Monday 1 October 2018

Oktober dan Hal-hal Sebelum Subuh


Selepas pukul dua belas adalah saat yang tepat untuk merasakan sepi. Begitu menurutku. 

Mungkin karena beberapa jam sebelum subuh adalah waktu paling kusuka, saat kebanyakan manusia terlelap dan dunia menjadi sedemikian sunyi. Sejujurnya aku tak pernah betul-betul merasa sepi sebab aku selalu ditemani dengan suara-suara dalam kepalaku. Di sana kata-kata selalu berisik. Keramaian yang tak mengizinkan lelap, walau sekedar datang mengetuk pintu kamarku.

Saat mengetikkan kalimat ini jam sudah menunjukkan pukul satu lewat sekian menit. Almanak 2018 sudah berganti judul. Oktober kesekian. Dan sepertinya aku semakin menyukai malam seperti aku mencintai pagi. Mungkin lebih tepat jika kukatakan tengah malam. Saat aku betul-betul menikmati apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dengan cara-cara paling sederhana seperti ....

Menyimak sebuah lagu yang kadang begitu mudah menarik ingatan menuju masa lalu. Di banyak momen yang tak pernah betul-betul kulupa dengan baik. Mendadak malam terasa begitu muram.

Menatap lamat-lamat tiap jengkal sudut kamar. Meja belajar, jejeran buku, memo yang menempel di dinding, lampu tidur, tetiba menjadi benda-benda yang begitu puitis. Bahkan detak jarum pun terdengar sangat melankolis.

Lalu, menyesap kopi. Entah sejak kapan kami begitu akrab. Seperti sahabat, kurasa. Selalu ada, bahkan di saat-saat paling burukku. Di tiap tegukannya seolah memberi satu lagi alasan untuk kembali menerbitkan kebahagiaan yang lain. Setiap kali secangkir kopi tandas, aku akan merasa lebih baik lagi. Mungkin kafeinnya tidak hanya mengusir kantuk, tapi juga membuang jauh setumpuk kecemasan dalam diriku.  

Kadang, meresapi malam membuatku seperti berjalan di tengah labirin. Aku kebingungan mencari jalan pulang dan akan terus berputar-putar hingga kelelahan. Seringkali aku hanya tersesat di alamatmu. Mengunjungi sebuah tempat yang hanya ada kita dan percakapan-percakapan panjang yang biasa membuatku lupa waktu. Kemudian aku mulai menyadari. Ruang itu sudah menjelma tempat paling sepi. Di sana, kata-kata sudah membeku bersama waktu yang terlanjur mengkristalkan ingatan. Di sana, masih menjejak kalimat-kalimat yang entah sudah berapakali kubaca. Setiap hurufnya kadang membuatku tertawa sekaligus bersedih. 

Sekarang aku seperti ingin melompat menuju satu atau beberapa bulan kemudian, melewati secepat mungkin saat-saat yang kurasa akan sangat berat. Memilih kembali bertumbuh dengan hati yang baru tak pernah mudah. Sebab perasaan yang lalu tak pernah betul-betul tanggal. Apalagi kata-kata sudah lebih dulu mengkekalkannya. Jadi, aku harus bagaimana?

Lembaran baru kali ini betul-betul buram. Namun, dari sekian banyak hal yang kuharapkan, melupamu sudah menjadi salah satunya. Impian yang begitu lugu. Keinginan yang sepertinya harus kubayar dengan begitu banyak air mata, jika memang bisa.

—Makassar, di waktu-waktu paling berisik