Wednesday 28 February 2018

Review Buku: Maka Nikmat Rindu Mana Lagi yang Kau Dustakan?



Penulis: Tetta Sally
Penerbit: MIB Indonesia
Jumlah Halaman: 177

“Sebab yang paling menyakitkan dari menunggu ialah rindu.” (Hal.54)

Menjatuhkan hati adalah menerima pilihan yang kadang terasa begitu rumit. Mengacuhkannya, membunuhnya, atau justru melupakannnya. Namun, tak sedikit pula yang justru rela bertahan dengan menunggu sepaket dengan rindu. Lantas, mampukah mereduksi rindu, kala menunggu menjadi pilihan satu-satunya? Atau, menunggu bagaimana yang tak mesti disesaki rindu? Jawabannya; Rasakan saja.

Cukup rasakan, bagaiamana rindu mampu membawa seseorang pada perasaan-perasaan yang entah, definisi apa yang paling tepat tuk membahasakannya. Saat kepalamu dipenuhi berbagai praduga, tersesat hanya di satu nama, berputar hanya pada bagian ingatan yang itu-itu saja, hingga akhirnya kau terlelap. Memilih menidurkan rindu yang beku sebab temu masih terjebak dalam harapan, tempat menyimpan begitu banyak doa tentang seseorang yang kau sebut alamat, ke mana harus memulangkan rindu.

Sama halnya dengan cinta, membicarakan rindu memang tak ada habisnya. Di mana-mana kita akan menemukan rindu menjadi pilihan yang diangkat sebagai topik utama, termasuk dalam buku “Maka nikmat rindu manalagi yang kau dustakan?” iniSebuah novel yang meramu rindu dengan bait-bait puisi yang ditulis di sela-sela lembar yang mengutuhkan satu kisah.

Tentang sepasang manusia yang harus berkutat dengan rindu. Sebuah perjalanan panjang untuk saling menyembuhkan luka. 
Tentang bagaimana melawan ketakutan-ketakutan yang merantai langkah menuju masa depan. 
Tentang keyakinan yang tetap bertahan dari ragu ke ragu, antara memilih memperjuangkan atau malah berakhir sebagai pengecut.
Tentang persahabatan juga tentang cinta yang melahirkan petualangan penuh tantangan dan debar di dada.
Tentang rindu yang mampu menaklukkan jarak, mengalahkan trauma hingga menciptakan hal-hal mengagumkan yang tak pernah terencana.   

Bahwa setiap rindu memang harus dituntaskan, diperjuangkan dan diselesaikan dengan cara-cara yang baik.

Meskipun ending penyelesaian konflik di luar ekspektasi saya, overall saya suka, dan selamat buat kak Tetta yang sudah berhasil merampungkan buku pertamanya di sela-sela pengerjaan skripsi. Luar biasa, ditunggu karya selanjutnya, kak!

Sebagai penutup, bagian yang favorit saya dari novel ini:

“Sesekali meredamlah hakiki kerinduan.

Terjebak pada kebimbangan, bukan pintaku.

Hipotesa hati yang kalut.

Keburaman atas nama cinta.

Pada-Nya, kelak seikat seiya hadir.

Mungkin ini jawaban atas hal mengapa cinta harus berjarak?

Mengapa cinta harus berjarak? Kata seseorang kepadaku, agar rindu bisa dewasa.

Monday 26 February 2018

Dear Annisa



Annisa istiqamah nama lengkapnya. Salah satu perempuan paling berkesan yang sempat menghabiskan ratusan hari bersamaku. 

Menulisnya membuat banyak kenangan mulai bermain di kepalaku. Tentang begitu banyak cerita yang sempat terangkai bersamanya. Ah, kehidupan beberapa tahun lalu betul-betul mengundang rindu yang panjang. Dulu kami tidak hanya sekedar satu sekolah tapi juga memiliki banyak kesamaan yang membuat keakraban itu masih kental hingga kini, saat masing-masing kami terpisah sekat bernama jarak.

Annisa; kukenal sebagai teman sekamar, teman sekelas, teman muraja'ah, teman bercerita, teman main hujan, teman jalan-jalan, teman dengan begitu banyak definisi. Untuk menuliskannya rasanya akan begitu panjang. "Lebay yaa ?" Iya, tak apa, seperti ia yang paling sering melabeliku dengan kata itu

Annisa; perempuan berkacamata. Paling rajin mempertanyakan banyak hal yang biasa membuatku malas menanggapinya. Kadang-kadang ia menyebalkan, tapi aku sangat suka kepeduliannya pada hal-hal kecil yang dilewatkan banyak orang. Ia yang selalu terlihat cemas saat moodku sedang tidak stabil sekaligus orang pertama yang akan menangkap sinyal sedang tidak baik-baik saja hanya dengan membaca ekspresiku. Apakah aku mudah ditebak? Entahlah.. Yang jelas ia slalu sibuk bertanya "kamu kenapa?" Dengan ekspresi khawatir yang menurutku terlalu berlebihan.

