Thursday 22 February 2018

Mama

Aku pulang. Seperti biasa, mama menyambutku dengan senyuman. Sebaris lengkungan di bibirnya bak penawar seluruh letihku. Mama memang salah satu sumber semangatku. Cukup dengan menikmati beberapa jam bersamanya saja, aku akan merasa stok semangatku kembali terisi penuh. Mama dengan seluruh kebaikannya akan membuatku baik-baik saja dalam artian paling jujurku.
Mama yang selalu bisa membaca pertanda di mataku tanpa perlu bercerita panjang lebar. Ia yang kadang membuatku harus menahan air mata diam-diam sebab menangis di hadapannya terasa sama saja dengan menyakitinya. Aku tahu, ia yang paling terluka saat melihat ada kesedihan di wajah anaknya. Dan aku, tentu berusaha untuk tidak membuatnya khawatir meski kutahu ikatan batin kami membuatnya selalu mengetahui apa-apa yang tidak pernah kukatakan. 

Mama yang rutin bertanya bagaimana keadaanku, yang kadang aku terpaksa berbohong “baik-baik saja” sekalipun saat itu mataku tengah menciptakan hujan pribadi. Sebisa mungkin suara kubuat normal sembari mencari alasan agar segera mengakhiri pembicaraan. Bisa dibilang, itu satu-satunya kebonganku kepada mama, semata-mata demi menjaga perasaannya.

Terakhir, sebelum kembali ke Makassar, lagi-lagi ia berpesan “jaga kesehatan, nak.” lalu kemudian aku sakit. Aku sengaja tak mengabarinya sebab kutahu, rasa sakitku adalah rasa sakitnya juga. Aku berusaha menahannya. Sendirian, merintih kesakitan sembari berharap pagi datang merampas perih yang menggerogoti tubuhku. Seingatku, baru kali itu aku demam hingga sampai ke tahap merasa kematian betul-betul sudah dekat. 

Kepalaku yang tak bisa berpikir rasional mulai berimajinasi tentang akhir hidup yang tragis: Aku menyelesaikan usia di tempat tidur, seorang diri, tak ada siapa pun yang tahu sebab memang penghuni rumah hanya aku. Kakak sedang di maros, sibuk mengurus acara resepsi pernikahan yang sisa menghitung hari. Lalu setelahnya, bayangan-bayangan perbuatanku sebulan terakhir terputar-satu per satu- hingga sedikit demi sedikit kesadaranku mulai bekerja. Saat itu aku yakin betul, bahwa ini teguran. Teguran untuk hamba yang penuh khilaf. Bahwa sakit adalah penggugur dosa. Semoga demikian.

Kupikir malam itu aku akan mati. Tapi ternyata umurku masih lebih lama dari yang kukira. Syukurlah, masih terngiang di kepalaku “Allah tidak menguji seorang hamba di luar batas kemampuannya, bukan?” Dan di penghujung malam aku pasrah sepasrahnya. Air mataku mengering, aku sesenggukan mencoba menikmati rasa sakit. Merenungi betapa berharganya kesehatan dan nasehat mama yang berulang. Semestinya aku lebih peduli lagi dengan kondisi tubuhku. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah. Maaf, Ma..., anakmu terlalu bebal dan belum mampu mendewasa. Semoga ke depannya bisa lebih bijak lagi.

--Makassar, 2017 | Arsip tulisan di penghujung tahun.