Aku menyebutnya ritual tahunan; satu kali dalam setahun, aku ingin betul-betul menikmati setiap detik dalam 24 jam sehari yang mengingatkanku banyak hal. Hari kelahiran. Hari yang sebenarnya biasa saja namun selalu menghadirkan semacam emosi khusus yang akan membuatku merasa wajib menyempatkan diri untuk duduk tenang dan mulai merenungkan hidup. Lalu menulis sesuatu, semacam kontemplasi ataupun sekadar menceritakan kembali masa lalu yang selalu mendatangkan rindu.
Waktu memang melesat cepat, aku tiba di umur dua puluhan akhir. Sudah begitu banyak yang terjadi dan bank ingatan kian sesak dengan memori dan segala macam perasaan yang menyertainya. Orang-orang datang dan pergi. Satu fase berganti dengan fase lain. Beberapa hal selesai sementara hal lain baru dimulai. Dan di antara seluruh waktu yang berlalu dengan ragam peristiwa ternyata aku selalu merindukan masa lalu.
Waktunya bernostalgia.
Karena bagiku, nostalgia tidak sekadar perjalanan mengenang tapi juga tentang merasakan kembali euforia lama yang sudah tertimbun bersama waktu yang pergi. Dan di hari ulang tahun ini aku hanya ingin tenggelam dalam nostalgia yang khidmat, mencoba beberapa anak kunci dan mulai menjelajahi banyak kenangan di balik pintu ingatan.
Pintu pertama: 23. Dua angka yang bagiku berarti banyak hal. Setahun sebelum pandemi yang menghebohkan. Aku tidak menyangka, tahun itu menjadi tahun terakhir aku bersama seseorang yang sudah lebih dari separuh hidup kuanggap sahabat. Aku tidak ingin melupakan momen-momen terbaik yang terjadi sebelum pernikahannya; momen penting yang membuatku kehilangan tali yang selama ini sudah begitu mengikat.
Fragmen-fragmen ingatan berhamburan. Ada kenangan saat kami ke toko buku lalu menemukan perpustakaan kata kerja tanpa rencana. Ada selamat ulang tahun yang dikirim tepat pada pukul 00.00 am dan hadiah dua pot kaktus pada hari ulang tahun terakhir yang dia ingat. Rex dan Romeo, dua nama dari novel favorit kami menjadi identitas si kaktus agar lebih nyaman diajak bicara. Lalu ada suatu sore dengan dua gelas kopi, pertemuan yang menjatuhkan air mata, dan kesedihan yang dirayakan berdua. Peristiwanya sudah begitu jauh dan aku sangat merindukan semuanya.
Pintu kedua; sepuluh tahun pertama yang masih lengkap. Anggota keluarga yang utuh. Sederhana namun begitu hangat. Kepolosan masa kanak yang belum mengenal kehilangan. Hari-hari tak terlupakan yang akan terus kuingat sebagai fase paling berarti dalam hidupku. Tidak ada masalah yang lebih sulit dibanding soal matematika yang tidak bisa kupecahkan. Tidak ada insomnia dan overthinking. Tidak ada kekecewaan separah keluar dari peringkat tiga besar. Tak ada ketakutan terbesar selain terlambat ke sekolah dan kena marah karena terlambat shalat. Aku bersyukur memiliki pengalaman masa kecil yang cukup indah dikenang sampai hari ini.
Aku beruntung diberi kesempatan merasakan banyak hal yang barangkali tidak sempat dirasakan banyak anak seusiaku; kebebasan bermain tanpa harus tidur siang. Tidak ada larangan ataupun aturan bermain yang membuatku betul-betul bebas mencoba banyak hal: mengambil tanah liat yang dengan kreativitas seadanya bisa menghasilkan beberapa mainan seperti ponsel bohongan ataupun kue-kue cantik berhias bunga dengan ragam bentuk. Belajar naik sepeda meski matahari siang begitu terik, bermain layangan sepulang mengaji, turun ke sawah dan bahkan mencoba berenang di selokan yang cukup dalam saat hujan deras. Aku juga sering memanjat pohon mangga depan rumah dan belajar menjahit tangan demi baju-baju untuk Barbie-ku.
