Di
catatan yang lalu aku pernah menuliskan jika ternyata usia seperti jebakan
waktu berupa sekumpulan dilema yang tak kunjung usai seiring berkurangnya jatah
umur manusia. Aku sering mengatakan jika inilah fase quarter life crisis yang terlalu
dini. Di umur yang baru saja beranjak dari 20 aku merasakan banyak perubahan
drastis, baik urusan yang mungkin terlihat receh hingga yang betul-betul
serius.
Pertama; Perkara amalan atau ibadah dan hal-hal yang menyangkut
masa depan nanti selepas kehidupan di dunia tentunya. Entah tepatnya sejak
kapan, aku slalu disesaki dengan banyak pertanyaan seputar kematian. Gimana kalo esok waktu
kematianku? Apa kabar amal-ibadahku-sudah cukup kah tuk membeli tiket surga?
Hingga yang membuatku nyaris frustasi “katanya kamu mau khusnul khatimah (sebaik-baik akhir) tapi kok malah
malas-malasan-masih sering lalai-bagimana jika di detik kesia-siaan itu malaikat
maut malah datang menjemput? Doa harus berkolerasi dengan usaha, yaa
kan? Demikianlah aku
merasa dalam kegamangan juga sangat kalut-tapi syukurlah hal seperti ini bisa
menjadi pemantik semangat untuk tidak berleha-leha lagi. Pelan-pelan membuatku
mulai menata kembali skala prioritas dan mempertimbangkan banyak pilihan.
Perinsipku “piilihlah hal yang
membuatnu nyaman dan kian mendekatkanmu dengan-Nya.”
Kedua; Fenomena horror: Nikah. Ekhem… Tentang ini memang
sempat beberapa kali terbersit di kepalaku-perihal “apakah menggenap itu memang harus?” Di satu sisi aku
sepenuhnya yakin jika nikah adalah hal yang memang kudu harus terlepas dari perintah
agama, tapi karena memang untuk masa depan yang lebih baik. Apalagi kala melihat
fakta sekitar; teman seperjuangan satu persatu mulai melepas status jomblonya.
Sejak tamat hingga kini, jumlah kami semakin berkurang-bahkan ponakan kami
sudah lebih dari selusin membuat grup whatsapp lebih ramai dengan percakapan-percakapan emak-emak
muda yang kadang kami (para jomblo) menjadi korban bulyan pertanyaan kamu kapan nyusul? Udah ada calon
gak? duh, mereka seolah tidak memahami kondisi kami yang
notabenenya masih mahasiswa, jelas kita sibuknya masih seputar kuliah, nikah kapan-kapan ajaa deh, wkwkw.
Sempat ada yang galau dengan kalimat “mereka udah bahas anak, nah kita?” Hm... btw, soal anak, kurasa itu hanya satu
dari sekian banyak topik yang menarik kok-apalagi untuk perempuan single
seperti kami. Gak usah baper menanggapi mereka yang bahasannya tidak bisa kita
jangkau. Lagian, gak perlu risau, soal jodoh.
Kata bang Tere ia yang terbaik akan datang di saat paling tepat atau di waktu terbaiknya. Dan juga, menikah bukanlah perlombaan siapa yang cepat dia yang menang, iyaa kan? Aku menyetujui dalam hati pikiran random seperti ini. Setuju yang kadang terganggu dengan perspektif lain yang seolah menolak, misal: tapi gimana kalo telat nikah? Kan kasian anaknya nanti pas dewasa ibunya dah tua, sedangkan yang nikah lebih dulu jelas anaknya dah lebih dewasa, wkwk. Lalu kemudian aku mikir lagi “kayaknya asik tuh single aja seumur hidup soalnya ngurus diri sendiri aja kadang rempongnya luar biasa-apalagi jika sudah melihat fakta kehidupan rumah tangga yang lumayan susah-banyak ujian dan rintangannya meski tatap ada manis di beberapa bagiannya, yaa kan hidup emang balance, right?
Kata bang Tere ia yang terbaik akan datang di saat paling tepat atau di waktu terbaiknya. Dan juga, menikah bukanlah perlombaan siapa yang cepat dia yang menang, iyaa kan? Aku menyetujui dalam hati pikiran random seperti ini. Setuju yang kadang terganggu dengan perspektif lain yang seolah menolak, misal: tapi gimana kalo telat nikah? Kan kasian anaknya nanti pas dewasa ibunya dah tua, sedangkan yang nikah lebih dulu jelas anaknya dah lebih dewasa, wkwk. Lalu kemudian aku mikir lagi “kayaknya asik tuh single aja seumur hidup soalnya ngurus diri sendiri aja kadang rempongnya luar biasa-apalagi jika sudah melihat fakta kehidupan rumah tangga yang lumayan susah-banyak ujian dan rintangannya meski tatap ada manis di beberapa bagiannya, yaa kan hidup emang balance, right?
