”, saya tidak mengingat nama penulisnya karena saya pun baru pertama kali membaca karyanya dan bukunya pun hasil pinjaman dari koleksi perpus. Kumpulan cerpen dalam Penjual Bunga Bersyal Merah akan membuat kita mengernyitkan dahi karena ceritanya lebih banyak sureal, hasil imajinasi liar penulis. Saya suka diksi yang dipakai dan cara berceritanya, dan yang lebih menarik lagi karena buku ini berisi sekumpulan kisah perempuan dengan berbagai sudut pandang, ide ceritanya pun termasuk unik menurut saya.


Tetap Saja Dia Kusebut Cinta; Tasaro (full warna)

Buku cerpen kedua; karya Tasaro menjadi salah satu kumcer favorit saya. Bukunya cantik, berwarna seperti rainbowcake dan disisipi lukisan di tiap ceritanya. Saya tidak begitu mengingat tepatnya ada berapa cerpen dalam buku itu tapi saya masih ingat bahwa kisah-kisahnya cukup menarik. Garis besarnya tentang cinta namun ada beberapa juga yang sangat kental menyinggung isu sosial seperti LGBT hingga tak ketinggalan pula kisah sureal yang absurd. Jenis buku yang bisa dibaca saat perjalanan atau di waktu-waktu santai.    

Puisi

Saya menikmati puisi meski tak pernah pandai menulisnya. Lumayan banyak buku puisi yang saya baca 2018 ini. Buku puisi “Buku Tentang Ruang” karya Afianty Armand dan “Tidak ada New York Hari Ini”, Aan Mansyur menjadi terfavorit. Membaca dua buku puisi ini betul-betul menyenangkan. Deep... puisi memang memiliki kekuatan magis yang tidak dimiliki tulisan jenis lain seperti cerpen ataupun prosa.



Seri pengembangan diri

Buku self improvement jenis ini termasuk yang jarang saya miliki namun tahun ini saya betul-betul terpikat setelah membaca karya best seller dari seorang blogger Amerika, Mark Manson “Sebuah Seni Bersikap Bodoh Amat” yang anti mainstream. Jika penasaran coba googling reviewnya karena sudah banyak yang mengulasnya dengan apik. Buku keren ini bisa menjadi penyegar saat pikiran sedang kusut, termasuk sangat recomended. Kemudian ada buku kumpulan tulisan dari anak tumblr “Bertumbuh” yang kemudian mengalirkan begitu banyak energi positif untuk saya sekaligus menjadi sumber inspirasi memperbaharui nama blog ini. Bertumbuh menjadi salah satu buku terbaik yang pernah saya baca.


Novel terjemahan

Akhir tahun saya membaca buku-buku Haruki Murakami hasil dari barter buku dengan seorang teman. Dipinjami enam buku karangan penulis jepang yang pernah masuk nominasi peraih nobel sastra membuat akhir tahun saya seperti ada manis-manisnya. 



Meski belum menuntaskan seluruhnya, setidaknya saya bisa berkomentar sedikit tentang buku-buku Haruki yang sebelumnya sudah saya kenal dari Benzbara melalui review bukunya di blog. Sejauh yang saya baca karya beliau memang layak dicintai pembaca di seluruh dunia. Karakter dalam novelnya betul-betul kuat, susunan katanya pun menyenangkan meski beberapakali terasa monoton bagi saya. Overall, i enjoyed...

Non Fiksi (Catatan Perjalanan)

Ada “Arah langkah” dari Fiersa Besari, “Sewindu” dan “Patah hati di Tanah Suci” Tasaro. Ketiganya sudah saya tulis ulasan singkatnya di bagian review buku.



Bacaan saya 2018 ini lumayan banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya, pun termasuk yang paling berkesan karena bisa melampaui ekspektasi dari tantangan di goodreads. Meski membaca termasuk hobi yang sangat baik, tetap saja harus ada filter agar yang dasarnya baik tidak sampai memberi efek tidak baik. Maksud saya, jangan sampai keasyikan membaca malah membuat urusan-urusan penting lainnya terbengkala. Membaca harus memiliki porsinya sendiri, pun kita harus selektif memilih bacaan yang ingin dikonsumsi pikiran.

Dan terakhir, membaca buku memang aktivitas yang baik untuk merangsang otak, namun jangan lupa, masih ada yang jauh lebih baik dan utama dari membaca buku. Apa itu? Baca kitab panduan hidup, biar selamat. Kalo tidak sanggup one day one juz, minimal yaa, one day one page aja, asal istiqamah, hehe...

Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata powerful dari Bung Hatta:

“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Jadi, bagaimana perjalanan membacamu tahun ini?   

Monday 3 December 2018

02.00



Istaiqiznaal an! Istaiqiznaal an!

Pengumuman berbahasa arab barusan menerobos kesadaranku. Lebih cepat sejam dari bunyi alarmku biasanya.
Aku terbangun.
Bernostalgia.
Sayup-sayup suara nasyid terdengar.
~
Pelan, desember akan habis, tahun berganti, semoga yang belum rampung lekas selesai.     
  
Tak perlu ada sesal yang berjejal. Sebab aku percaya, selalu ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari hal paling menyakitkan sekali pun. 

Lalu, bagaimana selanjutnya? Entah.