Annisa: teman yang seringkali membuatku tertawa dengan tingkahnya yang kadang aneh menjurus gila. Ia yang slalu terlihat serius saat tengah melahap sebuah buku dengan satu tangan asik mengunyah coklat. Entah ia lebih menikmati yang mana, buku atau coklat. Atau memang keduanya memang setara, sama-sama mencuri perhatianya. Ia unik. Dan kadang sangat lebai menanggapi hal yang menurutku sederhana saja.

Annisa: pemilik cekikitan khas setiap kali mengajakku mencoba hal baru. Ia yang punya semangat menggebu-gebu yang kadang sangat membuatku iri. Ia gadis ceria, cerdas, meski seringkali memasang tampang bodoh yang sok tidak tahu apa-apa.

Annisa: seorang pendengar yang baik. Ia yang selalu semangat mengejar mimpi. Sahabat yang tengah berjuang sebagai calon dokter, mimpi yang penuh semangat diperjuangakannya.

--Makassar, sebelum terpejam. 

Sunday 25 February 2018

Menahan Amarah


Aku marah tapi memilih baik-baik saja dengan diamku.

Saat kau merasa keadaan membuatmu sangat layak tuk memaki sesuatu atau pun seseorang. Sebab apa yang tengah kau hadapi betul-betul menarik emosi datang, beramai-ramai merampas ketenanganmu dan tentu saja menyesakkan dada.

Hatimu berantakan. Sakit. Dan kau harus berusaha menenangkan pikiran yang sedang memancing dirimu tuk melampiaskannya dengan kata-kata kasar ataupun sumpah serapa.

Hingga kemudian, setitik kesadaran mulai meladeni nurani. Bahwa kau harus segera selesai dengan amarahmu, sesulit apa pun mengalahkan diri yang nyaris kehilangan kendali sebab nafsu keparat.

Badanmu bergetar, kepalamu terasa pening. Mata pun berkaca-kaca sebelum akhirnya ritual menangis berlangsung tanpa suara.

Kata-kata umpatan yang semestinya mengalir dari bibirmu hanya tercekat di kerongkongan hingga akhirnya kau telan dengan paksa.

Situasinya mungkin hampir sama saat kau berusaha berenang melawan arus. Sangat sukar.

Demikian betapa sulitnya menahan amarah hingga dalam hadits dikatakan "Jangan marah, bagimu surga." 

:)

--Makassar, malam. Setelah berdamai dengan emosi

Sudut Kamar


Tempat mendiskusikan banyak hal. Berbicara dengan isi kepala dan nurani. Tempat berdebat kusir antara  perasaan dan logika.

Ruang sunyi sekaligus paling bising. Sunyi sebab sekitarku hanya terisi suara langkah jarum jam bersaing dengan deru napas yang pelan dan tenang, sedang di kepalaku gemuruh sedang berlangsung meriah. Seperti sebuah konser, ramai dengan suara-suara pikiran yang terlalu keras kepala untuk kusuruh diam.

Di sini, tempat mengurai isi kepala yang selalu saja dilanda overthinking. Di sini, aku berusaha mengumpulkan kembali, seluruh keyakinan yang kadang dihabisi ragu. Di sini, tempat terbaik meresapi waktu sekaligus menguatkan diri sendiri.

Di sini aku suka menangis bahkan tertawa sendirian. Menangisi kesalahan-kesalahan di masa lalu sembari berusaha memaafkan diri sendiri. Menertawakan kebodohan-kebodohan yang sudah berulang kali kulakukan atau sesekali menangis sekaligus tertawa karena perasaan yang kadang tak lagi terdefinisi.

--Makassar, tengah malam. Pukul 2:06

Friday 23 February 2018

Setumpuk Kisah


 
Berawal dari bait lagu yang tengah mengudara di langit kamar, ingatan itu bertamu.

Tentang setumpuk kisah yang seketika membuat kenangan melesat cepat. Detik seolah melemparku ke masa lalu.

Kala itu, duniaku belum berkenalan dengan kata rumit. Hari-hari berkesan terlewati dalam hangat keluarga yang masih utuh. Bersama mama dan juga bapak yang seringkali pergi meninggalkan kami, membuatku terlalu dini tuk memahami arti keberadaan.

Tiba-tiba rindu memeras air mata. Ah, betapa sulit manusia melepas apa-apa yang pernah terlanjur menyentuh hati. Persis seperti beberapa kenangan yang masih melekat meski satu dua tiga kisah mulai terhapus bersama waktu. Kepala memang tidak didesain tuk mengingat segala hal.

