Saturday 28 April 2018

Review Singkat Catatan Juang



Selalu saja ada satu hari dalam hidupmu di mana segala masalah menumpuk. Kau peras otakmu hingga kering, namun tidak ada ide penyelesaian yang keluar. Inspirasi tak jua menghampiri. Lalu ketika kau kira masalah takkan bertambah banyak, tiba-tiba datang lagi masalah-masalah baru. Dan kau hanya bisa menunduk di ujung dunia. Kita sama. Aku tahu rasanya, terluka dan hilang arah, rapuh dan terjatu..., lantas berpura-pura bahwa semua baik-baik saja agar mereka tak perlu banyak bertanya. (Halaman.284) 

Siapa pun kita pasti pernah berada di titik yang begitu pelik; entah karena urusan asmara, pertemanan, keluarga atau pun masalah pekerjaan. Saat hidup terasa tak lagi memiliki daya tarik sama sekali, seolah kita tak lebih dari sekedar bertahan untuk tetap menjalani hidup sebab alasan yang sangat klise: bunuh diri bukan solusi. 

Demikianlah yang namanya kehidupan, tak melulu tentang kebahagiaan tapi juga kesedihan, penderitaan dan tentu saja serangkaian ujian yang akan memaksa manusia memilih antara bertahan atau justru menyerah. 

Buku ini membuat saya berpikir lama dan dalam. Tentang kehidupan beserta segala probabilitas dan kenyataaannya. Bahwa dunia memang tidak sesederhana yang terlihat. Selalu saja ada rahasia-rahasia yang terselip dari setiap peristiwa ataupun cerita. Pun, orang-orang yang kita temui, tentu memiliki benang merah dengan kehidupan kita. Entah berkaitan erat atau hanya sekedar bersinggungan sebentar. Seluruhnya seperti teka-teki yang harus dicari jawabannya; dengan merenung, berkontemplasi dan tentu saja dengan membaca. Bukan sekedar membaca kata, tapi juga keadaan sekitar atau mungkin juga membaca tingkah laku orang-orang yang kita jumpai. Diam, perhatikan baik-baik, temukan pelajara juga pemahaman baiknya. 

Seperti dua buku sebelumnya, gaya menulis Fiersa membuat saya nyaman mencerna gagasan-gagasan yang disampaikan dalam tiap paragrafnya. Saya betul-betul menikmati alur cerita ataupun quote-quote bijak yang tersebar dari awal hingga ke lembar-lembar terakhir. Beberapa bagian lumayan mengaduk perasaan saya; sesekali terenyuh, senyum-senyum sendiri, bahkan sempat turut merasakan emosi dari konflik cerita. Saya sangat setuju yang dikatakan Suar, tokoh utama dalam cerita: “catatan Juang seperti obat kuat” kata-katanya memang seperti suplemen penambah semangat kala semangat hidup sedang merangkak menuju garis finish. Buku ini betul-betul memotivasi dengan cara yang mengasyikkan.  

Bialah yang terluka menikmati waktunya. Biarlah yang bahagia lupa bahwa kelak mereka akan kembali terluka. Dan di sela-sela semua, bersyukurlah. Hati kita buatan Tuhan bukan buatan Taiwan. Bisa rusak berulangkali tanpa perlu dibawa ke bengkel. Jangan khawatir, bahkan badai terhebat pun pasrti akan reda. (Halaman.285)