--Sekolah putri Darul Istiqamah, pukul dua dini hari

Monday 26 November 2018

Memeluk Kehilangan


Detik-detik merangkak lesu
kau dan aku masih sibuk memungut satu per satu kenangan yang berserakan,
yang saban hari tidak pernah berhasil kita singkirkan

Hingga sore menjelang,
akhirnya kita bersepakat untuk pulang
tidak peduli jika esok hujan akan datang membuat basah ingatan

dan kita akan kedinginan 
memeluk kehilangan masing-masing

--Makassar, rainy november 

Wednesday 21 November 2018

Terima Kasih


Terima kasih sudah berusaha meluaskan sabar. Selalu. di setiap sayatan luka dan derai air mata kesedihan. Terimakasih sudah bersusah payah megupayakan syukur. Selalu. Di seluruh bahagia, di segala ujian dan tetiap kehendak-Nya.

Terima kasih sudah melakukan banyak kesalahan yang memahamkan banyak hal kemudian. Terima kasih untuk tidak pernah berhenti belajar.

Terima kasih sudah bersedia menepikan ego dan mendengar kata hati. Pertarungan pikiran dan perasaan tidak akan ada habisnya. Jangan pernah berhenti berjuang.

Terima kasih telah memilih bertahan. Hari ini, nanti, dan seterusnya...

Terima kasih, aku, atas seluruh kisah yang memenuhi angka-angka di almanak tahun ini.

--Makassar, sepertiga malam kesekian

Wednesday 7 November 2018

Patah Hati di Tanah Suci



Lalu, Allah menurunkan hujan pada akhir ritus ini. Bagaimana aku tak membacanya sebagai sebuah tanda? Sedangkan Allah menyuruh manusia sejak ayat Al-Quran pertama turun dengan perintah “Bacalah!” Aku menggeleng, berteriak, tertawa, menangis, bertakbir, dan gila... pada waktu yang sama. Aku menengadah, membiarkan air hujan masuk ke tenggerokan. Jika setiap dini hari aku datang ke Masjid Nabawi dengan memeluk buku Lelaki Penggenggam Hujan dan merasa sedang melapor kepada Rasulullah “Ya Rasulullah ... aku tak punya amalan yang pantas diutarakan, kecuali bahwa aku menulis buku tentangmu dengan air mata cinta.” Dalam tawaf itu, aku mendapatkan jawabannya. (Hal.290)

Salah satu bagian yang membuat air mata saya jebol, seperti ikut serta merasakan teduhnya hujan di tanah suci. Saya betul-betul ikut patah hati, tidak menyangka akan terseret ke dalam perjalanan ini dengan emosi yang begitu rupa.

Buku ini adalah surat panjang Tasaro kepada bapaknya. Ia menuliskan cerita perjalanannya ke Tanah Suci, tempat yang paling ingin didatangi bapak sepanjang hidupnya. Sebuah perjalanan spiritual yang pada akhirnya menciptakan “patah hati” sebab meninggalkan batas Tanah Haram betul-betul membuatnya merasa sangat kehilangan.

“Perasaanku tak mudah aku jelaskan. Ketika itu aku masih mencari istilah yang mendekati kebatinanku. Kosong. Semacam jatuh ke dalam lubang dalam yang tak berbentang akar untuk diraih sebagai pegangan. Seperti mencintai bayangan. Semacam matahari merindukan bulan. Aku benar-benar patah hati. Ada rindu yang amat berbeda. Rindu yang membuatku patah hati. Rindu kepada kota yang sesungguhnya baru sesaat aku merasakan hidup di dalamnya. (Hal.295)

Selama membaca buku ini saya seperti ikut serta bersama penulis, mengunjungi sudut-sudut tanah suci, merasakan suasananya, meresapi udaranya sembari menyaksikan fragmen-fragmen yang menyuguhkan begitu banyak hikmah. Lalu, di dua bab terakhirnya betul-betul menjadi ending yang mengharukan. Seperti klimaks dalam sebuah novel, puncak dari rentetan peristiwa yang penuh makna selama berada di Tanah Suci. Saya mengakui kepiawaian penulis bercerita dengan diksinya yang begitu fasih membuat pembaca akan ikut merasakan betapa menggetarkannya moment perjalanan yang berhasil membuat penulis patah hati.

Seperti beberapa karya sebelunya, lagi-lagi saya jatuh cinta dengan tulisan Abah (panggilan kami di keluarga T(j)inta; red). Novel tetralogi Muhammad Saw saban hari membuat perasaan saya begitu melankolis, beribu lembar saya baca, sesekali harus dijeda dengan air mata, kemudian di buku Sewindu pun lagi-lagi saya dibuat haru dengan kisah delapan tahun perjalanan hidup Abah, seluruhnya ditulis dengan begitu indah.

Ah, saya hampir lupa, buku ini dipersembahkan untuk keluarga T(j)inta ... di lembaran pertama Abah menulis: “Urat nadi bernama keluarga bukan sekadar peta menuju pulang, melainkan matahari yang padanya setiap anak Adam menambang keajaiban.” Manis sekali Bah!

Dan selepas membaca buku ini saya dikepung rindu dan doa-doa panjang yang saya yakini sebagai kaki-tangan yang begitu kuat, yang suatu saat akan memampukan sebuah perjalanan impian paling ingin saya segerakan: mengunjungi dua kota haram.

Thursday 1 November 2018

Jalan Kesunyian


Ada waktu-waktu tertentu aku memilih menghilang. Tidak betul-betul hilang. Hanya sedang menepi dari riuhnya dunia lalu mulai menapaki jalan kesunyian. Rute yang tak ditempuh kebanyakan orang. Sebuah jalan yang membuatku melangkah dengan begitu hening.  

Jalan kesunyian, saat aku merasa tak perlu lagi mengabarkan segala hal yang sedang terjadi. Tentang diri sendiri atau apa pun itu, memang tak semuanya harus dibagi, dipublikasikan, diketahui banyak orang. Ada kalanya, kabar bahagia, kesedihan, segala lelah dan beragam ikhtiar memperjuangkan sesuatu akan lebih baik kita bisukan. Tidak perlu diceritakan, kecuali kepada orang terdekat, yang tulus dan bisa dipercaya.
  
