Saturday 21 October 2017

Coret-Coret Tentang Perasaan


Belakangan aku punya kebiasaan baru. Menulismu; sesuatu yang terjadi begitu saja sejak kata “kagum” kusematkan untukmu. Aku memang suka menulis, tapi admit it, aku hanya menulis sesuatu yang menurutku penting atau berkesan. Cerita-cerita yang tak ingin kulupa seiring waktu berganti dan kian bertambah banyaknya kenangan yang mengendap di kepalaku. 

Memori manusia tidak dirancang tuk mengingat segala hal, maka dengan menulis aku ingin membuat segala tentangmu terabadikan dalam catatan yang kutulis di halaman ini. Aku menulis ini untuk mengarsipkan perasaanku. Sesuatu yang tak pernah mampu kukatakan.

Oktober basah. Persis seperti tahun-tahun sebelumnya. Penuh hujan. Aku menyukainya meski kutahu betul, jika rintiknya selalu saja membuat suasana sendu, serta merta membangunkan jiwa melankolisku. Seolah tak ingin melewatkan sedetik pun bulir hujan yang menitik kaca jendelaku, demikian dengan kenangan, perasaan yang tak ingin sekedar mengendap di kepala, ia ingin ternarasikan dalam lautan abjad. Maka, aku menulis sebab aku tak pernah ingin melewatkan perasaan yang pernah hadir. Tak peduli meski dada disesaki pilu. Tak apa, toh dengan merajut kata aku bisa merasa sedikit lega, walau beberapa kali mataku tak kuasa tuk menahan tangis.

Pertama, Sahabatku sudah bosan mendengar banyak curhatanku tentangmu. Ia mungkin menganggapku perempuan paling labil yang sangat sulit berkompromi dengan perasaannya. Atau juga seperti gadis bodoh yang terperangkap dalam ilusinya karena rasa kepada seseorang yang sepertinya sudah membakar namanya dan tak sekedar lebih dari menganggapnya sebagai lelucon. Entahlah. Aku lebih suka berspekulasi dengan segala kemungkinan terburuknya sebab menyusun asumsi baik kadang terlalu menyakitkan.

Aku berkilah jika aku tak peduli lagi, namun faktanya tetap saja pikiranku masih berputar di poros yang sama. Entah kenapa, yang kutahu aku sudah penuh dengan kesibukan dan setumpuk prioritas tapi lagi-lagi entah bagaimana kau tetap saja bagai hantu yang tak kulihat dengan mata tapi mampu kurasakan dalam bentuk ketakutan, penyesalan dan mungkin juga berbagai kekhawatiran yang tak tahu bagaimana mereduksinya. Beberapa waktu lalu aku memilih melenyapkan diri dengan cara yang menurut temanku crazy, tapi begitulah, aku hanya mencoba berusaha tuk keluar dari zona penuh tanya yang pertanyaannya pun kurasa tidak ada, apalagi jawabannya. Ah, sepertinya aku mulai memperumit kalimatku. Tak apa, cukup aku yang paham karena aku menulis untuk diriku sendiri, tapi jika seseorang bisa mengambil pelajaran dari tulisanku, itu lebih baik lagi.

Kedua, Satu hal yang tak bisa kupahami; pada jarak yang tak pernah bisa kujangkau, entah kenapa harapku masih bertahan, meski dilukai dengan kenyataan pahit yang betul-betul membuatku merasa kurang waras. Sebuah tanya menyergapku “Apa ini karma?” Ya, dulu saat hidupku belum sampai di sini, beberapa temanku sempat curhat tentang perasaannya dan aku dengan penuh kesoktahuanku (tak mengerti betul perasaanya) kadang malah men-judge mereka sebagai perempuan cengeng dan lemah hingga melemparkan kata-kata; jangan baperan, jangan galauin dia, jangan kegeeran, jangan bersikap seolah hanya dia satu-satunya laki-laki di dunia ini, move on sayang!

Lalu sekarang, bagaimana dengan aku? Yang berulangkali menertawakan diri. Menyebalkan sekali perasaan ini, walaupun katanya fitrah tetap saja merepotkan. Aku tak pernah suka kepalaku yang sudah overthinking malah ditambah beban absurd tentang rasa. Aku menjadi seperti bukan diriku atau mungkin aku memang sudah kehilangan diriku sendiri. Yang kedua lebih tepat sepertinya. Ya, kata sahabatku; Who knows, perempuan sedingin, selogis kamu akhirnya kalah dengan perasaannya sendiri dan mengaku retak juga ternyata” refleks membuatku tertawa saat membaca kalimatnya itu. Hmm. And then, berhari-hari aku berkontemplasi tentang ini hingga akhirnya aku merasa baikan dan memutuskan tuk kembali seperti biasanya sekaligus menguji apa memang aku sudah bisa kembali seperti biasa?

