Sunday 18 February 2018

Laki-laki yang Bertanya Tentang Kepastian


Pict Source: Tumblr
 
Kau bergeming. Matamu masih memandang lurus ke jendala besar yang mengarah ke jalanan. Di luar hujan menderas membuat kedai kopi kian dipadati pengunjung. Aku berdehem mencoba memecah hening.

“Ah maaf, aku melamun.” Katamu yang kembali melayangkan perhatian ke arahku.

“Tidak masalah mengenang-asal kau tahu jalan pulang, seperti itu yang kubaca di novel-novel dengan akhir yang tidak membahagiakan.” Balasku sambil menatap kedua bola matamu. 

Aku tahu betul bahwa di sana ada tangisan yang disekap keengganan tuk terlihat rapuh di hadapan perempuan. Kau hanya tertawa. Tawa sumbang yang membuatku sadar bahwa kau memang sedang tidak baik-baik saja.

“Jadi, bagaimana menurutmu, apakah yang kulakukan selama ini sia-sia?" Kau tahu betul perjuanganku selama ini. Tiga tahun bahkan, dan semuanya harus berakhir seperti ini.” Lagi-lagi kau tertawa di ujung kalimat panjangmu barusan. Tawa yang dibuat-buat. Sandiwaramu percuma saja. Aku bahkan bisa membaca kesedihanmu sekalipun kau tak mengutaraknnya langsung.

“Tidak ada yang sia-sia” kataku akhirnya. Kau hanya diam menanti lanjutan kalimatku.

“Sebab takdir memang sudah seperti itu." Aku mulai sok menasehati seperti yang slalu kulakukan tiap kali menjadi pendengarmu. Aku memang tidak punya pilihan selain mencoba untuk tetap menguatkanmu dengan kata-kata yang biasa kau anggap lebih sakti dibanding motivasi Mario Teguh. Ah, kau selalu berlebihan.

“Jadi, kau sepakat, perempuan sangat membutuhkan kepastian?” Tanyamu kemudian. Aku hanya mengangguk setuju sembari menambahkan alasan yang menurutku sebenarnya masih rancu. Kamu menyimak dengan serius. 

“Sejujurnya tidak begitu juga karena butuh atau tidak kurasa itu tergantung perempuannya. Jangan sampai kau langsung menarik kesimpulan bahwa perempuan adalah makhluk Tuhan yang tidak bisa memastikan hidupnya sendiri sehingga kepastian menjadi tuntutan yang mutlak harus ada dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menurutku kalimat itu bisajadi tidak relevan lagi. Kau tahu kan, kaum kami memang perasa dan kepastian itu tidak lain hanya untuk menenangkan perasaan seorang perempuan." 

Aku diam sejenak. Fokus matamu masih menatapku lekat. Aku menghela napas sebelum kembali bersuara.

"Dan lagi-lagi menurutku, sebagai perempuan, yang lebih penting daripada meminta sebuah kepastian adalah bagaimana memastikan jika seorang laki-laki bisa dipegang kata-katanya atau bagaimana ia menjaga harga sebuah kepercayaan. Kurasa laki-laki yang bertanggungjawab dengan perkataannya tidak akan bermain-main dengan perasaan perempuan sebab ia tahu betul jika dipercaya itu berharga. Lalu untuk perempuan sepertiku rasanya tak perlu menagih kepastian jika aku sudah cukup percaya dengan laki-lakiku. Maksudku, tanpa kepastiannya pun aku sudah bisa memastikan sendiri apa dia betul-betul serius atau tidak. Aku hanya perlu mempercayainya bahwa ia akan bertanggungjawab dengan perasaanku terlepas dari berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi kapan saja. Karena menambatkan perasaan kepada seseorang memang bukan pilihan, tapi menentukan sikap itu murni hak pribadi setiap orang. Well, tentu tidak semua perempuan berpikir atau sepaham sama dengan argumenku barusan.” Terangku panjang lebar membuatmu terlihat lebih antusias."

“Jika kau mendefinisikan kepastian tidak lain adalah pernikahan, kurasa aku sepakat. Ya, dia memang menganggap bahwa wujud kongkret dari bukti keseriusan seorang laki-laki adalah dengan menikah, bukan dengan hubungan yang tak jelas arahnya atau tanpa sebuah kepastian. You know how much it hurts, ditinggal hanya karena alasan sebuah ketidakpastian.” Sanggahmu dengan tatapan yang entah. Ada sesal dan kecewa atau mungkin rasa bersalah yang kutangkap dari ucapanmu barusan.

“Dari sekian banyak cerita orang-orang yang pernah curhat, kurasa tak ada yang semenyedihkan kisahmu.” Kataku pada akhirnya. Seketika kau diam tergugu.

Matamu kembali menatap kosong ke jendela. Di luar hujan mulai reda.

“Sederhananya, dia bukan yang terbaik untukmu.” Lirihku dalam senyap sembari memandang dua cangkir kopi yang mulai dingin. Persis seperti perasaanku yang kau diamkan sekian lama. Ada tapi tak pernah bisa kau rasakan.

--Makassar, 18 Februari 2018