Jalan kesunyian, saat aku betul-betul menikmati kesunyian, meresapi detak dan mulai melihat orang-orang baik yang mencari keberadaanku. Tenyata, jumlah mereka memang sangat sedikit. Tidak masalah, sebab sedikit orang namun betul-betul tulus lebih berharga dibanding ribuan yang kita sebut kawan tapi malah membuat kita merasa seperti tidak memiliki seorang pun yang peduli.

Terima kasih, kalian yang selalu merasai ketidakhadiranku. Kalian yang ketika berhari-hari atau sekian lama tak kusapa akan datang memulai percakapan sederhana yang membuat haru. Bagaimana kabar (ta’) kak? Aira, rindu (ka)’! How’ur days? Are you okay? Sehat (jki)’? Di mana(ki)’? Etc. Sekali lagi, terimakasih! 

We don’t need to be accepted or loved by everyone. Just few good people. Yeah...  I always appreciate the one who choose to be my side when no one else did.

--Makassar, lembaran pertama November

Monday 29 October 2018

Bagaimana?


Kadang, kita masih mencintai seseorang meski tak pernah memiliki kesempatan bersamanya. Lalu, seriuh apa pun hari dijejali beragam kesibukan, tetap saja ada celah yang menghadirkan perasaan rindu. Kita tidak sadar jika ia adalah ingatan yang tidak pernah kehilangan tempat. 

Maros, 29/10/18

Monday 15 October 2018

Mencintai Diri Sendiri


Kadang kita merasa muak dengan diri sendiri, merasa tidak berharga sampai membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain, lantas merasa tidak seberuntung mereka. Kita merasa sangat payah karena mungkin belum bisa seberhasil orang-orang di sekitar kita. Secara tidak sadar kita sedang merawat pikiran-pikiran buruk juga perasaan negatif yang justru malah membuat kita semakin terpuruk. Kita lupa satu hal yang sangat penting: mencintai diri sendiri. Seperti tahap self-acceptance dalam istilah psikologi.

Jujur saja, saya pun pernah atau bahkan sering merasakannya. Berada di fase begitu sulit menerima dan mencintai diri sendiri. Merasa sangat tidak nyaman dengan keadaan saya lalu mulai memaki setumpuk kekurangan saya, atas begitu banyak kekeliruan atau pun kesalahan yang sudah saya lakukan hingga akhirnya muncul perasaan tidak tertarik lagi melakukan apa-apa. Rasanya hanya ingin tertidur panjang dan tidak perlu meributkan isi kepala atau pun sekitar saya. Sungguh, sebuah situasi yang tidak mengenakkan namun sangat wajar terjadi pada manusia yang sedang berkembang dan terus bertumbuh mengikuti dinamika kehidupan.

Perasaan-perasaan negatif tersebut manusiawi, hanya saja jika dibiarkan berkepanjangan tentu akan merusak hidup. Yang sedang berjalan tidak baik maka akan semakin tidak baik lagi. Kita terperangkap dalam situasi yang terasa sangat berat dan sulit, yang sebenarnya sangat bisa kita atasi dan lewati jika kita sungguh-sungguh menghendakinya. Memang, pertarungan paling sulit adalah melawan diri sendiri. Melawan energi negatif yang tidak menggerakkan kita menjadi baik, mengubahnya menjadi hal positif, lalu menggantinya menjadi kekuatan baru, never be easy but it doesn’t impossible thing, right?

Yang perlu kita lakukan adalah sejenak menepikan diri, mengambil jeda, menggali kembali kelebihan-kelebihan kita untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin, lalu syukuri kondisi saat ini, maafkan kesalahan lalu, apresiasi sekecil apapun usaha yang sudah kita lakukan untuk menjadi lebih baik lagi, dan “love your self more.” 

“Mencintai dirimu berarti mengupayakan kebaikan-kebaikan dan berusaha sekeras mungkin mengurangi keburukan-keburukan yang masih melekat dalam dirimu. Jika kau mencintai dirimu maka tentu kau akan mengupayakan yang terbaik, bukan? Percayalah, setiap orang berpotensi untuk menjadi lebih baik jika ia mau berusaha...”

--Makassar, menjelang lelap

Saturday 13 October 2018

Mungkin Memang Takdir


Mungkin memang takdir, kita melangkah dari titik yang berbeda menuju pertemuan-pertemuan yang sama.

Mungkin memang takdir, kita berada dalam satu ruang yang entah harus kusebut apa. Di sana kita banyak berbicara tentang apa aja. Kadang-kadang serius, sesekali begitu membingungkan dan seringkali kita pun tak tahu percakapan apa yang tengah memutus jeda.

Mungkin memang takdir, kita harus perpijak di waktu-waktu yang begitu pelik. Berjibaku dengan diam yang panjang, menerka-nerka isi kepala, lantas begitu sangsi melayangkan tanya. Kadang, jarak begitu memuakkan, namun dari sana rindu terus bertumbuh, dari hari ke hari berusaha mendewasakan perasaan.

Mungkin memang takdir, kita membuat kesalahan agar paham jika maaf adalah sesuatu yang tak boleh habis di antara kita. Sebab kita tak pernah tahu, kekeliruan apa lagi yang kelak akan menyodorkan luka, bukan?

Mungkin memang takdir, kita terjebak kepada hal-hal yang tidak pernah kita harapkan. Seperti berjalan dari ragu ke ragu, berdiam bersama segala prasangka hingga membuat kepercayaan tercabik-cabik lalu memaklumi harapan yang mendahului kenyataan.

