Saturday 21 October 2017

Bayang-Bayang Masa Depan



Di catatan yang lalu aku pernah menuliskan jika ternyata usia seperti jebakan waktu berupa sekumpulan dilema yang tak kunjung usai seiring berkurangnya jatah umur manusia. Aku sering mengatakan jika inilah fase quarter life crisis yang terlalu dini. Di umur yang baru saja beranjak dari 20 aku merasakan banyak perubahan drastis, baik urusan yang mungkin terlihat receh hingga yang betul-betul serius. 

Pertama; Perkara amalan atau ibadah dan hal-hal yang menyangkut masa depan nanti selepas kehidupan di dunia tentunya. Entah tepatnya sejak kapan, aku slalu disesaki dengan banyak pertanyaan seputar kematian. Gimana kalo esok waktu kematianku? Apa kabar amal-ibadahku-sudah cukup kah tuk membeli tiket surga? Hingga yang membuatku nyaris frustasi “katanya kamu mau khusnul khatimah (sebaik-baik akhir) tapi kok malah malas-malasan-masih sering lalai-bagimana jika di detik kesia-siaan itu malaikat maut malah datang menjemput? Doa harus berkolerasi dengan usaha, yaa kan? Demikianlah aku merasa dalam kegamangan juga sangat kalut-tapi syukurlah hal seperti ini bisa menjadi pemantik semangat untuk tidak berleha-leha lagi. Pelan-pelan membuatku mulai menata kembali skala prioritas dan mempertimbangkan banyak pilihan. Perinsipku “piilihlah hal yang membuatnu nyaman dan kian mendekatkanmu dengan-Nya.

Kedua; Fenomena horror: Nikah. Ekhem… Tentang ini memang sempat beberapa kali terbersit di kepalaku-perihal “apakah menggenap itu memang harus?” Di satu sisi aku sepenuhnya yakin jika nikah adalah hal yang memang kudu harus terlepas dari perintah agama, tapi karena memang untuk masa depan yang lebih baik. Apalagi kala melihat fakta sekitar; teman seperjuangan satu persatu mulai melepas status jomblonya. Sejak tamat hingga kini, jumlah kami semakin berkurang-bahkan ponakan kami sudah lebih dari selusin membuat grup whatsapp lebih ramai dengan percakapan-percakapan emak-emak muda yang kadang kami (para jomblo) menjadi korban bulyan pertanyaan kamu kapan nyusul? Udah ada calon gak? duh, mereka seolah tidak memahami kondisi kami yang notabenenya masih mahasiswa, jelas kita sibuknya masih seputar kuliah, nikah kapan-kapan ajaa deh, wkwkw.

Sempat ada yang galau dengan kalimat “mereka udah bahas anak, nah kita?” Hm... btw, soal anak, kurasa itu hanya satu dari sekian banyak topik yang menarik kok-apalagi untuk perempuan single seperti kami. Gak usah baper menanggapi mereka yang bahasannya tidak bisa kita jangkau. Lagian, gak perlu risau, soal jodoh. 

Kata bang Tere ia yang terbaik akan datang di saat paling tepat atau di waktu terbaiknya. Dan juga, menikah bukanlah perlombaan siapa yang cepat dia yang menang, iyaa kan? Aku menyetujui dalam hati pikiran random seperti ini. Setuju yang kadang terganggu dengan perspektif lain yang seolah menolak, misal: tapi gimana kalo telat nikah? Kan kasian anaknya nanti pas dewasa ibunya dah tua, sedangkan yang nikah lebih dulu jelas anaknya dah lebih dewasa, wkwk. Lalu kemudian aku mikir lagi “kayaknya asik tuh single aja seumur hidup soalnya ngurus diri sendiri aja kadang rempongnya luar biasa-apalagi jika sudah melihat fakta kehidupan rumah tangga yang lumayan susah-banyak ujian dan rintangannya meski tatap ada manis di beberapa bagiannya, yaa kan hidup emang balance, right? 


