Friday 30 March 2018

Selesai



"Bagaimana dengan perasaanmu, apakah masih seperti dulu?" Tanyamu malam itu membuat jeda panjang pembicaraan kita.

Entah kenapa aku tak lagi mampu menjawab ya. Ragu mulai menggerogoti dada. Pelan-pelan kutenangkan perasaanku. Kuselami baik-baik, kucari jawabannya, dan untuk pertama kalinya aku tak ingin jujur kepadamu.

"Entahlah... aku tidak bisa mengatakan ya ataupun tidak. Aku tidak begitu yakin." jawabku singkat. Entah kenapa separuh diriku merasa begitu bersalah sebab terlalu takut jika kata-kataku akan menyakitimu.

Kenapa terlalu sulit mengatakan dengan tegas jika perasaanku betul-betul lenyap? Kenapa begitu berat mengucapkan bahwa perasaanku memang sudah berubah. Selesai selepas hari-hari menyakitkan berhasil kulewati. Bukankah tak ada celah untuk ragu dalam urusan perasaan. Kenapa pula di saat seperti ini aku malah menangis? Apa yang sedang kutangisi? 

Mungkin aku tengah menangisi diri yang teramat takut melukaimu. "Bukankah semestinya aku harus tega setelah apa yang kau lakukan?" Rutukku dalam hati. 

Kini kupejamkan mataku. Pelan-pelan mengumpulkan ingatan yang membuat dada sesak. Air mata mulai menganak sungai. Setiap kata yang pernah melukaiku seperti datang beramai-ramai. Seluruhnya membuatku seperti didesak untuk menjadi tega di luar nuraniku.

Malam itu, ego menang. Menepis jauh perasaan yang tak pernah ingin melukaimu.

"Sudahlah, tidak usah mempertanyakan rasa, jawabanku masih begitu." Kataku akhirnya. Kau malah membalasnya dengan kalimat yang betul-betul membuatku muak. Aku memilih tidak menanggapinya lagi. Kepalaku terlanjur pening. Kuletakkan hp dan tangis pun semakin menjadi-jadi. Ternyata, itu air mata terakhir yang mengalir karenamu.