Mungkin memang takdir, kata-kata diciptakan untuk melanggengkan sebuah cerita. Dan aku memutuskan untuk menulismu. Lagi dan lagi. Hingga waktu yang entah. Yang pasti, kau adalah catatan paling panjang yang pernah kutulis.

Tunggu, apa K-I-T-A memang bagian dari takdir? 
Aku memilih berharap sedang kau percaya pun entah.

—Makassar, di bawah langit menjelang subuh

Monday 1 October 2018

Oktober dan Hal-hal Sebelum Subuh


Selepas pukul dua belas adalah saat yang tepat untuk merasakan sepi. Begitu menurutku. 

Mungkin karena beberapa jam sebelum subuh adalah waktu paling kusuka, saat kebanyakan manusia terlelap dan dunia menjadi sedemikian sunyi. Sejujurnya aku tak pernah betul-betul merasa sepi sebab aku selalu ditemani dengan suara-suara dalam kepalaku. Di sana kata-kata selalu berisik. Keramaian yang tak mengizinkan lelap, walau sekedar datang mengetuk pintu kamarku.

Saat mengetikkan kalimat ini jam sudah menunjukkan pukul satu lewat sekian menit. Almanak 2018 sudah berganti judul. Oktober kesekian. Dan sepertinya aku semakin menyukai malam seperti aku mencintai pagi. Mungkin lebih tepat jika kukatakan tengah malam. Saat aku betul-betul menikmati apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dengan cara-cara paling sederhana seperti ....

Menyimak sebuah lagu yang kadang begitu mudah menarik ingatan menuju masa lalu. Di banyak momen yang tak pernah betul-betul kulupa dengan baik. Mendadak malam terasa begitu muram.

Menatap lamat-lamat tiap jengkal sudut kamar. Meja belajar, jejeran buku, memo yang menempel di dinding, lampu tidur, tetiba menjadi benda-benda yang begitu puitis. Bahkan detak jarum pun terdengar sangat melankolis.

Lalu, menyesap kopi. Entah sejak kapan kami begitu akrab. Seperti sahabat, kurasa. Selalu ada, bahkan di saat-saat paling burukku. Di tiap tegukannya seolah memberi satu lagi alasan untuk kembali menerbitkan kebahagiaan yang lain. Setiap kali secangkir kopi tandas, aku akan merasa lebih baik lagi. Mungkin kafeinnya tidak hanya mengusir kantuk, tapi juga membuang jauh setumpuk kecemasan dalam diriku.  

Kadang, meresapi malam membuatku seperti berjalan di tengah labirin. Aku kebingungan mencari jalan pulang dan akan terus berputar-putar hingga kelelahan. Seringkali aku hanya tersesat di alamatmu. Mengunjungi sebuah tempat yang hanya ada kita dan percakapan-percakapan panjang yang biasa membuatku lupa waktu. Kemudian aku mulai menyadari. Ruang itu sudah menjelma tempat paling sepi. Di sana, kata-kata sudah membeku bersama waktu yang terlanjur mengkristalkan ingatan. Di sana, masih menjejak kalimat-kalimat yang entah sudah berapakali kubaca. Setiap hurufnya kadang membuatku tertawa sekaligus bersedih. 

Sekarang aku seperti ingin melompat menuju satu atau beberapa bulan kemudian, melewati secepat mungkin saat-saat yang kurasa akan sangat berat. Memilih kembali bertumbuh dengan hati yang baru tak pernah mudah. Sebab perasaan yang lalu tak pernah betul-betul tanggal. Apalagi kata-kata sudah lebih dulu mengkekalkannya. Jadi, aku harus bagaimana?

Lembaran baru kali ini betul-betul buram. Namun, dari sekian banyak hal yang kuharapkan, melupamu sudah menjadi salah satunya. Impian yang begitu lugu. Keinginan yang sepertinya harus kubayar dengan begitu banyak air mata, jika memang bisa.

—Makassar, di waktu-waktu paling berisik

Friday 3 August 2018

Baik-baik Saja





Nyatanya orang-orang memang cenderung melepaskan diri dari sekitarmu, tepat di saat-saat terburukmu. Dan kau tak kuasa walau sekedar mengatakan “jangan pergi!".

Sepenuhnya kau menolak jika sebenarnya kau sedang sangat membutuhkan seseorang. Bagimu, kau hanya perlu berusaha agar tetap terlihat baik-baik saja meski kau tahu betul jika terpaksa adalah salah satu dari sekian banyak hal yang akan sangat sulit kau upayakan.

Terpaksa kau membuat dirimu terlihat tenang dan biasa saja, melakukan hal-hal baik hanya untuk menutup fakta yang sebenarnya. Sungguh, kau memang sedang tidak baik-baik saja.

Di titik itu kau pun tersadar. Bahwa menipu mata manusia tak lantas membuatmu pandai berbohong pada dirimu sendiri. Hatimu selalu jujur. Mungkin kau memang sanggup mempertahankan perasaan tak butuh seseorang namun bagaimana kau akan mampu menyangkal, jika Zat Maha sempurna selalu ada untukmu. Ia yang lebih dekat dari urat nadi.

Seluruh dari dirmu, hati, penglihatan, pendengaran, perasaan hingga sel-sel terkecil yang membentukmu adalah ciptaan-Nya. Lantas, adakah yang lebih layak menjadi tempat tuk mengadukan segala hal yang tengah memberatkan perasaanmu, selain kepada-Nya?