Di
rumah kadang aku memperhatikan kakak ipar yang super sibuk ngurus cucian
pagi-pagi, menyetrika, masak-ia bahkan harus bangun tengah malam saat si bungsu
menangis dan seabrek perjuangan jadi seorang yang sudah berumah tangga-kadang
membuatku bergumam dalam hati hmm… rempong banget yaa jadi ummi. Kalo masih
sendiri kan simpel, pas lagi malas akibatnya tanggung sendiri tapi kalo sudah
berumah tangga sepertinya akibatnya bisa sangat fatal-sudah pasti akan banyak
pekerjaan yang terbengkala serta merta akan berimbas ke anggota keluarga yang
lain; kasian kan kalo mamanya malas masak malas beberes rumah, malas ini dan
itu, (imajinasiku sepertinya terlalu
jauh, wkwk) oke, cukup bagian yang ribetnya.
Sesukar
itu menjalani kehidupan rumah tangga tentu ada juga manis-manisnya. Seperti
saat menyaksikan mereka tersenyum bahagia dengan hal-hal sederhana: makan
bareng dengan walau dengan menu tempe goreng dan sayur bening ditambah sambal
atau saat acara keluarga mereka kadang mengenakan seragam atau baju couple
istilahnya, nah kelihatan adem banget pas sesi foto-foto, uhukk… Belum lagi saat moment; brother yang slalu rela mengganti pekerjaan kakak ipar di
saat-saat tertentu yang cukup mendesak (mengurus ponakan yang pup, menggendong
si bungsu saat nangis, mencuci hingga menjemur, etc) wah, anak mama memang
suamiable yaa, haha.
Terlepas
dari seluruh bayang-bayang di atas kurasa aku tidak usah worry, karena tidak ada jaminan
kan, kalo aku masih hidup esok-hingga nikah-bisajadi ajal lebih dulu bertamu,
who knows hal rahasia tentang perkara takdir? Intinya sih seperti kata
Tere Liye ; “Jangan
berkecil hati jika teman-teman kita sudah menikah semua, kita belum juga.
Teruslah memperbaiki diri, diniatkan sungguh-sungguh, berdoa agar diberikan
yang terbaik. Tenang saja, yang terbaik slalu disimpan paling belakangan. Lihat
saja di film-film jagoan slalu muncul paling akhir. Mungkin jodoh kita
demikian.”
Lalu
muncul lagi suara lain di kepalaku;
Bagaimana jika dengan tidak menikah kita justru lebih produktif atau bisa lebih
berguna untuk banyak orang? Bukankah menjadi istri hanya salah satu jalan lain
menuju surga? Gak nikah tetap ada pintu-pintu lain menuju sebaik-baik tujuan
kelak, yaa kan? Dan juga masih banyak contoh perempuan hebat yang single sampai
mati tapi dikenang sepanjang masa? Tapi kan katanya kalo istri cukup taat sama
suami, puasa ramadan, salat lima waktu maka baginya surga? Hmm… Entahlah,
lama-lama menulis bagian ini aku malah ngakak sendiri, #Lol
Ketiga; Masalah pendidikan. Beberapa waktu lalu aku
mengikuti NIEC Education Expo 2017 yang diadakan di empat kota; Bali,
Yogyakarta, Tanjung Pinang dan Makassar. Awalnya aku sekedar iseng mendaftarkan
diri sebagai peserta modal rasa ingin tahu, penasaran ditambah karena
acaranya free, tak
berbayar sepeser pun jadi why
not? Lumayan untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan baru juga
teman baru. And then, selepas konsultasi pendidikan pikiranku kembali ke
fase overthinking: Kalo selesai
sarjana sepertinya harus S2 dulu. Tapi bagaimana jika tidak dapat izin mama? Duh,
bukannya S2 lebih susah lagi? Apa aku mampu? dan
berbagai pertanyaan lain yang malam itu lumayan menyesaki kepala.
Ujung-ujungnya malah berdamai dengan diri sendiri; sudahlah, tidak usah terlalu
dipikirkan, jalani saja hari ini-dan hari-hari berikutnya dengan
sebaik-baiknya.
Keempat: Tentang hobi dan pekerjaan. Kalo sudah sarjana mau
ngapain raa? Hmm.. ini lumayan bikin dilema juga. Kadang aku bertekad mau fokus
ke pendidikan-lanjut S2, jadi perempuan bertitel Master sepertinya pilihan yang
tepat-sekalian aku berkesempatan kembali menjadi mahasiswa yang pastinya harus
lebih baik lagi dibanding saat S1. Tapi ada lagi bayangan yang mungkin juga
termasuk pilihan yang tepat, tak kalah menantang dibanding berkutat dengan
dunia kampus; cukup jadi ibu rumah tangga, mendidik anak dengan sungguh-sungguh
sambil tetap ngeblog, nulis di tumblr, medium seperti sekarang, btw, entah
kenapa mengetikkan kalimat ini trasa menggelikan, haha.