Aku menulis agar aku tetap mengingat, salah satunya bahwa hidup memang butuh keseimbangan. Ada bahagia tentu karena kita merasakan kesedihan. Dan juga, kita akan paham kehilangan selepas ditinggal pergi oleh sesuatu yang kita anggap berharga. Sesederhana itu.

Bahwa setumpuk kisah di halaman masa lalu adalah sebuah pelajaran, tentang bagaimana menyelesaikan sesuatu dengan kesabaran dan penerimaan yang tabah.

--Maros, kala menyendiri menjadi hal yang sukar

Thursday 22 February 2018

Kata dan Langkah yang Patah


Harap pun habis
Luka kembali hidup seperih kemarin
Hari ini kulihat satu per satu huruf mulai lupa
Perihal arah yang sekian lama menjadi tujuan

Aku lebih memilih kehilangan
Sebab senyum menolak tinggal di bibir yang kelu menyebut namamu
Dan bahagia tak lagi bersedia menetap lebih lama untuk keyakinan yang terlalu rapuh


Kau memang bukan kenyataan
Mungkin hanya sekedar imaji
Yang membuatku tetap berjalan
Dari ragu ke ragu
Menuju pintu keberangkatan
Bersama kata dan langkah yang patah

--Makassar, selepas subuh beranjak

Mama

Aku pulang. Seperti biasa, mama menyambutku dengan senyuman. Sebaris lengkungan di bibirnya bak penawar seluruh letihku. Mama memang salah satu sumber semangatku. Cukup dengan menikmati beberapa jam bersamanya saja, aku akan merasa stok semangatku kembali terisi penuh. Mama dengan seluruh kebaikannya akan membuatku baik-baik saja dalam artian paling jujurku.
Mama yang selalu bisa membaca pertanda di mataku tanpa perlu bercerita panjang lebar. Ia yang kadang membuatku harus menahan air mata diam-diam sebab menangis di hadapannya terasa sama saja dengan menyakitinya. Aku tahu, ia yang paling terluka saat melihat ada kesedihan di wajah anaknya. Dan aku, tentu berusaha untuk tidak membuatnya khawatir meski kutahu ikatan batin kami membuatnya selalu mengetahui apa-apa yang tidak pernah kukatakan. 

Mama yang rutin bertanya bagaimana keadaanku, yang kadang aku terpaksa berbohong “baik-baik saja” sekalipun saat itu mataku tengah menciptakan hujan pribadi. Sebisa mungkin suara kubuat normal sembari mencari alasan agar segera mengakhiri pembicaraan. Bisa dibilang, itu satu-satunya kebonganku kepada mama, semata-mata demi menjaga perasaannya.

Terakhir, sebelum kembali ke Makassar, lagi-lagi ia berpesan “jaga kesehatan, nak.” lalu kemudian aku sakit. Aku sengaja tak mengabarinya sebab kutahu, rasa sakitku adalah rasa sakitnya juga. Aku berusaha menahannya. Sendirian, merintih kesakitan sembari berharap pagi datang merampas perih yang menggerogoti tubuhku. Seingatku, baru kali itu aku demam hingga sampai ke tahap merasa kematian betul-betul sudah dekat. 

Kepalaku yang tak bisa berpikir rasional mulai berimajinasi tentang akhir hidup yang tragis: Aku menyelesaikan usia di tempat tidur, seorang diri, tak ada siapa pun yang tahu sebab memang penghuni rumah hanya aku. Kakak sedang di maros, sibuk mengurus acara resepsi pernikahan yang sisa menghitung hari. Lalu setelahnya, bayangan-bayangan perbuatanku sebulan terakhir terputar-satu per satu- hingga sedikit demi sedikit kesadaranku mulai bekerja. Saat itu aku yakin betul, bahwa ini teguran. Teguran untuk hamba yang penuh khilaf. Bahwa sakit adalah penggugur dosa. Semoga demikian.

Kupikir malam itu aku akan mati. Tapi ternyata umurku masih lebih lama dari yang kukira. Syukurlah, masih terngiang di kepalaku “Allah tidak menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya, bukan?” Dan di penghujung malam aku pasrah sepasrahnya. Air mataku mengering, aku sesenggukan mencoba menikmati rasa sakit. Merenungi betapa berharganya kesehatan dan nasehat mama yang berulang. Semestinya aku lebih peduli lagi dengan kondisi tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah. Maaf, Ma..., anakmu terlalu bebal dan belum mampu mendewasa. Semoga ke depannya bisa lebih bijak lagi.

--Makassar, 2017 | Arsip tulisan di penghujung tahun.

Sunday 18 February 2018

Laki-laki yang Bertanya Tentang Kepastian


Pict Source: Tumblr
 
Kau bergeming. Matamu masih memandang lurus ke jendala besar yang mengarah ke jalanan. Di luar hujan menderas membuat kedai kopi kian dipadati pengunjung. Aku berdehem mencoba memecah hening.