Menangislah, tumpahkan seluruh resahmu. Ia sebenar-benar Maha pendengar di saat seluruh makhluk-Nya memilih tuli dari rintih pedih batinmu. Tanpa suara pun Ia tahu, tentang hatimu yang koyak menahan seluruh pedih yang bersarang di dada. Tak kau katakan pun, Ia sepenuhnya memahami, betapa dirimu takkan pernah punya kekuatan selain oleh kesanggupan yang dititipkan padamu.

Kembalilah. Percayakan pada-Nya. Semuanya akan kembali baik-baik saja, tanpa kepura-puraan.

—Makassar, dini hari 00:39

Sunday 15 July 2018

Juli yang Menguji



Tentang kecemasan-kecemasan yang kadang tumbuh sembarangan tempat. Keresahan seperti tak pernah surut. Saat-saat sabar begitu sukar diupayakan. Kala langkah terasa begitu berat. Di antara banyaknya tanggungjawab yang menagih sikap; sebab diri yang memang belum cukup bijak memposisikan banyak hal.

Atau, kau memang betul-betul tidak sanggup lagi disesaki banyak urusan yang menguras pikiran sekaligus perasaanmu. Kau tak setangguh kata-katamu. Karena pada akhirnya kau pun menangis tanpa suara. Kau kalah. Merasa sangat kelelahan. Ingin menghilang. Lari dari hidupmu. 

Butuh hati selapang apa tuk mencintai kenyataanmu sendiri? Kau bertanya-tanya sebab memeluk takdir kau tak betul-betul tabah. Rela masih kau usahakan setengah mati.

--Gowa, 2018

Saturday 30 June 2018

Review Singkat Arah Langkah



Semua daerah memiliki cerita yang berbeda-beda. Yang sama hanyalah rasa sakit saat berpisah. Karena perpisahan, semanis apapun, seindah apapun, tetaplah perpisahan. Ada cerita yang harus berubah menjadi kenangan. (Halaman terakhir)

Ketika kita menerima sebuah pertemuan maka kita pun harus merelakan sebuah perpisahan. Dan sebaik-baik cara untuk menyimpan kenangan adalah dengan menuliskannya. Sebab jika hanya berada dalam kepada pelan-pelan ia bisa saja tersapu oleh waktu, tertimbun oleh kenangan-kennagna yang lain. Maka lakukan perjalanan, resapi sebuah pertemuan, perkenalan dan abadikan dalam tulisan sebagai miniatur ingatan; tempat yang bisa kau kunjungi kapan saja.

Buku ini berisi kisah perjalanan Bung Fiersa menjejakkan kaki di beberapa tempat di Indonesia (Berkelana dari sabang-entah jika nanti betul-betul sampai di raja ampat seperti yang direncanakan dalam buku pertama ini) Dilatarbelakangi oleh patah hati, Bung akhirnya memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya menyusuri Indonesia bersama dua orang temannya (Baduy dan Prem).

Kadang memang, sesuatu yang menyakitkanlah yang kemudian membuka satu gerbang kebahagiaan yang baru. Lalu hal-hal mengagumkan lainnya pun akan kita temukan sebagai jawaban dari sebuah misteri takdir; asal kita bersedia untuk merelakan langkah menuju kepergian. Ya, kepergian yang akan membuat kita rindu. Kepergian yang mengajarkan tentang banyak hal. Hingga langkah kembali pulang menuju destinasi terakhir; rumah. Tempat yang selalu nyaman untuk kembali sejauh apapun perjalanan berhasil kita taklukkan.

Betul, Arah Langkah bukan sekedar catatan perjalanan yang melukiskan keindahan alam, budaya, dan manusia lewat teks dan foto. Tetapi juga memberikan cerita lain tentang kondisi negeri yang tidak sebagus seperti di acara seperti di layar televisi. Meski pun begitu, semua daerah memiliki cerita yang berbeda-beda, namun di dalam perbedaan itu, cinta dan persahabatan slalu bisa ditemukan.

Tuesday 5 June 2018

10 Terakhir Ramadan



Ibnul Jauzy rahimahullah berkata: 
 ‏الليالي والأيام الفاضلة لا يصلح للمريد أن يغفل عنهنّ، لأنه إذا غفل التاجر عن موسم الربح فمتى يربح.  
“Malam-malam dan hari-hari yang memiliki keutamaan yang tidak pantas bagi orang yang ingin meraih keutamaan untuk melalaikannya.”  
10 Hari terakhir ramadan, momentum paling sakral. Detik-detik yang amat berharga. Di dalamnya terdapat waktu yang sangat istimewa. “Malam seribu bulan” demikian sabda-Nya dalam kalam mulia. 
Lantas, tidak tergiurkah kita memberikan ibadah terbaik pada malam-malam terakhir bulan mulia ini? Jika satu malam berharga ini hanya ada sekali di antara ribuan hari, masihkah kita akan melewatkannya begitu saja? Tak ada jaminan jika tahun depan kita masih berjumpa bulan yang penuh berkah ini. Menjadi kandidat peraih malam lailatul qadar adalah seluas-luas kesempatan meraih ampunan-Nya, juga saat terbaik tuk melangitkan ragam permohonan di detik-detik waktu mustajabnya doa. Jangan sampai kita menyia-nyiakannya sebab ada begitu banyak penghuni kubur yang amat merindukan ramadan.
Meski begitu banyak manusia yang telah melafalkan dua syahadat, nyatanya tetap saja ada yang tak mampu memanfaatkan 10 terakhir ramadhan sebaik mungkin. Malah mungkin melewatkannya dengan biasa-biasa saja seperti hari-hari lainnya. Tak sadar akan makna yang terkandung dalam bulan mulia ini.
Kala pintu ampunan dibuka seluas-luasnya, para malaikat berbondong-bondong turun ke bumi, membuat malam seribu bulan dilimpahi berkah. Sungguh malam yang penuh kedamaian bagi hamba yang tenggelam dalam ketaatan. Larut pada ibadah-ibadah terbaik, menyembah dengan penuh pengharapan. Semoga kita termasuk di antara mereka yang tidak melalaikan keutamaan-keutamaan di 10 malam terakhir ramadan.
Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah ber’itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, ‘Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. (HR Bukhari dan HR Muslim)
--Makassar, 20 Ramadan