Di rumah kadang aku memperhatikan kakak ipar yang super sibuk ngurus cucian pagi-pagi, menyetrika, masak-ia bahkan harus bangun tengah malam saat si bungsu menangis dan seabrek perjuangan jadi seorang yang sudah berumah tangga-kadang membuatku bergumam dalam hati hmm… rempong banget yaa jadi ummi. Kalo masih sendiri kan simpel, pas lagi malas akibatnya tanggung sendiri tapi kalo sudah berumah tangga sepertinya akibatnya bisa sangat fatal-sudah pasti akan banyak pekerjaan yang terbengkala serta merta akan berimbas ke anggota keluarga yang lain; kasian kan kalo mamanya malas masak malas beberes rumah, malas ini dan itu, (imajinasiku sepertinya terlalu jauh, wkwk) oke, cukup bagian yang ribetnya.

Sesukar itu menjalani kehidupan rumah tangga tentu ada juga manis-manisnya. Seperti saat menyaksikan mereka tersenyum bahagia dengan hal-hal sederhana: makan bareng dengan walau dengan menu tempe goreng dan sayur bening ditambah sambal atau saat acara keluarga mereka kadang mengenakan seragam atau baju couple istilahnya, nah kelihatan adem banget pas sesi foto-foto, uhukk… Belum lagi saat moment; brother yang slalu rela mengganti pekerjaan kakak ipar di saat-saat tertentu yang cukup mendesak (mengurus ponakan yang pup, menggendong si bungsu saat nangis, mencuci hingga menjemur, etc) wah, anak mama memang suamiable yaa, haha.

Terlepas dari seluruh bayang-bayang di atas kurasa aku tidak usah worry, karena tidak ada jaminan kan, kalo aku masih hidup esok-hingga nikah-bisajadi ajal lebih dulu bertamu, who knows hal rahasia tentang perkara takdir? Intinya sih seperti kata  Tere Liye ; “Jangan berkecil hati jika teman-teman kita sudah menikah semua, kita belum juga. Teruslah memperbaiki diri, diniatkan sungguh-sungguh, berdoa agar diberikan yang terbaik. Tenang saja, yang terbaik slalu disimpan paling belakangan. Lihat saja di film-film jagoan slalu muncul paling akhir. Mungkin jodoh kita demikian.”
Lalu muncul lagi suara lain di kepalaku; Bagaimana jika dengan tidak menikah kita justru lebih produktif atau bisa lebih berguna untuk banyak orang? Bukankah menjadi istri hanya salah satu jalan lain menuju surga? Gak nikah tetap ada pintu-pintu lain menuju sebaik-baik tujuan kelak, yaa kan? Dan juga masih banyak contoh perempuan hebat yang single sampai mati tapi dikenang sepanjang masa? Tapi kan katanya kalo istri cukup taat sama suami, puasa ramadan, salat lima waktu maka baginya surga? Hmm… Entahlah, lama-lama menulis bagian ini aku malah ngakak sendiri, #Lol

Ketiga; Masalah pendidikan. Beberapa waktu lalu aku mengikuti NIEC Education Expo 2017 yang diadakan di empat kota; Bali, Yogyakarta, Tanjung Pinang dan Makassar. Awalnya aku sekedar iseng mendaftarkan diri sebagai peserta modal rasa ingin tahu, penasaran ditambah karena acaranya free, tak berbayar sepeser pun jadi why not? Lumayan untuk mendapatkan pengalaman, pengetahuan baru juga teman baru. And then, selepas konsultasi pendidikan pikiranku kembali ke fase overthinking: Kalo selesai sarjana sepertinya harus S2 dulu. Tapi bagaimana jika tidak dapat izin mama? Duh, bukannya S2 lebih susah lagi? Apa aku mampu? dan berbagai pertanyaan lain yang malam itu lumayan menyesaki kepala. Ujung-ujungnya malah berdamai dengan diri sendiri; sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan, jalani saja hari ini-dan hari-hari berikutnya dengan sebaik-baiknya.
Keempat: Tentang hobi dan pekerjaan. Kalo sudah sarjana mau ngapain raa? Hmm.. ini lumayan bikin dilema juga. Kadang aku bertekad mau fokus ke pendidikan-lanjut S2, jadi perempuan bertitel Master sepertinya pilihan yang tepat-sekalian aku berkesempatan kembali menjadi mahasiswa yang pastinya harus lebih baik lagi dibanding saat S1. Tapi ada lagi bayangan yang mungkin juga termasuk pilihan yang tepat, tak kalah menantang dibanding berkutat dengan dunia kampus; cukup jadi ibu rumah tangga, mendidik anak dengan sungguh-sungguh sambil tetap ngeblog, nulis di tumblr, medium seperti sekarang, btw, entah kenapa mengetikkan kalimat ini trasa menggelikan, haha.  

