Friday 9 March 2018

Karena Perempuan itu Rumit



Beda Nasihat kepada hafidz dan hafidzah

(Sumber : chat temen di grup WhatsApp)

Menarik saat DR. Ishom abdul aziz abdul qadir dari mesir membuka kalam di pertemuan malam itu di ma'had putri Yayasan Ibnu Katsir Jember. Kurang lebih “saya ingin tahu, kenapa kalian berada di sini, memilih ada di sini dan belajar di sini.”
Pertanyaan klasik, batin saya. Tapi saya juga benar-benar ingin tahu, apakah jawabannya juga se-klasik itu. Tepat para santriwati menjawab dengan semantap jawaban bahwa mereka ingin menjadi hafidzah, membahagiakan kedua orang tua. Simpel tapi mengena. Dan itu tidak salah. Tapi syaikh Ishom geleng-geleng, tersenyum, rupanya berharap ada jawaban lain… nah!

Saya suka gaya beliau yang ini, yang membuat saya mengejar-ngejar beliau ke ma'had putri yaa ini heheh..

Tabiatnya yang selalu detil dan berhasil menghidangkan makna terdalam dan fakta yang luput dari pikiran kebanyakan orang atas kalimat-kalimat yang beliau sampaikan dalam muhadharahnya.

“Baik saya akan beritahu kalian” lanjut beliau.
“Saya tidak akan memberikan ceramah ini kepada santri di mahad putra, mereka tidak butuh ini, singkat saja kalau dengan mereka itu khusus saya berikan ini untuk anda para wanita karena anda khas, spesial, tidak sama dengan santri putra” (semua tertawa tersanjung) sambil “cieeeeeee”...
Rahasia dari jawaban pertanyaan itu adalah, bahwa santriwati adalah perempuan, dan kelak akan menjadi istri… lalu menjadi ibu.

“ooohhhhhh” sahut seisi ruangan.

“Saya katakan kepada kalian, jika lelaki shalih mendapat istri tidak sholihah maka rusaklah anaknya, tapi jika istri shalihah, kalau pun bapaknya tidak shalih maka baiklah anaknya” beliau kisahkan perempuan-perempuan shalihah dalam Al-qur'an. Diantaranya, Asiyah, ibunda Nabi Musa, ibunda nabi Muhammad bahkan ibunda Anas bin Malik atau yang lebih kita kenal dengan nama besarnya sebagai imam madzhab yaitu Imam Malik.

Alkisah, bapak Imam Malik ini sangat mengidamkan memperistri perempuan yang cantik rupawan, maka ketika pernikahan terjadi, dan hijab sang istri dibuka ternyata dijumpainya wajah sang istri hitam dan (maaf) tidak cantik. Sang suamipun marah dan kecewa, namun ibu Imam Malik ternyata perempuan yang cerdas dan beriman sempurna, terlihat dari saat menjawab kekecewaan suami yang baru dinikahinya “sesungguhnya hitamnya wajah ini, tidaklah mencerminkan apa yang ada pada diriku, jika dapat kau lihat dalamnya hati dan isi kepalaku, dalamnya imanku sungguh akan kau ketahui secerah mentari bersinar …." di malam itu tugas sang suami pun tertunai untuk pertama dan terakhir kalinya.

Perempuan mulia hati itupun hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Anas bin Malik, Malik di sini dinisbahkan pada kakeknya dan bukan bapaknya. Ketika mendekap bayinya, sang ibu berkata “aku tidak ingin menjadikanmu artis terkenal tetapi aku akan mendidikmu dengan pendidikan Nabi.”  Dan kemudian jaman dibuat takjub dengan kebesaran nama Imam Malik dengan madzhab maliki-nya. (Wallahu a'lam). Syaikh Ishom melanjutkan

“Anda tahu? Perempuan itu ﺍﻟﻠﻪ ciptakan lebih kuat dari pada lelaki, dia temani anaknya sehari semalam sambil mengerjakan pekerjaan lain dia bisa, kalaupun marah hanya sekejap dia masuk kamar, lalu keluarlagi membersamai anak-anaknya, beda dengan bapak, (sambil menjawil penerjemah ganteng disampingnya) mengajari sedikitt jika anak tak kunjung bisa maka hilanglah kesabaran. Perempuan itu telaten dan sabar.” Sang penerjemahpun angguk-angguk, rupanya setuju, hehe.