Sunday 3 June 2018

Pertemuan yang Menguji



Di balik sebuah pilihan tentu selalu ada hal yang dikorbankan; sebuah konsekuensi dari keputusan yang kita ambil. Seperti di momen ramadan kali ini, salah satu pilihan yang kadang membuat dilema adalah saat banyaknya ajakan bukber (buka bersama) baik dari teman alumni satu sekolah, teman seorganisasi, teman kuliah hingga ajakan bukber dari keluarga dekat. Sungguh, sebuah kesempatan baik untuk menyambung tali silaturahmi sekaligus menjadi ujian. Sebab kadang, sebuah pertemuan memang mendatangkan kebaikan namun hal-hal tidak baik pun turut membersamainya. Bahasa sederhananya; bisajadi kita malah mencari pahala di sela-sela dosa.

Kemarin salah seorang teman saya curhat tentang pengalamannya saat mengikuti sebuah acara bukber dan penggalangan donasi untuk Palestina. Singkat cerita, ia mengaku merasa sangat bahagia bisa mengikuti sebuah project amal namun ada perasaan bersalah yang mengusik batinnya. Ia sadar jika kebaikan yang ia upayakan ternyata malah menjadi ujian yang menggoyahkan hatinya.

“Panitia acaranya dari akhwat dan ikhwan dan ternyata banyak kebaperan yang terjadi...” kurang lebih demikian bunyi curhatan teman saya. Dari awal-awal kuliah ia memang selalu sharing ataupun curhat seputar dilematis pergaulan laki-laki dan perempuan yang terlibat ikhtilat jika sudah berada di kampus ataupun organisasi. Karena kami nyaris berada di posisi yang sama (sama-sama mahasiswa dan ikut organisasi) saya tidak tahu harus apa selain menjadi pendengarnya, memberinya kata-kata nasihat sekaligus saling mengingatkan dan menguatkan.

Perempuan memang makhluk Tuhan yang amat perasa, namun kita perlu mengingat berulangkali bahwa: jangan bawa perasaan dalam wilayah komunikasi dengan lawan jenis. Jangan biarkan ada rasa yang tumbuh pada waktu yang tidak tepat. Antara kita (laki-laki dan perempuan) ada batasan yang tidak bisa dilewati. Memang sudah kodrat semesta, perempuan dan laki-laki memang seumpama dua kutub magnet yang tarik-menarik. Kita sebagai perempuan harus berusaha melangkah sejauh mungkin, menghindari titik-titik yang akan menjebak kita dalam wilayah perasaan. Saya menutup percakapan dengan mengirimkan kalimat ini. Sebuah potongan tulisan yang selalu saya baca sebagai pengingat untuk diri sendiri.

Memang, bukan perihal mudah untuk menjaga diri agar pertemuan-pertemuan yang kita hadiri tetap berada dalam lingkaran kebaikan, sebab seringkali hal-hal tidak baik akan mencari celah di antara kekhilafan dan kelalaian manusia.  

--Makassar, 18 Ramadan

Friday 1 June 2018

Memilih Bacaan

"Jika telah datang malam pertama di bulan ramadan maka setan-setan dan jin yang jahat akan dirantai, pintu-pintu neraka akan ditutup dan tidak akan terbuka baginya satu pintu pun, pintu-pintu surga akan dibuka dan tidak akan tertutup darinya satu pintu pun, dan seseorang penyeru akan menyerukan “Wahai para pencari kebaikan bersegeralah (menuju kebaikan) wahai para pencari keburukan, (berhentilah dari keburukan), Allah membebaskan (seorang hamba) dari api neraka pada setiap malam di bulan ramadan).” --HR.Tirmidzi

Ketika bulan ramadan menuntut agar membatasi bacaan (di luar Alquran) sebab singkatnya durasi waktu bulan mulia ini membuat saya betul-betul harus lebih bijak lagi memanage waktu. Saya sadar jika membaca tentu membutuhkan banyak waktu sedangkan ramadan terlalu berharga jika dilalui dengan bacaan yang tidak memberi manfaat atau mungkin hanya sebatas hiburan.

Jika yang lalu-lalu saya biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menamatkan sebuah buku maka bulan ini saya hanya meluangkan 15 hingga 20 menit dalam sehari. Target saya selama ramadan; cukup merampungkan satu buku saja. Sesuatu yang berharga memang slalu sepaket dengan risiko yang tidak ringan termasuk; sejenak menarik diri hobi yang sangat disenangi.

“30 Panduan Renungan Ramadan Efektif” demikian judul buku yang saya pilih untuk membersamai ramadan kali ini. Sebuah buku yang berisi 30 tulisan singkat yang tidak sekedar menyuguhkan ilmu seputar bagaimana beramadan dengan efektif tapi juga memberikan suntikan semangat untuk menghidupkan bulan ramadan menjadi bulan penuh makna yang dipenuhi amal ibadah sebagai sarana untuk mensucikan jiwa agar ramadan tidak sekedar menjadi momen tahunan yang berlalu begitu saja.