Tapi pada akhirnya kembali lagi ke hakikat takdir yang super rahasia-mungkin saja umurku tak sampai ke situ. So, lakukan saja apa yang membuatmu nyaman dan menjadikanmu kian dekat dengan-Nya agar jalan menuju Jannah dimudahkan.

The last yang lumayan bikin resah belakangan ini; tentang pergaulan. Setelah semester enam berlalu juga usia yang kini bukan lagi teenage, aku sadar (sebenarnya dari dulu, tapi tak begitu peduli-mungkin karena terlena dengan asiknya punya banyak teman baru-entahlah) mengapa dulu mama sangat susah melepas anak perempunnya kuliah. Kakak perempuanku mendapat izin setelah banyak pertimbangan dan tentunya dengan beberapa syarat, seperti mereka kuliah tapi menetap/tinggal sebagai salah satu anak asrama tahfidz yang merupakan salah satu program menghapal Quran yang tersedia di universitasnya. Dengan begitu, kurasa mama lumayan lebih tenang karena mereka jelas harus hidup tidak hanya menanggung tanggungjawab sebagai mahasiswa tapi juga sebagai anak tahfidz dengan segala peraturannya.

Nah bagaimana dengan aku? Hem… Sepertinya bagianku sudah kutulis di postingan sebelumnya. Yaa, akhirnya aku paham betul kekhawatiran mama saat memutuskan memberi izin anak perempuannya kuliah-jauh dari jangkauannya. Setiap ingin kembali ke Makassar setelah libur, mama tak bosan berpesan; padecengi paringgerrangmu (Perbaiki ingatanmu; Banyak-banyak mengingat;red) nak, anak perempuan itu seperti telur-jika jatuh-pecah tidak akan kembali menjadi utuh seperti sedia kala. Jaga diri, jaga jarak dengan laki-laki, jangan keluar rumah jika tidak ada urusan yang betul-betul penting.” Demikian, kata-kata yang sudah kuhapal di luar kepala sebab entah sudah berapakali terlontar dari bibirnya.

Mengingat pesan berulang mama membuatku lebih aware lagi menyikapi pergaulan. Dan ini honestly, never be easy. Alasannya jelas; aku lumayan was-was karena sebagai makhluk sosial apalagi di lingkungan kuliah, yang mana campur baur dengan lawan jenis tak terelakkan dengan dalih menuntut ilmu. Tantangannya so hard; aku harus extra menjaga batasan-batasan pergaulan dengan syar’i: Usahakan tidak ikhtilat jika tak ada kepentingan, jaga intensitas chat/komunikasi langsung dengan lawan jenis, berduaan tidak boleh, jaga pandangan, jangan baper dengan kebaikan lawan jenis, etc-yang betul-betul membuatku pusing sendiri. 

Ribet. Menjaga prinsip di tengah godaan-godaan seperti ini adalah perjuangan atau jihad yang rumit. Di situ kadang ada sesal, kenapa yaa dulu aku tidak memilih kuliah di tempat yang perempuan dan laki-lakinya dipisah? Sudahlah, namanya juga pilihan slalu penuh risiko dan juga nasi sudah jadi bubur, sisa dinikmati kelezatannya tapi jangan lupa cuci piring setelahnya (gajee ah).

Tugasku hanya perlu bertanggungjawab dengan pilihanku; menyelesaikan kuliah tanpa mengabaikan tentang batas pergaulan. Solusi paling tepat saat ini adalah menemukan teman yang se-frekuensi, yang bersamanya aku bisa lebih semangat menjauhi titik-titik yang bisa berujung dosa. Syukurlah, aku memilikinya. Teman-teman seperjuangan jaman santri yang meskipun tak sejurusan atau sekampus kami tetap bisa saling berkomunikasi, saling mengingatkan dalam kebaikan. Alhamdulillah. “Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kau dustakan?

--Makassar, dalam dilema yang panjang