Dan yang terjadi kemudian, rasanya menyedihkan, meski aku tetap bersyukur sebab karena musibah seperti inilah yang kembali membawaku ke fase lebih religius lagi. Aku berusaha melarikan diri dari kegaulanku. Seperti yang selalu kukatakan saat ada teman yang curhat ingin move on: “Dekatkan diri dengan yang Maha membolakbalikkan hati manusia, sibukkan diri dalam kebaikan, pelan-pelan perasaanmu pun pasti akan reda.” Menasihati orang lain selalu mudah dibanding menasihati diri sendiri. Meskipun begitu aku tetap memilih mengikuti nuraniku bahwa jika memang kedok perasaanku adalah cinta bukan kagum maka prinsipku tetap sama: let it flow, aku hanya perlu menjadi lebih baik lagi. Hal yang kubenci mati-matian ini harus kusulap menjadi sesuatu yang positif seperti lebih sibuk lagi dengan banyak kebaikan, lebih produktif nulis, lebih semangat mengejar mimpi dan mungkin sebentar lagi aku betul-betul akan memulai kembali dari nol proyek menulis buku yang sempat terbengkala gara-gara laptop yang rusak. 

Hmm ... rasanya makin ke sini aku merasa excited sendiri meski kutahu jika beberapa saat ke depan galau bisa saja datang setiba-tiba hujan,  but it doesn’t matter, aku hanya perlu lebih aware lagi menyikapi perasan.

Terakhir, sebelum tulisan ini semakin keluar jalur, aku hanya ingin mengatakan; terima kasih dan maaf. Terima kasih sudah hadir sebagai perasaan anomali yang kubahasakan dengan sangat panjang. Terima kasih menjadi inspirasi untuk banyak tulisanku, terima kasih untuk seluruh pelajaran yang bisa kupetik dari percakapan kita, terima kakasih untuk acuhmu, cuekmu dan begitu banyak sikapmu yang membuat moodku betul-betul kacau. Maaf untuk waktu berhargamu yang kau relakan tuk sekedar membalas pesanku, maaf untuk seluruh sikap tidak baikku, juga kata-kata yang mungkin membuatmu tidak nyaman atau ilfeel, maaf untuk banyak pertanyaan recehku. Ketahuilah itu hanya cara bagaimana agar aku paham jika kau memang sedingin itu, secuek, semenyebalkan itu se, se etc. wkwkw~

Pada akhirnya aku hadap diri, sadar sesadarnya, siapa aku yang lancang ingin menujumu? Menjadi pihak yang mengagumi memang tak mengenakkan. Tiba-tiba aku merasa bersalah kepada beberapa orang yang sempat mendekat, (maafkan bahasa alayku) yang lebih sering kuabaikan, pura-pura tidak peka dengan berusaha mengalihkan pembicaraan atau menyudahinya saja dengan kata-kata pahit; sorry, aku punya prioritas jadi jangan berharap bisa dibalas on time ... maklum grupku lumayan banyak jadi chatmu tenggelam, bla bla, hingga tahap tersadisnya ada yang langsung kuhapus tanpa merasa perlu membacanya atau kuarsipkan, kapan-kapanlah baru kubaca (kubilang ini cara untuk tegas, tapi setelah kupikir-pikir ini lumayan jahat).

Kututup tulisanku dengan kutipan dari salah satu teman tumblrku:

“Berseraklah rindu yang tak sepantasnya bertabur untukmu. Sebab kau bukan kekasihku. Seringkali aku ingin mengumpat rasa yang sempat terpahat. Melihat harap yang tak kuasa berpijak. Sebab kau bukan kekasihku. Kau yang sempat menjadi asumsiku. Kerap kumenelan rindu yang tak layak terucap. Dan melebur dalam satu dekap. Seringkali aku ingin kembali tanpa rasa tapi arahku terperangkap. Tersesat di lingkaranmu. Bahkan mata angin pun menolakku kembali. Kita ditakdirkan dari kutub yang amat berbeda. Dosakah aku mengagumimu? Meski kau bukan kekasihku. Bahkan rintik hujan menolak-Tak sudi menghantam tubuhku. Yang tak mampu kau terka.

Terlepas dari sempurna atau tidaknya dia yang mengagumi tanpa memilikimu, berilah sedikit kebebasan untuk membuatmu tersenyum, dengan itulah kau dapat menghargai setiap usahanya.

Tulisan dari @Badutcerdas; teman tumblr yang sempat mengatakan aku tidak peka kalo sama cowok + dengan julukan miss typo. yang kedua kayaknya emang fakta, wkwk

*(Btw, ada yang sempat mengatakan jika tulisanku tipe abege galau, mahasiswa yang lagi patah hati dan mencari jati diri--bener gak nih? Haha, entahlah... Pembaca memiliki kebebasan menilai dan menafsirkan.