Saturday 21 October 2017

Masih Mahasiswa Baru


Sudah pukul 2:55. Saya berusaha menggali beberapa kisah di awal kuliah. Berawal dari membaca kicauan twitter di tahun 2014, saya lalu tertawa mengingat betapa semester pertama, kedua dan ketiga adalah periode ter-labil yang pernah saya lalui. Sebuah foto yang sempat saya posting menjadi gerbang kenangan yang kemudian membuat saya menulis ini. 

Tanggal 23 September 2014 adalah hari yang tak terlupakan. Selasa pagi dengan semangat yang meletup-letup, saya menginjakkan kaki di fakultas FISIP, sembari mencari kelas pertama sekaligus kuliah perdana sebagai anak sospol. Sebenarnya kuliah pertama hari senin tanggal 22, tapi lagi-lagi karena kuper saya yang terlalu akhirnya saya ketinggalan info. Finally, hari itu terlalu berkesan hingga rasanya mustahil tuk hilang di tumpukan kenangan yang kian hari semakin sesak dengan cerita-cerita baru.

Matahari pagi bulan september menjadi latar penuh kehangatan untuk sebuah awal yang penuh dengan perasaan-perasaan anomali. Ada haru juga ketakutan-ketakutan tak terdefinisi dan lebih banyak ragu serta dilema yang menjadi makanan sehari-hari di semester pertama kala itu. 

Pertama, saya merasa risih dengan kondisi kelas yang mayoritas laki-laki. Maklum, sejak SD saya memang bersekolah di pesantren yang sistemnya memisahkan murid laki-laki dan perempuan di gedung yang berbeda. Kedua dan ketiga karena saya lumayan overthinking hingga setiap pulang kuliah saya selalu memikirkan banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi selama berstatus mahasiswa. Dan semua itu menjadi permulaan yang baik sekaligus buruk. Baik karena saya menjadi rajin menulis untuk menumpahkan keresahan dan buruk karena tanpa saya sadari, ternyata pelan-pelan saya malah melangkah ke wilayah yang tidak semestinya saya sentuh.

Bisa dibilang kuliah adalah sesuatu yang betul-betul menjadi produk baru untuk saya di mana keadaan menuntut agar saya segera beradaptasi. Well, sebagai introver ini bukan perkara yang mudah. Minggu pertama, kedua hingga semester satu berakhir, saya masih menjadi seseorang yang tak menyukai suasana kelas penuh riuh oleh suara-suara yang didominasi laki-laki. Waktu itu saya hanya dekat dengan dua orang, itu pun tidak bisa dikatakan betul-betul akrab. Saya yang masih kesulitan berhadapan orang baru tentu memilih identitas sebagai perempuan pendiam, mahasiswa paling on time yang lebih nyaman menjadi pendengar meski sesekali bersuara saat tidak kuasa lagi meredakan argumen pribada di sesi diskusi kelas.

Akhir 2014 yang lebih sering diisi hujan, rasanya membuat kenangan-kenangan menetap dan tertinggal hingga kini. Ada banyak hari yang jika mengingatnya saya malah menertawakan potret masa lalu waktu itu, juga tak ketinggalan moment-moment yang akan membuat saya penuh sesal (pernah begitu dekat dengan beberapa teman cowok meski tetap masih ada batasan: dia haram nyentuh saya-hingga sempat ada yang ngajakin debat tentang ini, membuat saya badmood parah. Saya tidak pernah suka dengan perdebatan-apalagi urasan seperti ini).

Di semester satu pula, saya pernah merasa sangat benci sebagai mahasiswa baru yang slalu disuruh ke sekret (tempat berkumpulnya para senior). Di sana (sekret) aku seoalah berada di negeri antah berantah. Raga memang bersama mereka tapi pikiran tidak. Saya lebih memilih menikmati kesendirian. Saya tidak bisa apa-apa selain menurut setiap kali disuruh berkunjung selepas kuliah. Mendengarkan obrolan mereka yang tak sesuai selera-ditambah asap rokok, juga sistem “saat datang harus bersalam-salaman” dengan mereka yang kebanyakan laki-laki jelas membuat saya tak nyaman sebab saya menjadi satu-satunyan yang akan menolak melakukannya-refleks membuat ekspresi senior terlihat awkward. Tersenyum dengan wajah meminta pengertian adalah pura-pura paling menggelikan. Saya melakukannya semata-mata tuk mempertahankan diri sebagai junior yang tak sedikit pun ada niat mencari gara-gara.

Semester satu berlalu penuh pengalaman. Syukurlah, nilai lumayan baik, namun untuk semester dua malah sebaliknya. Bukan karena malas ke kampus atau pun absen kerja tugas, tapi nilai anjlok itu murni karena saya sakit nyaris sebulan lamanya. Kala itu, saya seperti lenyap-betul-betul menghilang dari peredaran, baik maya maupun nyata. Saya tidak sedang berada di makassar atau pun maros membuat teman-teman tentu mencari saya karena nomer panggilan saya tidak bisa dihubungi, apalagi sosmed saya. 

