Saturday 13 October 2018

Mungkin Memang Takdir


Mungkin memang takdir, kita melangkah dari titik yang berbeda menuju pertemuan-pertemuan yang sama.

Mungkin memang takdir, kita berada dalam satu ruang yang entah harus kusebut apa. Di sana kita banyak berbicara tentang apa aja. Kadang-kadang serius, sesekali begitu membingungkan dan seringkali kita pun tak tahu percakapan apa yang tengah memutus jeda.

Mungkin memang takdir, kita harus perpijak di waktu-waktu yang begitu pelik. Berjibaku dengan diam yang panjang, menerka-nerka isi kepala, lantas begitu sangsi melayangkan tanya. Kadang, jarak begitu memuakkan, namun dari sana rindu terus bertumbuh, dari hari ke hari berusaha mendewasakan perasaan.

Mungkin memang takdir, kita membuat kesalahan agar paham jika maaf adalah sesuatu yang tak boleh habis di antara kita. Sebab kita tak pernah tahu, kekeliruan apa lagi yang kelak akan menyodorkan luka, bukan?

Mungkin memang takdir, kita terjebak kepada hal-hal yang tidak pernah kita harapkan. Seperti berjalan dari ragu ke ragu, berdiam bersama segala prasangka hingga membuat kepercayaan tercabik-cabik lalu memaklumi harapan yang mendahului kenyataan.

Mungkin memang takdir, kata-kata diciptakan untuk melanggengkan sebuah cerita. Dan aku memutuskan untuk menulismu. Lagi dan lagi. Hingga waktu yang entah. Yang pasti, kau adalah catatan paling panjang yang pernah kutulis.

Tunggu, apa K-I-T-A memang bagian dari takdir? 
Aku memilih berharap sedang kau percaya pun entah.

—Makassar, di bawah langit menjelang subuh