Belajar memang proses panjang—selama hidup yang sungguh sebentar ini. Sayangnya, tidak semua orang merasa butuh belajar atau lebih tepatnya, barangkali tidak ada kesadaran dalam diri bahwa 'belajar' adalah hal yang tidak boleh berhenti selama ajal belum tiba.
Kita bisa belajar dari mana saja, lewat siapa saja, apa pun medianya; buku-buku, pengalaman orang lain, alam yang terhampar, bahkan kepada hal-hal kecil di sekitar kita. Maka beruntunglah mereka yang selalu mampu menarik pelajaran dari segala hal yang dihadirkan dalam hidupnya. Mereka yang memiliki kepekaan tuk merasai sesuatu, menelaahnya, hingga memperoleh pelajaran darinya. Mereka yang memiliki mental pembelajar, selalu merasa harus terus belajar, menjadikan hidup sebagai kelas raksasa tuk menimba pemahaman.
Perihal belajar, Cak Nun dalam buku Mencari Buah Simalakama menulis:
"Ada yang selalu belajar, ada yang sedang belajar, ada yang baru sekarang belajar, ada yang belum belajar, ada yang malas belajar, ada yang tak belajar, ada yang tak tahu bahwa harus belajar, ada yang di memori otaknya tidak ada kata belajar"
Satu paragraf ini terus terang saja begitu menyentil, memetakan satu per satu keadaan, fase yang (salah satu atau lebih) sudah pasti dimiliki manusia; makhluk yang dianugerahi akal, namun kadang begitu bebal 'membaca'.
Selesai dari pendidikan formal tak lantas selesai masa belajar. Sebab ada begitu banyak hal yang harus kita pelajari, bahkan kadang harus diulang berkali-kali, hingga mencapai pemahaman yang utuh, ilmu yang bermanfaat, menggerakkan, menumbuhkan kebaikan-kebaikan.
Tahun berganti tahun, umur terus berkurang, sering terbersit tanya: apa saja yang sudah kupelajari sejauh ini? Hal-hal di luar teori dan kurikulum pembelajaran baku yang diajarkan semasa sekian tahun study—segala sesuatu di luar itu, ilmu-ilmu yang tak diperoleh dari sekolah atau universitas mana pun, adakah yang betul-betul kupelajari? Apakah aku selalu belajar seperti yang kusangka selama ini? Ah, ini menjadi persoalan pelik yang sebaiknya dipikirkan kembali.
Memang, untuk belajar, kadang dibutuhkan proses menyakitkan, kontemplasi pahit, refleksi-refleksi yang mampu membangunkan kesadaran, mengajakmu berbenah, hingga rela mengorbankan apa saja. Tentu demi dirimu sendiri, untuk kebaikanmu tentu saja. Sebab hidupmu harus menjadi lebih baik dengan belajar. Agar menjadi hidup yang memiliki makna. Hidup yang tak sekadar berlalu melewati sekian usia, menua, lalu mati.