“Amal ibadah yang kita tegakkan mesti kita perjuangkan agar benar-benar efektif, diterima dan diberkahi oleh Allah Subhana Wa Ta’ala, sehingga menghasilkan kebahagiaan, kekuatan kemuliaan, dan kesejahteraan hakiki. Kerja keras untuk efektifitas ibadah ini sangat penting untuk kita optimalkan pada bulan mulia ramadan. Inilah wujud cinta dan ikhlas dalam menjalani bulan mulia ramadan agar kita tidak menjalani ramadan dengan kelalaian." (Halaman 01)

Buku ini akan menuntun kita untuk melakukan banyak renungan di bulan suci ramadan sebagai motivasi yang akan mendorong semangat beribadah demi mencapai derajat taqwa, sebagaimana tujuan diperintahkannya berpuasa.

--Makassar, 16 Ramadan

Thursday 31 May 2018

Mencintai Al-Qur'an



Sekiranya hatimu bersih, niscaya kamu tidak akan kenyang (bosan) dengan firman Tuhanmu. (Utsman Bin Affan R.A)

Sudahkah kita mengkhatamkan Al-Qur'an? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan dalam-dalam. Bahwa ramadan adalah bulan Al-Qur'an; momen terbaik untuk kembali meresapi ayat-ayat-Nya, mempelajari dan mentadabburi isinya, hingga mengkhatamkannya berkali-kali. Lantas, sudah sejauh manakah interaksi kita dengan Al-Qur'an? 

Jika waktu kita masih terisi oleh banyak kesibukan-kesibukan yang melalaikan diri dari membacanya, maka tanyakan kembali "apakah kita betul-betul mencintai Al-Qur'an?" Sebab jika kita mencintainya tentu kita akan meluangkan waktu untuk slalu bersamanya, sesibuk apapun kita. Bukankah "cinta" adalah alasan dari banyak sebab termasuk: mengapa seseorang sulit meninggalkan sesuatu? Jawabannya; karena cinta. Demikian dengan Al-Qur'an, jika kita mengaku mencintainya maka buktikan dengan selalu mengisi detik-detik berharga kita dengan Al-Qur'an. Karena mencintai Al-qur'an maka kita tidak akan pernah mudah meninggalkannya. Karena mencintai Al-Qur'an mendorong kita untuk merelakan waktu bersamanya, bahkan menjadikannya bagian dari prioritas diantara begitu banyak kesibukan harian kita.

Jadikan Al-Qur'an sebagai kebutuhan untuk mendapatkan kebahagian dan nikmatnya ibadah. Sebab mencintai Al-Qur'an adalah bukti cinta kepada Rabb dan Rasul-Nya juga sebagai tanda dari keimanan seseorang.

Jadi, sudahkah kita mengkhatamkan Al-Qur'an?

Yuk, nyamankan diri bersama Al-Qur'an. Jangan lupa untuk selalu berdoa agar diberi kemudahan dalam membaca ataupun mengamalkannya. Semoga Ramadan kali ini membuat kita menjadi lebih dekat dengan Al-Qur'an dan lebih istiqamah lagi mencintainya.

--Gowa, 15 Ramadan

Monday 28 May 2018

Introspeksi Ramadan




"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadan dengan keimanan dan niat yang baik, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)

Sepuluh hari ramadan berlalu, beberapa pertanyaan mulai mendesak tuk direnungkan dalam-dalam. Apa kabar ibadahku? Sudah maksimal kah? Ah, rasanya belum cukup maksimal. Di sepertiga malamku masih kurang dengan sujud-sujud dan doa-doa panjang. Tilawahku tidak sebanyak di awal ramadan, bahkan lajunya kian melambat. Dzikir pagi dan petang kadang tidak utuh juga jumlah rakaat salat dhuha yang masih begitu-begitu saja. Ibadah-ibadah lain pun rasanya masih sangat jauh dari kata efektif. Sungguh, betapa banyak waktu berlalu namun  aku masih penuh dengan penundaan hingga prioritas harian sering tak berjalan sesuai harapan. Seketika aku merasa ditikam oleh penyesalan akan detik-detik yang kubiarkan berlalu dalam kelalaian. 

Adakah ramadan selanjutnya masih kujumpai? Sebuah pertanyaan misterius untuk menjadi bahan evaluasi. Tentang ramadan dan kesempatan-kesempatan ibadah yang terlewatkan. Padahal, sungguh Tuhan Maha Adil. Setiap kita diberi jatah 24 jam sehari. Tak siapapun diberi kurang atau lebih dari itu. Setiap hari kita bercengkerama dalam pusaran waktu yang sama, namun tak satupun yang menghabiskannya dengan sesuatu yang betul-betul sama persis. Ada yang sibuk berkutat dengan aktivitas yang orientasi duniawinya lebih mendominasi, sementara adapula yang lebih sibuk untuk urusan akhiratnya. Lalu, termasuk yang manakah kita (aku)? Cukup tanyakan dalam hati dan jawab dengan nurani, tentunya setelah mengintropeksi diri baik-baik. 

Sebelum ramadan melambaikan tangan dan kita hanya bisa meratapi banyaknya kesempatan beribadah yang terlewat, maka mari kita menginstrospeksi diri dan mulai tenggelam dalam ketaatan dan penghayatan; tentang episode-episode kehidupan yang entah kapan menemui akhirnya. Bisa jadi esok, atau beberapa jam bahkan menit dan detik kedepan maut malah tetiba bertamu. Siapa yang tahu perihal kedatangan ajal? Tak sesiapa pun. Maka tugas kita adalah memanfaatkan waktu sebaik mungkin sebab Allah masih membuka pintu ampunan sebelum kematian lebih dulu menjemput.

