Saturday 21 October 2017

Review: Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi

Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi Sajak Penghuni Surga: Kumpulan Puisi by Wawan Kurn
My rating: 5 of 5 stars

Untuk seseorang yang baru saja mengaku sebagai penikmat puisi, buku sajak penghuni surga sepertinya berhasil mereduksi keengganan saya untuk membaca lebih banyak lagi buku-buku puisi-malah sepertinya saya mulai ketagihan. Sebelumnya saya sempat membaca beberapa buku puisi koleksi sahabat saya yang sudah lama menjadi pecandu puisi. Sesuatu yang kadang tidak bisa saya pahami “Bagaimana mungkin ia sangat menyukai sekumpulan kata dipenuhi metafora-metafora atau pun diksi yang meliuk-liuk-yang bilang begini maksudnya begitu (meminjam bahasanya Sapardi) hal yang rasanya lebih tepat saya katakan ambigu atau abu-abu? Entahlah... Sepertinya puisi memiliki daya magis yang slalu berhasil menghipnotis para pembacanya.

Januari lalu saya iseng membeli buku puisi hujan bulan juni karya fenomenal Sapardi yang kemudian malah membentuk pandangan saya tentang puisi bahwa: puisi hanya diperuntukkan untuk mereka yang memang tingkat kecintaannya terhadap sastra di atas rata-rata, serta merta semakin membuat minat saya terhadap puisi menguap. Maklum, saat itu saya hanya mampu membaca beberapa lembar hujan bulan juni dengan kening yang berkerut “ini kok maksudnya apa yaa? Ini kenapa redaksi katanya begini, etc--lalu akhirnya saya menyerah dan menyimpannya sebagai satu-satunya buku puisi milik saya. Oke stop, sepertinya ini semacam prolog antara saya dan puisi yang lumayan panjang.

Back to buku Sajak Penghuni Surga.
Akhirnya saya kembali membaca buku puisi setelah lumayan lama tidak bersinggungan dengan puisi-saya memang lumayan menghindarinya karena saya lebih senang dengan prosa atau novel. Lalu saat “Sebelum Sendiri” Aan terbit, saya ikut pre order dengan niat membelinya sebagai hadiah untuk sohib saya yang tadi. Singkatnya sebelum berpindah tangan, saya berhasil menamatkannya karena bukunya memang lumayan tipis dibanding hujan bulan juninya Sapardi. Saya lumayan menikmatinya meski masih dengan kesoktahuan saya yang lebih banyak tidak tahunya. Saya pun sempat menulis beberapa kata yang rasanya terlalu singkat untuk sebuah review di goodreads. Maklum, saya belum pernah sekalipun mereview buku puisi, dan buku Sajak Penghuni Surga ini adalah buku puisi pertama yang coba saya review dengan lumayan panjang. Anggap saja saya sedang belajar keluar dari zona nyaman yang selama ini hanya suka mengulas novel.

Membaca sajak penghuni surga membuat saya merasakan euforia kata-kata yang dikemas dalam bait-bait puisi. Jika sebelumnya saya lebih banyak bingung-nya (saat melahap buku puisi), di buku ini sepertinya saya justru lebih banyak senyum-senyumnya, seolah saya menangkap betul makna yang tersirat di antara kata-kata dalam sajak penghuni surga.
Menurut salah seorang penulis, pembaca bebas menginterpretasikan setiap tulisan-termasuk puisi yang sifatnya subjektif. Bisa jadi pembaca menganggap begini sementara maksud penulis justru begitu. Ya, setiap orang pasti mempunyai pandangannya sendiri-dan kurasa perbedaan interpretasi tak perlu dipermasalahkan, karena setiap kita pasti punya caranya sendiri untuk menikmati sesuatu, right?

Finally, saya betul-betul menikmati buku ini hingga di beberapa bagian harus saya selipkan bookmark. Dan juga, sedikit demi sedikit pikiran-pikiran saya yang dulu terlalu objektif menjudge puisi mulai mereda.
“Adonis pernah mengatakan jika awal mula puisi lahir diantara keheningan dan kata-kata. Sepenggal kalimat dari kata pengantar penulis refleks membuat saya ber-iya dalam hati-saya sepakat. Saya sangat setuju sebab saya yang masih pemula ini sepertinya betul-betul butuh keheningan jika ingin mencoba menulis puisi-pun termasuk saat membacanya.

Dan seperti yang dibahasakan penulis di cover belakang buku bahwa baginya puisi adalah surga dan pembaca adalah penghuni yang diharapkan dapat membuat pembaca membuka ruang baru, sesuatu yang mampu memberi kesan hingga para pembaca menjadi puisi yang sesungguhnya. Wah, apik! Faktanya saya memutuskan membeli buku ini karena penggalan kalimat yang tadi berhasil membuat saya tertarik-terlepas dari alasan jika dari dulu saya cukup penasaran membaca puisi penulis dalam bentuk buku (selama ini saya hanya sebatas membaca via maya di Medium).

Overall senang skali bisa membaca dan menikmati kumpulan puisi ini hingga memberi lima bintang karena beberapa puisi dalam buku ini sepertinya betul-betul membuat saya menemukan sesuatu yang baru-dan juga saya slalu suka dengan pilihan judul tiap puisinya, meski di beberapa judul saya pun masih penuh tanda tanya.

Satu hal yang paling saya sukai adalah bagaimana penulis begitu lihai merangkai kata dan memilih diksi yang tepat-yang jika dibaca sekilas, nampak kata-kata yang digunakan sederhana tapi maknaya betul-betul deep skali. Seperti di puisi Mimpi kekasihku, di situ saya sadar bahwa puisi adalah media yang tak sekedar mewakili perasaan-perasaan terpendam tapi juga sangat cocok sebagai wadah yang menampung keresahan penulis tentang isu-isu kehidupan lebih luas lagi.

Dari 73 puisi, favorit saya lumayan banyak: Ajaran sapardi belum kuselesaikan, Belajar menulis puisi, Aku menulismu, Kebahagiaan penyair, Mendengar hujan pukul 12 malam, dan tak ketinggalan juga Mengenali kegilaanku-membaca seluruh puisi dalam buku ini membuat saya seperti tersesat di labirin kata dan menemukan jalan keluar ternyata tidak menyenangkan. Ah, buku ini semestinya lebih tebal lagi.