“Ah maaf, aku melamun.” Katamu yang kembali melayangkan perhatian ke arahku.

“Tidak masalah mengenang-asal kau tahu jalan pulang, seperti itu yang kubaca di novel-novel dengan akhir yang tidak membahagiakan.” Balasku sambil menatap kedua bola matamu. 

Aku tahu betul bahwa di sana ada tangisan yang disekap keengganan tuk terlihat rapuh di hadapan perempuan. Kau hanya tertawa. Tawa sumbang yang membuatku sadar bahwa kau memang sedang tidak baik-baik saja.

“Jadi, bagaimana menurutmu, apakah yang kulakukan selama ini sia-sia?" Kau tahu betul perjuanganku selama ini. Tiga tahun bahkan, dan semuanya harus berakhir seperti ini.” Lagi-lagi kau tertawa di ujung kalimat panjangmu barusan. Tawa yang dibuat-buat. Sandiwaramu percuma saja. Aku bahkan bisa membaca kesedihanmu sekalipun kau tak mengutaraknnya langsung.

“Tidak ada yang sia-sia” kataku akhirnya. Kau hanya diam menanti lanjutan kalimatku.

“Sebab takdir memang sudah seperti itu." Aku mulai sok menasehati seperti yang slalu kulakukan tiap kali menjadi pendengarmu. Aku memang tidak punya pilihan selain mencoba untuk tetap menguatkanmu dengan kata-kata yang biasa kau anggap lebih sakti dibanding motivasi Mario Teguh. Ah, kau selalu berlebihan.

“Jadi, kau sepakat, perempuan sangat membutuhkan kepastian?” Tanyamu kemudian. Aku hanya mengangguk setuju sembari menambahkan alasan yang menurutku sebenarnya masih rancu. Kamu menyimak dengan serius. 

“Sejujurnya tidak begitu juga karena butuh atau tidak kurasa itu tergantung perempuannya. Jangan sampai kau langsung menarik kesimpulan bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang tidak bisa memastikan hidupnya sendiri sehingga kepastian menjadi tuntutan yang mutlak harus ada dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menurutku kalimat itu bisajadi tidak relevan lagi. Kau tahu kan, kaum kami memang perasa dan kepastian itu tidak lain hanya untuk menenangkan perasaan seorang perempuan." 

Aku diam sejenak. Fokus matamu masih menatapku lekat. Aku menghela napas sebelum kembali bersuara.

"Dan lagi-lagi menurutku, sebagai perempuan, yang lebih penting daripada meminta sebuah kepastian adalah bagaimana memastikan jika seorang laki-laki bisa dipegang kata-katanya atau bagaimana ia menjaga harga sebuah kepercayaan. Kurasa laki-laki yang bertanggungjawab dengan perkataannya tidak akan bermain-main dengan perasaan perempuan sebab ia tahu betul jika dipercaya itu berharga. Lalu untuk perempuan sepertiku rasanya tak perlu menagih kepastian jika aku sudah cukup percaya dengan laki-lakiku. Maksudku, tanpa kepastiannya pun aku sudah bisa memastikan sendiri apa dia betul-betul serius atau tidak. Aku hanya perlu mempercayainya bahwa ia akan bertanggungjawab dengan perasaanku terlepas dari berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja. Karena menambatkan perasaan kepada seseorang memang bukan pilihan, tapi menentukan sikap itu murni hak pribadi setiap orang. Well, tentu tidak semua perempuan berpikir atau sepaham sama dengan argumenku barusan.” Terangku panjang lebar membuatmu terlihat lebih antusias."

“Jika kau mendefinisikan kepastian tidak lain adalah pernikahan, kurasa aku sepakat. Ya, dia memang menganggap bahwa wujud kongkret dari bukti keseriusan seorang laki-laki adalah dengan menikah, bukan dengan hubungan yang tak jelas arahnya atau tanpa sebuah kepastian. You know how much it hurts, ditinggal hanya karena alasan sebuah ketidakpastian.” Sanggahmu dengan tatapan yang entah. Ada sesal dan kecewa atau mungkin rasa bersalah yang kutangkap dari ucapanmu barusan.

“Dari sekian banyak cerita orang-orang yang pernah curhat, kurasa tak ada yang semenyedihkan kisahmu.” Kataku pada akhirnya. Seketika kau diam tergugu.

Matamu kembali menatap kosong ke jendela. Di luar hujan mulai reda.

“Sederhananya, dia bukan yang terbaik untukmu.” Lirihku dalam senyap sembari memandang dua cangkir kopi yang mulai dingin. Persis seperti perasaanku yang kau diamkan sekian lama. Ada tapi tak pernah bisa kau rasakan.

--Makassar, 18 Februari 2018