Saturday 28 April 2018

Berhenti



Kadang, sebuah langkah harus berhenti tiba-tiba. Tentu dengan sebuah alasan beserta rasa tidak rela melepaskan yang akan mengusik ketenangan. 

Lantas, bagaimana mengatasinya?

Aku hanya meneguhkan hati, bahwa keputusanku adalah yang terbaik. Saat aku merasa betul-betul tak sanggup lagi, entah ini hanya pembelaan kurang mendasar dari bentuk ketidaksanggupanku, atau memang batasku hanya sampai di sini; loser.

Ketika daya juang melemah, tekad baja sedang berada di ujung tanduk dan pikiran yang mulai mempertanyakan tanggungjawab lain. Sebuah dilema: aku mesti memilih sebuah prioritas agar fokus tidak terpecah. Seharusnya demikian daripada seperti ini; uring-uringan, overthinking hingga mengabaikan kepentingan yang lain. Manajemen waktu memang tidak mudah, apalagi untuk seseorang yang mudah bosan, plin-plan dan selalu kesulitan menyelesaikan apa yang terlanjur dimulainya.

Kontemplasi yang lumayan lama menghasilkan sebuah konklusi sederhana namun rumit. Kontradiksi yang memuakkan. Sungguh, ini akan betul-betul sederhana jika saja kepalaku bisa sedikit lebih diam untuk tak lagi meributkan keputusanku sendiri. Seperti perdebatan antara ego dan nurani. Antara benar dan salah, yang seharusnya dan tidak semestinya. Dua pilihan dengan ragam risiko. Kecewa dan sesal seperti menanti di akhir perjalanan. Lalu, masihkah semua akan baik-baik saja saat kukatakan dengan tegas “lebih baik berhenti. Sekarang juga?”  

“Tidak”. Bisik batin merasa tidak pernah ada yang baik-baik saja saat melepaskan. Terlebih jika sudah terlanjur berjuang. Sama saja mendaki lalu jatuh sukarela sebelum tiba di puncak. 

Ternyata, sesulit itu sebuah komitmen.

--Makassar, dan sebuah dilema