Saya memang menutup setiap celah tuk berkabar dengan siapa pun (kecuali saudara yang jelas sudah tahu jika saya sedang sakit) sebab saya hanya ingin fokus tuk kembali pulih seperti sebelumnya. Bisa dibilang waktu itu adalah salah satu fase paling genting dalam hidup saya. Keadaan seolah ingin merenggut harapan juga kesabaran saya. Saya merasa frustasi berhadapan dengan kondisi saat tubuh sangat sulit tuk diajak berkompromi-membuat beberapa malam saya hanya diisi dengan tangisan. Saya nyaris memutuskan tuk berhenti kuliah karena memikirkan sudah berapa banyak ketidakhadiran saya sementara saat itu sudah mendekati final-saya bahkan melewatkan seluruh mid semester, serta merta membuat semester itu betul-betul kacau. 

“Tuhan tidak pernah menguji hamba-Nya, di luar batas kesanggupannya,” Kalimat ini menjadi pemantik semangat untuk saya selepas musibah sakit di semester lalu. Setelahnya saya lalu berhenti sebagai anak kost dan memilih tinggal bersama kakak yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kampus. Tahun pertama kuliah saya memang memutuskan tuk hidup mandiri dengan ngekost sebagaimana mayoritas teman saya. Bukan karena tanpa alasan saya melakukannya, tapi seperti itulah hidup; kadang kita harus melakukan sesuatu yang mungkin menurut kebanyakan orang tak perlu.

Selama menjadi anak kost saya malah belajar banyak hal mulai dari memasak-hingga menyeduh kopi denggan tepat. Skenario-Nya memang terbaik, saya dipertemukan dengan banyak orang baik di kosan aspuri muslimah. Ada kak Nisma, perempuan berkacamata yang punya banyak pengalaman berorganisasi. Ia yang begitu baik mengajarkan saya banyak hal tentang dunia mahasiswa hingga ia pula yang membuat saya menjadi rutin mengunjungi gramed, karena katanya buku-buku adalah harta berharga mahasiswa. Saya mengaguminya sebagai sosok kakak yang penuh dengan ilmu yang bisa saya serap setiapkali berbincang-bincang dengannya. Ia bahkan sempat membawa saya ke tempat yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya. Berdua dengannya rasanya lebih berfaedah dibanding beberapa jam mendengarkan kuliah dosen.

Selain kak Nisma ada juga kakak hebat kak fathina yang tak pernah bosan menasihati saya tentang pergaulan di kampus. Ia adalah akhwat luar biasa-dengan segala keistiqamahan juga akhlaknya yang membuat saya berdecak kagum. Lalu ada juga kak wadda yang super care. Ia yang selalu sukarela membuatkan kopi juga menemani saya begadang. Dan yang tak mungkin saya lupakan adalah sahabat saya, ulfa. Ia salah satu perempuan paling baik yang saya kenal hingga detik ini. Ia perempuan dengan kesabaran di atas rata-rata sekaligus sahabat yang menjadi muara seluruh detail cerita selama saya menjadi mahasiswa. Ia yang tak bosan menjadi pendengar setiap keresahan saya, dari A hingga Z (kapan-kapan saya akan memposting salah satu tulisan terpanjang saya tentangnya).
  
Karena sudah kepanjangan akhirnya saya harus menyelesaikan tulisan ini dengan beberapa kesimpulan yang berhasil saya temukan sepangan tiga tahun menjadi mahasiswa. Pertama; Hidup memang penuh kejutan-sebagai manusia tentu kita takkan lepas dari hal-hal tak terencana seperti yang terjadi dengan saya. Saya tidak pernah merencanakan menjadi anak sospol sebelumnya, tapi karena takdir akhirnya saya berusaha melewatinya juga, meski dengan begitu banyak ujian dan segala keresahannya.

Kedua dan terakhir; karena hidup memang pilihan. Kita memang tidak bisa menolak takdir-Nya tapi kita selalu bisa memilih harus bagaimana menyikapinya. Untuk saya yang pernah melalui beberapa peristiwa genting tiga tahun ini, saya memutuskan tuk mengambil seluruh pemahaman juga pelajaran terbaiknya. Setiap khilaf yang sempat saya lakukan, saya mencoba memaafkan diri sendiri sembari bertekad agar kedepannya tak boleh jatuh di lubang yang sama. Setiap orang juga seluruh cerita yang bersinggungan dengan saya adalah media untuk terus belajar. Belajar memahami, menerima juga terus berpsoses menjadi lebih baik lagi. 
 
Tiga tahun kuliah mereka teman paling akrab. Katanya sih geng Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut, wkwk)

--Makassar, 19 Oktober 2017