--Makassar, 12 Ramadan

Saturday 26 May 2018

Dear Jomblo



"Jom(b)lo itu pilihan" demikian kalimat pembelaan mereka yang merasa tidak nyaman atau mungkin kurang sepakat jika jomblo sering disandingkan dengan kata-kata kurang mengenakkan seperti; tidak laku, fakir asmara, kesepian, kosong dan sejumlah statement negatif yang menjudge bahwa jomblo memang bukan sesuatu yang baik. Kadang, saya pun tidak mengerti dengan sejumlah meme komik yang membuli para jomblo. Pun di setiap acara kumpul-kumpul khususnya jika di pesta pernikahan mereka yang masih jomblo kerapkali dijadikan sasaran kalimat; ciee yang jomblo... atau, kapan nyusul-etc... Semenyedihkan itukah seorang jomblo? 

Jomblo itu pilihan, sepenuhnya saya pun menyepakati kalimat ini. Bahwa menjadi jomblo tidak hanya pilihan tapi juga bagian dari prinsip hidup. Ya, saya termasuk seseorang yang menolak tegas aktivitas pacaran sebelum pernikahan. Bukan semata-mata karena pacaran memang tidak ada dalam syariat islam, lebih dari itu saya terlanjur sepakat bahwa pacaran hanya buang-buang tenaga dan boros perasaan untuk sesuatu yang belum tentu berakhir bahagia. So, jomblo itu memang sebuah pilihan sekaligus tantangan. Pilihan bijak juga tantangan yang betul-betul menguji komitmen untuk tidak melanggar sebuah prinsip.

Dear jomblo... Percayalah jika kesendirianmu saat ini adalah pilihan paling tepat. Saat yang lain sibuk pacaran, kita lebih memilih sibuk dalam kebaikan; up grade kualitas diri, belajar, berkarya, memperluas pertemanan, menata hati, memperbaiki akhlak, serta kebaikan-kebaikan lainnya. As you know, setelah masa jomblo berakhir (red; menikah) banyak hal yang tak bisa kita lakukan seperti saat masih jomblo. Kehidupan akan berubah total. Tak perlu pengalaman, cukup dengan melihat langsung sekitar saya. Sebagai anak bungsu (anak mama yang kini satu-satunya masih jomblo) saya menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan kakak-kakak saya saat sudah berganti status menjadi istri/suami hingga menjadi seorang ibu/ayah. Betapa sibuk dan merepotkan, mendidikasikan waktu untuk mengurusi tanggungjawab bernama rumah tangga. Berat!

So, jika sekarang masih sendiri bersabar saja dan bersyukur. Jangan pernah berpikir untuk segera menikah hanya karena alasan lelah menjomblo, tidak kuat lagi dengan segala cibiran, iri melihat mereka yang sudah memiliki pasangan-etc. Jadikan kesendirian saat ini sebagai fase untuk merencanakan atau pun mempersiapkan diri; agar nanti kita bisa menjadi orang tua yang layak. Orang tua yang patut dijadikan tauladan dan dibanggakan anak-anaknya. Semuanya memang harus dipersiapkan sebab pernikahan adalah titik kritis yang membutuhkan ilmu yang memadai, mental yang cukup, kecerdasan intelektual, sosial hingga kecerdasan mengatur emosi. Tidak mudah bukan? Ada beban tanggungjawab yang tentu butuh effort besar lebih dari sekadar menyatukan visi misi, isi kepala yang beda pemikiran, ego yang kadang enggan mengalah, dan seterusnya. Sendiri mungkin berat tapi bersama bisa jadi lebih berat lagi. Ehh, gak kebalik? Wkwk...

Terakhir, letakkan segala risau perihal masa depan, sebab semuanya masih tanda tanya dalam genggaman kuasa-Nya. Kalem aja, toh yang pasti itu kematian bukan jodoh, right? Yuk, persiapkan diri sebaik mungkin!

(Fyi, jomlo: penulisan baku berdasarkan kbbi, tapi tetap saja saya lebih suka nulis versi salahnya, haha)

--Gowa, 10 Ramadan

Thursday 24 May 2018

Pemaksaan




Beberapa hal hanya bisa terwujud jika ada pemaksaan. Kata “paksa” tidak selalu berkonotasi dengan sesuatu yang tidak baik. Seperti dalam memulai sebuah habit pun kadang harus diawali dengan pemaksaan diri sebelum akhirnya betul-betul terbiasa hingga tidak akan ada lagi perasaan berat ataupun sulit seperti saat pertama kali; sebab masih ada unsur paksaan. Pun demikian, saat berhadapan dengan hal-hal yang nampak sangat sulit atau bahkan mustahil tuk terwujud, namun nyatanya kita bisa tetap berhasil berkat adanya pemaksaan. Sebuah pemaksaan baik; memaksa diri melawan seluruh ketidakberdayaan, rasa takut, ragu, pesimis hingga memaksakan diri tuk melampau batas kesanggupan itu sendiri.

Kadang kita melihat sesuatu terlampau sulit tuk digapai, namun karena ada tekad dibarengi pemaksaan membuat kita mati-matian memperjuangkannya, hingga kita pun mungkin takkan menyangka jika hal besar tersebut (yang sebelumnya kita pun ragu akan kemampuan kita sendiri), nyatanya berhasil juga kita taklukkan.

Saat malas, penawarnya adalah pemaksaan. Paksakan diri lepas dari belenggu kemalasan, paksa diri beribadah hingga paksa diri untuk menjauhi banyak kesia-siaan, khususnya di bulan mulia ini. Atau ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja atau stagnan dan tak berjalan sesuai harapan, maka paksa diri keluar dari zona nyaman. Dengan pemaksaan siapa sangka, banyak hal luar biasa yang sanggup kita lakukan.

--Maros, 08 Ramadan