Itulah kenapa Islam begitu meninggikan derajat perempuan…“Letak kekuatan ummat di masa depan ada pada darah yang mengalir dalam diri kalian, jika darah yang mengalir dipenuhi dengan bacaan-bacaan Al-quran maka akan menghasilkan anak-anak yang berisi Al-quran sejak lahir. Kelak mereka jika terus dididik dan dipenuhi dengan Al-quran maka akan menjadi generasi unggulan. Kuatnya bangsa dan agama ada di tangan perempuannya.” Lalu kalian tahu, tak berdaya para lelaki di dunia ini tanpa perempuan.” semua tergelak dan kompak bilang “cieeee” Syaikh pun tertawa, “haqiqan, ini benar. Kalian lihat saya, tak akan ada di dunia ini jika tidak dilahirkan oleh ibu saya, maka tugas kalian di ma'had ini benar-benar sungguh berat. Tidak hanya Al-quran yang harus kalian hafalkan dan pelajari. Tetapi ilmu fiqih, hadits, warits, aqidah dan sebagainya, harus kalian kuasai, itulah bekal menjadi ibu.” (menengok kedalam diri saya sendiri, saya malu, tidak banyak ternyata ilmu yang saya miliki untuk jadi seorang ibu) 

Beliau umpamakan lagi “Perempuan itu bagaikan bumi, bagaikan tanah, jika tanah itu bagus kualitasnya, bersih, subur tidak tercemar maka hasil bumi darinya juga akan menjadi hasil unggulan, jika kotor, tidak subur dan tercemar maka…. rusaklah hasil buminya.” Itulah yang harus kalian miliki wahai pelajar…" Maka pesan beliau selanjutnya adalah: milikilah motivasi ini, motivasi melihat ﺍﻟﻠﻪ di akhirat kelak. Agar kelak setelah menikah kalian tidak akan tenggelam dalam tumpukan baju kotor yang harus dicuci atau rumah yang selalu harus disapu atau tingkah anak-anak yang menyibukkan kalian. jika motivasi melihat ﺍﻟﻠﻪ kalian punyai maka hafalan kalian akan terjaga dan kalian akan tetap menjadi Ahlul Quran.”

Kira-kira 30 menit lebih beliau menyampaikannya, padahal beliau dari awal sudah berjanji akan menyampaikannya dengan lebih ringkas dan lebih cepat. Karena sudah padat agenda dan masuk waktu istirahat. Faktanya, walaupun waktu molor, kami semua menikmati bahkan merasa kurang atas mauidhoh yang beliau sampaikan, dan saya yakin itu semua karena memahami perempuan itu memang rumit, serumit menjadi seorang perempuan #eaaa .... Tapi jangan sedih dan merasa berat menjadi perempua, kalaupun rumit haditsnya tidak berubah: “surga itu di bawah telapak kaki ibu.” 

----
Pagi ini saat scroll laman tumblr saya menemukan nasihat ini. Refleks betul-betul membuat saya terenyuh, merasa tertampar dengan kata-kata. Sebuah tulisan memang terkadang lebih menyentuh dibanding mendengarnya langsung (menurut kebiasaan saya) And then, saya merenungi diri yang sepertinya semakin hari malah kian merangkak memperjuangkan muraja'aah hafalan. Seperti ada badai yang berhasil menghempaskan saya ke sebuah pulau asing tuk mengadili diri sendiri. Nurani mengetuk kesadaran, pelan-pelan membangunkan ingatan tentang mimpi yang pernah begitu semangat diperjuangkan. Beberapa tahun lalu ... Masa-masa yang paling sering mengundang rindu.

Saya iri dengan mereka: teman-teman yang berhasil mengkhatamkan 30 juz sedang kami sama-sama lulus di satu jenjang pendidikan MTS (setingkat SMP). Bedanya, mereka tak merasakan suasana belajar di kelas sebab setiap hari hanya berkutat mengejar target hafalan quran. Lalu kami? Tentu saja berada di sekolah; belajar enam hari seminggu. Sesekali kami bertemu, entah itu saat berada di mesjid salat jama'ah, di dapur saat makan bersama atau pun rutinitas lain yang mengharuskan kami bergabung bersama (mereka:santri tahfidz dan kami santri reguler yang target hafalannya hanya 1 juz tiap tahunnya). 

Kelas 1 Aliyah (SMA; red), saya memutuskan meninggalkan sekolah, memilih mengejar 30 juz dengan begitu semangat. Alasannya saya sangat termotivasi melihat mereka yang berhasil merampungkan 30 Juz dan disebut-sebut "khafidzah"... Kala itu mimpi besar saya hanya jadi khafidzah, sama seperti beberapa kakak perempuan yang sangat mendukung langkah saya, ditambah dengan mama yang memang sangat senang dan begitu menyemangati saat saya mengutarakan keinginan tuk menjadi santri tahfidz dengan risiko meninggalkan sekolah.

Setelah itu, saya merasa hidup saya betul-betul berubah banyak. Penuh dengan kejutan dan pengalaman berharga—sepanjang perjalanan memperjuangkan mimpi itu. Dan hari ini, di tengah kegalauan saya memikirkan judul proposal skripsi tetiba saya sadar: Yang lebih penting tuk saya lakukan adalah menjaga apa yang pernah saya dapatkan. Karena hidup hari ini adalah penentu hidup kelak. Hidup yang tak fana; akhirat. Tempat mempertanggung jawabkan segala hal yang pernah kita lakukan di dunia. Seharusnya saya lebih menggalaukan hafalan yang hilang :"

--Makassar, pagi ini. Hari Jumat yang semoga penuh berkah