Pada usia yang bukan lagi anak-anak seperti sekarang, aku baru sadar jika kebebasanku dulu bukanlah sesuatu yang diberikan kebanyakan ibu kepada anaknya. Mama sebaik itu ternyata, tidak pernah mewajibkan tidur siang, tidak ada jam wajib belajar, tidak melarang main tanah ataupun memanjat pohon dan selalu memberi izin main hujan. Peraturan mama seingatku begitu sederhana; tidak boleh berbohong dan jangan sampai melupakan kewajiban; salat lima waktu, ke sekolah pagi hari dan mengaji sorenya, pulang sebelum magrib dan mencuci baju setiap hari jumat, waktu libur sekolah.
Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah disuruh belajar karena aku memang benci jika tidak bisa menjawab soal saat ujian, jadi aku cukup suka dan rajin belajar. Lalu soal waktu, aku hanya mengikuti pengaturan waktu mama yang on time dalam segala hal. Ternyata aku secara tidak sadar sudah mengadopsi kebiasaan baik mama soal waktu. Ia yang selalu bangun sebelum subuh, segera beranjak tiap kali azan berkumandang dan segera salat tepat waktu dan ke pengajian rutin selalu sebagai seseorang yang paling pertama hadir. Aku seperti tidak diberi kesempatan mempunyai memori tentang mama yang terlambat atau buang-buang waktu. Meski rutinitasnya monoton, mama tetap menjadi teladanku soal manajemen waktu yang baik.
Pintu ketiga; mendengar dan membaca cerita. Satu lagi bagian paling berkesan dari masa kecilku adalah waktu-waktu bersama mama antara magrib isya. Karena kami tidak memiliki tv (sebab prinsip mama yang khawatir tv akan memberi pengaruh buruk kepada anak juga perkara ekonomi; tv masih barang mahal bagi kami kala itu), aku jadi punya quality time berdua; mama akan menceritakan kisah nabi dan sahabat-sahabatnya, masa kecilnya di kampung yang belum tersentuh listrik hingga cerita-cerita yang ia dapatkan dari nenek. Aku tidak akan lupa betapa antusiasnya diriku menunggu kelanjutan kisah nabi Musa yang menghabiskan beberapa malam. Juga kisah nabi Yusuf yang membuatku hampir menangis karena kasihan dengan nasibnya yang dibuang ke sumur. Barangkali, itu adalah awal mula aku menyukai cerita dan mulai menjadikan membaca sebagai hobiku dan buku apa saja yang berisi cerita akan menjadi teman dudukku.
Pintu keempat; belajar mandiri setelah memasuki kehidupan asrama. Enam tahun masa SMP dan SMA yang penuh warna; aku mulai bertemu pengalaman-pengalaman baru yang lebih seru sekaligus menantang. Banyak cerita dari kehidupan berasrama yang sangat kusyukuri karena sudah mendidikku sedemikian rupa. Aku mulai menyadari hidup yang tidak lagi sesederhana ketika masih SD. Enam tahun yang tak kusangka akan kulalui di empat tempat berbeda. Usia belasan yang penuh rasa ingin tahu tentang mimpi atau cita-cita dan bagaimana harus memperjuangkannya.
Aku belajar arti tanggungjawab dengan menerima resiko-resiko yang akan akan datang bersama pilihan. Hidup kadang teramat menyebalkan sebab memaksaku berhadapan dengan ujian-ujian yang lebih sulit dari ujian nasional. Pada banyak waktu aku kesulitan, bahkan merasa tidak sanggup hingga ingin menyerah ketika akhirnya aku memilih keluar dari arena pertarungan. Sebuah keputusan konyol yang sampai hari ini selalu kuingat dengan penyesalan. Andai saja waktu itu aku sudah cukup dewasa, tentu saja hidup tidak akan bertemu kelokan keliru. Andai saja aku bisa lebih bertahan dan berusaha lebih tangguh, beberapa salah tak perlu terjadi. Sayangnya, hidup memang perlu memberi kegagalan yang menghancurkan agar aku lebih kuat dan menjadi lebih dewasa.
Kemudian ....
Pintu kelima … dan keenam …ada masa yang sangat tidak nyaman tuk diingat sampai di tahap aku ingin amnesia agar memoriku menghapusnya sampai betul-betul hilang dan aku tak perlu mengingatnya kembali. Ternyata sulit sekali berdamai dengan kenangan-kenangan ini. Bahkan, ketika tulisan ini kuketik, aku masih bisa merasakan betapa muak dan marahnya aku dengan diriku di masa itu. Terlalu naif, terlalu bodoh dan terlalu terburu-buru. Ceritanya tidak akan kutuliskan lagi. Meski tidak pernah kehilangan tempat, kenangan itu seharusnya tidak lagi mengganggu.