Tapi
pada akhirnya kembali lagi ke hakikat takdir yang super rahasia-mungkin saja
umurku tak sampai ke situ. So, lakukan saja apa yang membuatmu nyaman dan
menjadikanmu kian dekat dengan-Nya agar jalan menuju Jannah dimudahkan.
The last yang lumayan bikin resah belakangan ini; tentang
pergaulan. Setelah semester enam berlalu juga usia yang kini bukan lagi teenage, aku sadar (sebenarnya
dari dulu, tapi tak begitu peduli-mungkin karena terlena dengan asiknya punya
banyak teman baru-entahlah) mengapa dulu mama sangat susah melepas anak
perempunnya kuliah. Kakak perempuanku mendapat izin setelah banyak pertimbangan
dan tentunya dengan beberapa syarat, seperti mereka kuliah tapi menetap/tinggal sebagai salah satu anak asrama tahfidz yang
merupakan salah satu program menghapal Quran yang tersedia di universitasnya. Dengan begitu, kurasa mama lumayan lebih tenang karena mereka jelas
harus hidup tidak hanya menanggung tanggungjawab sebagai mahasiswa tapi juga
sebagai anak tahfidz dengan segala peraturannya.
Nah
bagaimana dengan aku? Hem… Sepertinya bagianku sudah kutulis di postingan
sebelumnya. Yaa, akhirnya aku paham betul kekhawatiran mama saat memutuskan
memberi izin anak perempuannya kuliah-jauh dari jangkauannya. Setiap ingin
kembali ke Makassar setelah libur, mama tak bosan berpesan; padecengi paringgerrangmu (Perbaiki
ingatanmu; Banyak-banyak mengingat;red) nak, anak perempuan itu seperti
telur-jika jatuh-pecah tidak akan kembali menjadi utuh seperti sedia kala. Jaga
diri, jaga jarak dengan laki-laki, jangan keluar rumah jika tidak ada urusan
yang betul-betul penting.” Demikian, kata-kata yang sudah kuhapal
di luar kepala sebab entah sudah berapakali terlontar dari bibirnya.
Mengingat
pesan berulang mama membuatku lebih aware lagi menyikapi pergaulan. Dan
ini honestly, never be easy.
Alasannya jelas; aku lumayan was-was karena sebagai makhluk sosial apalagi di
lingkungan kuliah, yang mana campur baur dengan lawan jenis tak terelakkan
dengan dalih menuntut ilmu. Tantangannya so hard; aku harus extra menjaga
batasan-batasan pergaulan dengan syar’i: Usahakan tidak ikhtilat jika tak ada kepentingan, jaga intensitas
chat/komunikasi langsung dengan lawan jenis, berduaan tidak boleh, jaga
pandangan, jangan baper dengan kebaikan lawan jenis, etc-yang betul-betul
membuatku pusing sendiri.
Ribet. Menjaga prinsip di tengah godaan-godaan seperti ini adalah perjuangan atau jihad yang rumit. Di situ kadang ada sesal, kenapa yaa dulu aku tidak memilih kuliah di tempat yang perempuan dan laki-lakinya dipisah? Sudahlah, namanya juga pilihan slalu penuh risiko dan juga nasi sudah jadi bubur, sisa dinikmati kelezatannya tapi jangan lupa cuci piring setelahnya (gajee ah).
Ribet. Menjaga prinsip di tengah godaan-godaan seperti ini adalah perjuangan atau jihad yang rumit. Di situ kadang ada sesal, kenapa yaa dulu aku tidak memilih kuliah di tempat yang perempuan dan laki-lakinya dipisah? Sudahlah, namanya juga pilihan slalu penuh risiko dan juga nasi sudah jadi bubur, sisa dinikmati kelezatannya tapi jangan lupa cuci piring setelahnya (gajee ah).
Tugasku
hanya perlu bertanggungjawab dengan pilihanku; menyelesaikan kuliah tanpa
mengabaikan tentang batas pergaulan. Solusi paling tepat saat ini adalah
menemukan teman yang se-frekuensi, yang bersamanya aku bisa lebih semangat
menjauhi titik-titik yang bisa berujung dosa. Syukurlah, aku memilikinya.
Teman-teman seperjuangan jaman santri yang meskipun tak sejurusan atau sekampus
kami tetap bisa saling berkomunikasi, saling mengingatkan dalam kebaikan. Alhamdulillah. “Maka nikmat Tuhanmu yang
mana lagikah yang kau dustakan?
--Makassar, dalam dilema yang panjang